Anda di halaman 1dari 21

Kata khittah berasal dari akar kata khaththa, yang bermakna menulis dan merencanakan.

Kata
khiththah kemudian bermakna garis dan thariqah (jalan)”. <>Kata khiththah ini sangat dikenal
kalangan masyarakat Nahdliyin, terutama sejak tahun 1984. Pada tahun 1984 itu, NU
menyelenggarakan Muktamar ke-27 di Situbondo. Muktamarin berhasil memformulasikan garis-
garis perjuangan NU yang sudah lama ada ke dalam formulasi yang disebut sebagai “Khittah
NU”. Sekarang, kata ini telah umum dipakai, tidak sebatas komunitas NU. Penggunaan
maknanya mengacu pada prinsip, dasar ataupun pokok. Sebagai formulasi yang kemudian
menjadi rumusan “Khittah NU”, maka tahun 1984 bukan tahun kelahirannya. Kelahiran khittah
NU sebagai garis, nilai-nilai, dan jalan perjuangan, ada bersamaan dengan tradisi dan nilai-nilai
di pesantren dan masyarakat NU. Keberadaannya jauh sebelum tahun 1984, bahkan juga sebelum
NU berdiri sekalipun dalam bentuk tradisi turun temurun dan melekat secara oral dan akhlak.
Selain penggunaan kata “Khittah NU”, kadang-kadang juga digunakan kata “Khittah 26”. Kata
“khittah 26” ini merujuk pada garis, nilai-nilai, dan model perjuangan NU yang dipondasikan
pada tahun 1926 ketika NU didirikan. Pondasi perjuangan NU tahun 1926 adalah sebagai gerakan
sosial-keagamaan.  Hanya saja, garis perjuangan sosial keagamaan ini, mengalami perubahan
ketika NU bergerak di bidang politik praktis.  Pengalaman NU ke dalam politik praktis, terjadi
ketika NU menjadi partai politik sendiri sejak 1952. Setelah itu NU melebur ke dalam PPP (Partai
Persatuan Pembangunan) sejak 5 Januari 1973. Ketika NU menjadi partai politik, banyak kritik
yang muncul dari kalangan NU sendiri, yang salah satunya menyebutkan bahwa “elit-elit politik”
dianggap tidak banyak mengurus umat. Kritik-kritik ini berujung pada perjuangan dan perlunya
kembali kepada khittah. Perjuangan kembali pada khittah sudah diusahakan sejak akhir tahun
1950-an. Contohnya, pada Muktamar NU ke-22 di Jakarta tanggal 13-18 Desember 1959,
seorang wakil cabang NU Mojokerto bernama KH Achyat Chalimi telah menyuarakannya. KH.
Achyat mengingatkan peranan partai politik NU telah hilang, diganti perorangan, hingga partai
sebagi alat sudah kehilangan kekuatannya. Kiai Achyat mengusulkan agar NU kembali ke khittah
pada tahun 1926. Hanya saja, usul itu tidak diterima sebagai keputusan muktamar. Kelompok
"pro jam`iyah" pada tahun 1960 menggunakan warta berkala Syuriyah untuk menyuarakan
perlunya NU kembali ke khittah. Gagasan agar NU kembali ke khittah juga disuarakan kembali
pada Muktamar NU ke-23 tahun 1962 di Solo. Akan tetapi gagasan tersebut banyak ditentang
oleh muktamirin yang memenangkan NU sebagai partai politik. Pada Muktamar NU ke-25 di
Surabaya tahun 1971, gagasan mengembalikan NU ke khittah muncul kembali dalam khutbah
iftitâh Rais Am, KH. Abdul Wahab Hasbullah. Saat itu Mbah Wahab mengajak muktamirin
untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebagai gerakan sosial-keagamaan. Akan tetapi kehendak
muktamirin, lagi-lagi, tetap mempertahankan NU sebagai partai politik. Gagasan kembali ke
khittah semakin mendapat tempat pada Muktamar NU ke-26 di Semarang (5-11 Juni 1979).
Meski Muktamirin masih mempertahankan posisi NU sebagai bagian dari partai politik (di dalam
PPP), tetapi muktamirin menyetujui program yang bertujuan menghayati makna dan seruan
kembali ke khittah 26.  Di Semarang ini pula tulisan KH. Achmad Shidiq tentang Khittah
Nahdliyah telah dibaca aktivis-aktivis NU dan ikut mempopulerkan kata khittah.  Gagasan
kembali ke Khittah NU semakin nyata setelah Munas Alim Ulama di Kaliurang tahun 1981 dan
di Situbondo tahun 1983. Pada Munas Alim Ulama di Situbono itu bahkan dibentuk “Komisi
Pemulihan Khittah NU”. Komisi ini dipimpin KH Chamid Widjaya, sekretaris HM Said Budairi,
dan wakil sekretaris H. Anwar Nurris.  Komisi ini berhasil menyepakati “Deklarasi Hubungan
Islam dan Pancasila,” kedudukan ulama di dalamnya, hubungan NU dan politik, dan makna
Khittah NU 1926. Hasil-hasil dari Munas Alim Ulama ini kemudian ditetapkan sebagi hasil
Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 setelah melalui diskusi dan perdebatan yang
intens. Muktamar NU di Situbondo inilah yang berhasil memformulasikan rumusan Khittah NU.
Formulasi rumusan Khittah NU di Situbondo ini sangat monumental karena menegaskan
kembalinya NU sebagai jam`iyah diniyah-ijtima`iyah. Rumusan ini mencakup pengertian Khittah
NU, dasar-dasar paham keagamaan NU, sikap kemasyarakatan NU, perilaku yang dibentuk oleh
dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU, ihtiar-ihtiar yang dilakukan NU, fungsi
ulama di dalam jam`iyah, dan hubungan NU dengan bangsa.  Dalam formulasi itu, ditegaskan
pula bahwa jam`iyah secara orgnistoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi
kemasyarakatn manapun. Sementara dalam paham keagamaan, NU menegaskan sebagai
penganut Ahlussunnah Waljama`ah dengan mendasarkan pahamnya pada sumber Al-Qur’an,
sunnah, ijma’ dan qiyas. Dalam menafsirkan sumber-sumber itu, NU menganut pendekatan
madzhab dengan mengikuti madzhab Ahlussunnah Waljama`ah (Aswaja) di bidang akidah, fiqih
dan tasawuf. Di bidang akidah, NU mengikuti dan mengakui paham Aswaja yang dipelopori
Imam Abu Hasan al-Asy`ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Di bidang fiqih NU mengakui
madzhab empat sebagai paham Aswaja yang masih bertahan sampai saat ini.  Di bidang tasawuf
NU mengikuti imam al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, dan imam-imam lain. Dalam penerapan
nilai-nilai Aswaja, Khittah NU menjelaskan bahwa paham keagamana NU bersifat
menyempurnakan nilai-nilai yang baik dan sudah ada. NU dengan tegas menyebutkan tidak
bermaksud menghapus nilai-nilai tersebut. Dari sini aspek lokalitas NU sangat jelas dan
ditekankan. Dalam sikap kemasyarakatan, Khittah NU menjelaskan 4 prinsip Aswaja: tawasut
(sikap tengah) dan i’tidal (berbuat adil), tasamuh (toleran terhadap perbedaan pandangan),
tawazun (seimbang dalam berkhidmat kepada Tuhan, masyarakat, dan sesama umat manusia),
dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan). Fungsi
ulama juga ditegaskan kembali oleh Khittah NU sebagai rantai pembawa paham Islam
Ahlussunnah Waljama`ah. Ulama dalam posisi itu ditempatkan sebagai pengelola, pengawas, dan
pembimbing utama jalannya organisasi. Fungsi ulama ini tidak dimaksudkan sebagai penghalang
kreativitas, tetapi justru sebaliknya: untuk mengawal kreativitas.  Dalam hubungannya dengan
kreativitas itu, Khittah NU menyebutkan bahwa jam`iyah NU harus: siap menyesuaikan diri
dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan; menjunjung tinggi kepeloporan dalam
usaha mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakat; menjunjung tinggi
kebersamaan masyarakat; menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan para ahlinya. Khittah NU
juga menegaskan aspek penting kaitannya dengan bangsa. Dalam soal ini, setiap warga NU
diminta menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 45.
Sebagai bagian dari umat Islam Indonesia, masyarakat NU diminta senantiasa berusaha
memegang teguh prinsip persaudaraan, tasamuh, kebersamaan dan hidup berdampingan. Ini
disadari karena Indonesia dan umat Islam Indonesia sendiri sangat majemuk. Tampak sekali cita-
cita Khittah NU yang diformulasikan tahun 1984 itu begitu luhur. Juga  tampak Khittah NU
menegaskan posisinya sebagai gerakan sosial keagamaan yang akan mengurus masalah-masalah
umat. Hanya saja, dalam praktik, tarikan politik praktis selalu menjadi dinamika yang
mempengaruhi eksistensi jam`iyah NU. Di titik-titik demikian, Khittah NU selalu menghadapi
kenyataan krisis, pertarungan internal, dan sekaligus dinamis di tengah kebangsaan dan dunia
global. [Nur Kholik Ridwan]

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/39709/khittah-nu
Dalam muktamar ke-27 yang berlangsung di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo
tahun 1984, NU menyatakan diri kembali ke khittah. Apa makna khittah tersebut? yaitu kembali
menjadi organisasi keagamaan, karena dalam kurun waktu 1952-1984 NU berposisi sebagai
partai politik. Pada periode tersebut, NU melakukan eksprimen untuk memperjuangkan rakyat
dengan cara-cara politik praktis, tetapi ternyata hasil yang dicapai tidak sesuai dengan yang
diharapkan.  Dengan kembali memposisikan diri sebagai organisasi keislaman sebagaimana
ketika dilahirkan pada 1926 sebagai jamiyyah diniyah ijtimaiyah, maka bidang garapannya
menjadi semakin luas dan beragam. Bidang keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya
secara langsung dalam masyarakat. Sementara itu, bidang politik praktis yang sebelumnya
menjadi alat utama, berubah menjadi politik kebangsaan atau politik tingkat tinggi, yang
tujuannya bukan untuk merebut kekuasaan, tetapi untuk mempertahankan eksistensi Indonesia,
untuk menjaga kebinekaan, dan mengejar cita-cita Indonesia sebagai bangsa yang maju dan
beradab.    Dalam berbagai kesempatan, khittah NU selalu dibicarakan, terutama saat menjelang
kontestasi politik. Terkadang bukan untuk mengingatkan kembali tujuan khittah yang sebenarnya,
tetapi untuk menjegal lawan politik dengan menggunakan senjata khittah ketika salah satu calon
dianggap sebagai pengurus NU dan menggunakan posisinya untuk keuntungan politik kekuasaan.
Ini juga menjadi tugas bersama untuk mendefinisikan khittah secara tegas terkait dengan politik
praktis, biar tidak mulur-mrungket atau jadi pasal karet yang bisa digunakan untuk kepentingan
masing-masing.  Apa yang sudah dilakukan oleh NU sebagai organisasi keagamaan, inilah yang
sesungguhnya perlu diteguhkan kembali dalam peringatan 33 tahun khittah, bahwa kerja-kerja
NU adalah kerja membangun masyarakat yang beradab dan sejahtera. Khittah, harus dijadikan
landasan dalam bersikap dan bertindak. Di tengah liberalisasi informasi saat ini, khittah
menemukan konteksnya untuk menjaga diri dengan menerima dan mengelola informasi secara
kritis. Untuk tetap fokus pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sejak semula karena demikian
besar godaan mengurusi hal-hal remeh-temeh, sesaat, tapi terlihat bombastis.   Dalam
perjalanannya selama tiga dekade lebih, situasi dan kondisi sudah banyak berubah, rezim politik
sudah berubah dengan pemerintahan yang lebih menghargai keterbukaan, masyarakat lebih
terdidik dan lebih sejahtera. Teknologi yang perkembangannya sangat cepat juga telah merubah
cara hidup masyarakat. Upaya peneguhan kembali dan penanaman nilai-nilai khittah tersebut
harus dilakukan dalam konteks kekinian, pada generasi NU kekinian, yang mentalitas dan
tradisinya sudah berbeda jauh dengan orang tuanya dahulu. Anak kita bulan milik kita, dia adalah
milik zamannya, demikian kata-kata bijak yang bisa menjadi pelajaran. Upaya sosialisasi khittah
tersebut harus dilakukan secara massif dan menyeluruh, dengan melakukan pengkaderan dan
pembekalan kepada para pengurus serta melalui forum kultural warga NU. Forum-forum
pengkaderan harus terus digalakkan. Dalam banyak hal, seharusnya upaya disseminasi dan
sosialisasi khittah seharusnya lebih mudah seiring dengan kemajuan teknologi. Tantangan
sesungguhnya adalah perubahan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat seperti individualisme,
pragmatisme, dan hedonisme. Tentunya, yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai inti khittah
untuk melayani umat tersebut dapat terimplementasikan dengan baik. Dalam setiap muktamar
NU, selalu dijabarkan program-program prioritas. Hasil Muktamar ke-33 NU 2015 di Jombang
mengamanatkan sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi sebagai program prioritas. Inilah
yang harus dilaksanakan dalam program-program yang konkret. Pengembangan perguruan tinggi
NU dan perbaikan kualitas sekolah-sekolah dasar dan menengah di lingkungan NU merupakan
upaya riil yang harus terus dilakukan. Dalam bidang kesehatan, pendirian rumah sakit dan
layanan kesehatan lain serta advokasi kebijakan-kebijakan yang mendorong tercapai cakupan
layanan kesehatan universal kepada seluruh warga negara Indonesia merupakan bentuk nyata
yang bisa dilakukan. Dalam bidang ekonomi, upaya pembentukan badan usaha milik NU dan
memberikan akses pasar dan permodalan bagi dunia usaha milik warga NU merupakan komitmen
yang harus diwujudkan sebagai bentuk nyata perhatian NU kepada warganya.  Di tengah
gencarnya aliran-aliran keislaman lain yang dengan bebas masuk Indonesia dari luar negeri yang
biasa disebut Islam transnasional, bentuk nyata penyapaan warga NU dengan program-program
yang nyata akan menjaga mereka tetap teguh menjaga dan mengamalkan nilai-nilai NU. Inilah
Islam ala Indonesia, yang kita yakini mampu memadukan antara nilai-nilai keislaman dan
nasionalisme. Yang relevan dengan dunia kekinian yang semakin terintegrasi secara global
seiring dengan kemajuan teknologi. Inilah peneguhan khittah yang sesungguhnya. (Mukafi Niam)

Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/74629/meneguhkan-kembali-khittah-nu
BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyah Diniyah (organisasi Keagamaan) wadah bagi para
Ulama dan pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M di
Surabaya. NU didirikan atas dasar kesadaran bahwa setiap manusia hanya dapat memenuhi
kebutuhannya, bila hidup bermasyarakat.
NU didirikan dengan tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan dan
mengamalkan ajaran Islamyang berhaluan Ahlusunnah Wal Jama’ah dengan menganut salah
satu dari empat madzhab: Maliki, Hambali, Hanafi, Syafi’i, serta mempersatukan langkah
Ulama dan pengikutnya dan melakukan kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan umat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkatdan martabat manusia.
Dengan demikian maka NU menjadi gerakan keagamaan yang bertujuan ikut
membangun insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil,
berakhlaq mulia, tenteram, adil dan sejahtera. NU mewujudkan cita cita dan tujuannya
melalui serangkaian ikhtiar yang di dasari oleh dasar dasar faham keagamaan yang
membentuk kepribadian khas NU. Inilah yang kemudian disebut sebagai khittah Nahdlatul
Ulama.
Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU,
akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain-lain.Dalam hal ini penulis
akan membahas tentang khittah NU dan gerakan-gerakan NU.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam pembahasan
makalah ini adalah sebagai berikut :
1.    Apa Pengertian Khittah NU?
2.   Bagaimana Latar Belakang Kembali ke Khittah NU 1926?
3.    Kapan dicetuskan kembalinya NU ke Khittah 1926 dan bagaimana bentuknya?
4.   Bagaimana Gerakan Politik NU Setelah Khittah?
5.    Bagaimana Gerakan Kultur NU?

C.      Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1.         Untuk memenuhi tugas mata kuliah ke-NU-an
2.         Untuk mengetahui pengertian tentang Khittah NU
3.         Untuk mengetahui latar belakang kembalinya NU kepada Khittah 1926
4.         Untuk mengetahui kapan NU kembali kepada Khittah 1926 dan bentuk-bentuk rumusannya
5.         Untuk mengetahui gerakan politik NU setelah Khittah
6.         Untuk mengetahui gerakan kultur NU setelah NU kembali kke Khittah

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Khittah NU
Kata khittah berasal dari akar kata khaththa, yang bermakna menulis dan
merencanakan. Kata khiththah kemudian bermakna garis dan thariqah (jalan)”.
Khittah NU adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus
dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses
pengambilan keputusan.Landasan tersebut adalah faham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah
yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan Indonesia,meliputi dasar dasar amal
keagamaan maupun kemasyarakatan.Khittah NU juga digalidari intisari perjalanan sejahtera
khidmahnya dari masa ke masa.Kata khiththah ini sangat dikenal kalangan masyarakat
Nahdliyin, terutama sejak tahun 1984.

B.       Latar Belakang Kembali ke Khittah NU 1926


NU mencakup tujuan pendirian NU, gerakan-gerakan NU dan lain-lain. Perbincangan
Khittah NU sering dikaitkan dengan urusan politik. Sementara, cakupan Khittah NU 1926
pada dasarnya tidak hanya menerangkan ihwal hubungan organisasi NU dengan politik, tetapi
juga hal-hal mendasar terkait soal ibadah kepada Allah Swt dan kemasyarakatan. Menurut
Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidahnya, syariatnya,
tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain-lain.
Pada tahun 1984 itu, NU menyelenggarakan Muktamar ke-27 di Situbondo.
Muktamarin berhasil memformulasikan garis-garis perjuangan NU yang sudah lama ada ke
dalam formulasi yang disebut sebagai “Khittah NU”.
Sebagai formulasi yang kemudian menjadi rumusan “Khittah NU”, maka tahun 1984
bukan tahun kelahirannya. Kelahiran khittah NU sebagai garis, nilai-nilai, dan jalan
perjuangan, ada bersamaan dengan tradisi dan nilai-nilai di pesantren dan masyarakat NU.
Keberadaannya jauh sebelum tahun 1984, bahkan juga sebelum NU berdiri sekalipun dalam
bentuk tradisi turun temurun dan melekat secara oral dan akhlak.
Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini
ditandai keluarnya NU dari PPP. Dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan
sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926.
Selain penggunaan kata “Khittah NU”, kadang-kadang juga digunakan kata “Khittah
26”. Kata “khittah 26” ini merujuk pada garis, nilai-nilai, dan model perjuangan NU yang
dipondasikan pada tahun 1926 ketika NU didirikan. Pondasi perjuangan NU tahun 1926
adalah sebagai gerakan sosial-keagamaan. Hanya saja, garis perjuangan sosial keagamaan ini,
mengalami perubahan ketika NU bergerak di bidang politik praktis.
Pengalaman NU ke dalam politik praktis, terjadi ketika NU menjadi partai politik
sendiri sejak 1952. Setelah itu NU melebur ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan)
sejak 5 Januari 1973. Ketika NU menjadi partai politik, banyak kritik yang muncul dari
kalangan NU sendiri, yang salah satunya menyebutkan bahwa “elit-elit politik” dianggap
tidak banyak mengurus umat. Kritik-kritik ini berujung pada perjuangan dan perlunya
kembali kepada khittah.
Perjuangan kembali pada khittah sudah diusahakan sejak akhir tahun 1950-an.
Contohnya, pada Muktamar NU ke-22 di Jakarta tanggal 13-18 Desember 1959, seorang
wakil cabang NU Mojokerto bernama KH Achyat Chalimi telah menyuarakannya. KH.
Achyat mengingatkan peranan partai politik NU telah hilang, diganti perorangan, hingga
partai sebagi alat sudah kehilangan kekuatannya. Kiai Achyat mengusulkan agar NU kembali
ke khittah pada tahun 1926. Hanya saja, usul itu tidak diterima sebagai keputusan muktamar.
Kelompok “pro jam`iyah” pada tahun 1960 menggunakan warta berkala Syuriyah
untuk menyuarakan perlunya NU kembali ke khittah. Gagasan agar NU kembali ke khittah
juga disuarakan kembali pada Muktamar NU ke-23 tahun 1962 di Solo. Akan tetapi gagasan
tersebut banyak ditentang oleh muktamirin yang memenangkan NU sebagai partai politik.
Pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya tahun 1971, gagasan mengembalikan NU ke
khittah muncul kembali dalam khutbah iftitâh Rais Am, KH. Abdul Wahab Hasbullah. Saat
itu Mbah Wahab mengajak muktamirin untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebagai gerakan
sosial-keagamaan. Akan tetapi kehendak muktamirin, lagi-lagi, tetap mempertahankan NU
sebagai partai politik.
Gagasan kembali ke khittah semakin mendapat tempat pada Muktamar NU ke-26 di
Semarang (5-11 Juni 1979). Meski Muktamirin masih mempertahankan posisi NU sebagai
bagian dari partai politik (di dalam PPP), tetapi muktamirin menyetujui program yang
bertujuan menghayati makna dan seruan kembali ke khittah 26. Di Semarang ini pula tulisan
KH. Achmad Shidiq tentang Khittah Nahdliyah telah dibaca aktivis-aktivis NU dan ikut
mempopulerkan kata khittah.
Gagasan kembali ke Khittah NU semakin nyata setelah Munas Alim Ulama di
Kaliurang tahun 1981 dan di Situbondo tahun 1983. Pada Munas Alim Ulama di Situbono itu
bahkan dibentuk “Komisi Pemulihan Khittah NU”. Komisi ini dipimpin KH Chamid
Widjaya, sekretaris HM Said Budairi, dan wakil sekretaris H. Anwar Nurris. Komisi ini
berhasil menyepakati “Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila,” kedudukan ulama di
dalamnya, hubungan NU dan politik, dan makna Khittah NU 1926. Hasil-hasil dari Munas
Alim Ulama ini kemudian ditetapkan sebagi hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun
1984 setelah melalui diskusi dan perdebatan yang intens. Muktamar NU di Situbondo inilah
yang berhasil memformulasikan rumusan Khittah NU.
Formulasi rumusan Khittah NU di Situbondo ini sangat monumental karena
menegaskan kembalinya NU sebagai jam`iyah diniyah-ijtima`iyah. Rumusan ini mencakup
pengertian Khittah NU, dasar-dasar paham keagamaan NU, sikap kemasyarakatan NU,
perilaku yang dibentuk oleh dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU, ihtiar-
ihtiar yang dilakukan NU, fungsi ulama di dalam jam`iyah, dan hubungan NU dengan
bangsa.
Dalam formulasi itu, ditegaskan pula bahwa jam`iyah secara organistoris tidak terikat
dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatn manapun. Sementara dalam paham
keagamaan, NU menegaskan sebagai penganut Ahlussunnah Waljama`ah dengan
mendasarkan pahamnya pada sumber Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dalam
menafsirkan sumber-sumber itu, NU menganut pendekatan madzhab dengan mengikuti
madzhab Ahlussunnah Waljama`ah (Aswaja) di bidang akidah, fiqih dan tasawuf.
1.         Di bidang akidah, NU mengikuti dan mengakui paham Aswaja yang dipelopori Imam Abu
Hasan al-Asy`ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi.
2.         Di bidang fiqih NU mengakui madzhab empat sebagai paham Aswaja yang masih bertahan
sampai saat ini.
3.         Di bidang tasawuf NU mengikuti imam al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, dan imam-imam
lain. Dalam penerapan nilai-nilai Aswaja, Khittah NU menjelaskan bahwa paham keagamana
NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik dan sudah ada. NU dengan tegas
menyebutkan tidak bermaksud menghapus nilai-nilai tersebut. Dari sini aspek lokalitas NU
sangat jelas dan ditekankan.

C.      Bentuk-BentukRumusan Khittah NU dalam Muktamar ke-27


1.         Dasar-dasar Pemikiran NU
Nahdlatul Ulama mendasarkan paham keagamaannya kepada sumber Islam Al
Qur’an, Assunnah, Al Ijma’ dan Al Qiyas. Dalam memahami, menafsirkan Islam, mengikuti
Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menggunakan pendekatan madzhab
NU mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fitri yang bersifat
menyempurnakan kebaikan yang dimiliki oleh manusia.

2.         Sikap Kemasyarakatan NU
Dasar dasar pendirian keagamaan NU menumbuhkan sikap kemasyarakatan sebagai berikut:
a.         Sikap tawasuth dan I’tidal berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi
keharusan berlaku adil dan lurus di tengah tengah kehidupan bersama. NU dengan sikap
dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu
bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf
(ekstrim).
b.        Sikap tasamuh sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan,
terutama yang bersifat furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah serta dalam masalah
kemasyarakatan dan kebudayaan.
c.         Sikap tawazun sikap seimbang dan berkhidmah, menyerasikan khidmah kepada ALLAH
SWT khidmah kepada sesama manusia serta lingkungan hidupnya. Menyelaraskan
kepentingan masa lalu dan masa kini serta masa yang akan datang
d.        Sikap amar ma’ruf nahi munkar. Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang
baik berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama serta menolak dan mencegah semua
hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai nilai kehidupan.
3.         Perilaku yang dibentuk oleh dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU
a.         Menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam
b.        Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi
c.         Menjunjung tinggi sifat keikhlasan, berkhidmah dan berjuang
d.        Menunjung tinggi persaudaraan (Al-Ukhuwah, persatuan (Al-Itihad) serta kasih mengasihi
e.         Meluhurkan kemuliaan moral (Al Akhlakul karimah), dan menjunjung tinggi kejujuran
(Ash-shidqu) dalam berfikir, bersikap dan bertindak
f.          Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalotas) kepada agama, bangsa dan negara
g.        Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah
SWT
h.        Menjunjung tinggi ilmu-ilu serta ahli-ahlinya
i.          Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan
manusia
j.          Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha, memacu dan mempercepat perkembangan
masyarakat
k.        Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara
3.         Ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan NU :
a.         Peningkatan silaturahmi/komunikasi antar ulama
b.        Peningkatan kegiatan di bidang keilmuan/pengkajian/pendidikan
c.         Peningkatan kegiatan penyiaran Islam, pembangunan sarana-sarana dan pelayanan sosial
d.        Peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah
4.         Fungsi organisasi dan kepemimpinan ulama di NU yaitu sebagai alat untuk melakukan
koordinasi bagi terciptanya tujuan-tujuan yang telah ditentukan baik tujuan yang bersifat
keagamaan maupun kemasyarakatan.
5.         NU dan kehidupan berbangsa
NU secara sadar mengambil posisi aktif dalam proses perjuangan mencapai dan
mempertahankan kemerdekaan, serta mewujudkan pembangunan menuju masyarakat adil
dan makmur yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang diridhoi oleh Allah SWT.

D.      Gerakan Politik NU setelah Khittah


Nahdlatul Ulama (NU) berdiri tahun 1926 adalah sebagai organisasi kemasyarakatan
atau jam’iyah, bukan  partai politik, bukan institusi politik, tapi tak bisa dipungkiri dan
dihindarai bahwa sejak kelahirannya NU telah bersinggungan dengan ruang politik.
Pada tahun 1940-1943 NU masuk MIAI yang kemudian menjadi Masyumi. Masyumi
dibentuk dimaksudkan untuk menciptakan kekuatan besar bagi umat Islam. Tahun 1945
Raisul Akbar Hadrotussyaikh KH Hasyim As’ary mengeluarkan fatwa resolusi jihad untuk
menghadapi tentara nicca belanda. Dan pada tahun-tahun berikutnya NU juga tidak tinggal
diam menghadapi PKI.
Ada satu hal yang perlu dicatat bahwa, kelahiran NU itu sendiri sebagai respon atas
munculnya Islam wahabisme atau Islam reformis yang menyatakan dirinya sebagai kaum
pambaharu Islam. Melihat sisi historis demikian maka boleh dikatakan  semenjak
kelahirannya NU telah berpolitik, barulah pada tahun 1952 Muktamar NU ke 19 di
palembang, NU resmi menyatakan diri sebagai partai politik setelah keluar dari Masyumi.
Dari pemilu 1955 sampai pemilu 1971 NU berhasil meraih suara cukup
menggembirakan, NU benar-benar bermain di arena politik, NU punya banyak wakil di DPR,
para ulama  sepuh NU juga masih banyak. Sampai disini NU masih berjaya. Barulah pada
tahun 1973 NU mulai melewati masa awal perpecahan. Semua partai Islam termasuk NU
harus fusi dalam satu partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan(PPP).  PPP tak ubahnya
seperti Masyumi dulu, perselisihan antar kelompok dalam tubuh PPP terus terjadi tak
kunjung usai. Kasus yang terjadi di PPP serupa dengan yang terjadi di Masyumi – NU selalu
dimarjinalkan.
NU  dalam posisi rumit, membuat partai tidak bisa, memperbaiki PPP juga suatu hal
yang sangat sulit karena PPP dan PDI saat itu merupakan boneka orde baru.  Disinilah titik
awal dimulainya perpecahan warga NU, dimana pemerintah Orba salah satu faktor utama
dalam penghancuran NU. NU selanjutnya hanya berpolitik secara moral yang sulit
dipertanggungjawabkan hasilnya. NU kemudian hanya menitipkan para kadernya di PPP,
sedang NU sendiri hanya bisa bermain diluar arena.
Pola dukung mendukung oleh NU mulai dijalankan. NU terkadang bermetamorfosa
dari hijau menjadi merah ketika Gus Dur mendekati Mega yang waktu itu kita kenal dengan
istilah Mega-Gus Dur untuk menandingi PDI Suryadi. Atau terkadang NU berubah wujud
dari hijau ke kuning ketika Gus Dur mengajak warganya untuk mengikuti Istighotsah NU-
Golkar di berbagai daerah beberapa tahun silam sebelum reformasi.
Setelah reformasi bergulir, sepertinya ada harapan besar bagi NU
untukmengembalikan kejayaan NU dimasa silam. Walaupun demikian masih terlalu berat
jika NU menjelma menjadi partai. NU akhirnya mendirikan PKB dimana PKB diharapkan
menjadi satu-satunya partai NU yang berakses ke PBNU. NU sendiri bukanlah partai tapi NU
punya sayap politik yaitu PKB. Betapa hebat respon masyarakat terhadap lahirnya PKB, Ini
wajar saja karena warga NU benar-benar haus dengan partai NU setelah 32 tahun NU
dipinggirkan.
Namun tampaknya harapan hanya tinggal harapan, PKB yang diharapkan menjadi
sayap politik NU justru berjalan sendiri bahkan senantiasa berseberangan dengan NU
struktural. Antara PKB dan NU mulai ada tanda-tanda kurang serasi, PKB memecat ketuanya
yaitu Matori Abdul jalil yang sebenarnya NU tidak menghendaki. Ketidakserasian NU-PKB
ini diperuncing lagi ketika NU mencalonkan Hasyim Muzadi menjadi cawapres Mega.
Dengan susah payah NU menggerakkan warganya dari tingkat PW-PC-MWC bahkan sampai
ketingkat ranting untuk mengegolkan jagonya yaitu Hasyim Muzadi menjadi Cawapres, tapi
PKB saat itu justru mendukung Wiranto-Wahid dari Golkar, diteruskan pada  pilpres putaran
kedua PKB mendukung SBY-JK. Cukup sudah PKB menyodok NU saat itu.  Mulai dari itu
PKB dianggap bukan lagi partai sayap politik NU karena PKB  terlalu jauh meninggalkan
NU.
Carut-marut perpolitikan NU saat ini sudah sangat rumit. Musuh sudah memakai
senjata api kita masih berebut senjata bambu. Sederet pertanyaan inilah yang mungkin akan
terjawab dalam muktamar NU mendatang.
E.       Gerakan Kultur NU
Meskipun paska khittah 1926 NU mengkonsentrasikan kembali perjuangannya pada
wilayah sosio-kultural, namun mungkinkah NU benar-benar seratus persen netral dari
persoalan politik? Jelas tidak. Netralitas NU dari politik itu sendiri, menurut KH
Abdurrahman Wahid tidak berarti meninggalkan segala peran politik. Jumlah anggotanya
yang besar merupakan kekuatan dan kapital politik yang sangat potensial, terutama saat
mendekati momen pemilu. Sehingga meski sudah memutuskan khittah dan kembali pada
kerja kultural, NU tak mungkin bisa seratus persen menghindar dari politik.
Namun yang perlu ditegaskan di sini adalah peran politik yang dimainkan oleh NU
bukan lagi politik praktis yang berorientasi pada kekuasaan. Pola politik semacam ini lebih
bersifat formalistik dan struktural. Sebaliknya dalam dimensi semangat khittah, yang lebih
diprioritaskan oleh NU adalah gerakan politik kultural. Konsep inilah yang menjadi batu
loncatan dan terobosan baru bagi NU untuk memajukan dan memberdayakan masyarkat.
Sebab, orientasi kerjanya bukan lagi memperdebatkan soal kursi kekuasaan maupun jabatan
di berbagai lembaga pemerintahan, melainkan lebih concern pada perumusan langkah dan
strategi pemberdayaan masyarakat bawah yang sebesar-besarnya. Inilah yang pernah
diserukan oleh mantan Rais Aam PBNU-1984, KH. Achmad Siddiq bahwa orang NU lebih
baik bekerja untuk memajukan masyarakat dan bukannya berusaha mendapatkan kekuasaan.
Secara substansial, gerakan politik kultural NU ini masih lemah, masih belum
mengakar kuat sehingga benar-benar mampu mengangkat warganya dari segala macam
krisis. Pada level praksis-operasional, komitmen dan spirit politik kultral NU itu belum
berhasil ditransformasikan sebagai sebuah sistem gerakan yang simultan untuk
menyelesaikan problem-problem riel di masyarakat. Sehingga seolah nampak bahwa orientasi
politik NU ini hingga sekarang masih lebih menjadi wacana sosial-keagamaan, daripada
menjadi perangkat kerja konkrit. Terbukti warga NU masih banyak yang terjerat oleh
persoalan kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
Faktor utama yang menyebabkan politik kultural NU tersebut mandul dan lemah
sebagai media gerakan transformasi sosial adalah karena rendahnya mentalitas dan moralitas
para oknum yang ada di struktur NU.Oleh para pengurusnya, NU masih sering dimanfaatkan
sebagai alat untuk menjalin akses ekonomi dan politik pribadi. Hal ini terbukti dengan masih
dimanfaatkannya lembaga NU untuk mendukung calon tertentu dalam pemilu maupun
pilkada di berbagai daerah daripada sebagai alat kontrol kekuasaan.Hal ini menjadikan
agenda-agenda sosio-kultural dan keagamaan, yang merupakan bagian dari gerakan politik
kultural NU, tidak berjalan
Sebab, NU hanya menjadi sarang manusia-manusia oportunistik. Manusia macam ini,
hanya memanfaatkan NU untuk mencari penghidupan pribadi tetapi tidak bersedia berkorban
untuk kehidupan NU. Budaya oportunistik yang sering menghinggapi hati dan pikiran para
pengurus NU tersebut, merupakan batu sandungan utama yang menyebabkan politik kultural
NU belum bisa diimplementasikan secara optimal. Gerakan politik kultural NU bukannya
semakin bangkit, tetapi semakin melemah, karena kekuatan NU digerogoti oleh budaya
oportunistik yang menguasai struktur NU.

BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
1.         Khittah NU adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus
dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses
pengambilan keputusan.
2.         Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini
ditandai keluarnya NU dari PPP dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan
sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926.
3.         Setelah Khittah NU tidak lagi ikut secara aktif dalam politik praktis tetapi lebih kepada
politik taktis.
4.         Gerakan kultur NU lebih kepada upaya memajukan dan memberdayakan masyarakat.

B.       Saran
1.         Sebagai Jam’iyah Nahdlatul Ulama kita harus selalu mempertahankan kemurnian Islam
dengan jalan mengikuti faham Ahlussunnah Wal Jama’ah berdasar Al Qur’an, Assunnah,
Ijma’ dan Qiyas serta dengan pendekatan salah satu dari 4 madzhab.
2.         Para pengurus NU yang tergabung dalam partai politik diharapkan selalu berpegang pada
Khittah NU 1926 dengan kerja kultural yaitu bekerja untuk memajukan masyarakat bukan
untuk memperebutkan kekuasaan, yaitu dengan membantu pengembangan kegiatan di bidang
da’wah, sosial maupun pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

      Pustaka Ma’arif  NU. 2007. Islam Ahlussunnah Wal Jamaah di Indonesia. Jakarta.
      Haryono Abu Syam. 1981. Pendidikan Nahdlatul Ulama. Surabaya. Cahaya Ilmu
      Moxeeb’s.wordpress.com
      http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/pusaka/ispustaka/buku07/020.htm
      emka.web.id/ke-nu-an/2012/apa-itu-khittah-nu
 

 
[ KHMA. Sahal Mahfudh / Nuansa Fiqih Sosial ]

 
AKTUALISASI KHITTAH 26
HAMPIR semua eksponen NU sibuk memasyarakatkan Khittah
26, pada masa antara pasca-Muktamar NU ke-27 sampai dengan
Pemilu 1987. Pada tahap sosialisasi hasil muktamar itu kesibukan
beragam, terutama berkisar pada pembicaraan butir-butir yang
berkenaan dengan hubungan antara NU dan OPP (organisasi
peserta pemilu). Belum adanya kesiapan wawasan politik yang
luas di kalangan warga NU, sempat menimbulkan persepsi yang
berbeda-beda terhadap makna khittah dan penjabarannya secara
utuh.

Ini rnasih ditambah dengan interes-interes pribadi mau pun


kelompok yang hanya melihat konstelasi politik dari satu sisi
sesuai dengan dorongan kepentingan yang telah dirancang
strateginya. Akibatnya muncul ketimpangan pandangan dan
wawasan politik, tercermin dari berbagai konflik dan benturan
reaksi individual mau pun kelompok selama proses Pemilu 1987.

Dampak macam itu sudah seiak semula diperhitungkan dan


diantisipasi sebagai suatu yang wajar terjadi pada masa transisi.
Setiap transisi menuju perubahan, hampir dipastikan mengandung
gejolak. Apalagi bagi NU yang kaya akan politisi. Ha1 itu tidak
mudah diredam begitu saja, tapi hanya dapat dibendung dengan
memperkecil atau mempersempit dampak negatif. Masa transisi
harus dilalui dengan segala implikasinya. Tanpa melalui masa itu,
NU tidak akan mampu menampilkan eksistensi dirinya yang
akomodatif dan integratif di tengah-tengah perkembangan
masyarakat.

***

SECARA rasional, Khittah 26 yang salah satu butirnya


membebaskan warga NU menyalurkan aspirasi nasbu al-imamah
melalui salah satu partai politik, menunjukkan adanya starting
point (titik awal) bagi tumbuhnya kesadaran berdemokrasi
Pancasila secara lugas. Meskipun diakui, masih ada kebingungan
kecil di kalangan awam yang memang terbiasa mengikuti
panutannya, namun Khittah memproses tumbuhnya kesadaran
berpoliitik secara struktural mau pun kultural. Kemudian akan
menyusul pula kesadaran berbangsa dan bernegara secara dinamis
dan plural.

Pemilu 1987 telah berlalu, mengantarkan bangsa Indonesia ke


tingkat lebih maju dan lebih dewasa di bidang politik, sekaligus di
bidang keamanan dan ketertiban. Pemilu yang lalu dapat
berlangsung aman dan tertib, tanpa rasa resah dan gelisah. Insiden
kekerasan tidak menonjol seperti halnya terjadi pada Pemilu 1982.

NU pasca Muktamar Situbondo berarti telah melalui masa transisi


yang paling rumit dan rawan. Ini tidak berarti bahwa NU telah
selesai secara total menjalani masa transisi. Masih perlu waktu
cukup panjang, untuk rnengubah wawasan warga NU kepada
orientasi Khittah 26. Dari aspek politik saja, perubahan wawasan
itu belum merata. Padahal aspek-aspek lain yang dihadapi makin
beragam. Semuanya memerlukan jawaban dalam bentuk ikhtiar
kerja nyata. Bila tidak segera dipikirkan, akan makin sulit mencari
alternatif pemecahannya.

Menurut ukuran waktu, NU pasca Muktamar Situbondo memang


sudah setengah periode lebih sampai saat ini. Suatu waktu yang
relatif lama atau panjang. Namun sesuai dengan watak masa
transisi NU pasca Pemilu masih perlu membenahi diri. Bahkan
sekali lagi masih diperlukan reorientasi pada Khittah 26 secara
tuntas, untuk lebih mengarah pada aplikasi program hasil
muktamar Situbondo dalam kenyataan sosial yang berkembang,
utamanya warga NU sendiri.

Pendalaman Khittah 26 untuk menumbuhkan kesamaan persepsi


dan wawasan yang luas di kalangan warga NU, dengan demikian
tidak dapat ditawar lagi. Bagaimana NU sebagai organisasi
kemasyarakatan, sebagai organisasi keagamaan Islam Aswaja
dengan pendekatan mazhab dan sebagai organisasi (bukan hanya
gerakan murni [mahdlah] atau sebagai subkultur), perlu dikaji lagi
berdasar Khittah 26. Bagairnana pula sikap kemasyarakatan NU
dalam berbangsa dan bernegara dipahami dan disosialisasikan
sesuai dengan Khittah 26, agar warga NU mempunyai sikap
akomodatif dan integratif, yang bermuara pada kemampuan
berintegrasi secara nasional. Keberadaan NU di tengah-tengah
masyarakat Indonesia yang majemuk ini, dengan demikian selalu
aktual.

NU di semua jajaran, dengan berorientasi pada Khittah 26 harus


mampu melihat kenyataan yang berkembang dan melihat jauh ke
depan dengan analisis antisipatif. Lebih penting lagi, ia harus
mampu mengkonsolidasi diri sebagai organisasi dan
mengidentifikasi potensi yang dimiliki.

Kiranya cukup banyak potensi yang dimiliki NU. Dari sisi


kuantitas dengan jumlah warga dan simpatisannya yang begitu
banyak dan tersebar hampir di semua sektor kehidupan,
merupakan potensi yang tidak kecil. Dari sisi kualitas secara
umum, sumber daya manusia profesional sudah mulai banyak
tumbuh. Tenaga motivator baik dengan keterampilan tabligh,
dakwah, mau pun dengan wibawa serta pengaruh para ulama dan
kiainya, juga merupakan potensi yang tidak asing

lagi dan sangat diperlukan. Lembaga pendidikan NU, pesantren,


madrasah dan perguruan tinggi begitu sulit dihitung secara konkrit
karena banyaknya.

Pada bidang ekonomi, dari pengamatan global secara hipotesis


bisa dikatakan, persentase warga NU yang ada pada garis ekonomi
menengah lebih banyak. Potensi itu justru mudah dikembangkan
untuk menunjang peningkatan taraf hidup masyarakat yang
berekonomi lemah.

Sedangkan untuk menghadapi transformasi kultural, NU memiliki


daya tangkal yang tangguh menghadapi pengaruh budaya luar,
untuk melestarikan budaya nasional dan kepribadian bangsa
Indonesia. Potensi dimaksud adalah ajaran dan nilai-nilai Islam
Aswaja yang memang tidak bertentangan dengan falsafah bangsa
dan negara, yaitu Pancasila.

Masalahnya sekarang, mampukah NU mendayagunakan potensi-


potensi tersebut dengan pengorganisasian dan dengan kemampuan
manajerial yang strategis, terpadu, utuh dan lumintu secara
maksimal untuk kemaslahatan umat? Apalah artinya potensi
sebagai potensi bila tidak diupayakan daya manfaatnya secara
operasional? Untuk mendayamanfaatkan potensi-potensi itu tidak
mungkin dilakukan hanya dengan cara sporadis dan alami. Namun
diperlukan keterampilan manajerial, pengorganisasian yang bisa
memproyeksikan suatu program rintisan yang aktual dan
kontekstua1 bagi kemaslahatan umat dan warga NU.

Kemampuan memaksimalkan potensi diri itu, disebut dengan


istilah "aktualisasi diri". Aktualisasi diri bagi NU berarti
"Aktualisasi Khittah 26" secara utuh dan terpadu. Untuk itu
diperlukan perencanaan dan pentahapan yang semuanya harus
jelas strateginya, tujuannya, metode dan pendekatan masalahnya.
Suatu sistematisasi proses interaksi dari serangkaian kegiatan yang
mengarah pada aktualisasi diri NU, untuk mencapai kemaslahatan
masyarakat, perlu diupayakan secara kongkrit dan realistis.

Sistematisasi itu sekurangnya dimulai dari diskripsi masyarakat


desa (warga NU) secara utuh dari aspek-aspek budaya,
pendidikan, ekonomi alam, masalah yang terjadi kini dan esok,
sekaligus mengidentifikasi potensi yang ada serta kemungkinan
penggalian potensi baru. Baru kemudian merencanakan alternatif-
alternatif pemecahan masalah yang didukung oleh potensi
dimaksud. Penentuan alternatif yang paling mudah dan tepat
sasaran akan memperlancar suatu upaya penyelesaian masalah.
Namun begitu, akan masih tergantung pada rencana berikutnya,
yaitu teknis operasional yang menyangkut metode pendekatan dan
tenaga pengelolanya.

Bila semua yang tersebut di atas sudah dapat dilakukan, barulah


menyusun program secara konseptual, yang mesti ditindaklanjuti
dengan langkah yang kongkrit. Suatu program konseptual yang
tidak didukung oleh sistematisasi proses interaksi dari serangkaian
kegiatan seperti di atas, biasanya sulit diproyeksikan dalam bentuk
yang kongkrit. Akhirnya program itu hanya bersifat utopis atau
hanya merupakan daftar keinginan.

Untuk mengaktualkan Khittah 26, tentu saja diperlukan keutuhan,


keterpaduan potensi semua eksponen dalam NU, setelah lebih
dahulu ada kesamaan persepsi dan wawasan Khittah. Dalam hal
ini disadari atau tidak, pada masing-masing eksponen NU pasti
mempunyai kelebihan dan sekaligus kekurangan sebagaimana
fitrah manusia itu sendiri. Tidak ada yang mempunyai kelebihan
atau kekurangan absolut. Tidak seharusnya, ada yang menghargai
dirinya lebih daripada semestinya. Begitu pula di dalam
menghargai orang lain. Oleh karenanya, tidak terjadi di kalangan
NU, adanya kesenjangan antara kelompok profesi tertentu dengan
profesi lain. Ulama dan kiai NU bersama kelompok cendekiaiwan
NU (non-Ulama) harus bekerja sama dan saling berdialog secara
lumintu dan menyatu dalam mengaktualisasikan diri, mengingat
luasnya permasalahan yang dihadapi NU dan warganya.

Satu di antara sekian identitas ulama Aswaja (NU) menurut Imam


al-Ghazali, adalah "peka terhadap ke maslahatan makhluk". Ini
berarti bahwa para ulama NU harus mempunyai kepekaan sosial
yang tinggi. Tumbuhnya kepekaan sosial itu sendiri memerlukan
proses, tidak tumbuh secara otomatis. Namun diperlukan wawasan
yang jeli tetapi luas.

Untuk itu diperlukan sekurang-kurangnya informasi dan


pengertian tuntas tentang makin luasnya perkembangan sosial.
Untuk menunjangnya, perlu berbagai disiplin ilmu, bukan saja
dalam lingkup ilmu sosial, namun juga meliputi ilmu-ilmu lain
yang lebih luas lagi. Karena semua sektor kehidupan masyarakat
maju atau yang sedang berkembang seperti di Indonesia, satu
dengan yang lain -meskipun dapat dibedakan menurut
diferensiasinya- tidak bisa dipisah-pisahkan. Semuanya saling
menunjang dan melengkapi, bahkan satu dengan lainnya berada
pada garis lingkar balik yang sulit dipotong.

Di sinilah, kerjasama antara ulama dan cendekiawan NU di satu


pihak dan dengan umara' (plus ABRI) dan lembaga swasta yang
lain mutlak diperlukan, meskipun masing-masing berada pada
posisi yang berbeda. Apalagi NU dalam mengaktualisasikan
Khittah 26 itu, berarti melakukan upaya kemaslahatan umat yang
berakhir pada titik optimalnya, sa'adatud darain. 

www.kmnu.org - Copyright © KMNU Cairo - Egypt  


 
Apa itu ‘Khittah NU’?
Leave a Comment / Keislaman / By ke-nu-an
oleh Nur Kholik Ridwan *)

Kata khittah berasal dari akar kata khaththa, yang bermakna menulis dan


merencanakan. Kata khiththah kemudian bermakna garis dan thariqah (jalan)”.
Kata khiththah ini sangat dikenal kalangan masyarakat Nahdliyin, terutama sejak tahun
1984. Pada tahun 1984 itu, NU menyelenggarakan Muktamar ke-27 di Situbondo.
Muktamarin berhasil memformulasikan garis-garis perjuangan NU yang sudah lama ada
ke dalam formulasi yang disebut sebagai “Khittah NU”. Sekarang, kata ini telah umum
dipakai, tidak sebatas komunitas NU. Penggunaan maknanya mengacu pada prinsip,
dasar ataupun pokok.
Sebagai formulasi yang kemudian menjadi rumusan “Khittah NU”, maka tahun 1984
bukan tahun kelahirannya. Kelahiran khittah NU sebagai garis, nilai-nilai, dan jalan
perjuangan, ada bersamaan dengan tradisi dan nilai-nilai di pesantren dan masyarakat
NU. Keberadaannya jauh sebelum tahun 1984, bahkan juga sebelum NU berdiri
sekalipun dalam bentuk tradisi turun temurun dan melekat secara oral dan akhlak.
Selain penggunaan kata “Khittah NU”, kadang-kadang juga digunakan kata “Khittah 26”.
Kata “khittah 26” ini merujuk pada garis, nilai-nilai, dan model perjuangan NU yang
dipondasikan pada tahun 1926 ketika NU didirikan. Pondasi perjuangan NU tahun 1926
adalah sebagai gerakan sosial-keagamaan.

Hanya saja, garis perjuangan sosial keagamaan ini, mengalami perubahan ketika NU
bergerak di bidang politik praktis.

Pengalaman NU ke dalam politik praktis, terjadi ketika NU menjadi partai politik sendiri
sejak 1952. Setelah itu NU melebur ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan)
sejak 5 Januari 1973. Ketika NU menjadi partai politik, banyak kritik yang muncul dari
kalangan NU sendiri, yang salah satunya menyebutkan bahwa “elit-elit politik” dianggap
tidak banyak mengurus umat. Kritik-kritik ini berujung pada perjuangan dan perlunya
kembali kepada khittah.

Perjuangan kembali pada khittah sudah diusahakan sejak akhir tahun 1950-an.
Contohnya, pada Muktamar NU ke-22 di Jakarta tanggal 13-18 Desember 1959,
seorang wakil cabang NU Mojokerto bernama KH Achyat Chalimi telah
menyuarakannya. KH. Achyat mengingatkan peranan partai politik NU telah hilang,
diganti perorangan, hingga partai sebagi alat sudah kehilangan kekuatannya. Kiai
Achyat mengusulkan agar NU kembali ke khittah pada tahun 1926. Hanya saja, usul itu
tidak diterima sebagai keputusan muktamar.

Kelompok “pro jam`iyah” pada tahun 1960 menggunakan warta berkala Syuriyah untuk
menyuarakan perlunya NU kembali ke khittah. Gagasan agar NU kembali ke khittah juga
disuarakan kembali pada Muktamar NU ke-23 tahun 1962 di Solo. Akan tetapi gagasan
tersebut banyak ditentang oleh muktamirin yang memenangkan NU sebagai partai
politik.

Pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya tahun 1971, gagasan mengembalikan NU ke


khittah muncul kembali dalam khutbah iftitâh Rais Am, KH. Abdul Wahab Hasbullah.
Saat itu Mbah Wahab mengajak muktamirin untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebagai
gerakan sosial-keagamaan. Akan tetapi kehendak muktamirin, lagi-lagi, tetap
mempertahankan NU sebagai partai politik.

Gagasan kembali ke khittah semakin mendapat tempat pada Muktamar NU ke-26 di


Semarang (5-11 Juni 1979). Meski Muktamirin masih mempertahankan posisi NU
sebagai bagian dari partai politik (di dalam PPP), tetapi muktamirin menyetujui program
yang bertujuan menghayati makna dan seruan kembali ke khittah 26.

Di Semarang ini pula tulisan KH. Achmad Shidiq tentang Khittah Nahdliyah telah dibaca
aktivis-aktivis NU dan ikut mempopulerkan kata khittah.

Gagasan kembali ke Khittah NU semakin nyata setelah Munas Alim Ulama di Kaliurang
tahun 1981 dan di Situbondo tahun 1983. Pada Munas Alim Ulama di Situbono itu
bahkan dibentuk “Komisi Pemulihan Khittah NU”. Komisi ini dipimpin KH Chamid
Widjaya, sekretaris HM Said Budairi, dan wakil sekretaris H. Anwar Nurris.

Komisi ini berhasil menyepakati “Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila,” kedudukan
ulama di dalamnya, hubungan NU dan politik, dan makna Khittah NU 1926. Hasil-hasil
dari Munas Alim Ulama ini kemudian ditetapkan sebagi hasil Muktamar NU ke-27 di
Situbondo tahun 1984 setelah melalui diskusi dan perdebatan yang intens. Muktamar
NU di Situbondo inilah yang berhasil memformulasikan rumusan Khittah NU.

Formulasi rumusan Khittah NU di Situbondo ini sangat monumental karena menegaskan


kembalinya NU sebagai jam`iyah diniyah-ijtima`iyah. Rumusan ini mencakup pengertian
Khittah NU, dasar-dasar paham keagamaan NU, sikap kemasyarakatan NU, perilaku
yang dibentuk oleh dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU, ihtiar-ihtiar
yang dilakukan NU, fungsi ulama di dalam jam`iyah, dan hubungan NU dengan bangsa.

Dalam formulasi itu, ditegaskan pula bahwa jam`iyah secara orgnistoris tidak terikat
dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatn manapun. Sementara dalam
paham keagamaan, NU menegaskan sebagai penganut Ahlussunnah Waljama`ah
dengan mendasarkan pahamnya pada sumber Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas.
Dalam menafsirkan sumber-sumber itu, NU menganut pendekatan madzhab dengan
mengikuti madzhab Ahlussunnah Waljama`ah (Aswaja) di bidang akidah, fiqih dan
tasawuf.

Di bidang akidah, NU mengikuti dan mengakui paham Aswaja yang dipelopori Imam
Abu Hasan al-Asy`ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Di bidang fiqih NU mengakui
madzhab empat sebagai paham Aswaja yang masih bertahan sampai saat ini.

Di bidang tasawuf NU mengikuti imam al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, dan imam-imam


lain. Dalam penerapan nilai-nilai Aswaja, Khittah NU menjelaskan bahwa paham
keagamana NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik dan sudah ada. NU
dengan tegas menyebutkan tidak bermaksud menghapus nilai-nilai tersebut. Dari sini
aspek lokalitas NU sangat jelas dan ditekankan.
Dalam sikap kemasyarakatan, Khittah NU menjelaskan 4 prinsip Aswaja: tawasut (sikap
tengah) dan i’tidal (berbuat adil), tasamuh (toleran terhadap perbedaan pandangan),
tawazun (seimbang dalam berkhidmat kepada Tuhan, masyarakat, dan sesama umat
manusia), dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah
keburukan).

Fungsi ulama juga ditegaskan kembali oleh Khittah NU sebagai rantai pembawa paham
Islam Ahlussunnah Waljama`ah. Ulama dalam posisi itu ditempatkan sebagai pengelola,
pengawas, dan pembimbing utama jalannya organisasi. Fungsi ulama ini tidak
dimaksudkan sebagai penghalang kreativitas, tetapi justru sebaliknya: untuk mengawal
kreativitas.

Dalam hubungannya dengan kreativitas itu, Khittah NU menyebutkan bahwa jam`iyah


NU harus: siap menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa
kemaslahatan; menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu, dan
mempercepat perkembangan masyarakat; menjunjung tinggi kebersamaan masyarakat;
menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan para ahlinya.

Khittah NU juga menegaskan aspek penting kaitannya dengan bangsa. Dalam soal ini,
setiap warga NU diminta menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi
Pancasila dan UUD 45. Sebagai bagian dari umat Islam Indonesia, masyarakat NU
diminta senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan, tasamuh,
kebersamaan dan hidup berdampingan. Ini disadari karena Indonesia dan umat Islam
Indonesia sendiri sangat majemuk.

Tampak sekali cita-cita Khittah NU yang diformulasikan tahun 1984 itu begitu luhur.
Juga tampak Khittah NU menegaskan posisinya sebagai gerakan sosial keagamaan
yang akan mengurus masalah-masalah umat. Hanya saja, dalam praktik, tarikan politik
praktis selalu menjadi dinamika yang mempengaruhi eksistensi jam`iyah NU. Di titik-titik
demikian, Khittah NU selalu menghadapi kenyataan krisis, pertarungan internal, dan
sekaligus dinamis di tengah kebangsaan dan dunia global. Sumber: NU Online

Anda mungkin juga menyukai