Anda di halaman 1dari 5

KHITTAH NU

Nama Kelompok : Sri Nanik, Milla Dunnaa Ilmaa, Fitria Dwi Cahyani, Muhammmad
Doni Setiawan.
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Nahdlatul Ulama (NU) adalah sebuah organisasi politik dan keagamaan yang
sangat menarik untuk diteliti. NU adalah sebuah organisasi yang dikontrol oleh para
ulama yang memiliki massa pengikut riil. Keberadaan organisasi yang didirikan
oleh para ulama ini sangatlah diperhitungkan dalam kancah perpolitikan di
Indonesia. Hal ini tidak lepas dari sejarah perjalanan panjang yang mengiringi
perjalanan bangsa Indonesia, menjadikan organisasi ini mempunyai kekuatan untuk
memberikan perubahan bagi perkembangan Islam di Indonesia.
Sejak awal berdirinya, Nahdlatul Ulama berlandaskan Aswaja atau Ahlussunah
wal Jama’ah. Pada awal berdirinya Nahdlatul Ulama adalah organisasi keagamaan
yang fungsi utamanya adalah sebagai wadah perjuangan para ulama serta para
pengikutnya dengan tujuan pokok memelihara, melestarikan, mengembangkan dan
mengamalkan ajaran Islam. Sebagai organisasi kemasyarakatan, NU menjadi tak
terpisahkan dari keseluruhan bangsa Indonesia serta senantiasa menyatu dengan
perjuangan nasional. Tujuan awal berdirinnya NU ini nampaknya bergeser dengan
masuknya NU ke dalam politik praktis.1
Pada awal pendiriannya, NU tidak terlibat dalam politik praktis, walaupun peran
politiknya sangat terasa dalam kancah perpolitikandi Indonesia. Namun sejak
keluar dari Masyumi tahun 1952 hingga 1984, NU terlibat langsung dalam politik
praktis. Pada periode tersebut visi dan misi NU berubah orientasi, dari organisasi
keagamaan (Jam’iyah Diniyah) menjadi organisasi Politik. Berubahnya paradigma
ini diikuti juga oleh perubahan arah orientasi yang ingin dicapai oleh NU atau lebih
tepatnya oleh para elit politik yang berkuasa di NU. Hal yang tidak bisa dielakkan
adalah bahwa urusan keumatan yang menjadi misi utama NU semakin terabaikan.
Untuk itu, pentingnya tema ini untuk didiskusikan.

1
Dhurorudin Mash’ad, Akar Konflik Politik Islam Di Indonesia (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2008), 108.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian dari Khittah NU ?
2. Bagaimana Latar Belakang Khittah NU ?
3. Bagaimana Urgensi Khittah bagi NU ?
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Khittah Nahdhiyah
Khittah artinya garis yang diikuti, garis yang biasa atau selalu ditempuh.
Kalaukata khittah dirangkai dengan Nahdhatul Ulama’(selanjutnya disingkat
NU), makaartinya garis yang biasa ditempuh oleh orang orang NU dalam
kiprahnya mewujudkancita cita yang dituntun oleh faham keagamaannya
sehingga membentuk kepribadian khas NU.Jadi pengertian Khitthah NU
adalah landasan berfikir, bersikap, dan bertindakwarga NU, secara individual
maupun organisatoris.Landasan tersebut adalah faham Ahlussunnah wal
jama’ah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan.Khittah NU juga
digali dari intisari perjalanan khidmahnya dari masa kemasa. Meskipun NU
kembali ke khittah NU 1926,tetapi NU sadar akan adanya perubahan sesuai
tuntutan kebutuhan zaman.Itulah hakikat khittah NU yang kemudian
dirumuskan dalam “Khittah NU” oleh Muktamar ke-27 tahun 1984 di
Situbondo.2
2. Latar Belakang Perumusan Khittah Nahdliyah
Khittah NU sebenarnya sudah ada dan melekat bersamaan dengan
disahkannya Statuten Perkoempoelan Nahdlatul Oelama. Statuten artinya
aturan-aturan 34, dalam hal ini adalah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga dalam organisasi NU. Walaupun demikian perihal asal khittah NU
dari Statuten Perkoempoelan Nahdlatul Oelama ini masih perlu dipertegas dan
dibahas tersendiri.
K.H.Ahmad Shiddiq sebagai penggagas rumusan risalah Khittah
Nahdliyyah memegang perang sentral. Pada awalnya beliau menulis rumusan
risalah berjudul ‘Khittah Nahdliyyah’ pada tahun 1979. (Sebelumnya memang
muncul gagasan untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebagai salah satu jalan
keluar untuk mengatasi berbagai masalah yang selalu muncul di NU, terutama
problem politik).3 Meskipun demikian, belum ada gambaran yang jelas tentang

2
Asep Saeful Muhtadi, Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama Pergulatan Pemikiran Politik Radikal dan
Akomodatif (Jakarta:Pustaka LP3ES Indonesia ,2004), hlm. 190-191.
3
Abdul Muchith Muzadi, Mengenal Nahdlatul Ulama (Surabaya: Khalista, 2006), hlm.20
apa dan bagaimana khittah NU 1926 tersebut. Risalah khittah nahdliyyah telah
ditelaah dan didiskusikan secara mendalam oleh berbagai kalangan di dalam
NU. Risalah ini kemudian disambut hangat oleh tokoh-tokoh muda Nahdlatul
Ulama seperti Abdurrahman Wahid, Dr. Fahmi, Umar Basalim, Slamet Efendi
Yusuf, serta beberapa tokoh muda lainnya. Mereka menyelenggarakan
pertemuan yang kemudian dikenal dengan nama “Majelis 24” yang akhirnya
membentuk ”Tim Tujuh”. Tim inilah yang merancang masa depan Nahdlatul
Ulama dengan khittah. Agar mendapat formulasi yang sesuai dengan harapan,
rancangan yang dibuat Tim Tujuh dipadukan dengan rancangan lain oleh ulama
sepuh. Konsep hasil perpaduan ini kemudian diramu kembali pada perhelatan
Munas Alim Ulama 1983 yang diselenggarakan di Asembagus Situbondo.
Puncaknya kemudian dimatangkan di Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada
bulan Desember 1984, dengan hasil final berupa keputusan untuk kembali ke
Khittah 1926.4
Khittah Nahdliyyah sesungguhnya telah dipraktikkan dan diamalkan oleh
para ulama’ dan warga NU. Para ulama sebagai panutan umat merumuskan
nilai-nilai khittah secara tertulis sebagai pedoman amalan dan pembelajaran
terhadap generasi penerus. Khittah dirumus- kan sebagai landasan berfikir,
bersikap, dan bertindak warga NU yang harus terwujud dalam kehidupan
pribadi maupun organisasi serta dalam setiap penentuan kebijakan.
3. Urgensi Khittah Bagi NU
Dalam muktamar ke-27 yang berlangsung di Pesantren Salafiyah
Syafi’iyah Sukorejo Situbondo tahun 1984, NU menyatakan diri kembali ke
khittah. Apa makna khittah tersebut? yaitu kembali menjadi organisasi
keagamaan, karena dalam kurun waktu 1952-1984 NU berposisi sebagai partai
politik. Pada periode tersebut, NU melakukan eksprimen untuk
memperjuangkan rakyat dengan cara-cara politik praktis, tetapi ternyata hasil
yang dicapai tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Dengan kembali memposisikan diri sebagai organisasi keislaman
sebagaimana ketika dilahirkan pada 1926 sebagai jamiyyah diniyah ijtimaiyah,
maka bidang garapannya menjadi semakin luas dan beragam. Bidang
keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya secara langsung dalam

4
Greg Fealy dkk, Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (Yogyakarta: Lkis,
2010), 126
masyarakat. Sementara itu, bidang politik praktis yang sebelumnya menjadi
alat utama, berubah menjadi politik kebangsaan atau politik tingkat tinggi,
yang tujuannya bukan untuk merebut kekuasaan, tetapi untuk mempertahankan
eksistensi Indonesia, untuk menjaga kebinekaan, dan mengejar cita-cita
Indonesia sebagai bangsa yang maju dan beradab.
Dalam berbagai kesempatan, khittah NU selalu dibicarakan, terutama
saat menjelang kontestasi politik. Terkadang bukan untuk mengingatkan
kembali tujuan khittah yang sebenarnya, tetapi untuk menjegal lawan politik
dengan menggunakan senjata khittah ketika salah satu calon dianggap sebagai
pengurus NU dan menggunakan posisinya untuk keuntungan politik
kekuasaan. Ini juga menjadi tugas bersama untuk mendefinisikan khittah secara
tegas terkait dengan politik praktis, biar tidak jadi pasal karet yang bisa
digunakan untuk kepentingan masing-masing. 5 Apa yang sudah dilakukan oleh
NU sebagai organisasi keagamaan, inilah yang sesungguhnya perlu diteguhkan
kembali dalam peringatan 33 tahun khittah, bahwa kerja-kerja NU adalah kerja
membangun masyarakat yang beradab dan sejahtera. Khittah, harus dijadikan
landasan dalam bersikap dan bertindak. Di tengah liberalisasi informasi saat
ini, khittah menemukan konteksnya untuk menjaga diri dengan menerima dan
mengelola informasi secara kritis.
Di tengah gencarnya aliran-aliran keislaman lain yang dengan bebas
masuk Indonesia dari luar negeri yang biasa disebut Islam transnasional,
bentuk nyata penyapaan warga NU dengan program-program yang nyata akan
menjaga mereka tetap teguh menjaga dan mengamalkan nilai-nilai NU. Inilah
Islam ala Indonesia, yang kita yakini mampu memadukan antara nilai-nilai
keislamandannasionalisme.6

D. KESIMPULAN
Khittah Nahdlatul Ulama adalah landasan berfikir, bersikap, dan bertindak
warga NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun
organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan. Dalam rangka
5
6
Hairus Salim, M.Ridwan, Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural, (Yogyakarta: LkiS, 1999),
h. 1-18
melaksanakan ikhtiarnya Nahdlatul Ulama membentuk organisasi yang mempunyai
struktur tertentu yang berfungsi sebagai alat untuk melakukan koordinasi bagi
tercapainya tujuan-tujuan yang telah ditentukan, baik tujuan yang bersifat
keagamaan maupun kemasyarakatan.
Rumusan tujuan dan rincian usaha yang dilakukan NU mencakup: komunikasi
antar ulama, kegiatan di bidang keilmuan pengkajian dan pendidikan, peningkatan
penyiaran Islam (dakwah), pembangunan sarana prasarana peribadatan dan
pelayanan sosial, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat. Dengan kata lain,
tujuan dan program awal NU memang berwatak sosial keagamaan, bukan sosial

politik.
Khittah, harus dijadikan landasan dalam bersikap dan bertindak. Di tengah
liberalisasi informasi saat ini, khittah menemukan konteksnya untuk menjaga diri
dengan menerima dan mengelola informasi secara kritis.

DAFTAR PUSTAKA
Mash’ad, Dhurorudin. 2008. Akar Konflik Politik Islam Di Indonesia. Jakarta :
Pustaka Al – Kaustar
Muhtadi, Asep Saeful. 2004. Komunikasi Politik Nahdlatul Ulama Pergulatan
Pemikiran Politik Radikal dan Akomodatif Jakarta: LP3ES Indonesia
Fealy dkk, Greg. 2010. Tradisionalisme Radikal Persinggungan Nahdlatul Ulama-
Negara. Yogyakarta: Lkis
Muzadi,Abdul Muchtich. 2006. Mengenal Nahdlatul Ulama. Surabaya: Khalista
Salim, Hairus, M.Ridwan, Kultur Hibrida. 1999. Anak Muda NU di Jalur Kultural,
Yogyakarta: LKiS

Anda mungkin juga menyukai