Anda di halaman 1dari 2

C.

Jenis-jenis Peradilan Hukum Adat

Dalam Hukum Adat jenis-jenis peradilanya yakni terdapat 5 (lima) macam tatanan
peradilan yang diberikan oleh perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang berlaku
meliputi antara lain yakni:

1. Peradilan Gubernemen (gouvernemen rechtspraak), adalah peradilan yang dijalankan


oleh Hakim Pemerintah dan dipimpin oleh Raja atau Ratu. Yang mana didasarkan
pada sistem hukum Eropa dan mengadili kasus-kasus diseluruh wilayah Hindia
Belanda.
2. Peradilan Pribumi (inheemsche rechtspraak), adalah peradilan yang mempunyai
kewenangan didaerah, juga untuk melakukan peradilanya dengan hakim masyarakat
atau penduduk asli yang ada di daerah-daerah tersebut dan peradilanya tidak
berdasarkan tata hukum Eropa dan bukan atas nama Raja ataupun Ratu.
3. Peradilan Swapraja (Zelfbestuur rechtspraak), adalah wilayah atau daerah yang
memiliki hak pemerintahan sendiri serta yang memiliki kekuasaan dan wewenang
pada wilayah-wilayah yang berdasarkan kewenanganya pada peradilan. Pada zaman
Hindia Belanda Istilah ini digunakan sebagai padanan bagi istilah pada masa Hindia
Belanda sehingga wilayah-wilayah swaparja pada zaman Hindia Belanda mempunyai
peradilanya sendiri, pada tahun 1907 ada 4 (empat) kawasan swaparja yaitu
Pekualaman Yogyakarta, Kesultanan Yogyakarta, mengkunegaran Surakarta, dan
Kesunanan Surakarta
4. Peradilan Agama (raad agama), adalah peradilan yang dilaksanakan oleh Hakim
Agama, dan bisa Hakim Gubernemen Hakim atau dari masyarakat atau penduduk asli
untuk mengatasi suatu urusan/perkara yang berkaitan dengan hukum Islam.
5. Peradilan Desa (dorp rechtspraak), juga merupakan peradilan adat yang terdapat
dalam masyarakat desa. Peradilan desa dalam tugasnya mengenai kasus perdata
maupun kasus pidana yang mana dirapatkan oleh para kepala masyarakat atau kepala
desa hukum adat setempat.

D. Peradilan yang menerapkan Hukum Adat

Peradilan yang digunakan untuk menerapkan sebagai landasan untuk mengadili


perkara hukum adat dari kelima macam jenis-jenis peradilan hukum adat di atas yakni;

1. Peradilan Pribumi Kekuasaan Peradilan Pribumi ini yakni untuk memutuskan


perselisihan yang terjadi antar individu Bumiputera, namun harus juga dengan
menggunakan tata hukum adat yang sudah ditentukan oleh residen. Kewenangan
untuk mengadili peradilan ini yakni hanya terhadap orang-orang pribumi yang
bertempat didaerah tersebut, yang dijadikan tergugat maupun tersangka. Pasal 130
Indichse Staatsregeling (IS) menegaskan bahwa orang-orang bumiputera dimanapun
ia berada jika tidak mengadakan peradilan sendiri, maka peradilannya dilakukan
menggunakan nama Raja atau Ratu.
2. Peradilan Desa Peradilan desa ini berwenang untuk urusan perdata dan pidana dan
dijalankan secara musyawarah oleh kepala desa atau ketua masyarakat hukum adat
setempat. Keputusan peradilan desa dapat diajukan banding ke hakim yang lebih
tinggi yaitu hakim distrik. Ada beberapa nama peradilan di desa yang bermacam-
macam antara lain seperti; musapat (di Mahkamah Riau, Singkel, Aceh besar), hudat
(Sulawesi Selatan), perapatan (Kalimatan Timur dan Selatan), majlis (Gorontalo).
rapat (di Palembang, Bengkulu, Tapanuli, Jambi), Raad (Sasak).
3. Peradilan Swapraja Daerah-daerah Swapraja yang ada pada zaman Hindia Belanda
dahulu, umumnya memiliki peradilannya sendiri dan peradilanya dilaksanakan oleh
para hakim di wilayah atau daerahnya sendiri. Dari empat daerah swapraja yakni
Pekualaman Yogyakarta, Kesultanan Yogyakarta, Mengkunegara Surakarta,
Kesunanan Surakarta.

Kemudian oleh pemerintah Indonesia memunculkan Undang-undang Darurat Nomor


1 Tahun 1951 mengatur tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan susunan kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. Sejak hadirnya
undang-undang ini peradilan-peradilan adat tersebut tidak diakui lagi. Penghapusan ini
karena dibidang peradilan, kondisi internal di Indonesia sedang mengalami kesemrawutan
akibat peradilan yang bertentangan dengan unifikasi hukum. Namun peradilan adat
maupun hukum adat masih dihargai dan diberi ruang untuk menjalankan keesistensinya.
Meskipun hukum telah menyatakan tidak berlakunya peradilan adat, namun
keberadaannya tidak pernah benar-benar pudar dalam masyarakat adat. Dalam
menyelesaikan sengketa atau perkara yang dihadapi, masyarakat diberbagai tempat masih
menggunakan peradilan adat. Bila dahulu keberadaan peradilan adat diakui dan kemudian
dihapuskan, namun kecenderungan saat ini adalah kebijakan dan peraturan daerah
menghargai eksistensi keberadaan peradilan adat.

Anda mungkin juga menyukai