Anda di halaman 1dari 94

PENGERTIAN, SEJARAH, SUMBER DAN

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA

AZIMAR RUSYDI, S.Ag., M.H.


PENGERTIAN HUKUM ACARA
 Untuk melaksanakan hukum materiil perdata, terutama apabila ada
pelanggaran atau guna mempertahankan berlangsungnya hukum materiil
perdata, diperlukan adanya rangkaian peraturan-peraturan hukum lain, di
samping hukum materiil perdata itu sendiri. Peraturan hukum ini yang
dikenal dengan hukum formil atau hukum acara perdata

 Hukum acara perdata hanya dipergunakan untuk menjamin agar hukum


materiil perdata ditaati. Ketentuan-ketentuan dalam hukum acara perdata
pada umumnya tidaklah membebani hak dan kewajiban kepada
seseorang sebagaimana dijumpai dalam hukum materiil perdata, tetapi
melaksanakan serta mempertahankan atau menegakkan kaidah hukum
materiil perdata yang ada.
 Hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur tentang bagaimana
caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan
pelaksanaan dari putusannya. (Prof. Dr. Soedikno Mertokusumo, SH)
 Hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat
cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan
serta cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak satu sama lain untuk
melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata (Prof.
Wirjono Prodjodikoro)
 Hukum acara perdata adalah keseluruhan peraturan hukum yang
mengatur tentang cara-cara bagaimana mempertahankan, melaksanakan
dan menegakkan hukum perdata materiil melalui proses peradilan negara
(R. Suparmono SH.)
 Hukum Acara Peradilan Agama ialah peraturan hukum yang mengatur
bagaimana cara mentaatinya hukum perdata materiil dengan perantara
hakim atau cara bagaimana bertindak di muka pengadilan agama dan
bagaimana cara hakim bertindak agar hukum itu berjalan sebagaimana
mestinya. (Dr. H. Mukti Arto)
 Hukum acara perdata dapat juga disebut hukum perdata formil karena :
 mengatur proses penyelesaian perkara lewat hakim (pengadilan) secara
formil. Hukum acara perdata mempertahankan berlakunya hukum
perdata
 semua kaidah hukum yang menentukan dan mengatur cara bagaimana
melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata sebagaimana
diatur dalam hukum perdata materiil

 Apabila kita membaca literatur-literatur tentang hukum acara perdata,


kita akan menemui beberapa macam definisi hukum acara perdata ini
dari para ahli (sarjana) yang satu sama lain merumuskan berbeda-beda.
Namun, pada prinsipnya, hal tersebut mengandung tujuan yang sama
 Hukum Acara Perdata ialah hukum yang mengatur caranya menjamin
ditaatinya hukum perdata material dengan perantara hakim agar
memperoleh perlindungan hukum untuk mencegah tindakan menghakimi
sendiri (eigenrichting).
 Hukum Acara Peradilan Agama adalah rangkaian peraturan-peraturan
yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan
agama yang terdiri dari cara mengajukan tuntutan dan mempertahankan
hak, cara bagaimana pengadilan harus bertindak untuk memeriksa serta
memutus perkara dan cara bagaimana melaksanakan putusan tersebut di
lingkungan peradilan agama.
SEJARAH HUKUM ACARA DI INDONESIA

I. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda


II.Zaman Penjajahan Jepang
III.Zaman Proklamasi Kemerdekaan
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

 Hukum acara perdata Indonesia yang berlaku saat ini berasal dari zaman
Pemerintahan Hindia Belanda yang hingga saat ini ternyata masih
dipertahankan keberadaannya.
 Berbicara mengenai sejarah hukum acara perdata di Indonesia,
tidak dapat terlepas dari membicarakan sejarah peradilan di
Indonesia. Hal ini disebabkan dari definisi hukum acara perdata yang
telah dikemukakan di atas, diketahui bahwa hukum acara perdata hanya
diperlukan apabila seseorang hendak berperkara di muka pengadilan.
SEJARAH SINGKAT LEMBAGA PERADILAN
ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

 Hukum acara perdata Indonesia yang berlaku saat ini berasal dari zaman
Pemerintahan Hindia Belanda yang hingga saat ini ternyata masih
dipertahankan keberadaannya.
 Berbicara mengenai sejarah hukum acara perdata di Indonesia,
tidak dapat terlepas dari membicarakan sejarah peradilan di
Indonesia. Hal ini disebabkan dari definisi hukum acara perdata yang
telah dikemukakan di atas, diketahui bahwa hukum acara perdata hanya
diperlukan apabila seseorang hendak berperkara di muka pengadilan.
SEJARAH SINGKAT LEMBAGA PERADILAN
ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

1. Peradilan Gubernemen;
2. Peradilan Swapraja (zelfbestuurrechtspraak);
3. Peradilan Adat (inheemse rechtspraak);
4. Peradilan Agama (godienstigerechtspraak); dan
5. Peradilan Desa (dorpsjustitie).
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

PERADILAN GUBERNEMEN
 Terdiri atas dua lembaga peradilan. Yaitu :
1.Pertama, lembaga peradilan yang
diperuntukkan bagi golongan Eropa dan yang
dipersamakan, terdiri atas raad van justitie
dan residentiegerecht sebagai pengadilan
tingkat pertama atau hakim sehari-hari
(dagelijkse rechter) dan pengadilan tertinggi
(hoggerechtshof) sebagai lembaga yang
berkedudukan di Batavia (sekarang Jakarta).
SEJARAH HUKUM ACARA

PERADILAN
ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA
GUBERNEMEN
2.Kedua, lembaga peradilan
diperuntukkan bagi yang
golongan
bumiputra
sebuah yang dilaksanakan
landraad oleh
sebagai
pengadilan
didampingi tingkat
oleh beberapapertama
badan
pengadilan
kecil, untuk
misalnya perkara-perkara
pengadilan
kabupaten,
beberapa pengadilan
lagi, sedangkandistrik, dan
tingkat
banding
van dilaksanakan
justitie. Adapun oleh raad
yang
dimaksud
dan pengadilan
pengadilan kabupaten
distrik hanya
menyelesaikan
kecil, yaitu perkara-perkara
perkara-perkara
perdata
bawah yang
nilai tuntutannya
seratus guldendi
menjadi
pengadilan wewenang dari
tersebut kedua
untuk
menyelesaikannya
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

PERADILAN SWAPRAJA

 Peradilan Swapraja (zelfbestuurrechtspraak), yaitu suatu peradilan yang


diselenggarakan oleh sebuah kerajaan, diatur dalam suatu peraturan
Swapraja tahun 1938 (Zelfbestuursregelen 1938);
 Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pengadilan-pengadilan
swapraja di Jawa, Madura, dan Sumatra dengan resmi dihapuskan oleh
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1947
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

PERADILAN SWAPRAJA

 Dengan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 yang mulai


berlaku pada 14 Januari 1951,9 dan menyusul penghapusan pengadilan-
pengadilan swapraja di daerah-daerah lain, misalnya Sulawesi dan Nusa
Tenggara.
 Ukuran tentang kekuasaan peradilan swapraja terletak pada permasalahan
apakah tergugat adalah seorang kaula (onderhoogerige) dari swapraja di
mana ia berada atau dari pemerintah pusat.
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

PERADILAN SWAPRAJA

 Adapun mereka yang termasuk kaula pemerintah pusat menurut Pasal 7


ayat (3) dan (4) Peraturan Swapraja tahun 1938 adalah orang Eropa;
timur asing (vreemde osterlingen), kecuali keturunan raja; pegawai-
pegawai pemerintah pusat; dan buruh dari beberapa macam perusahaan.
 Sementara itu, orang-orang Indonesia asli yang bukan pegawai negeri
dan bukan buruh semacam itu adalah kaula swapraja
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

PERADILAN ADAT
 Diatur di Peraturan Peradilan Adat (Staatsblad 1932-80)
 Peradilan adat hanya berada di daerah-daerah di luar Jawa dan
Madura.
 Pada zaman Hindia Belanda, Pasal 130 Indische Staatsregeling
memberi kemungkinan bahwasanya di beberapa daerah di
Indonesia, ada peradilan adat, di samping peradilan yang diatur
dalam dalam beberarapa aturan yang masih berlaku.
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA


PERADILAN ADAT
 Seperti diatur dalam reglement rechterlijke organisatie (RO),
herziene inlandsch reglement (HIR), rechtsreglement
buitengewesten, dan yang disebut gouvernments-rechtspraak.
 Kemungkinan pada zaman Pemerintahan Balatentara Dai Nippon
dan setelah Republik Indonesia merdeka, di beberapa daerah dari
13 karesidenan tersebut, secara de facto peradilan adat
dihapuskan dan kekuasaan mengadili diserahkan kepada
pengadilan negeri.
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

PERADILAN ADAT

 Akan tetapi, pada waktu itu, di beberapa daerah masih ada dua
macam pengadilan sebagai hakim sehari-hari, yaitu pengadilan
negeri dan pengadilan-pengadilan dari peradilan adat atau dari
peradilan swapraja seperti di Palembang dan Jambi.
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

PERADILAN ADAT

 Di Palembang, peradilan adat ini pada tingkat pertama dilakukan


oleh kerapatan besar dan kerapatan kecil yang diketuai oleh
seorang pasirah atau wedana, sedangkan peradilan-peradilan
yang dilakukan oleh kerapatan tinggi di Kota Palembang yang
ketuanya dijalankan oleh ketua Pengadilan Negeri Palembang.
Pada akhirnya, pengadilan adat di Palembang ini pada tahun
1961 telah dihapuskan.
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

PERADILAN ADAT

 Di Palembang, peradilan adat pada tingkat pertama dilakukan


oleh pasirah dan pada tingkat banding pemeriksaan perkaranya
dilakukan oleh kepala daerah swatantra tingkat I (gubernur
Provinsi Jambi). Pengadilan adat di Jambi ini kemudian
dihapuskan mulai 15 Oktober 1962
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

PERADILAN AGAMA ISLAM

 Baik pada zaman Pemerintahan Balatentara Dai Nippon maupun


setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah tidak
pernah mempermasalahkan lembaga yang satu ini. Oleh karena
itu, dapat dikatakan bahwa keadaan peradilan agama Islam masih
tetap seperti pada zaman Hindia Belanda.
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

PERADILAN AGAMA ISLAM

 Asal muasal dari peradilan agama Islam adalah Pasal 134 ayat 2
Indische Staatregeling yang menentukan bahwa perkara-perkara
perdata antara orangorang yang beragama Islam, apabila hukum
adat menentukannya, masuk kekuasaan pengadilan agama Islam,
kecuali apabila ditetapkan lain dalam suatu ordonans
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA


PERADILAN AGAMA ISLAM

 Bagi Jawa dan Madura, menurut Pasal 2a Staatsblad 1937-116,


pengadilan-pengadilan agama Islam memutuskan perkara-perkara
perdata antara orang-orang Islam mengenai nikah, talak, rujuk,
perceraian, menetapkan pecahnya perkawinan, dan pemenuhan syarat
dari taklik. Dari putusan-putusan pengadilan agama Islam ini dapat
dimintakan pemeriksaan banding kepada mahkamah Islam tinggi yang
dahulu berkedudukan di Jakarta, kemudian dipindahkan ke Surakarta.
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

PERADILAN AGAMA ISLAM


 Mahkamah Islam tinggi ini menurut Pasal 7g dari Staatsblad 1882-152
juga berkuasa untuk mengadili sengketa antara pelbagai pengadilan
agama Islam di Jawa dan Madura mengenai kewenangan mengadili.
Ketentuan semacam itu termuat dalam Pasal 3 Staatsblad 1937-638 bagi
daerah Banjarmasin dan daerah Hulu Sungai di Kalimantan Selatan,
kecuali daerah-daerah Pulau Laut dan Tanah Bumbu. Di daerah tersebut,
terdapat hakim kadi yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan
hakim kadi tinggi yang memeriksa dalam tingkat banding.
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

PERADILAN AGAMA ISLAM


 Bagi daerah-daerah yang masih terdapat peradilan adat, Pasal 12
Staatsblad 1932-80 menentukan bahwa peradilan agama Islam
dilakukan apabila menurut hukum adat peradilan itu merupakan
sebagian dari peradilan adat, sedangkan hakim-hakim dari
peradilan agama Islam tersebut akan ditentukan oleh hukum adat
atau oleh kepala-kepala daerah yang bersangkutan. Oleh karena
dalam peraturan ini tidak menentukan kekuasaan pengadilan agama
Islam, dapatlah disimpulkan bahwa hukum adatlah yang harus
menentukan hal tersebut.
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

PERADILAN AGAMA ISLAM

 Dalam daerah-daerah yang terletak dalam lingkungan peradilan


swapraja, tidak satu pasal pun dalam peraturan swapraja tahun
1938 yang mengatur keberadaan peradilan agama Islam. Akan
tetapi, pada umumnya susunan dan kekuasaan peradilan swapraja
pengaturannya diserahkan kepada kepala daerah.
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

PERADILAN AGAMA ISLAM


 Tidak ada larangan seorang kepala daerah mengadakan dan
mengatur juga peradilan agama Islam.
 Sekarang peradilan agama merupakan salah satu pelaku
pelaksana kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU No. 50
Tahun 2009
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

PERADILAN DESA

 Peradilan desa ini hingga zaman Jepang dan setelah proklamasi


kemerdekaan Indonesia masih dipertahankan di desa-desa pada
beberapa daerah di Indonesia. Hakim pada peradilan desa terdiri
atas anggota-anggota pengurus desa atau beberapa tetua desa
setempat.
SEJARAH HUKUM ACARA

ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

PERADILAN DESA

 Hal tersebut dapat dilihat dari ketentuan Pasal 120a HIR Pasal
143a RBg, yang kemudian ditiadakan oleh Undang-Undang
Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Hakim pada Peradilan desa
sebenarnya bukan hakim dalam arti kata sebenarnya, seperti
hakim pengadilan negeri, pengadilan agama, dan sebagainya
yang dapat diketahui dari ketentuan ayat (2) Pasal 3a RO
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

 Penerapan hukum acara yang diberlakukan mengikuti lembaga peradilan


yang ada, semisal untuk peradilan yang berlaku bagi golongan Eropa dan
yang dipersamakan, sudah tersedia hukum acara perdata yaitu Reglement
op de Burgerlijk Rechtsvordering (BRv) sementara untuk lembaga
peradilan bagi golongan bumiputra belum ada. Peraturan hukum acara
perdata yang dipergunakan saat itu hanyalah beberapa pasal yang
terdapat dalam Stb. 1819-20.
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

 Sebelum tanggal 5 April 1848


Hukum acara perdata yang digunakan di pengadilan Gubernemen
bagi golongan Bumiputera untuk kota-kota besar di Jawa adalah
BrV (hukum acara bagi golongan Eropa). Untuk luar kota-kota
besar Jawa digunakan beberapa pasal dalam Stb 1819-20
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

 Pada tahun 1846


Ketua Mahkamah Agung (Hooggrerechtshof) Mr H.L Wichers
tidak setuju hukum acara perdata bagi golongan Eropa digunakan
untuk golongan Bumiputera tanpa berdasarkan perintah Undang-
undang.
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

 Gubenur Jendral J.J Rochussen menugaskan Wichers membuat


rancangan Reglement tentang Administrasi Polisi dan Hukum
Acara Perdata dan Pidana Bagi Bumiputera.
 Tahun 1847 rancangan selesai dibuat tetapi JJ Rochussen
mengajukan keberatan yaitu:
a. Pasal 432 ayat (2) : membolehkan pengadilan yang
memeriksa perkara perdata untuk golongan Bumiputera
menggunakan hukum acara perdata yang diperuntukkan
untuk golongan Eropa.
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

b. Rancangan itu terlalu sederhana karena tidak


dimasukkannya lembag-lembaga intervensi, kumulasi
gugatan, penjaminan dan rekes civil seperti yang
termuat dalam BRv
 Tanggal 5 April 1848 setelah melakukan perubahan dan
penambahan maka rancangan itu ditetapkan dengan nama
Inlandsch Reglement (IR) yang ditetapak dengan Stb
1848-16 dan disahkan dengan firman Raja tanggal 29
September 1849 dengan Stb 1849-63
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

 Tanggal 5 April 1848 setelah melakukan perubahan dan


penambahan maka rancangan itu ditetapkan dengan nama
Inlandsch Reglement (IR) yang ditetapak dengan Stb
1848-16 dan disahkan dengan firman Raja tanggal 29
September 1849 dengan Stb 1849-63
 Tahun 1927 diberlakukan RBg (Rechtsreglement voor de
Buitengewesten) yaitu hukum acara perdata bagi golongan
Bumiputera luar Jawa dan Madura. Sebelumnya berlaku
peraturan tentang susunan Kehakiman dan kebijaksanaan
Pengadilan Stb 1847 -23.
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA

 Tahun 1941 terjadi perubahan nama Ir menjadi HIR (Herzeine


Indlansch Reglement)dengan Stb 1941-44 yang berlaku untuk
Jawa dan Madura.

 Pada saat ini dengan Pasal II Peraturan Peralihan UUD 1945


yang telah diamandemen yg ke 4 HIR dan RBg masih berlaku
sampai saat ini.
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG

 Setelah penyerahan kekuasaan oleh Pemerintah Belanda kepada


Pemerintah Balatentara Dai Nippon pada Maret 1942, pada 7
Maret 1942 untuk daerah Jawa dan Madura pembesar balatentara
Dai Nippon mengeluarkan Undang-Undang 1942-1 yang pada
Pasal 3 mengatakan, semua badan pemerintah dan kekuasaannya,
hukum dan undang-undang dari pemerintah yang dulu, tetap
diakui sah dan untuk sementara waktu asal saja tidak
bertentangan dengan aturan pemerintah militer.
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG

 Atas dasar undangundang ini, peraturan hukum acara perdata di


Jawa dan Madura masih tetap diberlakukan HIR. Untuk daerah di
luar Jawa dan Madura, badan-badan kekuasaan dari Pemerintah
Balatentara Dai Nippon pada dasarnya juga mengeluarkan
peraturan yang sama seperti di Jawa dan Madura. Dengan
demikian, untuk peraturan hukum acara perdata di luar Jawa dan
Madura masih tetap diberlakukan RBg
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG

 April 1942, Pemerintah Balatentara Dai Nippon mengeluarkan


peraturan baru tentang susunan dan kekuasaan pengadilan, untuk
semua golongan penduduk, kecuali orang-orang bangsa Jepang,
hanya diadakan satu macam pengadilan sebagai pengadilan
sehari-hari, yaitu pengadilan tinggi alias kootoo hooin dalam
pemeriksaan perkara tingkatan kedua. Mula-mula, ada saikoo
hooin sebagai ganti hooggrecehtshof.
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG
 Dengan undang-undang Panglima Balatentara Dai Nippon pada
1944, pekerjaan saikoo hooin dihentikan dan sebagian diserahkan
kepada pengadilan tinggI
 Semua golongan penduduk, termasuk juga golongan Eropa,
tunduk pada satu macam pengadilan untuk pemeriksaan tingkat
pertama, yaitu tihoo hooin menggantikan landraad, sedangkan
raad van justitie dan residentiegerecht dihapuskan.
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG

 Dengan demikian, BRv sebagai hukum acara perdata yang


diperuntukkan bagi golongan Eropa juga tidak belaku lagi.
Ketentuan hukum acara perdata yang berlaku untuk pemeriksaan
perkara di muka tihoo hooin adalah HIR untuk Jawa dan Madura,
sedangkan RBg untuk daerah luar Jawa dan Madura (daerah
seberang).
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN PENDUDUKAN JEPANG

 Sementara itu, bagi mereka semua yang hukum materiilnya


termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
masih dapat mengikuti ketentuan dari BRv sepanjang itu
dibutuhkan, ketentuan yang di dalam HIR dan RBg tidak diatur.
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN SETELAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN

 Keadaan yang telah ada pada zaman Pemerintahan Balatentara


Dai Nippon diteruskan berlakunya.
 Hal ini didasarkan pada ketentuan Aturan Peralihan Pasal II dan
IV UndangUndang Dasar Republik Indonesia tertanggal 18
Agustus 1945 jo Peraturan Pemerintah 1945-2 tertanggal 10
Oktober 1945.
 HIR dan RBg masih tetap berlaku sebagai peraturan hukum acara
di muka pengadilan negeri untuk semua golongan penduduk
(semua warga negara Indonesia)
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN SETELAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN

 Dengan diundangkannya Undang-Undang Darurat 1951-1


tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan
kesatuan, susunan, dan acara pengadilan-pengadilan sipil, pada
14 Januari 1951 dengan Lembaran Negara 1951-9, mulailah
dirintis jalan menuju asas unifikasi dalam bidang pengadilan dan
peraturan hukum cara yang sebenarnya sudah dimulai sejak
zaman Pemerintahan Balatentara Dai Nippon
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN SETELAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN
 Menurut ketentuan undang-undang ini, untuk semua warga
negara Indonesia di seluruh Indonesia, hanya ada tiga macam
pengadilan sipil sehari-hari :
a. Pengadilan negeri yang memeriksa dan memutus perkara
perdata dan pidana untuk tingkat pertama;
b. Pengadilan tinggi yang memeriksa dan memutus perkara
perdata dan pidana untuk tingkat kedua atau banding;
c. Mahkamah Agung yang memeriksa dan memutus perkara
perdata dan pidana dalam tingkat kasasi.
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN SETELAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN

 Pasal 5 Undang-Undang Darurat 1951-1, acara pada pengadilan


negeri dilakukan dengan mengindahkan peraturan-peraturan
Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku untuk
pengadilan negeri. Adapun yang dimaksud dengan ”peraturan-
peraturan Republik Indonesia dahulu yang telah ada dan berlaku”
adalah tidak lain daripada HIR untuk Jawa dan Madura serta
RBg untuk luar Jawa dan Madura.
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN SETELAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN

 Selanjutnya, dalam Pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Darurat 1951-


1, ditentukan bahwa HIR seberapa mungkin harus diambil
sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil. Untuk
perkara perdata tidak disinggung-singgung. Ini berarti bahwa
untuk perkara perdata HIR dan RBg bukanlah sebagai pedoman
saja, melainkan sebagai peraturan hukum acara perdata yang
harus diikuti dan diindahkan
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN SETELAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN

 Walaupun ada dua peraturan hukum acara perdata untuk


pengadilan negeri, yaitu HIR untuk Jawa dan Madura serta RBg
untuk luar Jawa dan Madura; isinya sama saja sehingga secara
material sudah ada keseragaman untuk peraturan hukum acara
perdata bagi semua pengadilan negeri di seluruh Indonesia.
Karena itu, asas unifikasi yang dikehendaki oleh Pasal 6 ayat 1
Undang-Undang Darurat 1951-1 dalam bidang hukum acara
pidana dan acara perdata sudah tercapai.
SEJARAH HUKUM ACARA PERDATA DI INDONESIA
ZAMAN SETELAH PROKLAMASI KEMERDEKAAN

 Kemudian, peraturan hukum acara perdata yang ada tersebut


diperkaya dengan yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia. Adapun yang ditunggu selanjutnya untuk masa akan
datang adalah hukum acara perdata nasional ciptaan sendiri
sebagai kodifikasi hukum yang akan menggantikan hukum
acara perdata warisan zaman Pemerintahan Hindia Belanda
dahulu yang hingga sekarang masih berlaku
SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
1. Herziene Inlandsch Reglemen (HIR)
 Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah Pulau Jawa
dan Madura.
 Dituangkan pada BAB IX,  serta beberapa pasal yang tersebar
antara Pasal 372-394.
 Pasal 115 s/d Pasal 117 HIR tidak berlaku lagi berhubung
dihapusnya Pengadilan Kabupaten oleh UU No.1 drt. Tahun
1951
 Peraturan mengenai banding dalam pasal 188 – 194 HIR  juga
tidak berlaku lagi dengan adanya Undang-Undang Nomor 20
Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa dan Madura.
SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
2. Rechtreglement Buittengewesten (RBg)
 Hukum Acara Perdata yang berlaku untuk daerah-daerah luar
pulau Jawa dan Madura. RBg terdiri dari 5 (lima) BAB dan
723 (tujuh ratus dua puluh tiga) pasal.
 Ketentuan Hukum Acara Perdata yang termuat dalam BAB II
Title I, II, III, VI, dan VII tidak berlaku lagi, yang masih
berlaku hingga sekarang adalah Title IV dan V bagi Landraad
(sekarang Pengadilan Negeri).
SUMBER HUKUM ACARA PERDATA

3. Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering), S. 1847


nomor 52 dan S.1849 Nomor 63. Rv lazim disebut dengan
Reglemen Hukum Acara Perdata untuk Golongan Eropa.
4. BW (Kitab Undang Undang Hukum Perdata), khususnya Buku
ke IV.
5. WvK (Kitab Undang Undang Hukum Dagang).
SUMBER HUKUM ACARA PERDATA

6. Berbagai Undang Undang yang berkaitan seperti:


a. UU tentang Peradilan Ulangan / Acara Banding ( UU Nomor
20/1947).
b. UU tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 48/2009).
c. UU tentang Mahkamah Agung ( UU Nomor 14/1985, jo. UU
Nomor 5/2004, jis UU Nomor 3/2009).
SUMBER HUKUM ACARA PERDATA

d. UU tentang Peradilan Umum (UU Nomor 2/1986, jo. UU


Nomor 8/2004, jis. UU Nomor 49/2009).
e. UU tentang Peradilan Agama (UU Nomor 7/1989, jo. UU
Nomor 3/2006, jis. UU Nomor 50/2009).
f. UU tentang Advokat (UU Nomor 18/2003).
g. UU tentang Perkawinan (UU Nomor 1/1974) dan peraturan
pelaksanaannya seperti PP Nomor 9/1975 dan PP Nomor
10 / 1983.
h. UU tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang
(UU Nomor 37/2004).
SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
7. Yurisprudensi.
8. Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).
9. Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).
10. Perjanjian Internasional.
11. Doktrin dan Ilmu Pengetahuan
12. Adat Kebiasaan.
SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
PERADILAN AGAMA

 Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan


Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku
pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali
telah diatur secara khusus dalam undang-undang ini (UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana diubah
dengan UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan UU
No. 50/2009)
.
SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
PERADILAN AGAMA

1. Kompilasi Hukum Islam (KHI)


 Inpres No. 1/1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam yang
kemudian ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri No.
154 tahun 1991 tentang pelaksanaan Inpres No. 1/1991
mengenai penyebarluasan KHI.
 Kebutuhan akan adanya KHI di Indonesia sebagai upaya
memperoleh kesatuan hukum dalam memeriksa dan
memutuskan perkara bagi para hakim di lingkungan
peradilan agama.
SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
PERADILAN AGAMA

2. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES)


 PERMA No. 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah sebagai pedoman penyelesaian sengketa
ekonomi syari’ah. Kompilasi Hukum Ekonomi Syari'ah
terdiri dari empat buku, antara lain:
a. Buku I tentang Subyek Hukum dan Amwal
b. Buku II tentang Akad
c. Buku III tentang Zakat dan Hibah
d. Buku IV tentang Akuntansi Syari'ah.
SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
PERADILAN AGAMA

3. Qonun
 Pengkhususan Peradilan Agama di Aceh dengan adanya
Mahkamah Syar’iyah. Pada peradilan tingkat pertama disebut
sebagai Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah
Propinsi sebagai pengadilan tingkat Banding. Serta untuk
tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai
peradilan tertinggi.
SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
PERADILAN AGAMA

 Kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas syari’at


Islam dalam sistem hukum nasional yang diatur dalam Qanun
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002 tentang
Peradilan Syari’at Islam. Sebagaimana diatur dalam pasal 49
Qanun Nomor 10 Tahun 2002 tentang peradilan Syari’at
Islam, kewenangan Peradilan Agama di Aceh meliputi ahwal
syahsiyah atau hukum keluarga, Muamalah atau hukum
perdata, dan Jinayah atau hukum Pidana.
SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
PERADILAN AGAMA
 Diantaranya :
1. Qanun 10/2002 tentang Peradilan Syari'at Islam
2. Qanun 11/2002 tentang Pelaksanaan Syari'at Islam
3. Qanun 12/2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya
4. Qanun 13/2003 tentang Maisir (Perjudian)
5. Qanun 14/2003 tentang Khalwat (Mesum)
6. Qanun 10/2002 tentang Peradilan Syari'at Islam
7. Qanun 7/2004 tentang Pengelolaan Zakat.
SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
PERADILAN AGAMA
4. Fatwa-fatwa Ulama/Ahli Fiqh
 Sebelum adanya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
dan UU No. 7 tentang Peradilan Agama belum ada peraturan
resmi yang mengatur tentang hukum acara di Peradilan
Agama.
 Para hakim dilingkungan Peradilan Agama menggunakan
kitab-kitab fikih yang berisi ilmu pengetahuan hukum yang
ditulis oleh para ahli fikih sebagai dasar untuk memeriksa
dan mengadili perkara di Pengadilan sehingga adanya
perbedaan dalam penerapannya
SUMBER HUKUM ACARA PERDATA
PERADILAN AGAMA
 Menggunakan sebagai pedoman hukum acara yang
bersumber dalam kitab fikih diantaranya Al Bajuri Fathul
Mu'in, Sarqawi at-Tahrir, Qalyubi wa Umairah/Al Mahalli,
Fathul Wahhab dan syarahnya, Tuhfah, Targhib al Mustaq,
Qawanin Syari'ah li Sayyid bin Yahya, Qawanin Syari'ah li
Sayyid Shadaqah, Syamsuri lil Fara'id, Bughyat al
Musytarsyidin, Al Fiqh 'ala Madzahib al Arba'ah dan Mughni
al Muhtaj
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

1. Hakim Bersifat Menunggu (iudex no procedat ex officio).


 Asas ini dapat ditemukan pada pasal 10 ayat (1) UU No. 48
Tahun 2009 dan pasal 142 RBg / pasal 118 HIR.
 Pasal 142 ayat (1) RBg menentukan bahwa gugatan perdata
dalam tingkat pertama yang pemeriksaannya menjadi
wewenang pengadilan negeri diajukan oleh penggugat atau
oleh seorang kuasanya.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

 Hakim bersifat menunggu artinya inisiatif pengajuan gugatan


beasal dari penggugat, hakim (pengadilan)hanya menunggu
diajukannya tuntutan hak oleh penggugat. Yang mengajukan
tuntutan hak adalah pihak yang berkepentingan
 Apabila tidak diajukannya gugatan atau tuntutan hak, maka
tidak ada hakim. Hakim baru bekerja setelah tuntutan
diajukan kepadanya.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

 Apabila tuntutan atau perkara diajukan kepadanya, maka


pengadilan / hakim dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili dan memutus sustu perkara, dengan alasan bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA
2. Hakim Bersifat Pasif (lijdelijkeheid van rechter)
 Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif
dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok
sengketa yang diajukan untuk diperiksa pada asasnya
ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh
hakim.
 Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan cepat sederhana dan biaya ringan
(pasal 4 ayat (2) UU No. 48/2009).
ASAS HUKUM ACARA PERDATA
 Asas hakim bersifat pasif ini mengandung beberapa makna,
di ataranya :
a. Inisiatif untuk mengadakan acara perdata ada pada pihak-
pihak yang berkepentingan dan tidak pernah dilakukan
oleh hakim.
b. Hakim wajib mengadili seluruh tuntutan dan dilarang
menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut
atau mengabulkan lebih daripada yang dituntut (pasal 189
RBg / 178 HIR).
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

c. Hakim mengejar kebenaran formil, kebenaran yang hanya


didasarkan kepada bukti- bukti yang diajukan di depan
sidang pengadilan tanpa harus disertai keyakinan hakim.
d. Para pihak yang berperkara bebas pula untuk mengajukan
atau untuk tidak mengajukan upaya hukum, bahkan untuk
mengakhiri perkara di pengadilan dengan perdamaian.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA
3. Hakim Aktif Dalam Pemeriksaan Perkara
 Dalam asas hakim pasif ini mengandung juga asas hakim
aktif misalnya dalam hal hakim berusaha untuk
mendamaikan kedua belah pihak, menjaga agar persidangan
berjalan dengan aman dan lancar, menunda persidangan,
memerintahkan pembuktian, menjelaskan mengenai upaya
hukum dan sebagainya.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA
4. Persidangan Terbuka Untuk Umum (0penbaarheid van
rechtspraak)
 Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan
kehakiman menentukan “semua sidang pemeriksaan
pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang
undang menentukan lain”.
 Asas ini membuka kesempatan untuk “sosial kontrol” untuk
menjamin peradilan yang tidak memihak, adil, obyektif,
berproses sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

 Masyarakat secara umum dapat hadir, mendengarkan dan


menyaksikan jalannya persidangan yang dinyatakan terbuka
untuk umum, kecuali ditentukan lain oleh undang undang
dan persidangan dinyatakan dilakukan dengan pintu tertutup.
 Asas ini bertujuan untuk memberi perlindungan hak hak
asasi manusia di bidang peradilan, sehingga terjadi
pemeriksaan yang fair dan obyektif dan didapat putusan yang
obyektif.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

 Putusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang


terbuka untuk umum. Putusan tidak sah dan batal demi
hukum apabila tidak diucapkan dalam sidang yang
terbuka untuk umuum.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

5. Audi Et Alteram Partem


 Asas ini tercermin dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun
2009, pasal 145 dan 157 RBg, pasal 121 dan 132 HIR.
 Pengadilan harus memperlakukan kedua belah pihak sama,
memberi kesempatan yang sama kepada para pihak untuk
memberi pendapatnya dan tidak memihak.
 Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membedakan orang,
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

6. Putusan Harus Disertai Alasan (motivering plicht-voeldoende


gemotiveerd).
 Alasan tersebut dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban
hakim dari putusannya terhadap masyarakat, para pihak,
pengadilan yang lebih tinggi, ilmu hukum sehingga oleh
karenanya mempunyai nilai obyektif.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA
 Kewajiban mencantumkan alasan alasan ditentukan dalam
pasal 195 RBg, Pasal 184 HIR, pasal 50 dqn 53 UU No. 48
Tahun 2009, pasal 68 A UU No. 49 Tahun 2009 menentukan :
1) Dalam memeriksa dan memutusrus bertanggungjawab
atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.
2) Penetapan dan putusan sebagaimana yang dimaksud pada
ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang
didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan
benar.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

8. Beracara Dikenakan Biaya.


 Hal ini dengan jelas tertuang dalam pasal 2 ayat (4) UU No.
48/2009, pasal 145 ayat (4), pasal 192, pasal 194 RBg, pasal
121 ayat (4), pasal 182, pasal 183 HIR.
 Biaya perkara ini dipakai untuk: biaya kepaniteraan, biaya
panggilan, biaya pemberitahuan, biaya materai, dan lain-lain
biaya yang memang diperlukan seprti misalnya biaya
pemeriksaan setempat.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

 Dimungkinkan bagi yang tidak mampu untuk berperkara


secara “prodeo” atau berperkara secara cuma-cuma
sebagaimana yang diatur dalam pasal 273 RBg / 237 HIR,
yang menentukan : penggugat atau tergugat yang tidak
mampu membayar biaya perkara dapat diizinkan untuk
berperkara tanpa biaya.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

9. Trilogi Peradilan (Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan).


 Asas ini tercantum dalam pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun
2009 yang menekankan pada kata “”sederhana” dan “cepat”
dan “biaya ringan”.
 Apabila “sederhana” dan “cepat” sudah dapat diterapkan
melalui tidakan teknis-konkrit persidangan maka biaya yang
akan dikeluarkan oleh para pihak akan semakin ringan.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

 Yang dimaksud dengan sederhana adalah acaranya jelas,


mudah dipahami dan tidak berbelit-belit.
 Yang dimaksud dengan Cepat menunjuk jalannya peradilan
yang cepat dan proses penyelesaiannya tidak berlarut larut
yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli warisnya.
 Yang dimaksud dengan biaya ringan maksudnya biaya
yang serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh
masyarakat.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

 Yang dimaksud dengan asas sederhana, cepat dan biaya


ringan adalah hakim dalam mengadili suatu perkara harus
berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan perkara
dalam tempo yang tidak terlalu lama.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA
10. Asas Bebas Dari Campur Tangan Pihak Di Luar Pengadilan
 Hakim dituntut sungguh-sungguh mandiri, mempunyai
otonomi yang selalu harus dijaga agar proses peradilan
berjalan menuju sasaran : peradilan yang obyektif, fair, jujur
dan tidak memihak.
 Hakim tidak boleh terpengaruh oleh hal-hal di luar
pengadilan, seperti pengaruh uang, pengaruh kekerabatan,
pengaruh kekuasaan dan lain sebagainya.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

11. Asas Harus Memutus Semua Tuntutan


 Selain hakim dalam putusan harus menunjuk dasar hukum
yang dipakai sebagai dasar putusannya, hakim harus pula
memutus semua tuntutan dari pihak (Pasal 178 ayat (2) HIR,
189 ayat (2) RBg).
 Mengenai hakim akan menolak atau mengabulkan tuntutan
tersebut, hal itu tidak menjadi masalah, tergantung dari
terbukti atau tidaknya hal-hal yang dituntut tersebut.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA
 Meskipun hakim harus memutus semua tuntutan yang
diajukan oleh penggugat dalam gugatannya, hakim tidak
boleh memutus lebih atau lain dari pada yang dituntut, Pasal
178 ayat (3) HIR, 189 ayat (3) HIR.
 Ada pendapat yang mengatakan bahwa dalam hakim
memutus menurut hukum adat maka putusan hakim harus
”tuntas”. Itu artinya bahwa putusan hakim tersebut harus
sungguh-sungguh menyelesaikan atau menyudahi masalah
atau sengketa antara para pihak itu.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

12. Asas Tidak Ada Keharusan Mewakilkan


 HIR tidak mewajibkan orang untuk mewakilkan kepada
orang lain apabila hendak beperkara di muka pengadilan,
baik sebagai penggugat maupun sebagai tergugat, sehingga
pemeriksaan di persidangan dapat terjadi secara langsung
terhadap para pihak yang berkepentingan.
 Namun demikian, para pihak dapat juga dibantu atau diwakili
oleh kuasanya apabila dikehendaki (Pasal 123 HIR/ Pasal
147 RBg).
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

12. Asas Ius Curia Novit


 Hakim dianggap mengetahui semua hukum sehingga tidak
boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara.
 Ditegaskan dalam Pasal 10 UU No 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut:
1. Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

2. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak


menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara
perdamaian.”
 Hakim sebagai organ pengadilan:[1]
a. Dianggap memahami hukum;
b. Oleh karena itu harus memberi pelayanan kepada setiap
pencari keadilan yang memohon keadilan kepadanya;
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

c. Apabila hakim dalam memberi pelayanan menyelesaikan


sengketa, tidak menemukan hukum tertulis, hakim wajib
menggali hukum tidak tertulis untuk memutus perkara
berdasar hukum sebagai orang yang bijaksana dan
bertanggungjawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa,
diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

Selain beberapa asas di atas, dalam lingkungan Peradilan Agama


ada beberapa asas yang bersifat khusus diantaranya :
13. Asas Personalitas Ke-islaman
 Yang tunduk dan yang dapat ditundukkan kepada kekuasaan
peradilan agama, hanya mereka yang mengaku dirinya
beragama Islam (UU nomor 3 Tahun 2006 Tentang
perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1989 Tentang peradilan
agama Pasal 2 Penjelasan Umum alenia ketiga dan Pasal 49)
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

 Ketentuan yang melekat pada UU No. 3 Tahun 2006 Tentang


asas personalitas ke-islaman adalah:
a. Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama
Islam.
b. Perkara perdata yang disengketakan mengenai
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq,
shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.
c. Hubungan hukum yang melandasi berdsarkan hukum
islam, oleh karena itu acara penyelesaiannya berdasarkan
hukum Islam
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

 Khusus mengenai perkara perceraian, yang digunakan


sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadila
Agama adalah hukum yang berlaku pada waktu
pernikahan dilangsungkan.
 Letak asas personalitas ke-Islaman berpatokan pada saat
terjadinya hubungan hukum, artinya patokan menentukan ke-
Islaman seseorang didasarkan pada factor formil tanpa
mempersoalkan kualitas ke-Islaman yang bersangkutan.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA

 Sedangkan mengenai patokan asas personalitas ke-Islaman


berdasar saat terjadinya hubungan hukum, ditentukan oleh
dua syarat : Pertama, pada saat terjadinya hubungan hukum,
kedua pihak sama-sama beragama Islam, dan Kedua,
hubungan hukum yang melandasi keperdataan tertentu
tersebut berdasarkan hukum Islam, oleh karena itu cara
penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
ASAS HUKUM ACARA PERDATA
14. Asas Ishlah (Upaya Perdamain)
 Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiap perselisihan
dengan melalui pendekatan “Ishlah”.
 Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo. Pasal
31 PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan UU No. 1
Tentang perkawinan jo. Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) UU
No. 7 Tahun 1989 yang telah diubah dalam UU No. 3 Tahun
2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 KHI, jo. Pasal
16 (2) UU Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
SELESAI

Anda mungkin juga menyukai