Kata
khiththah kemudian bermakna garis dan thariqah (jalan)”. <>Kata khiththah ini sangat dikenal
kalangan masyarakat Nahdliyin, terutama sejak tahun 1984. Pada tahun 1984 itu, NU
menyelenggarakan Muktamar ke-27 di Situbondo. Muktamarin berhasil memformulasikan garis-
garis perjuangan NU yang sudah lama ada ke dalam formulasi yang disebut sebagai “Khittah
NU”. Sekarang, kata ini telah umum dipakai, tidak sebatas komunitas NU. Penggunaan
maknanya mengacu pada prinsip, dasar ataupun pokok. Sebagai formulasi yang kemudian
menjadi rumusan “Khittah NU”, maka tahun 1984 bukan tahun kelahirannya. Kelahiran khittah
NU sebagai garis, nilai-nilai, dan jalan perjuangan, ada bersamaan dengan tradisi dan nilai-nilai
di pesantren dan masyarakat NU. Keberadaannya jauh sebelum tahun 1984, bahkan juga sebelum
NU berdiri sekalipun dalam bentuk tradisi turun temurun dan melekat secara oral dan akhlak.
Selain penggunaan kata “Khittah NU”, kadang-kadang juga digunakan kata “Khittah 26”. Kata
“khittah 26” ini merujuk pada garis, nilai-nilai, dan model perjuangan NU yang dipondasikan
pada tahun 1926 ketika NU didirikan. Pondasi perjuangan NU tahun 1926 adalah sebagai gerakan
sosial-keagamaan. Hanya saja, garis perjuangan sosial keagamaan ini, mengalami perubahan
ketika NU bergerak di bidang politik praktis. Pengalaman NU ke dalam politik praktis, terjadi
ketika NU menjadi partai politik sendiri sejak 1952. Setelah itu NU melebur ke dalam PPP (Partai
Persatuan Pembangunan) sejak 5 Januari 1973. Ketika NU menjadi partai politik, banyak kritik
yang muncul dari kalangan NU sendiri, yang salah satunya menyebutkan bahwa “elit-elit politik”
dianggap tidak banyak mengurus umat. Kritik-kritik ini berujung pada perjuangan dan perlunya
kembali kepada khittah. Perjuangan kembali pada khittah sudah diusahakan sejak akhir tahun
1950-an. Contohnya, pada Muktamar NU ke-22 di Jakarta tanggal 13-18 Desember 1959,
seorang wakil cabang NU Mojokerto bernama KH Achyat Chalimi telah menyuarakannya. KH.
Achyat mengingatkan peranan partai politik NU telah hilang, diganti perorangan, hingga partai
sebagi alat sudah kehilangan kekuatannya. Kiai Achyat mengusulkan agar NU kembali ke khittah
pada tahun 1926. Hanya saja, usul itu tidak diterima sebagai keputusan muktamar. Kelompok
"pro jam`iyah" pada tahun 1960 menggunakan warta berkala Syuriyah untuk menyuarakan
perlunya NU kembali ke khittah. Gagasan agar NU kembali ke khittah juga disuarakan kembali
pada Muktamar NU ke-23 tahun 1962 di Solo. Akan tetapi gagasan tersebut banyak ditentang
oleh muktamirin yang memenangkan NU sebagai partai politik. Pada Muktamar NU ke-25 di
Surabaya tahun 1971, gagasan mengembalikan NU ke khittah muncul kembali dalam khutbah
iftitâh Rais Am, KH. Abdul Wahab Hasbullah. Saat itu Mbah Wahab mengajak muktamirin
untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebagai gerakan sosial-keagamaan. Akan tetapi kehendak
muktamirin, lagi-lagi, tetap mempertahankan NU sebagai partai politik. Gagasan kembali ke
khittah semakin mendapat tempat pada Muktamar NU ke-26 di Semarang (5-11 Juni 1979).
Meski Muktamirin masih mempertahankan posisi NU sebagai bagian dari partai politik (di dalam
PPP), tetapi muktamirin menyetujui program yang bertujuan menghayati makna dan seruan
kembali ke khittah 26. Di Semarang ini pula tulisan KH. Achmad Shidiq tentang Khittah
Nahdliyah telah dibaca aktivis-aktivis NU dan ikut mempopulerkan kata khittah. Gagasan
kembali ke Khittah NU semakin nyata setelah Munas Alim Ulama di Kaliurang tahun 1981 dan
di Situbondo tahun 1983. Pada Munas Alim Ulama di Situbono itu bahkan dibentuk “Komisi
Pemulihan Khittah NU”. Komisi ini dipimpin KH Chamid Widjaya, sekretaris HM Said Budairi,
dan wakil sekretaris H. Anwar Nurris. Komisi ini berhasil menyepakati “Deklarasi Hubungan
Islam dan Pancasila,” kedudukan ulama di dalamnya, hubungan NU dan politik, dan makna
Khittah NU 1926. Hasil-hasil dari Munas Alim Ulama ini kemudian ditetapkan sebagi hasil
Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 setelah melalui diskusi dan perdebatan yang
intens. Muktamar NU di Situbondo inilah yang berhasil memformulasikan rumusan Khittah NU.
Formulasi rumusan Khittah NU di Situbondo ini sangat monumental karena menegaskan
kembalinya NU sebagai jam`iyah diniyah-ijtima`iyah. Rumusan ini mencakup pengertian Khittah
NU, dasar-dasar paham keagamaan NU, sikap kemasyarakatan NU, perilaku yang dibentuk oleh
dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU, ihtiar-ihtiar yang dilakukan NU, fungsi
ulama di dalam jam`iyah, dan hubungan NU dengan bangsa. Dalam formulasi itu, ditegaskan
pula bahwa jam`iyah secara orgnistoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi
kemasyarakatn manapun. Sementara dalam paham keagamaan, NU menegaskan sebagai
penganut Ahlussunnah Waljama`ah dengan mendasarkan pahamnya pada sumber Al-Qur’an,
sunnah, ijma’ dan qiyas. Dalam menafsirkan sumber-sumber itu, NU menganut pendekatan
madzhab dengan mengikuti madzhab Ahlussunnah Waljama`ah (Aswaja) di bidang akidah, fiqih
dan tasawuf. Di bidang akidah, NU mengikuti dan mengakui paham Aswaja yang dipelopori
Imam Abu Hasan al-Asy`ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Di bidang fiqih NU mengakui
madzhab empat sebagai paham Aswaja yang masih bertahan sampai saat ini. Di bidang tasawuf
NU mengikuti imam al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, dan imam-imam lain. Dalam penerapan
nilai-nilai Aswaja, Khittah NU menjelaskan bahwa paham keagamana NU bersifat
menyempurnakan nilai-nilai yang baik dan sudah ada. NU dengan tegas menyebutkan tidak
bermaksud menghapus nilai-nilai tersebut. Dari sini aspek lokalitas NU sangat jelas dan
ditekankan. Dalam sikap kemasyarakatan, Khittah NU menjelaskan 4 prinsip Aswaja: tawasut
(sikap tengah) dan i’tidal (berbuat adil), tasamuh (toleran terhadap perbedaan pandangan),
tawazun (seimbang dalam berkhidmat kepada Tuhan, masyarakat, dan sesama umat manusia),
dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan). Fungsi
ulama juga ditegaskan kembali oleh Khittah NU sebagai rantai pembawa paham Islam
Ahlussunnah Waljama`ah. Ulama dalam posisi itu ditempatkan sebagai pengelola, pengawas, dan
pembimbing utama jalannya organisasi. Fungsi ulama ini tidak dimaksudkan sebagai penghalang
kreativitas, tetapi justru sebaliknya: untuk mengawal kreativitas. Dalam hubungannya dengan
kreativitas itu, Khittah NU menyebutkan bahwa jam`iyah NU harus: siap menyesuaikan diri
dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan; menjunjung tinggi kepeloporan dalam
usaha mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakat; menjunjung tinggi
kebersamaan masyarakat; menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan para ahlinya. Khittah NU
juga menegaskan aspek penting kaitannya dengan bangsa. Dalam soal ini, setiap warga NU
diminta menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 45.
Sebagai bagian dari umat Islam Indonesia, masyarakat NU diminta senantiasa berusaha
memegang teguh prinsip persaudaraan, tasamuh, kebersamaan dan hidup berdampingan. Ini
disadari karena Indonesia dan umat Islam Indonesia sendiri sangat majemuk. Tampak sekali cita-
cita Khittah NU yang diformulasikan tahun 1984 itu begitu luhur. Juga tampak Khittah NU
menegaskan posisinya sebagai gerakan sosial keagamaan yang akan mengurus masalah-masalah
umat. Hanya saja, dalam praktik, tarikan politik praktis selalu menjadi dinamika yang
mempengaruhi eksistensi jam`iyah NU. Di titik-titik demikian, Khittah NU selalu menghadapi
kenyataan krisis, pertarungan internal, dan sekaligus dinamis di tengah kebangsaan dan dunia
global. [Nur Kholik Ridwan]
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/39709/khittah-nu
Dalam muktamar ke-27 yang berlangsung di Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo
tahun 1984, NU menyatakan diri kembali ke khittah. Apa makna khittah tersebut? yaitu kembali
menjadi organisasi keagamaan, karena dalam kurun waktu 1952-1984 NU berposisi sebagai
partai politik. Pada periode tersebut, NU melakukan eksprimen untuk memperjuangkan rakyat
dengan cara-cara politik praktis, tetapi ternyata hasil yang dicapai tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Dengan kembali memposisikan diri sebagai organisasi keislaman sebagaimana
ketika dilahirkan pada 1926 sebagai jamiyyah diniyah ijtimaiyah, maka bidang garapannya
menjadi semakin luas dan beragam. Bidang keagamaan, sosial, budaya, ekonomi, dan sebagainya
secara langsung dalam masyarakat. Sementara itu, bidang politik praktis yang sebelumnya
menjadi alat utama, berubah menjadi politik kebangsaan atau politik tingkat tinggi, yang
tujuannya bukan untuk merebut kekuasaan, tetapi untuk mempertahankan eksistensi Indonesia,
untuk menjaga kebinekaan, dan mengejar cita-cita Indonesia sebagai bangsa yang maju dan
beradab. Dalam berbagai kesempatan, khittah NU selalu dibicarakan, terutama saat menjelang
kontestasi politik. Terkadang bukan untuk mengingatkan kembali tujuan khittah yang sebenarnya,
tetapi untuk menjegal lawan politik dengan menggunakan senjata khittah ketika salah satu calon
dianggap sebagai pengurus NU dan menggunakan posisinya untuk keuntungan politik kekuasaan.
Ini juga menjadi tugas bersama untuk mendefinisikan khittah secara tegas terkait dengan politik
praktis, biar tidak mulur-mrungket atau jadi pasal karet yang bisa digunakan untuk kepentingan
masing-masing. Apa yang sudah dilakukan oleh NU sebagai organisasi keagamaan, inilah yang
sesungguhnya perlu diteguhkan kembali dalam peringatan 33 tahun khittah, bahwa kerja-kerja
NU adalah kerja membangun masyarakat yang beradab dan sejahtera. Khittah, harus dijadikan
landasan dalam bersikap dan bertindak. Di tengah liberalisasi informasi saat ini, khittah
menemukan konteksnya untuk menjaga diri dengan menerima dan mengelola informasi secara
kritis. Untuk tetap fokus pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sejak semula karena demikian
besar godaan mengurusi hal-hal remeh-temeh, sesaat, tapi terlihat bombastis. Dalam
perjalanannya selama tiga dekade lebih, situasi dan kondisi sudah banyak berubah, rezim politik
sudah berubah dengan pemerintahan yang lebih menghargai keterbukaan, masyarakat lebih
terdidik dan lebih sejahtera. Teknologi yang perkembangannya sangat cepat juga telah merubah
cara hidup masyarakat. Upaya peneguhan kembali dan penanaman nilai-nilai khittah tersebut
harus dilakukan dalam konteks kekinian, pada generasi NU kekinian, yang mentalitas dan
tradisinya sudah berbeda jauh dengan orang tuanya dahulu. Anak kita bulan milik kita, dia adalah
milik zamannya, demikian kata-kata bijak yang bisa menjadi pelajaran. Upaya sosialisasi khittah
tersebut harus dilakukan secara massif dan menyeluruh, dengan melakukan pengkaderan dan
pembekalan kepada para pengurus serta melalui forum kultural warga NU. Forum-forum
pengkaderan harus terus digalakkan. Dalam banyak hal, seharusnya upaya disseminasi dan
sosialisasi khittah seharusnya lebih mudah seiring dengan kemajuan teknologi. Tantangan
sesungguhnya adalah perubahan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat seperti individualisme,
pragmatisme, dan hedonisme. Tentunya, yang terpenting adalah bagaimana nilai-nilai inti khittah
untuk melayani umat tersebut dapat terimplementasikan dengan baik. Dalam setiap muktamar
NU, selalu dijabarkan program-program prioritas. Hasil Muktamar ke-33 NU 2015 di Jombang
mengamanatkan sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi sebagai program prioritas. Inilah
yang harus dilaksanakan dalam program-program yang konkret. Pengembangan perguruan tinggi
NU dan perbaikan kualitas sekolah-sekolah dasar dan menengah di lingkungan NU merupakan
upaya riil yang harus terus dilakukan. Dalam bidang kesehatan, pendirian rumah sakit dan
layanan kesehatan lain serta advokasi kebijakan-kebijakan yang mendorong tercapai cakupan
layanan kesehatan universal kepada seluruh warga negara Indonesia merupakan bentuk nyata
yang bisa dilakukan. Dalam bidang ekonomi, upaya pembentukan badan usaha milik NU dan
memberikan akses pasar dan permodalan bagi dunia usaha milik warga NU merupakan komitmen
yang harus diwujudkan sebagai bentuk nyata perhatian NU kepada warganya. Di tengah
gencarnya aliran-aliran keislaman lain yang dengan bebas masuk Indonesia dari luar negeri yang
biasa disebut Islam transnasional, bentuk nyata penyapaan warga NU dengan program-program
yang nyata akan menjaga mereka tetap teguh menjaga dan mengamalkan nilai-nilai NU. Inilah
Islam ala Indonesia, yang kita yakini mampu memadukan antara nilai-nilai keislaman dan
nasionalisme. Yang relevan dengan dunia kekinian yang semakin terintegrasi secara global
seiring dengan kemajuan teknologi. Inilah peneguhan khittah yang sesungguhnya. (Mukafi Niam)
Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/74629/meneguhkan-kembali-khittah-nu
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyah Diniyah (organisasi Keagamaan) wadah bagi para
Ulama dan pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab 1344 H / 31 Januari 1926 M di
Surabaya. NU didirikan atas dasar kesadaran bahwa setiap manusia hanya dapat memenuhi
kebutuhannya, bila hidup bermasyarakat.
NU didirikan dengan tujuan memelihara, melestarikan, mengembangkan dan
mengamalkan ajaran Islamyang berhaluan Ahlusunnah Wal Jama’ah dengan menganut salah
satu dari empat madzhab: Maliki, Hambali, Hanafi, Syafi’i, serta mempersatukan langkah
Ulama dan pengikutnya dan melakukan kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan umat, kemajuan bangsa, dan ketinggian harkatdan martabat manusia.
Dengan demikian maka NU menjadi gerakan keagamaan yang bertujuan ikut
membangun insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada Allah SWT, cerdas, terampil,
berakhlaq mulia, tenteram, adil dan sejahtera. NU mewujudkan cita cita dan tujuannya
melalui serangkaian ikhtiar yang di dasari oleh dasar dasar faham keagamaan yang
membentuk kepribadian khas NU. Inilah yang kemudian disebut sebagai khittah Nahdlatul
Ulama.
Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU,
akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain-lain.Dalam hal ini penulis
akan membahas tentang khittah NU dan gerakan-gerakan NU.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam pembahasan
makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Apa Pengertian Khittah NU?
2. Bagaimana Latar Belakang Kembali ke Khittah NU 1926?
3. Kapan dicetuskan kembalinya NU ke Khittah 1926 dan bagaimana bentuknya?
4. Bagaimana Gerakan Politik NU Setelah Khittah?
5. Bagaimana Gerakan Kultur NU?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut :
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah ke-NU-an
2. Untuk mengetahui pengertian tentang Khittah NU
3. Untuk mengetahui latar belakang kembalinya NU kepada Khittah 1926
4. Untuk mengetahui kapan NU kembali kepada Khittah 1926 dan bentuk-bentuk rumusannya
5. Untuk mengetahui gerakan politik NU setelah Khittah
6. Untuk mengetahui gerakan kultur NU setelah NU kembali kke Khittah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khittah NU
Kata khittah berasal dari akar kata khaththa, yang bermakna menulis dan
merencanakan. Kata khiththah kemudian bermakna garis dan thariqah (jalan)”.
Khittah NU adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus
dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses
pengambilan keputusan.Landasan tersebut adalah faham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah
yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan Indonesia,meliputi dasar dasar amal
keagamaan maupun kemasyarakatan.Khittah NU juga digalidari intisari perjalanan sejahtera
khidmahnya dari masa ke masa.Kata khiththah ini sangat dikenal kalangan masyarakat
Nahdliyin, terutama sejak tahun 1984.
2. Sikap Kemasyarakatan NU
Dasar dasar pendirian keagamaan NU menumbuhkan sikap kemasyarakatan sebagai berikut:
a. Sikap tawasuth dan I’tidal berintikan kepada prinsip hidup yang menjunjung tinggi
keharusan berlaku adil dan lurus di tengah tengah kehidupan bersama. NU dengan sikap
dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu
bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf
(ekstrim).
b. Sikap tasamuh sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik dalam masalah keagamaan,
terutama yang bersifat furu’ atau yang menjadi masalah khilafiyah serta dalam masalah
kemasyarakatan dan kebudayaan.
c. Sikap tawazun sikap seimbang dan berkhidmah, menyerasikan khidmah kepada ALLAH
SWT khidmah kepada sesama manusia serta lingkungan hidupnya. Menyelaraskan
kepentingan masa lalu dan masa kini serta masa yang akan datang
d. Sikap amar ma’ruf nahi munkar. Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang
baik berguna dan bermanfaat bagi kehidupan bersama serta menolak dan mencegah semua
hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai nilai kehidupan.
3. Perilaku yang dibentuk oleh dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU
a. Menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam
b. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi
c. Menjunjung tinggi sifat keikhlasan, berkhidmah dan berjuang
d. Menunjung tinggi persaudaraan (Al-Ukhuwah, persatuan (Al-Itihad) serta kasih mengasihi
e. Meluhurkan kemuliaan moral (Al Akhlakul karimah), dan menjunjung tinggi kejujuran
(Ash-shidqu) dalam berfikir, bersikap dan bertindak
f. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalotas) kepada agama, bangsa dan negara
g. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah
SWT
h. Menjunjung tinggi ilmu-ilu serta ahli-ahlinya
i. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan
manusia
j. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha, memacu dan mempercepat perkembangan
masyarakat
k. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara
3. Ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan NU :
a. Peningkatan silaturahmi/komunikasi antar ulama
b. Peningkatan kegiatan di bidang keilmuan/pengkajian/pendidikan
c. Peningkatan kegiatan penyiaran Islam, pembangunan sarana-sarana dan pelayanan sosial
d. Peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan yang terarah
4. Fungsi organisasi dan kepemimpinan ulama di NU yaitu sebagai alat untuk melakukan
koordinasi bagi terciptanya tujuan-tujuan yang telah ditentukan baik tujuan yang bersifat
keagamaan maupun kemasyarakatan.
5. NU dan kehidupan berbangsa
NU secara sadar mengambil posisi aktif dalam proses perjuangan mencapai dan
mempertahankan kemerdekaan, serta mewujudkan pembangunan menuju masyarakat adil
dan makmur yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang diridhoi oleh Allah SWT.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Khittah NU adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU yang harus
dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun organisasi serta dalam setiap proses
pengambilan keputusan.
2. Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini
ditandai keluarnya NU dari PPP dan kembali menjadi organisasi sosial keagamaan
sebagaimana saat didirikan, 31 Januari 1926.
3. Setelah Khittah NU tidak lagi ikut secara aktif dalam politik praktis tetapi lebih kepada
politik taktis.
4. Gerakan kultur NU lebih kepada upaya memajukan dan memberdayakan masyarakat.
B. Saran
1. Sebagai Jam’iyah Nahdlatul Ulama kita harus selalu mempertahankan kemurnian Islam
dengan jalan mengikuti faham Ahlussunnah Wal Jama’ah berdasar Al Qur’an, Assunnah,
Ijma’ dan Qiyas serta dengan pendekatan salah satu dari 4 madzhab.
2. Para pengurus NU yang tergabung dalam partai politik diharapkan selalu berpegang pada
Khittah NU 1926 dengan kerja kultural yaitu bekerja untuk memajukan masyarakat bukan
untuk memperebutkan kekuasaan, yaitu dengan membantu pengembangan kegiatan di bidang
da’wah, sosial maupun pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Pustaka Ma’arif NU. 2007. Islam Ahlussunnah Wal Jamaah di Indonesia. Jakarta.
Haryono Abu Syam. 1981. Pendidikan Nahdlatul Ulama. Surabaya. Cahaya Ilmu
Moxeeb’s.wordpress.com
http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/pusaka/ispustaka/buku07/020.htm
emka.web.id/ke-nu-an/2012/apa-itu-khittah-nu
[ KHMA. Sahal Mahfudh / Nuansa Fiqih Sosial ]
AKTUALISASI KHITTAH 26
HAMPIR semua eksponen NU sibuk memasyarakatkan Khittah
26, pada masa antara pasca-Muktamar NU ke-27 sampai dengan
Pemilu 1987. Pada tahap sosialisasi hasil muktamar itu kesibukan
beragam, terutama berkisar pada pembicaraan butir-butir yang
berkenaan dengan hubungan antara NU dan OPP (organisasi
peserta pemilu). Belum adanya kesiapan wawasan politik yang
luas di kalangan warga NU, sempat menimbulkan persepsi yang
berbeda-beda terhadap makna khittah dan penjabarannya secara
utuh.
***
Hanya saja, garis perjuangan sosial keagamaan ini, mengalami perubahan ketika NU
bergerak di bidang politik praktis.
Pengalaman NU ke dalam politik praktis, terjadi ketika NU menjadi partai politik sendiri
sejak 1952. Setelah itu NU melebur ke dalam PPP (Partai Persatuan Pembangunan)
sejak 5 Januari 1973. Ketika NU menjadi partai politik, banyak kritik yang muncul dari
kalangan NU sendiri, yang salah satunya menyebutkan bahwa “elit-elit politik” dianggap
tidak banyak mengurus umat. Kritik-kritik ini berujung pada perjuangan dan perlunya
kembali kepada khittah.
Perjuangan kembali pada khittah sudah diusahakan sejak akhir tahun 1950-an.
Contohnya, pada Muktamar NU ke-22 di Jakarta tanggal 13-18 Desember 1959,
seorang wakil cabang NU Mojokerto bernama KH Achyat Chalimi telah
menyuarakannya. KH. Achyat mengingatkan peranan partai politik NU telah hilang,
diganti perorangan, hingga partai sebagi alat sudah kehilangan kekuatannya. Kiai
Achyat mengusulkan agar NU kembali ke khittah pada tahun 1926. Hanya saja, usul itu
tidak diterima sebagai keputusan muktamar.
Kelompok “pro jam`iyah” pada tahun 1960 menggunakan warta berkala Syuriyah untuk
menyuarakan perlunya NU kembali ke khittah. Gagasan agar NU kembali ke khittah juga
disuarakan kembali pada Muktamar NU ke-23 tahun 1962 di Solo. Akan tetapi gagasan
tersebut banyak ditentang oleh muktamirin yang memenangkan NU sebagai partai
politik.
Di Semarang ini pula tulisan KH. Achmad Shidiq tentang Khittah Nahdliyah telah dibaca
aktivis-aktivis NU dan ikut mempopulerkan kata khittah.
Gagasan kembali ke Khittah NU semakin nyata setelah Munas Alim Ulama di Kaliurang
tahun 1981 dan di Situbondo tahun 1983. Pada Munas Alim Ulama di Situbono itu
bahkan dibentuk “Komisi Pemulihan Khittah NU”. Komisi ini dipimpin KH Chamid
Widjaya, sekretaris HM Said Budairi, dan wakil sekretaris H. Anwar Nurris.
Komisi ini berhasil menyepakati “Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila,” kedudukan
ulama di dalamnya, hubungan NU dan politik, dan makna Khittah NU 1926. Hasil-hasil
dari Munas Alim Ulama ini kemudian ditetapkan sebagi hasil Muktamar NU ke-27 di
Situbondo tahun 1984 setelah melalui diskusi dan perdebatan yang intens. Muktamar
NU di Situbondo inilah yang berhasil memformulasikan rumusan Khittah NU.
Dalam formulasi itu, ditegaskan pula bahwa jam`iyah secara orgnistoris tidak terikat
dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatn manapun. Sementara dalam
paham keagamaan, NU menegaskan sebagai penganut Ahlussunnah Waljama`ah
dengan mendasarkan pahamnya pada sumber Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas.
Dalam menafsirkan sumber-sumber itu, NU menganut pendekatan madzhab dengan
mengikuti madzhab Ahlussunnah Waljama`ah (Aswaja) di bidang akidah, fiqih dan
tasawuf.
Di bidang akidah, NU mengikuti dan mengakui paham Aswaja yang dipelopori Imam
Abu Hasan al-Asy`ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Di bidang fiqih NU mengakui
madzhab empat sebagai paham Aswaja yang masih bertahan sampai saat ini.
Fungsi ulama juga ditegaskan kembali oleh Khittah NU sebagai rantai pembawa paham
Islam Ahlussunnah Waljama`ah. Ulama dalam posisi itu ditempatkan sebagai pengelola,
pengawas, dan pembimbing utama jalannya organisasi. Fungsi ulama ini tidak
dimaksudkan sebagai penghalang kreativitas, tetapi justru sebaliknya: untuk mengawal
kreativitas.
Khittah NU juga menegaskan aspek penting kaitannya dengan bangsa. Dalam soal ini,
setiap warga NU diminta menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi
Pancasila dan UUD 45. Sebagai bagian dari umat Islam Indonesia, masyarakat NU
diminta senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan, tasamuh,
kebersamaan dan hidup berdampingan. Ini disadari karena Indonesia dan umat Islam
Indonesia sendiri sangat majemuk.
Tampak sekali cita-cita Khittah NU yang diformulasikan tahun 1984 itu begitu luhur.
Juga tampak Khittah NU menegaskan posisinya sebagai gerakan sosial keagamaan
yang akan mengurus masalah-masalah umat. Hanya saja, dalam praktik, tarikan politik
praktis selalu menjadi dinamika yang mempengaruhi eksistensi jam`iyah NU. Di titik-titik
demikian, Khittah NU selalu menghadapi kenyataan krisis, pertarungan internal, dan
sekaligus dinamis di tengah kebangsaan dan dunia global. Sumber: NU Online