Anda di halaman 1dari 3

Tradisi Masyarakat Minang – Sumatera Barat

Sejak awal pergerakan kemerdekaan Indonesia, Sumatera memiliki peran penting dalam perjalanan
negara ini. Pada masa mempertahankan kemerdekaan, sekitar tahun 1947, Ibu Kota Negara Republik
Indonesia pernah dipindahkan ke wilayah yang tenar dengan Jam Gadangnya, yaitu Bukittinggi –
Sumatera Barat.
Sjarifudin Prawiranegara pada saat itu memimpin pemerintahan darurat Republik Indonesia hingga
tanggal 17 Agustus 1950. Ini menunjukkan besarnya pengaruh Sumatera dalam masa pergerakan
kemerdekaan. Di wilayah Sumatera Barat, Minangkabau merupakan salah satu etnis yang dominan.
Kata Minangkabau ini kerapkali merujuk pada kelompok etnis dan kultural secara spesifik – Jadi bukan
merujuk pada kota tertentu. Sedangkan wilayah penyebaran masyarakat Minang mencakup Riau,
bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera Utara, Aceh, dan Negeri Sembilan
Malaysia.

Masyarakat Minang menganut sistem keturunan matrilineal, yaitu sistem keluarga melalui jalur
perempuan. Secara etnis, masyarakat Minang memiliki rumpun yang sama dengan Melayu. Bahasa
Minangkabau memiliki kemiripan dengan bahasa Melayu, bahkan ada banyak kosakata dan ungkapan
yang serupa. Masyarakat Minangkabau dikenal memiliki minat besar terhadap seni dan sastra. Di
Minangkabau terdapat karya sastra sejarah yang disebut Tambo. Bentuknya berupa prosa yang
menceritakan berbagai legenda dan tradisi masyarakat Minangkabau. Dalam kehidupan sehari-hari,
masyarakat Minang rata-rata memiliki kepandaian berpantun, berkata-kata dengan menggunakan
sindiran, kiasan, ibarat, metafora, dan aforisme. Seni berkata-kata ini bahkan merupakan salah satu hal
utama yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat Minang.
Masyarakat Minang tinggal di rumah adat yang disebut sebagai rumah Gadang. Rumah tersebut
dibangun di atas tanah milik keluarga turun temurun. Rumah Gadang memiliki atap yang berbentuk
seperti tanduk kerbau. Bentuk semacam ini disebut sebagai gonjong. Laki-laki yang sudah menikah,
akan tidur di rumah Gadang, sementara yang belum menikah tidur di surau yang terletak tidak jauh dari
rumah Gadang miliknya.
Adat tidur di surau ini juga tidak jauh dari Agama utama yang dianut masyarakat Minang, yaitu Agama
Islam. Begitu teguhnya masyarakat Minang berpegang pada ajaran Islam, sampai-sampai jika ada
anggota masyarakat yang keluar dari agama Islam, maka orang tersebut juga akan dikeluarkan dari
masyarakat Minang secara keseluruhan, diistilahkan sebagai “dibuang sepanjang adat”.
Pakaian adat kebesaran Minangkabau untuk laki-laki disebut pakaian penghulu. Pakaian ini terdiri atas
destar, yaitu tutup kepala yang menunjukkan derajat dan kedudukan si pemakai. Baju penghulu
berwarna hitam sebagai lambang kepemimpinan. Lengan baju memiliki ornamen benang makao, yaitu
benang besar yang diapit benang kecil. Makna filosofisnya adalah orang besar selalu memiliki
pengiring. Celana penghulu disebut sarawa. Ukuran kakinya besar karena memiliki makna agar
pemakai memiliki kebesaran dalam memenuhi segala panggilan dan hal yang patut dituruti dalam
hidup bermasyarakat. Untuk aksesoris, terdapat sasampiang, cawek (ikat pinggang), sandang, keris, dan
tungkek (tongkat). Pakaian adat Minangkabau untuk perempuan disebut Limpapeh Rumah Nan
Gadang. Ini merupakan istilah yang melambangkan peran wanita Minang sebagai “tiang di rumah
gadang”. Pakaian adat ini terdiri atas baju batabue, yaitu baju yang bertabur dengan benang emas,
melambangkan kekayaan alam Minangkabau. Kemudian minsie, yaitu bagian tepi baju yang diberi
benang emas. Tingkuluak, merupakan hiasan kepala perempuan yang berbentuk runcing dan
bercabang, mirip dengan figur rumah gadang. Hal ini ada hubungannya dengan filosofi wanita sebagai
tiang rumah gadang tersebut. Lambak atau sarung, merupakan bagian bawah pakaian adat wanita
Minang. Wanita Minang juga mengenakan salempang yang memiliki makna filosofis bahwa wanita
memiliki tanggung jawab terhadap anak cucunya dan waspada terhadap segala sesuatu.
Masyarakat Minang memiliki tradisi unik, yaitu merantau. Seorang pria yang telah dewasa harus pergi
ke wilayah lain untuk menjalani kehidupan atau mencari pengalaman. Tradisi ini dianggap akan
menempa anak untuk dapat mengatasi segala kesulitan hidup yang akan dialaminya di masa
mendatang. Tradisi ini juga yang menjadikan masyarakat Minang lebih gigih dalam bekerja serta
memperjuangkan peningkatan perekonomian. Tradisi merantau ini juga yang berperan menjadikan
figur asal Minang menjadi ternama dalam perjalanan Republik Indonesia, seperti misalnya Mohammad
Hatta, Tan Malaka, dan Sjahrir. Sastrawan ternama Indonesia seperti Buya Hamka dan Chairil Anwar
juga berasal dari Minang.
Cara sampai ke sana:
Untuk mencapai kota Padang, Anda bisa memanfaatkan layanan bus Damri dari Bandara dengan rute
sebagai berikut: Simpang Duku, Lubuk Buaya, Basko Grand Mall / Basko Hotel, Ulak Karang, Hotel
Pangeran Beach, Jl. Ir.H.Juanda, Jl.Veteran, Plaza Andalas, Jl. Diponegoro, Hotel Inna Muara, Hotel
Bumi Minangkabau, Jl.Niaga/Pondok, Imam Bonjol/Pasar Raya. Tarifnya pun berkisar
Rp23.500,00/orang. Pemberangkatan Bus Damri ini disesuaikan dengan waktu kedatangan/pendaratan
pesawat. Informasi lebih lanjut dapat menghubungi nomor: 0751-7806335. Anda juga bisa menyewa
taksi atau carteran. Khusus layanan carteran, silakan menghubungi nomor telepon: 0751-8255.

Anda mungkin juga menyukai