Anda di halaman 1dari 4

PENGERTIAN KHITTAH NAHDLIYYAH

Khittah berasal dari bahasa Arab yang berarti 'garis'. Nahdliyyah artinya
cara pandang warga NU. Khittah Nahdliyyah menurut istilah
mengandung penjelasan sebagai berikut:

1. Khitthah Nahdlatul Ulama adalah landasan berfikir, bersikap, dan


bertindak warga Nahdlatul Ulama yang harus tercermin dalam
tingkah laku perseorangan, dalam perilaku organisasi, serta dalam
proses pengambilan keputusan.

2. Landasan berfikir, bersikap, dan bertindak tersebut


adalah Ahlussunnah wal Jama’ah  yang diterapkan menurut kondisi
kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar-dasar amal
keagamaan maupun kemasyarakatan.

3. Khitthah Nahdlatul Ulama juga digali dari intisari perjalanan sejarah


khidmahnya dari masa ke masa.

B. LATAR BELAKANG KHITTAH NAHDLIYYAH

Khittah NU sebenarnya sudah ada dan melekat bersamaan dengan


disyahkannya Statuten Perkoempoelan Nahdlatul
34
Oelama. Statuten  artinya aturan-aturan , dalam hal ini adalah Anggaran
Dasar dan Anggaran Rumah Tangga dalam organisasi NU. Walaupun
demikian perihal asal khittah NU dari Statuten Perkoempoelan Nahdlatul
Oelama  ini masih perlu dipertegas dan dibahas tersendiri.

K.H.Ahmad Shiddiq sebagai penggagas rumusan risalah Khittah


Nahdliyyah memegang perang sentral. Pada awalnya beliau menulis
rumusan risalah berjudul ‘Khittah Nahdliyyah’ pada tahun 1979. (Se-
belumnya memang muncul gagasan untuk kembali ke Khittah NU 1926
sebagai salah satu jalan keluar untuk mengatasi berbagai masalah yang
selalu muncul di NU, terutama problem politik). Meskipun demikian,
belum ada gambaran yang jelas tentang apa dan bagaimana khittah NU
1926 tersebut.

Risalah khittah nahdliyyah telah ditelaah dan didiskusikan secara


mendalam oleh berbagai kalangan di dalam NU. Risalah ini kemudian
disambut hangat oleh tokoh-tokoh muda Nahdlatul Ulama
sepertiAbdurrahman Wahid, Dr. Fahmi, Umar Basalim, Slamet Efendi
Yusuf, Ikhwan Sam, Said Budairi, Zamrani, Mahbub Junaidi, serta
beberapa tokoh muda lainnya. Mereka menyelenggarakan pertemuan
yang kemudian dikenal dengan nama “Majelis 24” yang akhirnya mem-
bentuk ”Tim Tujuh”. Tim inilah yang merancang masa depan Nahdlatul
Ulama dengan khittah. Agar mendapat formulasi yang sesuai dengan
harapan, rancangan yang dibuat Tim Tujuh dipadukan dengan
rancangan lain oleh ulama sepuh. Konsep hasil perpaduan ini kemudian
diramu kembali pada perhelatan Munas Alim Ulama 1983 yang
diselenggarakan di Asembagus Situbondo. Puncaknya kemudian
dimatangkan di Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada bulan Desember
1984, dengan hasil final berupa keputusan untuk kembali ke Khittah
1926.

Khittah Nahdliyyah sesungguhnya telah dipraktikkan dan diamalkan oleh


para ulama’ dan warga NU. Para ulama sebagai panutan umat
merumuskan nilai-nilai khittah secara tertulis sebagai pedoman amalan
dan pembelajaran terhadap generasi penerus. Khittah dirumus- kan
sebagai landasan berfikir, bersikap, dan bertindak warga NU yang harus
terwujud dalam kehidupan pribadi maupun organisasi serta dalam setiap
penentuan kebijakan.

Rumusan khittah NU dilandasi oleh mukaddimah yang mencermin- kan


latar belakang dan tujuan NU didirikan. Hal itu diketahui melalui
Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga NU. Dalam pasal
2 Statuten Poerkoempoelan Nahdlatoul Oelama, tujuan NU adalah
sebagai berikut:
Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe: “Memegang dengan tegoeh
pada salah satoe dari madzhabnja Imam ampat, jaitoe  Imam
Moehammad bin Idris, Asj-Sjafi’i, Imam Malik bin Anas,
Imam  Aboehanifah An-Noe’man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan
mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kamaslahatan agama
Islam.”  (Adapun maksud perkumpulan ini yaitu: “Memegang dengan
teguh pada salah satu dari mahzab empat imam, yaitu Imam
Muhammad bin Idris Asy Syafi’I (Imam Syafi’i), Imam Malik bin Anas
(Imam Maliki), Imam Abu Hanifah An Nu’man (Imam Hanafi) atau Imam
Ahmad bin Hambal (Imam Hambali).

Guna mencapai tujuan tersebut dirumuskan pula rincian usaha yang


hendak dijalankan yaitu melalui pasal 3 sebagai berikut:

Oentoek mentjapai maksoed perkoempoelan ini maka diadakan ichtiar:

1. Mengadakan perhoeboengan diantara ‘Oelama’-’Oelama’ jang

memadzhab terseboet dalam fatsal 2;

2. Memeriksa kitab-kitab sebeloemnja dipakai oentoek mengadjar,

soepaja dikatahoei apakah itoe dari pada kitab-kitabnja Ahli


Soennah wal Djama’ah atau kitab-kitabnja Ahli Bid’ah.

3. Menjiarkan Agama Islam di atas madzhab sebagai tersebut dalam


fatsal 2, dengan djalanan apa sadja jang baik.

4. Berichtiar memperbanjakkan Madrasah-Madrasah jang berdasar


Agama Islam.

5. Memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masdjid2,


langgar2 dan pondok2, begitoe djoega dengan hal-ahwalnja anak-
anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin.
6. Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan
pertanian, perniagaan dan peroesahaan, jang tiada dilarang oleh
sjara’ Agama Islam.

Dari rumusan tujuan dan rincian usaha yang dilakukan NU dapat ditarik
kesimpulan bahwa usaha-usaha NU mencakup: komunikasi antarulama,
kegiatan di bidang keilmuan pengkajian dan pendidikan, peningkatan
penyiaran Islam (dakwah), pembangunan sarana prasarana peribadatan
dan pelayanan sosial, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat.
Dengan kata lain, tujuan dan program awal NU memang berwatak sosial
keagamaan, bukan sosial politik.

Anda mungkin juga menyukai