Anda di halaman 1dari 4

WAWASAN KENEGARAAN MELALUI ORGANISASI

MUHAMMADIYAH

Dosen Pengampu:

Dr. H. Ali Mas’ad, M.Pd.

Disusun Oleh:

Annisa Aufani Azzahro(04040222058)

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UIN SUNAN AMPEL SURABAYA 2022


PEMBAHASAN

Kyai Ahmad Dahlan memang lebih terkenal dalam perjuangannya di bidang


pendidikan dengan mendirikan organisasi Muhammadiyah dengan cara pandang yang lebih
terbuka, salah satunya adalah Madrasah Ibtidaiyah yang didirikan dan dikelola secara modern
mengikuti pola Kolonial Belanda. Penelitian Muhammad Idris pada tahun 1975 di McGill
University  mengungkap 4 (empat) prinsip yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam
mereformasi pendidikan yakni: 1) Tajdid (reformation); 2) Active; 3) Creative; dan 4) Selain
pendidikan (schooling) sebagai pilar pergerakan Muhammadiyah, terdapat 2 (dua) pilar
lainnya yakni: 1) layanan kesehatan (healing) dan layanan sosial (feeding).

Semuanya berakar dari implementasi atas teologi Al-Maun. Dalam bidang layanan
kesehatan, Muhammadiyah sudah membangun 119 Rumah Sakit dan di bidang sosial
(feeding) Muhammadiyah juga aktif dalam berbagai bantuan sosial, kebencanaan, anak yatim
dan lain sebagainya. Hal ini menjadi bukti, bakti Muhammadiyah terhadap umat dan negara
secara terus menerus sejak sebelum merdeka hingga saat ini.

Muhammadiyah dan Ide Kenegaraan Bernilaikan Islam

Penokohan Kyai Ahmad Dahlan memang tidak mencolok dalam percaturan politik,
berkaitan dalam politik kemerdekaan Indonesia, nama Ki Bagus Hadikusuma sebagai salah
satu tokoh Muhammadiyah tidak bisa diabaikan. Pada tahun 1938, Ki Bagus Hadikusuma
bersama tokoh-tokoh lainnya yakni Mas Mansur, Dr. Sukiman Wiryosanjoyo dan Abdul
Kahar Muzakir sempat mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) yang di era Jepang pada
tahun 1943 menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Dari sini, gagasan ide-ide
sistem ketatanegaraan yang berlandaskan nilai-nilai Islam telah dikembangkan.

Gagasan nilai-nilai Islam dalam bentuk negara kemudian diakomodir oleh Soekarno
melalui Pidato 1 Juni 1945 didepan sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPKI) menjadi bagian dari Sila Pancasila yakni “Ketuhanan yang
berkebudayaan’’.

Prinsip ini kemudian diperjelas dan pertegas merepresentasikan nilai Islam pada
Piagam Jakarta sebagai konsensus nasional yakni sila kesatu yang berbunyi “Ketuhanan
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”. Namun, karena ada
protes dari perwakilan Indonesia Bagian Timur, akhirnya pada tanggal 18 Agustus 1945,
Muhammad Hatta memanggil tokoh-tokoh Islam yakni Ki Bagus Hadikoesoemo, Wahid
Hasyim, Kasman Singodimedjo, dan Teuku Hasan untuk rapat singkat sekitar 15 menit untuk
menentukan sikap. Ki Bagus Hadikoesoemo yang mencita-citakan negara berlandaskan nilai
Islam sangat berat hati memutuskan hal ini, akhirnya disepakati sila kesatu diganti
“Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai representasi dari makna ketauhitan yang menjadi dasar
negara.

Dalam pandangan Muhammadiyah, kemerdekaan adalah berkah dan rahmat dari


Allah SWT sehingga nantinya mampu menjadi pelaksana Amar Ma’ruf Nahi
Munkar  sehingga terwujudlah negara Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur yakni negara
yang yang indah, bersih, suci dan Makmur dibawah lindungan Allah SWT. Muhammadiyah
merupakan salah satu media relasi antara negara dan agama, dimana ide-ide dan gagasan
tentang aktualisasi nilai-nilai keislaman dapat terdeliberasi melalui kehidupan bernegara.
Artinya,  secara politis, Muhammadiyah juga memiliki peran penting untuk mewujudkan
Indonesia berkemajuan dengan Da’wah Amar Ma’ruf Nahi Munkar.

Strategi Kenegaraan Muhammadiyah

Jika teologi Al-Maun telah berhasil merefleksikan Islam transformatif, maka teologi
Al-‘Ashr melahirkan konsep Islam berkemajuan untuk menjadi dasar dalam mewujudkan
Indonesia berkemajuan. Konstruksi cara berfikir transformatif dan berkemajuan
diterjemahkan oleh Kuntowijoyo kedalam 3 (tiga) prinsip utama yakni : amar
ma’ruf (humanisasi), nahi munkar (liberasi), dan tu’minuna billah (transendensi). Dalam
wilayah sosial, implementasi atas ketiga prinsip tersebut diharapkan mampu  untuk
mewujudkan Indonesia berkemajuan, yakni Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

Muhammadiyah menyadari, bahwa mengembangkan prinsip-prinsip saja tidaklah


cukup. Sebuah gagasan perlu ada upaya aktualisasi yang lebih konkrit, untuk itu perlu
dibentuk strategi pergerakan. Salah satu strategi dalam mendorong kehidupan bernegara,
yakni pertanggungjawaban umat terhadap negara yakni diijtihadkan melalui “Negara
Pancasila Dār Al-’Ahd Wa Al-Syahādah”.
Konsep dari Negara Pancasila Dār Al-’Ahd Wa Al-Syahādah yang menjadi Keputusan
Muktamar Muhammadiyah ke-47 adalah negara Pancasila tak lain merupakan negara
perjanjian/kesepakatan dan persaksian. Dār Al-’Ahd yang berarti perjanjian atau kesepakatan
merepresentasikan bahwa negara Pancasila merupakan konsensus nasional, sebagai
konsensus ada hak dan pertanggungjawaban yang harus dilaksanakan didalamnya,
sedangkan Dār Al-Syahādah  yang berarti kesaksian adalah representasi sebagai komitmen
yang harus dijunjung oleh umat dalam mewujudkan negara Indonesia berkemajuan yakni
negara yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

Konstruksi negara perjanjian maupun kesaksian dari Negara Pancasila Dār Al-’Ahd


Wa Al-Syahādah  diturunkan lagi kedalam 10 (sepuluh) prinsip atau model gerakan, yakni :
(1) Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan; (2) Memperbanyak kawan
dan meningkatkan persaudaraan (ukhuwah Islâmiyah); (3) Memiliki pandangan luas dengan
memegang teguh ajaran Islam; (4) Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan; (5)
Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara
yang sah; (6) Melakukan Amar ma’ruf nahi munkar dan menjadi teladan yang baik; (7) Aktif
dalam perkembangan masyarakat dengan maksud islah dan pembangunan sesuai dengan
ajaran Islam; (8) Kerjasama dengan golongan Islam mana pun juga dalam usaha menyiarkan
dan mengamalkan agama Islam, serta membela kepentingannya; (9) Membantu pemerintah
serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun negara; dan (10)
Bersifat adil serta korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana.

Anda mungkin juga menyukai