Gotong Royong
Dalam buku Sejarah Indonesia masa Praaksara (2015) karya Herimanto, manusia purba hidup
secara berkelompok untuk memenuhi kebutuhan dan menghadapi tantangan alam. Dalam pola
hidup berkelompok, manusia purba selalu menerapkan budaya gotong royong dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Budaya gotong royong manusia purba terlihat dari cara mereka berburu dan
meramu makanan. Sejak zaman Paleolithikum, manusia purba telah melakukan pembagian tugas
dalam tingkat sederhana ketika berburu dan meramu makanan.
Gotong royong yang sudah ada sejak masa praaksara ini berhasil lestari hingga sekarang. Nilai
gotong royong tersebut merupakan nilai yang terangkum di dalam Pancasila. Gotong royong
dapat kita saksikan ketika ada acara-acara tertentu seperti acara kebudayaan, membangun fasilitas
umum, dan hajatan.
Prinsip kreativitas dan inovasi tentunya masih dilaksanakan di jaman ini. Mulai dari
diciptakannya mobil listrik, tas dari bahan daur ulang, hiasan dari botol dan kancing baju bekas
dan masih banyak lagi.
Kepercayaan pada masa prasejarah yaitu animisme dan dinamisme ini masih ada hingga saat ini,
khususnya di Indonesia. Perwujudan dari masih adanya kepercayaan animisme dan dinamisme
dapat dilihat dari kegiatan-kegiatan sehari-hari di lingkungan kita. Seperti sesaji untuk orang yang
telah mati, dengan kepercayaan bahwa orang yang mati itu akan kembali ke rumah untuk
mennegok keluarga, hal tersebut merupakan perwujudan dari kepercayaan animisme. Kedua,
benda-benda seperti gamelan, keris, atau batu tertentu yang kerap kali dimandikan dan diberi
sesaji merupakan wujud dari kepercayaan dinamisme yang massih ada hingga sekarang.
Nilai Musyawarah
Dalam kehidupan berkelompok, masyarakat praaksara telah mengembangkan nilai musyawarah.
Hal ini dapat ditunjukkan dengan dipilihnya pemimpin yang dianggap paling tua (sesepuh) yang
mengatur masyarakat dan memberikan keputusan untuk memecahkan berbagai persoalan yang
dihadapi bersama.
Kehidupan berkelompok pada masyarakat praaksara ini telah mengilhami masyarakat modern
pada saat ini untuk tetap melakukan musyawarah dalam mengambil keputusan. Pengambilan
keputusan dengan musyawarah dari zaman praaksara sampai sekarang dapat dilihat ketika adanya
musyawarah untuk memilih pemimpin di desa/kota. Meskipun sebagian ada yang melakukan
dengan cara voting atau pencoblosan, namun pelaksanaannya tetap memerlukan musyawarah.
Keadilan
Nilai keadilan sudah diterapkan dalam kehidupan masyarakat praaksara, yaitu adanya pembagian
tugas sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Tugas antara kaum laki-laki berbeda dengan
kaum perempuan.Hal ini mencerminkan sikap yang adil karena setiap orang akan memperoleh
hak dan kewajiban sesuai kemampuannya.
Nilai keadilan dapat dijumpai di lingkungan keluarga. Ketika masyarakat praaksara berlangsung,
tugas laki-laki adalah berburu, sedangkan tugas wanita adalah mengurus kebutuhan rumah.Hal
tersebut masih ada dapat dijumpai sampai sekarang. Namun, zaman sekarang sudah menjadi
umum ketika dijumpai wanita bekerja di luar rumah atau biasa disebut wanita karier, akan tetapi
wanita tersebut tetap tidak lupa mengurus segala kebutuhan rumah.
Tradisi bercocok tanamn ini tentunya masih dijalankan hingga saat ini. Khusus untuk tradisi ini
hanya dapat dijumpai di pedesaan. Hal tersebut dikarenakan sudah tidak adanya lahan di kota
untuk bercocok tanam. Banyak lahan di kota yang sudah menjadi gedung-gedung bertingkat dan
jalanan beraspal.
Tradisi bahari atau berlayar masih ada hingga sekarang. Namun, ketika berlangsungnya
masyarakat praaksara masih menggunakan perahu yang menggunakan layar agar perahu dapat
melaju, zaman sekarang sudah jarang sekali ada nelayan yang menggunakan layar. Zaman
sekarang para nelayan atau pelaut menggunakan kapal yang sudah didukung dengan teknologi
mesin.