Anda di halaman 1dari 18

KHITTAH NU

Dosen Pembimbing : Slamet Pujiono, M.Pd

Disusun Oleh :

1. Ilham Mazid (2254209017)


2. Nanang Hudawi (2254209025)

PROGRAM STUDI SAINS PERTANIAN


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS NURUL HUDA
OKU TIMUR
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penyusun haturkan kehadirat Allah SWT, karena


rahmat dan hidayah-Nya makalah ini dapat diselesaikan sesuai dengan rencana.
Dalam Karya Ilmiah ini, penyusun membahas mengenai “KHITTAH NU” ini
sebagai pemenuhan tugas dari Dosen Pengampu Mata Kuliah Keaswajaan
Universitas Nurul Huda Sukaraja.

Selama penyusunan makalah ini banyak kendala yang dihadapi, namun


berkat bimbingan serta bantuan berbagai pihak semua kendala tersebut dapat
teratasi. Pada kesempatan ini dengan ketulusan hati, penulis ingin menyampaikan
rasa terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada yang terhormat Bapak Slamet
Pujiono, M.Pd Dosen Pengampu Mata Kuliah Keaswajaan yang telah
memberikan bimbingan serta arahan dalam mengerjakan makalah ini, Teman-
teman yang telah memberikan dukungan serta bantuan, dan semua pihak yang
telah membantu dalam proses penulisan makalah ini.

Penulis menyadari sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan. Maka dari itu, Penulis juga sangat mengharapkan kritik dan saran
dari para pembaca sehingga penulis dapat memperbaiki kesalahan-kesalahan
dalam penyusunan karya tulis ilmiah selanjutnya.

Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran


bagi pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang
diharapkan dapat tercapai, Aamiin.

Sukaraja, Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................................................................

KATA PENGANTAR...........................................................................................

DAFTAR ISI.......................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.....................................................................................
B. Rumusan Masalah.............................................................................................
C. Tujuan Masalah...............................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Madrasah dan Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam…………………


B. Fungsi Madrasah dalam Mentranmisikan Ilmu Pengetahuan
Agama………………

C. Peran Ulama dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Islam ……….

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Nahdlatul Ulama adalah Jam’iyah Diniyah (organisasi Keagamaan)


wadah bagi para Ulama dan pengikutnya yang didirikan pada 16 Rajab
1344 H / 31 Januari 1926 M di Surabaya. NU didirikan atas dasar
kesadaran bahwa setiap manusia hanya dapat memenuhi kebutuhannya,
bila hidup bermasyarakat.

NU didirikan dengan tujuan memelihara, melestarikan,


mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islamyang berhaluan
Ahlusunnah Wal Jama’ah dengan menganut salah satu dari empat
madzhab: Maliki, Hambali, Hanafi, Syafi’i, serta mempersatukan langkah
Ulama dan pengikutnya dan melakukan kegiatan yang bertujuan untuk
menciptakan kemaslahatan umat, kemajuan bangsa, dan ketinggian
harkatdan martabat manusia.

Dengan demikian maka NU menjadi gerakan keagamaan yang


bertujuan ikut membangun insan dan masyarakat yang bertaqwa kepada
Allah SWT, cerdas, terampil, berakhlaq mulia, tenteram, adil dan
sejahtera. NU mewujudkan cita cita dan tujuannya melalui serangkaian
ikhtiar yang di dasari oleh dasar dasar faham keagamaan yang membentuk
kepribadian khas NU. Inilah yang kemudian disebut sebagai khittah
Nahdlatul Ulama.

Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama


warga NU, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan
lain-lain.Dalam hal ini penulis akan membahas tentang khittah NU dan
gerakan-gerakan NU.
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam


pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Apa Pengertian Khittah NU?

2. Bagaimana Latar Belakang Kembali ke Khittah NU 1926?

3. Kapan dicetuskan kembalinya NU ke Khittah 1926 dan bagaimana


bentuknya?

4. Bagaimana Gerakan Politik NU Setelah Khittah?

5. Bagaimana Gerakan Kultur NU?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan penulisan


makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengertian tentang Khittah NU

2. Untuk mengetahui latar belakang kembalinya NU kepada Khittah


1926

3. Untuk mengetahui kapan NU kembali kepada Khittah 1926 dan


bentuk-bentuk rumusannya

4. Untuk mengetahui gerakan politik NU setelah Khittah

5. Untuk mengetahui gerakan kultur NU setelah NU kembali kke Khittah


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Khittah NU

Kata khittah berasal dari akar kata khaththa, yang bermakna


menulis dan merencanakan. Kata khiththah kemudian bermakna garis dan
thariqah (jalan).

Khittah NU adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga


NU yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun
organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan.Landasan
tersebut adalah faham Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah yang diterapkan
menurut kondisi kemasyarakatan Indonesia,meliputi dasar dasar amal
keagamaan maupun kemasyarakatan.Khittah NU juga digalidari intisari
perjalanan sejahtera khidmahnya dari masa ke masa.Kata khiththah ini
sangat dikenal kalangan masyarakat Nahdliyin, terutama sejak tahun 1984.

B. Latar Belakang Kembali ke Khittah NU 1926

NU mencakup tujuan pendirian NU, gerakan-gerakan NU dan lain-


lain. Perbincangan Khittah NU sering dikaitkan dengan urusan politik.
Sementara, cakupan Khittah NU 1926 pada dasarnya tidak hanya
menerangkan ihwal hubungan organisasi NU dengan politik, tetapi juga
hal-hal mendasar terkait soal ibadah kepada Allah Swt dan
kemasyarakatan. Menurut Kyai Muchit, Khittah NU 1926 merupakan
dasar agama warga NU, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham
kenegaraannya, dan lain-lain.

Pada tahun 1984 itu, NU menyelenggarakan Muktamar ke-27 di


Situbondo. Muktamarin berhasil memformulasikan garis-garis perjuangan
NU yang sudah lama ada ke dalam formulasi yang disebut sebagai
“Khittah NU”.
Sebagai formulasi yang kemudian menjadi rumusan “Khittah NU”,
maka tahun 1984 bukan tahun kelahirannya. Kelahiran khittah NU sebagai
garis, nilai-nilai, dan jalan perjuangan, ada bersamaan dengan tradisi dan
nilai-nilai di pesantren dan masyarakat NU. Keberadaannya jauh sebelum
tahun 1984, bahkan juga sebelum NU berdiri sekalipun dalam bentuk
tradisi turun temurun dan melekat secara oral dan akhlak.

Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke


Khittah NU 1926. Ini ditandai keluarnya NU dari PPP. Dan kembali
menjadi organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31
Januari 1926.

Selain penggunaan kata “Khittah NU”, kadang-kadang juga


digunakan kata “Khittah 26”. Kata “khittah 26” ini merujuk pada garis,
nilai-nilai, dan model perjuangan NU yang dipondasikan pada tahun 1926
ketika NU didirikan. Pondasi perjuangan NU tahun 1926 adalah sebagai
gerakan sosial-keagamaan. Hanya saja, garis perjuangan sosial keagamaan
ini, mengalami perubahan ketika NU bergerak di bidang politik praktis.

Pengalaman NU ke dalam politik praktis, terjadi ketika NU


menjadi partai politik sendiri sejak 1952. Setelah itu NU melebur ke dalam
PPP (Partai Persatuan Pembangunan) sejak 5 Januari 1973. Ketika NU
menjadi partai politik, banyak kritik yang muncul dari kalangan NU
sendiri, yang salah satunya menyebutkan bahwa “elit-elit politik”
dianggap tidak banyak mengurus umat. Kritik-kritik ini berujung pada
perjuangan dan perlunya kembali kepada khittah.

Perjuangan kembali pada khittah sudah diusahakan sejak akhir


tahun 1950-an. Contohnya, pada Muktamar NU ke-22 di Jakarta tanggal
13-18 Desember 1959, seorang wakil cabang NU Mojokerto bernama KH
Achyat Chalimi telah menyuarakannya. KH. Achyat mengingatkan
peranan partai politik NU telah hilang, diganti perorangan, hingga partai
sebagi alat sudah kehilangan kekuatannya. Kiai Achyat mengusulkan agar
NU kembali ke khittah pada tahun 1926. Hanya saja, usul itu tidak
diterima sebagai keputusan muktamar.

Kelompok “pro jam`iyah” pada tahun 1960 menggunakan warta


berkala Syuriyah untuk menyuarakan perlunya NU kembali ke khittah.
Gagasan agar NU kembali ke khittah juga disuarakan kembali pada
Muktamar NU ke-23 tahun 1962 di Solo. Akan tetapi gagasan tersebut
banyak ditentang oleh muktamirin yang memenangkan NU sebagai partai
politik.

Pada Muktamar NU ke-25 di Surabaya tahun 1971, gagasan


mengembalikan NU ke khittah muncul kembali dalam khutbah iftitâh Rais
Am, KH. Abdul Wahab Hasbullah. Saat itu Mbah Wahab mengajak
muktamirin untuk kembali ke Khittah NU 1926 sebagai gerakan sosial-
keagamaan. Akan tetapi kehendak muktamirin, lagi-lagi, tetap
mempertahankan NU sebagai partai politik.

Gagasan kembali ke khittah semakin mendapat tempat pada


Muktamar NU ke-26 di Semarang (5-11 Juni 1979). Meski Muktamirin
masih mempertahankan posisi NU sebagai bagian dari partai politik (di
dalam PPP), tetapi muktamirin menyetujui program yang bertujuan
menghayati makna dan seruan kembali ke khittah 26. Di Semarang ini
pula tulisan KH. Achmad Shidiq tentang Khittah Nahdliyah telah dibaca
aktivis-aktivis NU dan ikut mempopulerkan kata khittah.

Gagasan kembali ke Khittah NU semakin nyata setelah Munas


Alim Ulama di Kaliurang tahun 1981 dan di Situbondo tahun 1983. Pada
Munas Alim Ulama di Situbono itu bahkan dibentuk “Komisi Pemulihan
Khittah NU”. Komisi ini dipimpin KH Chamid Widjaya, sekretaris HM
Said Budairi, dan wakil sekretaris H. Anwar Nurris. Komisi ini berhasil
menyepakati “Deklarasi Hubungan Islam dan Pancasila,” kedudukan
ulama di dalamnya, hubungan NU dan politik, dan makna Khittah NU
1926. Hasil-hasil dari Munas Alim Ulama ini kemudian ditetapkan sebagi
hasil Muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 setelah melalui diskusi
dan perdebatan yang intens. Muktamar NU di Situbondo inilah yang
berhasil memformulasikan rumusan Khittah NU.

Formulasi rumusan Khittah NU di Situbondo ini sangat


monumental karena menegaskan kembalinya NU sebagai jam`iyah
diniyah-ijtima`iyah. Rumusan ini mencakup pengertian Khittah NU, dasar-
dasar paham keagamaan NU, sikap kemasyarakatan NU, perilaku yang
dibentuk oleh dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan NU,
ihtiar-ihtiar yang dilakukan NU, fungsi ulama di dalam jam`iyah, dan
hubungan NU dengan bangsa.

Dalam formulasi itu, ditegaskan pula bahwa jam`iyah secara


organistoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi
kemasyarakatn manapun. Sementara dalam paham keagamaan, NU
menegaskan sebagai penganut Ahlussunnah Waljama`ah dengan
mendasarkan pahamnya pada sumber Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas.
Dalam menafsirkan sumber-sumber itu, NU menganut pendekatan
madzhab dengan mengikuti madzhab Ahlussunnah Waljama`ah (Aswaja)
di bidang akidah, fiqih dan tasawuf.

1. Di bidang akidah, NU mengikuti dan mengakui paham Aswaja yang


dipelopori Imam Abu Hasan al-Asy`ari dan Imam Abu Manshur al-
Maturidi.

2. Di bidang fiqih NU mengakui madzhab empat sebagai paham Aswaja


yang masih bertahan sampai saat ini.

3. Di bidang tasawuf NU mengikuti imam al-Ghazali, Junaid al-


Baghdadi, dan imam-imam lain. Dalam penerapan nilai-nilai Aswaja,
Khittah NU menjelaskan bahwa paham keagamana NU bersifat
menyempurnakan nilai-nilai yang baik dan sudah ada. NU dengan
tegas menyebutkan tidak bermaksud menghapus nilai-nilai tersebut.
Dari sini aspek lokalitas NU sangat jelas dan ditekankan.
C. Bentuk-Bentuk Rumusan Khittah NU dalam Muktamar ke-27

1. Dasar-dasar Pemikiran NU

Nahdlatul Ulama mendasarkan paham keagamaannya kepada


sumber Islam Al Qur’an, Assunnah, Al Ijma’ dan Al Qiyas. Dalam
memahami, menafsirkan Islam, mengikuti Ahlussunnah Wal Jama’ah
dan menggunakan pendekatan madzhab. NU mengikuti pendirian,
bahwa Islam adalah agama yang fitri yang bersifat menyempurnakan
kebaikan yang dimiliki oleh manusia.

2. Sikap Kemasyarakatan NU

Dasar dasar pendirian keagamaan NU menumbuhkan sikap


kemasyarakatan sebagai berikut:

a. Sikap tawasuth dan I’tidal berintikan kepada prinsip hidup yang


menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah
tengah kehidupan bersama. NU dengan sikap dasar ini akan selalu
menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan
selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk
pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).

b. Sikap tasamuh sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, baik


dalam masalah keagamaan, terutama yang bersifat furu’ atau yang
menjadi masalah khilafiyah serta dalam masalah kemasyarakatan
dan kebudayaan.

c. Sikap tawazun sikap seimbang dan berkhidmah, menyerasikan


khidmah kepada ALLAH SWT khidmah kepada sesama manusia
serta lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu
dan masa kini serta masa yang akan datang

d. Sikap amar ma’ruf nahi munkar. Selalu memiliki kepekaan untuk


mendorong perbuatan yang baik berguna dan bermanfaat bagi
kehidupan bersama serta menolak dan mencegah semua hal yang
dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai nilai kehidupan.

3. Perilaku yang dibentuk oleh dasar keagamaan dan sikap


kemasyarakatan NU

a. Menjunjung tinggi nilai-nilai dan norma-norma ajaran Islam

b. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi

c. Menjunjung tinggi sifat keikhlasan, berkhidmah dan berjuang

d. Menunjung tinggi persaudaraan (Al-Ukhuwah, persatuan (Al-


Itihad) serta kasih mengasihi

e. Meluhurkan kemuliaan moral (Al Akhlakul karimah), dan


menjunjung tinggi kejujuran (Ash-shidqu) dalam berfikir, bersikap
dan bertindak

f. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalotas) kepada agama, bangsa dan


negara

g. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari
ibadah kepada Allah SWT

h. Menjunjung tinggi ilmu-ilu serta ahli-ahlinya

i. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang


membawa kemaslahatan manusia

j. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha, memacu dan


mempercepat perkembangan masyarakat

k. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan


bernegara.
4. Ikhtiar-ikhtiar yang dilakukan NU

a. Peningkatan silaturahmi/komunikasi antar ulama

b. Peningkatan kegiatan di bidang keilmuan/pengkajian/pendidikan

c. Peningkatan kegiatan penyiaran Islam, pembangunan sarana-sarana


dan pelayanan sosial

d. Peningkatan taraf dan kualitas hidup masyarakat melalui kegiatan


yang terarah

5. Fungsi organisasi dan kepemimpinan ulama di NU yaitu sebagai alat


untuk melakukan koordinasi bagi terciptanya tujuan-tujuan yang telah
ditentukan baik tujuan yang bersifat keagamaan maupun
kemasyarakatan.

6. NU dan kehidupan berbangsa

NU secara sadar mengambil posisi aktif dalam proses


perjuangan mencapai dan mempertahankan kemerdekaan, serta
mewujudkan pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur yang
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang diridhoi oleh Allah SWT.

D. Gerakan Politik NU setelah Khittah

Nahdlatul Ulama (NU) berdiri tahun 1926 adalah sebagai


organisasi kemasyarakatan atau jam’iyah, bukan partai politik, bukan
institusi politik, tapi tak bisa dipungkiri dan dihindarai bahwa sejak
kelahirannya NU telah bersinggungan dengan ruang politik.

Pada tahun 1940-1943 NU masuk MIAI yang kemudian menjadi


Masyumi. Masyumi dibentuk dimaksudkan untuk menciptakan kekuatan
besar bagi umat Islam. Tahun 1945 Raisul Akbar Hadrotussyaikh KH
Hasyim As’ary mengeluarkan fatwa resolusi jihad untuk menghadapi
tentara nicca belanda. Dan pada tahun-tahun berikutnya NU juga tidak
tinggal diam menghadapi PKI.

Ada satu hal yang perlu dicatat bahwa, kelahiran NU itu sendiri
sebagai respon atas munculnya Islam wahabisme atau Islam reformis yang
menyatakan dirinya sebagai kaum pambaharu Islam. Melihat sisi historis
demikian maka boleh dikatakan semenjak kelahirannya NU telah
berpolitik, barulah pada tahun 1952 Muktamar NU ke 19 di palembang,
NU resmi menyatakan diri sebagai partai politik setelah keluar dari
Masyumi.

Dari pemilu 1955 sampai pemilu 1971 NU berhasil meraih suara


cukup menggembirakan, NU benar-benar bermain di arena politik, NU
punya banyak wakil di DPR, para ulama sepuh NU juga masih banyak.
Sampai disini NU masih berjaya. Barulah pada tahun 1973 NU mulai
melewati masa awal perpecahan. Semua partai Islam termasuk NU harus
fusi dalam satu partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan(PPP). PPP tak
ubahnya seperti Masyumi dulu, perselisihan antar kelompok dalam tubuh
PPP terus terjadi tak kunjung usai. Kasus yang terjadi di PPP serupa
dengan yang terjadi di Masyumi – NU selalu dimarjinalkan.

NU dalam posisi rumit, membuat partai tidak bisa, memperbaiki


PPP juga suatu hal yang sangat sulit karena PPP dan PDI saat itu
merupakan boneka orde baru. Disinilah titik awal dimulainya perpecahan
warga NU, dimana pemerintah Orba salah satu faktor utama dalam
penghancuran NU. NU selanjutnya hanya berpolitik secara moral yang
sulit dipertanggungjawabkan hasilnya. NU kemudian hanya menitipkan
para kadernya di PPP, sedang NU sendiri hanya bisa bermain diluar arena.

Pola dukung mendukung oleh NU mulai dijalankan. NU terkadang


bermetamorfosa dari hijau menjadi merah ketika Gus Dur mendekati
Mega yang waktu itu kita kenal dengan istilah Mega-Gus Dur untuk
menandingi PDI Suryadi. Atau terkadang NU berubah wujud dari hijau ke
kuning ketika Gus Dur mengajak warganya untuk mengikuti Istighotsah
NU-Golkar di berbagai daerah beberapa tahun silam sebelum reformasi.

Setelah reformasi bergulir, sepertinya ada harapan besar bagi NU


untukmengembalikan kejayaan NU dimasa silam. Walaupun demikian
masih terlalu berat jika NU menjelma menjadi partai. NU akhirnya
mendirikan PKB dimana PKB diharapkan menjadi satu-satunya partai NU
yang berakses ke PBNU. NU sendiri bukanlah partai tapi NU punya sayap
politik yaitu PKB. Betapa hebat respon masyarakat terhadap lahirnya
PKB, Ini wajar saja karena warga NU benar-benar haus dengan partai NU
setelah 32 tahun NU dipinggirkan.

Namun tampaknya harapan hanya tinggal harapan, PKB yang


diharapkan menjadi sayap politik NU justru berjalan sendiri bahkan
senantiasa berseberangan dengan NU struktural. Antara PKB dan NU
mulai ada tanda-tanda kurang serasi, PKB memecat ketuanya yaitu Matori
Abdul jalil yang sebenarnya NU tidak menghendaki. Ketidakserasian NU-
PKB ini diperuncing lagi ketika NU mencalonkan Hasyim Muzadi
menjadi cawapres Mega. Dengan susah payah NU menggerakkan
warganya dari tingkat PW-PC-MWC bahkan sampai ketingkat ranting
untuk mengegolkan jagonya yaitu Hasyim Muzadi menjadi Cawapres, tapi
PKB saat itu justru mendukung Wiranto-Wahid dari Golkar, diteruskan
pada pilpres putaran kedua PKB mendukung SBY-JK. Cukup sudah PKB
menyodok NU saat itu. Mulai dari itu PKB dianggap bukan lagi partai
sayap politik NU karena PKB terlalu jauh meninggalkan NU.

Carut-marut perpolitikan NU saat ini sudah sangat rumit. Musuh


sudah memakai senjata api kita masih berebut senjata bambu. Sederet
pertanyaan inilah yang mungkin akan terjawab dalam muktamar NU
mendatang.
E. Gerakan Kultur NU

Meskipun paska khittah 1926 NU mengkonsentrasikan kembali


perjuangannya pada wilayah sosio-kultural, namun mungkinkah NU
benar-benar seratus persen netral dari persoalan politik? Jelas tidak.
Netralitas NU dari politik itu sendiri, menurut KH Abdurrahman Wahid
tidak berarti meninggalkan segala peran politik. Jumlah anggotanya yang
besar merupakan kekuatan dan kapital politik yang sangat potensial,
terutama saat mendekati momen pemilu. Sehingga meski sudah
memutuskan khittah dan kembali pada kerja kultural, NU tak mungkin
bisa seratus persen menghindar dari politik.

Namun yang perlu ditegaskan di sini adalah peran politik yang


dimainkan oleh NU bukan lagi politik praktis yang berorientasi pada
kekuasaan. Pola politik semacam ini lebih bersifat formalistik dan
struktural. Sebaliknya dalam dimensi semangat khittah, yang lebih
diprioritaskan oleh NU adalah gerakan politik kultural. Konsep inilah yang
menjadi batu loncatan dan terobosan baru bagi NU untuk memajukan dan
memberdayakan masyarkat. Sebab, orientasi kerjanya bukan lagi
memperdebatkan soal kursi kekuasaan maupun jabatan di berbagai
lembaga pemerintahan, melainkan lebih concern pada perumusan langkah
dan strategi pemberdayaan masyarakat bawah yang sebesar-besarnya.
Inilah yang pernah diserukan oleh mantan Rais Aam PBNU-1984, KH.
Achmad Siddiq bahwa orang NU lebih baik bekerja untuk memajukan
masyarakat dan bukannya berusaha mendapatkan kekuasaan.

Secara substansial, gerakan politik kultural NU ini masih lemah,


masih belum mengakar kuat sehingga benar-benar mampu mengangkat
warganya dari segala macam krisis. Pada level praksis-operasional,
komitmen dan spirit politik kultral NU itu belum berhasil
ditransformasikan sebagai sebuah sistem gerakan yang simultan untuk
menyelesaikan problem-problem riel di masyarakat. Sehingga seolah
nampak bahwa orientasi politik NU ini hingga sekarang masih lebih
menjadi wacana sosial-keagamaan, daripada menjadi perangkat kerja
konkrit. Terbukti warga NU masih banyak yang terjerat oleh persoalan
kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.

Faktor utama yang menyebabkan politik kultural NU tersebut


mandul dan lemah sebagai media gerakan transformasi sosial adalah
karena rendahnya mentalitas dan moralitas para oknum yang ada di
struktur NU.Oleh para pengurusnya, NU masih sering dimanfaatkan
sebagai alat untuk menjalin akses ekonomi dan politik pribadi. Hal ini
terbukti dengan masih dimanfaatkannya lembaga NU untuk mendukung
calon tertentu dalam pemilu maupun pilkada di berbagai daerah daripada
sebagai alat kontrol kekuasaan.Hal ini menjadikan agenda-agenda sosio-
kultural dan keagamaan, yang merupakan bagian dari gerakan politik
kultural NU, tidak berjalan

Sebab, NU hanya menjadi sarang manusia-manusia oportunistik.


Manusia macam ini, hanya memanfaatkan NU untuk mencari penghidupan
pribadi tetapi tidak bersedia berkorban untuk kehidupan NU. Budaya
oportunistik yang sering menghinggapi hati dan pikiran para pengurus NU
tersebut, merupakan batu sandungan utama yang menyebabkan politik
kultural NU belum bisa diimplementasikan secara optimal. Gerakan
politik kultural NU bukannya semakin bangkit, tetapi semakin melemah,
karena kekuatan NU digerogoti oleh budaya oportunistik yang menguasai
struktur NU.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Khittah NU adalah landasan berfikir, bersikap dan bertindak warga NU


yang harus dicerminkan dalam tingkah laku perseorangan maupun
organisasi serta dalam setiap proses pengambilan keputusan.

2. Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke


Khittah NU 1926. Ini ditandai keluarnya NU dari PPP dan kembali
menjadi organisasi sosial keagamaan sebagaimana saat didirikan, 31
Januari 1926.

3. Setelah Khittah NU tidak lagi ikut secara aktif dalam politik praktis
tetapi lebih kepada politik taktis.

4. Gerakan kultur NU lebih kepada upaya memajukan dan


memberdayakan masyarakat.

B. Saran

1. Sebagai Jam’iyah Nahdlatul Ulama kita harus selalu mempertahankan


kemurnian Islam dengan jalan mengikuti faham Ahlussunnah Wal
Jama’ah berdasar Al Qur’an, Assunnah, Ijma’ dan Qiyas serta dengan
pendekatan salah satu dari 4 madzhab.

2. Para pengurus NU yang tergabung dalam partai politik diharapkan


selalu berpegang pada Khittah NU 1926 dengan kerja kultural yaitu
bekerja untuk memajukan masyarakat bukan untuk memperebutkan
kekuasaan, yaitu dengan membantu pengembangan kegiatan di bidang
da’wah, sosial maupun pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA

Pustaka Ma’arif NU. 2007. Islam Ahlussunnah Wal Jamaah di Indonesia.


Jakarta.

Haryono Abu Syam. 1981. Pendidikan Nahdlatul Ulama. Surabaya. Cahaya Ilmu

Moxeeb’s.wordpress.com

http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/pusaka/ispustaka/buku07/020.htm

emka.web.id/ke-nu-an/2012/apa-itu-khittah-nu

Anda mungkin juga menyukai