Anda di halaman 1dari 9

JIUBJ

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi, 20(1), Februari 2020, pp.320-328


DOI 10.33087/jiubj.v20i1.890
ISSN 1411-8939 (Online) | ISSN 2549-4236 (Print)
Ridham Priskap

Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia


Ridham Priskap
Dosen Fakultas Hukum dan Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi
Correspondence email: ridham_priskap@unja.ac.id

Abstrak. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia dari dulu sampai sekarang tetap eksis walaupun mengalami pasang surut, sejarah
pperkembangan lembaga ini sudah dimulai jauh sebelum kemerdekaan, bahkan sebelum Hindia Belanda bercokol di bumi
nusantara ini kekuasaan kehakiman telah eksis dalam bentuk lembaga peradilan adat. Sebagai lembaga yang memberi
perlindungan terhadap masyarakat kekuasaan kehakiman dari masa kemasa telah menunjukkan fungsi-fungsinya sebagai benteng
terakhir untuk mencari keadilan hukum bagi masyarakat.

Keywords: perkembangan; kekuasaan kehakiman

Abstract. Judicial power in Indonesia from the past until now still exists despite the ups and downs, the history of the development
of this institution has begun long before independence, even before the Dutch East Indies were entrenched in the archipelago, this
judicial authority has existed in the form of traditional justice institutions. As an institution that provides protection to the
community, the judicial authority has shown its functions as the last stronghold to seek legal justice for the community.

Keywords: development; judicial power

PENDAHULUAN mengikutinya. Untuk melihat sejarah pekembangan


Salah satu fungsi pokok kekuasaan kehakiman kekuasaan kehakiman tersebut paling tidak penelusuran
adalah untuk memutus perkara dengan menerapkan harus dikaji pada tiga tahapan, yaitu tahap pemerintahan
hukum materil secara paksa, pada sisi lain dapat dilihat Hindia Belanda dimana badan-badan peradilan sebagai
bahwa arti penting kekuasaan kehakiman adalah untuk pelaksana kekuasaan kehakiman bersifat pluralistik dan
memutus sengketa hukum yang timbul antara anggota diskriminatif karena adanya perbedaan peradilan yang
masyarakat satu sama lain dan antara anggota khusus untuk orang-orang eropa atau yang dipersamakan
masyarakat dengan pihak pemerintah. Kewenangan dengannya dan ada badan peradilan yang khusus untuk
untuk memutus perkara itu tujuan akhirnya sudah barang golongan pribumi seperti adanya peradilan Gubernemen
tentu untuk mewujudkan ketertiban umum di masyarakat dan peradilan Adat.
melalui putusan yang adil. Diskusi tentang kewenangan Peradilan Gubernemen mengadili atau
pokok mengadili tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan melaksanakan fungsinya atas nama Raja atau Ratu
luas ruang lingkup kekuasaan kehakiman. Luas ruang Belanda, sedangkan Peradilan Adat tidak demikian
lingkup kekuasaan kehakiman itu dapat didekati dari dua halnya. Kebijakan yang diambil pemerintah Hindia
aspek yaitu: pertama, aspek institusional berupa jenis- Belanda mengenai peradilan adalah dengan
jenis kelembagaan Peradilan yang diserahi kekuasaan mengeluarkan Staatblad 1932 Nomor 80 yang mengatur
kehakiman; kedua, aspek fungsional berupa ragam tentang susunan dan kedudukan, kekuasaan mengadili,
fungsi yang diserahkan oleh Undang-undang kepada hukum materil dan hukum acara badan Peradilan Adat.
kekuasaan kehakiman. Disamping itu diberi kewenangan kepada Residen untuk
Khusus untuk aspek yang pertama sebagai menyusun peraturan pelaksanaannya. Dalam prakteknya
institusi Peradilan dipandang perlu menelusuri peradilan ini bukanlah bentuk peradilan yang bebas dan
perkembangan kelembagaan itu mulai dari jaman merdeka karena Residen mempunyai kewenangan untuk
kolonial hingga jaman kemerdekaan. Penelusuran ini di membatalkan putusan pengadilan adat atau
samping bertujuan untuk memperluas wacana bahasan, memerintahkan pemeriksaan kembali oleh hakim yang
juga didasari pada pemahaman bahwa konsep keadilan ditunjuk oleh Residen dan Residen berkuasa untuk
dan ketertiban umum seperti diingkatkan oleh Friedman menetapkan bahwa seseorang tidak termasuk ke dalam
(1983:37), bahwa konsep kekuasaan kehakiman jurusdiksi Peradilan Adat setempat.
bukanlah konsep yang statis melainkan konsep yang Pada masa pemerintahan Jepang dimana
terus berkembang (… “it should, however be borne in tujuannya hanya untuk melindungi kepentingan dan
mind that public order itself is not a static concept”). keselematan prajurit yang sedang mengalami peperangan
Dilihat dari sejarahnya kekuasaan kehakiman sehingga karakteristik pemerintah penjajahan Jepang di
telah mengalami perkembangan yang sangat panjang Indonesia adalah pemerintah militer dengan tujuan
sesuai situasi dan kondisi politik yang terus utamanya adalah untuk menjaga keselamatan dan
berkembangan menurut era ketatanegaraan yang keamanan personil militer Jepang demi tercapainya

320
Ridham Priskap, Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

tujuan perang. Sesuai dengan karakteristik dan tujuan Peradilan Gubernemen


perang maka yang pertama-tama dibentuk oleh Peradilan Gubernemen terdiri dari dua bagian
pemerintah militer Jepang adalah peradilan yang yaitu Peradilan Sipil dan Peradilan Militer. Peradilan
melindungi militer yang disebut Gunritukaigi. Sipil terdiri atas 4 (empat) kamar yaitu:
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia setelah 1) Lansdgerecht dimana peradilan ini berlaku untuk
kemerdekaan, kekuasaan kehakiman mendapat penataan semua golongan.
secara sungguh-sungguh walaupun dalam berbagai hal 2) Inlandsche Rechtspraak atau Peradilan Pribumi,
model kekuasaan kehakiman yang dirumuskan masih yang pada prinsipnya berlaku untuk golongan
menggambarkan adanya kekurangan dan kelemahan Pribumi. Untuk daerah Jawa dan Madura Peradilan
yang belum sepenuhnya dapat difungsikan sebagai bawahan berupa Districtsgerecht dan
lembaga yang memberi keadilan dan pengayoman Regentschaosgerecht. Peradilan atasan dari kedua
masyarakat. Bertolak dari pemikiran yang demikian jenis Peradilan itu adalah Peradilan Landraad. Untuk
dianggap perlu untuk mencermati dan mengakaji sejarah daerah Seberang Peradilan bawahan berupa:
perkembangan kekuasaan kehakiman di Indonesia yang Negorijrechtbank, Districsgerecht/Districtsraad, dan
pengkajiannya dilakukan baik pada masa sebelum Magistraats-gerecht. Sama dengan di daerah Jawa
kemerdekaan dan sesudah kemerdekaan Negara dan Madura Peradilan atasan dari kesemua peradilan
Republik Indonesia. itu adalah Peradilan landraad.
3) Europeesche Rechtspraak (Peradilan Eropa), pada
Rumusan Masalah prinsipnya berlaku untuk golongan Eropa, susunan
Dari apa yang diuraikan di atas, permalasahan peradilan ini pada tingkat banding dikenal dengan
yang akan dibahas dalam tulisan yang singkat ini Raad van Justitutie dan tingkat kasasi berupa Hoog
dibatasi pada: Gerechtshof van Nederlandsche Indie.
1. Kekuasaan Kehakiman pada Masa Pemerintahan 4) Peradilan Agama, peradilan ini mengadili perkara
Hindia Belanda agama Islam. Peradilan jenis ini terdapat: di Jawa dan
2. Kekuasaan Kehakiman Masa Pemerintahan Militer Madura berupa: Priesterraad dan Hof voor
Jepang Islamictische Zaken; Di Banjarmasin dan Hoeloe
3. Kekuasaan Kehakiman Setelah Kemerdekaan Soengai berupa Qadi; sedangkan di daerah lain
Republik Indonesia seperti Palembang, Jambi, Pontianak, Ternate,
Ambon, Makasar dan lain-lain, disesuaikan dengan
HASIL DAN PEMBAHASAN sebutan yang dikenal di daerahnya masing-masing,
Kekuasaan Kehakiman pada Masa Pemerintahan dan pada umumnya menggunakan sebutan Qadi.
Hindia Belanda Sementara peradilan yang merupakan bagian dar
Pada masa pemerintahan kolonial Hindia Peradilan Militer terdiri dari Krijgsraad. Zeekrijgsraad,
Belanda, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat dan Hoog Militer Gerechtshof. Krijgsraad merupakan
badan Peradilan yang dalam bahasa Belanda dikenal peradilan militer yang terdapat di Cimahi, Makasar dan
dengan istilah rechtspraaken, peradilan yang dimaksud Padang. Pengadilan Krijgsraad ini mempunyai
terdiri dari: (Sotoprawiro, 1994:91-92): kekuasaan dan berwenang mengadili perkara tentara
1) Peradilan Gubernemen (Gouvernements rechtpraak) Belanda (KNIL) yang berpangkat Kapten ke bawah,
yang meliputi seluruh Hindia Belanda. sedang Zeekrijgsraad merupakan pengadilan Militer
2) Peradilan Pribumi (Inheemscherecht-spraak) hanya yang pada prinsipnya sama dengan Krijgsraad,
terdapat di daerah langsung (administratif) daerah perbedaannya hanyalah bahwa Peradilan ini
seberang. diselenggarakan di atas kapal perang. Sebagai Peradilan
3) Peradilan Swapraja (Zelfbestuurs rechtspraak) yang militer tertinggi adalah apa yang dikenal dengan sebutan
terdapat di daerah tidak langsung (otonom), kecuali Hoog Militair Gerehtshof yaitu peradilan yang
daerah Swapraja Paku Alaman dan Pontianak. berkedudukan di Batavia. Kewenangan dari Hoog
4) Peradilan Desa (Dorps rechtspraak), dengan catatan, Militair Gerehtshof adalah memeriksa perkara pada
di samping yang berdiri sendiri ada yang merupakan tingkat banding dari Krijgsraad dan Zeekrijgsraad, serta
bagian dari Peradilan Gubernemen, Peradilan merupakan Peradilan pertama dan tertinggi dari
Swapraja, maupun Peradilan Adat. kalangan tentara yang berpangkat perwira ke atas.
Pada masing-masing jenis Peradilan itu,
dimungkinkan pula adanya sejenis kamar berupa Kamar Peradilan Adat
Peradilan Agama (Godsdienstige Rechtspraak). Untuk Dasar hukum Peradilan Adat sama dengan dasar
lebih jelasnya pada bagian di bawah ini akan diuraikan hukum Peradilan Gubernemen yaitu Pasal 130 Indische
beberapa peradilan yang ada pada jaman pemerintahan Staatregering (IS) atau Undang-undang Dasar Hindia
Hindia Belanda. Badan-badan peradilan tersebut terdiri Belanda.Walaupun kedua peradilan ini dibentuk dengan
dari: dasar hukum yang sama, namun terdapat perbedaan yang
sangat prinsipil. Peradilan Gubernmen mengadili atau
321
Ridham Priskap, Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

melaksanakan fungsinya atas nama Raja/Ratu Belanda, dalam Peradilan Adat dapat meminta grasi, amnesti dan
sedangkan Peradilan Adat tidak. Meskipun demikian, abolisi kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda.
pemerintah Hindia Belanda mempunyai pengaruh yang Peradilan Adat terdapat di wilayah:
cukup besar dari segi pengaturan dan pengangkatan 1) Onderafdeeling Padanglawas, Afdeelingen
hakim-hakim badan Peradilan Adat ini. Pada awalnya Bataklanden dan Nias kecuali Batoe-Eilanden
Peradilan Adat ini hanya terdapat di daerah daerah (Residentie Tapanoeli);
seberang yang pelaksanaannya dilakukan menurut 2) Onderafdeeling Mentawai-Eilanden dan Distrik
hukum adat masing-masing, kemudian terjadi Kerinci (Residentie Sumatra’s Weskust);
perkembangan karena adanya perubahan sikap 3) Residentie Bengkoelen, kecuali ibukotanya;
pemerintah Belanda untuk membina Peradilan Adat itu. 4) Residentie Palembang, kecuali ibukotanya;
Kebijakan yang diambil pemerintah Hindia Belanda 5) Bekas kesultanan Riau-Lingga (Residentie Riow en
adalah mengeluarkan Staatblad 1932 Nomor 80 yang Onderhoorigheden);
mengatur tentang susunan dan kedudukan, kekuasaan 6) Onderafdeelingen Boven-Mahakam dan Pasir
mengadili, hukum materil dan hukum acara badan (Residentie Zuider en Ooster Afdeeling van
Peradilan Adat. Disamping itu diberi kewenangan Borneo);
kepada Residen untuk menyusun peraturan 7) Bekas kerajaan Gorontalo (Resindetie Manado);
pelaksanaannya. 8) Adatgemeenschapeen Gatarang-Matinggi, Kidnang,
Dilihat dari sudut pandang kedudukan dan Laikang, Wanora Waro (Residentie Celebes en
tingkatannya, pada umumnya badan Peradilan Adat ini Onderhoorighheden);
terdiri dari tiga tingkatan pengadilan yang dikenal 9) Taoen, Nila en Seroea-eilanden; Laboeha. Obi,
dengan: Kekik en Lewin eilanden (Residentie Molukken);
1) Pengadilan Tingkat Desa (Rapat) 10) Afdeeling Groot-Aceh dan Onderafdeeling Singkel
2) Pengadilan Tingkat Rendah (Kleine Rapat) (Residentie Atjeh en Onderhoorigheden);
3) Pengadilan Tingkat Tinggi (Groote Rapat). 11) Onderafdeeling Boven-Kapoeas dan Semitaoe dan
Pengadilan desa (Rapat) dengan pengadilan Distrik Pinohlanden dan Meliaoe (Residentie
Tingkat Rendah (Kleine Rapat) pada prinsipnya Westerafdeeling van Borneo);
memiliki kedudukan (tingkatan) yang relatif sama. 12) Afdeeling Lombok (Residentie Bali en Lombok)
Pengadilan Desa hanya dapat mengadili urusan-urusan
kecil yang dilakukan oleh anggota persekutuan adat Peradilan Swapraja
setempat. Sedangkan Kleine Rapat mengadili unsur- Peradilan Swapraja diselenggarakan atas nama
unsur kecil yang dilakukan oleh orang pribumi bukan kepala Swapraja. Peradilan ini terdapat di setiap
penduduk setempat. Di sisi lain, Groote Rapat Kadipaten Pakoe Alaman dan Swapraja Pontianak.
merupakan pengadilan Tingkat Banding bagi kedua jenis Keberadaan Peradilan Swapraja diakui oleh Pemerintah
pengadilan tersebut, atau menjadi pengadilan pertama Hindia Belanda melalui zelfbestuurs Regelen 1938 atau
bila di daerah tersebut tidak terdapat pengadilan Desa Lange Contact masing-masing Swapraja. Peradilan ini
dan atau pengadilan Tingkat Rendah. Di beberapa ada, baik di Jawa dan Madura maupun di Daerah
daerah seperti di Lombok terdapat pula pengadilan Seberang. Peraturan pelaksanaan mengenai susunan dan
agama yang mempunyai tingkatan yang sejajar dengan kedudukan, kekuasaan mengadili, hukum materiil dan
pengadilan Desa dan Kleine Rapat. Dalam prakteknya hukum formil Badan Peradilan Swapraja ditetapkan oleh
peradilan ini bukanlah bentuk peradilan yang bebas dan Residen setempat setelah berkonsultasi dengan Swapraja
merdeka karena Residen mempunyai kewenangan untuk yang bersangkutan dan setelah mendapat persetujuan
membatalkan putusan pengadilan adat atau dari Departemen Van Justitie. Peraturan Residen ini
memerintahkan pemeriksaan kembali oleh hakim yang dibuat dengan berpedoman pada Staatblad 1932 Nomor
ditunjuk oleh Residen. 80, tentang Badan Peradilan Adat. Oleh karena itu, tidak
Berdasarkan pada Staatblad Tahun 1932 Nomor ada perbedaan yang mendasar antar Peradilan Swapraja
80, Jurisdiksi Peradilan Adat diatur sebagai berikut: di Daerah Seberang dengan Peradilan Adat.
1) Pengadilan Adat berwenang mengadili perkara yang Perbedaannya, hanya terbatas pada kewenangan
terjadi di wilayah kekuasaan Badan Peradilan Adat. penguasa Europessch Bestur untuk bertindak sebagai
2) Semua orang pribumi dari mana pun asalnya dapat penasehat, dan bukan sebagai Ketua Groote Rapat.
menjadi terdakwa atau pun tergugat. Dapat ditambahkan bahwa Peradilan Swapraja di
3) Semua golongan penduduk dapat menjadi penggugat. Kesultanan Deli dan Swapraja Baroesdjahe, Lingga,
Dalam kaitannya dengan Peradilan Adat ternyata Soeka, Sarinembah dan Koetaboeloeh yang termasuk
kekuasaan Residen cukup besar. Residen berkuasa untuk dalam wilayah Onderafdeeling Karolanden, Residentie
menetapkan bahwa seseorang tidak termasuk ke dalam Oostkust van Sumatera mempunyai Pengadilan Desa
jurusdiksi Peradilan Adat setempat. Peradilan Adat tidak sebagai pengadilan bawahannya. Sementara Peradilan
berwenang mengadili perkara kejahatan yang Swapraja di Kesultanan Deli dan Swapraja Poerba
menyangkut aspek keamanan dan ketertiban. Terhukum Dolok dan Si Lima Hoeta yang juga termasuk wilayah
322
Ridham Priskap, Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

Onderafdeeling Karolanden, Residentie OosEust Van Soerakarta) sebagai hakim tunggal. Kawenangan
Sumatera memiliki pula Kamer Agama sebagai salah peradilan Surambi adalah mengadili perkara nikah,
satu unsurnya. talak, rujuk, dan waris. Permintaan banding atas
Menurut Soetoprawiro (1994:118-122) badan- putusan surambi dapat dimintakan pada Peradilan
badan Peradilan Swapraja yang dibentuk di Jawa dan Pradata Gede.
Madura terdapat di Kesultanan Ngyogyakarta c) Peradilan Perdata Gede
Hadiningrat yang dibentuk berdasarkan pada ketentuan Peradilan ini merupakan perdilan tertinggi dengan
Rijksblad 1927 Nomor 35, di Kesunanan Soerakarta sistem majelis, dimana Majelis hakim terdiri dari
Hadiningrat dibentuk berdasarkan Rijksblad 1930 seorang Ketua dan dua orang hakim anggota. Pejabat
Nomor 6 dan Kadipaten Mangkunegara berdasarkan lainnya adalah seorang jaksa dan seorang penghulu.
Rijksblad 1917 Nomor 22. Peradilan Swapradja di Semua pejabat ini diangkat oleh Patih. Kewenangan
Kasultanan Ngayogyakarta meliputi: peradilan ini adalah mengadili perkara pidana dan
a) Peradilan Surambi perdata.
Pengadilan Surambi pada hakekatnya merupakan Sama hal dengan apa yang terdapat di Kasultanan
sebuah peradilan agama, diketuai oleh seorang Ngayogyakarta Hadingingrat dan Kasunanan Soerakarta
Penghulu Hakim (Hoofdpenghoeloe) sebagai hakim Hadiningrat peradilan Swapraja di Kadipaten
tunggal. Pengadilan ini berwenang mengadili perkara Mangkoenegaran meliputi:
nikah, talak dan waris bagi kerabat Sultan serta rapak a) Peradilan Surambi
(permohonan cerai oleh istri) bagi semua kaula. Peradilan Surambi di Kadipaten Mangkoenegaraan
Banding atas putusan ini dapat dimintakan pada Patih adalah merupakan peradilan agama dengan sistem
dan selanjutnya pada Sultan karena dalam peradilan majelis. Bertindak sebagai hakim ketua adalah
surambi kedudukan Sultan sebagai pemegang Penghulu Hakim dengan dibantu oleh beberapa
kekuasaan peradilan tertinggi. Khatib sebagai hakim anggota. Kewenangan
b) Pengadilan Keraton Daerah Dalem peradilan ini adalah mengadili perkara nikah, talak,
Pengadilan ini adalah pengadilan majelis yang terdiri rujuk dan waris. Permintaan banding atas putusan
dari seorang Ketua dan dua orang anggota, dibantu peradilan ini dapat dimintakan pada Peradilan
oleh seorang Panitera ditambah seorang jaksa dan Pradata.
seorang Penghulu. Semua pejabat itu diangkat oleh b) Peradilan Pradata
Sultan. Ketua pengadilan biasanya dijabat oleh Peradilan ini merupakan pengadilan majelis yang
Pangeran Pati (Putera Mahkota) atau Pangeran diketui oleh Patih dengan dibantu sejumlah anggota
Ngabehi (Putra sulung dari istri selir) atau Pangeran Panitera, ditambah jaksa dan seorang penghulu. Akan
yang ditunjuk oleh Sultan. Pengadilan ini berwenang tetapi berkenan dengan perkara pidana sumir,
mengadili perkara pidana yang sejenis dengan pengadilan ini mengadili dengan sistem hakim
perkara yang ditangani oleh Landsgerecht. tunggal. Kewenangan peradilan Pradata adalah
Sedangkan untuk perkara perdata pengadilan ini mengadili semua perkara pidana dan perdata yang
dapat mengadili semua perkara yang tidak ditangani bukan merupakan kewenangan Peradilan Surambi.
oleh Surambi atau Sultan sendiri. Banding atas
putusan dapat dimintakan pada Sultan. Peradilan Desa
c) Pengadilan oleh Sultan Dalam prakteknya dikenal ada dua jenis Peradilan
Sultan mengadili sendiri pada tingkat pertama dan Desa, yaitu pertama Peradilan Desa yang merupakan
terakhir semua tindak pidana yang dilakukan oleh bagian dari Badan Peradilan Gubernemen, dan kedua
Pangeran Pati dan keluarganya, semua para istri Peradilan Desa yang berdiri sendiri. Peradilan yang
sultan sendiri dan para istri sultan yang terdahulu disebut belakangan ini, keberadaannya diakui oleh
dengan keluarganya. Untuk perkara perdata Sultan pemerintah Hindia Belanda melalui penambahan Pasal
berwenang mengadili semua perkara yang tidak 3a ke dalam Rechtelijke Organisatie (RO). Peradilan
berada dalam kewenangan pengadilan Surambi. Desa mengadili menurut hukum adat setempat dan tidak
Sedangkan kekuasaan dan wewenang yang berwenang menjatuhkan putusan yang berisi hukuman.
dimiliki oleh Peradilan Swapraja di Kasunanan Putusan paling jauh berupa permintaan maaf,
Soerakarta Hadiningrat meliputi: perdamaian, pengembalian keseimbangan, dan lain-lain.
a) Peradilan Pradata Para pihak bila tidak mencapai kepuasan dapat
Pengadila ini dilakukan oleh seorang hakim tunggal membawa perkaranya ke Peradilan Gubernemen. Hakim
dan seorang Panitera. Kewenangan peradilan perdata Peradilan Gubernemen tidak terikat pada putusan
sama dengan kewenangan Peradilan Landsgerecht. Peradilan Desa. Namun ia harus memperhatikan putusan
b) Peradilan Surambi itu dengan sungguh-sungguh.
Peradilan ini pada hakikatnya merupakan sebuah Peradilan desa terdapat di Gubernemen
peradilan agama yang dilaksanakan oleh seorang Jogyakarta, Onderafdeeling Mandailing en Natal
Wedana Yogaswara (pejabat agama Kasunanan (Residentie Tapanuli) dan Minangkabau (Residentie
323
Ridham Priskap, Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

Soematera’s Westkust), Residentie Lampungsche sumber minyak, jalan, telepon, pos dan lain-lain
Districten, Bangka en Biliton, Afdeelingen Banjarmasin (Mertokoesoemo, 1971:11-13).
dan Hoeloe Sungai (Residentie Zuider en Selain peradilan yang bersifat melindungi
Oosterafdeeling van Borneo), Onderafdeeling Minahasa, kepentingan milter, dengan UU Nomor 14 Tahun 1942
Residentie Manado serta sejumlah desa di Afdeeling kemudian diubah dengan UU Nomor 34 tahun 1942
Ambina (Residentie Molukken). dibentuklah Gunsei Hoin yaitu Pengadilan Pemerintah
Pada umumnya Peradilan Desa itu berupa Rapat Balatentara dan Gunsei Kensatu Kyoku atau
Desa yang diketuai oleh Kepala Desa yang Kejaksanaan Pemerintah Balatentara. Kedua Undang-
bersangkutan. Hanya ada kekecualian di Mandailing dan undang itu merupakan peraturan dasar bagi
Minangkabau. Di Mandailing pengadilan pembentukan organisasi peradilan di Jawa dan Madura.
diselenggarakan oleh Kepala Adat sebagai hakim Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 1 tahun
tunggal, sementara di Minangkabau Peradilan Desa juga 1942, pada prinsipnya organisasi dan struktur badan
mengadili perkara agama yang tersusun atas tiga peradilan sama dengan organisasi dan struktur badan
tingkatan yaitu: Rapat Nagari (tingkat desa), Rapat Ninik peradilan sebelumnya yang berlaku pada masa Hindia
Mamak (tingkat keluarga besar) dan terendah Rapat Belanda dengan di sana sini diadakan perubahan
Kaum (tingkat keluarga kecil). seperlunya. Perubahan yang mendasar adalah:
1) Dihapuskannya perbedaan antara peradilan
Kekuasaan Kehakiman Pada Masa Penjajahan Gubernemen dan Peradilan Bumi Putera;
Jepang 2) Hakim untuk golongan Eropa dihapuskan;
Karakteristik pemerintah penjajahan Jepang di 3) Hakim untuk golongan Bumi Putera kekuasaannya
Indonesia adalah pemerintah militer. Pada masa diperluas sehingga meliputi semua golongan;
pemerintahan militer Jepang tidak ada lembaga 4) Penghapusan kewenangan mengadili pada tingkat
perwakilan rakyat (badan legislatif) yang berwenang pertama dari Raad van Justitie dan Hooggerechtshof;
membuat Undang-undang seperti halnya suatu 5) Penghapusan peradilan Residentiegerecht;
pemerintah demokratis yang berjalan normal. Tujuan 6) Perubahan istilah-istilah badan peradilan seperti
utama pada awal pemerintahan militer Jepang di “Landraad” menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan
Indonesia adalah untuk menjaga keselamatan dan Negeri), “Landgrecht” menjadi Keizei Hooin (Hakim
keamanan personil militer Jepang demi tercapainya Kepolisian), “Regent Schapsgercht” menjadi Gun
tujuan perang seperti diungkapkan oleh Oppenheim yang Hooin (Pengadilan Kawedanan), “Hof voor
kemudian disitir oleh Francois (1950:333) sebagai Islamietsche Zaken” menjadi Kaikyoo Kootoo Hooin
berikut: … “temporarily necessitated by his interest in (Mahkamah Islam tinggi), “Priesterraad” menjadi
the maintenance and safety of his army in the realisation Sooryoo Hooin (Rapat Agama).
of the purpose of war”. Untuk daerah di luar Jawa dan Madura kondisi
Sesuai dengan karakteristik dan tujuan perang itu seperti itu baru diberlakukan pelaksanaannya berupa
maka yang pertama-tama dibentuk oleh pemerintah Timo Seirei Otsu Nomor 40 Tahun 1943 yang mulai
militer Jepang adalah peradilan yang melindungi militer berlaku sejak tanggal 1 Januari 1944 (Mertokoesoemo,
yang disebut Gunritukaigi. Pembentukannya didasarkan 171:14-20).
pada Osamu Gunrei Nomor 2/1942, sementara
sebelumnya dengan Osamugunrei Nomor 1/1942 telah Kekuasaan Kehakiman Setelah Kemerdekaan
diatur tentang jenis-jenis hukuman pidana yang dapat Republik Indonesia
dijatuhkan. Seiring dengan itu Gunritukaigi berwenang Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan
mengadili tindak pidana yang pada pokoknya dikualifisir pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan landasan bagi
sebagai kejahatan yang bersifat menggangu, terbentuknya sistem tata hukum baru yaitu sistem hukum
menghalang-halangi dan melawan Bala tentara Jepang. Ketatanegaraan Indonesia. Dengan sistem hukum baru
Jenis hukuman dapat berupa: pidana penjara, pidana tersebut bangsa Indonesia bertekad untuk mengganti
pembuangan, pidana denda dan pidana mati. Osamu seluruh sistem hukum kolonial dengan sistem hukum
Gunrei Nomor 1/1942 membenarkan penjatuhan pidana nasional Indonesia. Hal ini merupakan konsekuensi
kumulatif yaitu penjatuhan bersama-sama atau suatu negara merdeka yang dengan bebas berhak
penggabungan antara pidana penjara ditambah mengatur sendiri tata negara dan tata hukumnya
pembuangan. Juga dapat dikenakan hukuman tambahan (Joeniarto, 1968:49).
berupa perampasan. Dengan UU tanggal 2 Maret 1942 Seiring dengan tekad itu bangsa Indonesia melalui
(UU Nomor Istimewa) pidana mati dapat juga PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada
dijatuhkan terhadap perbuatan pidana yang berupa tanggal 18 Agustus 1945 mensyahkan berlakunya suatu
perusakan atau perampasan barang atau alat maupun UUD yang rancangannya berasal dari hasil karya
sarana yang dipergunakan oleh atau berhubungan BPUPKI yang berupa rancangan “Mukadimah” dan
dengan tentara Jepang seperti parit-parit, perkebunan, rancangan “Batang Tubuh UUD”. Kedua rancangan itu
diterima oleh PPKI setelah mengadakan pembahasan
324
Ridham Priskap, Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

seperlunya (Machfud, 1998:32). Kemudian UUD yang Ketentuan yang berkaitan dengan hal itu diatur dalam
disyahkan tanggal 18 Agustus 1945 itu populer dengan Pasal 10 yang menyatakan bahwa perkara-perkara yang
sebutan UUD 1945. menurut hukum yang hidup dalam masyarakat desa dan
Sejak berlakunya UUD 1945 (tanggal 18 Agustus sebagainya harus diperiksa dan diputus oleh pemegang
1945) hingga kini telah berhasil dibuat tiga buah kekuasaan yang tinggal tetap dalam masyarakat itu
Undang-undang pokok yang mengatur kekuasaan (saleh, 1977:27). Tentang Peradilan Tata Usaha
kehakiman, yaitu: UU Nomor 19 Tahun 1948, UU Pemerintahan Pasal 66 menyatakan bahwa sepanjang
Nomor 19 Tahun 1964 dan UU Nomor 14 Tahun 1970 dalam suatu Undang-undang tidak disebut dengan tegas
sebagaimana dirobah dengan UU No.35 Tahun 1999. perkara tata usaha pemerintahan harus diadili oleh
Ketiga UU itu diciptakan dalam rangka untuk memenuhi peradilan tertentu maka Pengadilan Tinggi berwenang
perintah Pasal 24 dan 25 UUD 1945. Sebelum memeriksa dalam tingkatan pertama dan Mahkamah
berlakunya UU Nomor 19 Tahun 1948 sepanjang Agung berwenang memeriksa dalam tingkatan kedua.
menyangkut peraturan-peraturan dan badan-badan atau Sementara tentang Peradilan Ketentaraan Pasal 68
institusi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman menyatakan bahwa Peradilan Ketentaraan akan diatur
berlaku peraturan-peraturan dan badan-badan sebelum dengan undang-undang.
kemerdekaan (masa Jepang dan Belanda). Keberlakuan
semacam itu didasarkan pada ketentuan Pasal II Aturan Undang-undang No. 19 Tahun 1964
Peralihan UUD 1945 yang pada intinya mengatakan Penjelasan umum UU No. 19 tahun 1964
bahwa segala badan negara dan peraturan yang ada menyatakan bahwa pembentukan UU itu didasarkan
masih terus berlaku selama belum diadakan yang baru pada Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang
menurut Undang-undang Dasar. Haluan Negara yang berupa Manipol Usdek. Salah satu
ciri jiwa Manipol Usdek adalah menempatkan Presiden
Undang-undang No. 19 Tahun 1948 sebagai Pimpinan Nasional dan sebagai Pemimpin Besar
Setelah Indonesia merdeka, kebijakan yang Revolusi yang memiliki kedudukan superior terhadap
ditempuh berkaitan dengan pengembangan kekuasaan lembaga-lembaga negara lainnya, termasuk terhadap
kehakiman adalah didasari pada prinsip “unifikasi”, kekuasaan kehakiman. Sebagai suatu UU yang berjiwa
sebagai lawan dari prinsip “pluralistis” yang diterapkan Manipol Usdek, Pasal 3 dari UU itu dengan tegas
pada masa pemerintah kolonial Belanda”. Prinsip menyebutkan bahwa Pengadilan adalah alat revolusi.
“unifikasi” itu kemudian muncul dalam Pasal 6 dan Senada dengan itu Pasal 14 dan Pasal 20 menekankan
Pasal 7 UU No. 19 Tahun 1948. Pasal 6 menyatakan bahwa hukum dan hakim juga merupakan alat revolusi.
bahwa dalam negara Republik Indonesia hanya ada tiga Oleh karena pengadilan, hukum dan hakim merupakan
lingkungan peradilan yaitu: alat revolusi, maka Presiden adalah sebagai pemimpin
1. Peradilan Umum besar bangsa dan negara, demikian isi Pasal 19 UU itu.
2. Peradilan Tata Usaha Pemerintahan Berkenaan dengan jenis-jenis kekuasaan
3. Peradilan Ketentaraan kehakiman, UU tersebut mengaturnya dalam Pasal 7
Sementara Pasal 7 UU itu menegaskan bahwa yang secara garis besar berisi empat hal yaitu:
kekuasaan kehakiman dalam Peradilan Umum 1) Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat jenis
dilaksanakan oleh: peradilan yaitu: (1) Peradilan Umum; (2) Peradilan
1. Pengadilan Negeri Agama; (3) Peradilan Militer; (4) Peradilan Tata
2. Pengadilan Tinggi Usaha Negara.
3. Mahkamah Agung 2) Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah
Berdasarkan Ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 itu Agung yang merupakan pengadilan tertinggi untuk
ternyata keberadaan Peradilan Agama tidak tercakup di semua lingkungan peradilan.
dalamnya. Juga tidak ada ketentuan yang tegas dalam 3) Keempat jenis peradilan itu secara teknis berada di
UU itu yang menghapuskan keberadaan Peradilan bawah pimpinan Mahkamah Agung sedang secara
Agama itu. Dalam ketidakjelasan itu, ketentuan yang organisatoris, administratif dan finansial berada di
dapat dipakai sebagai pegangan adalah Pasal 35 ayat (2) bawah Departemen terkait.
yang menyatakan bahwa perkara-perkara perdata antara 4) Dengan adanya keempat jenis peradilan tidak tertutup
orang Islam yang menurut hukum yang hidup, harus kemungkinan penyelesaian perkara perdata secara
diperiksa dan diputus menurut hukum agamanya, harus damai dapat dilakukan di luar peradilan.
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri yang Perihal poin ke-3 yang menempatkan para hakim
terdiri dari seorang Hakim yang beraga Islam sebagai di bawah pengawasan eksekutif melalui Departemen
Ketua, dan dua orang Hakim ahli agama Islam sebagai terkait selain di bawah pengawasan Mahkamah Agung
anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri sesungguhnya pada saat perancangan UU No. 19 Tahun
Agama dengan persetujuan Meteri Kehakiman. 1964 itu masalah itu telah mendapat reaksi keras dari
Ketidakjelasan juga terlihat pada eksistensi organisasi profesi para hakim. Namun reaksi keras itu
Peradilan Adat yang selama ini diakui keberadaannya. ternyata kandas karena Menteri Kehakiman dalam
325
Ridham Priskap, Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

pembahasan rancangan UU tetap menolak usulan Kekuasaan Kehakiman. Pada saat Undang-undang ini
organisasi profesi hakim itu (Lev, 1990:49). masih berupa rancangan, ada beberapa persoalan yang
Kembali kepada persoalan jenis-jenis kekuasan cukup menonjol sehingga mendapat pembahasan cukup
kehakiman, penjelasan Pasal 7 UU tersebut menyatakan hangat dari kalangan DPR. Persoalan-persoalan itu
bahwa: antara lain (Saleh, 1977:32-33):
a) Undang-undang Nomor 19 Tahun 1964 membedakan a) Mahkamah Agung sebagai pucuk tertinggi lembaga
antara Peradilan Umum, Peradilan Khusus, dan kekuasaan kehakiman
Peradilan Tata Usaha Negara. b) Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH)
b) Peradilan Umum meliputi: pengadilan ekonomi, c) Lingkungan Peradilan
pengadilan subversi, dan pengadilan korupsi. d) Organisasi, Administrasi dan Finansial Peradilan
c) Peradilan Khusus terdiri dari pengadilan agama dan e) Hak uji peraturan Toetsingsrecht
pengadilan militer. f) Forum Privilegiatum
Hal yang menarik dari penjelasan Pasal 7 itu, g) Hukum Acara
bahwa penjelasan itu tidak menyebut dengan tegas jenis h) Status dan Jaminan Hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara apakah pengadilan ini i) Connexiteit
termasuk Pengadilan Umum atau termasuk Pengadilan j) Lembaga Henzeining (Peninjauan Kembali)
Khusus. Dengan kata lain, menurut UU Nomor 19 Kecuali persoalan b) dan f) yaitu tentang Majelis
Tahun 1964 Pengadilan Tata Usaha Negara tidak Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) dan Forum
dimasukkan ke dalam jenis Peradilan Khusus, melainkan Privilegiatum semua persoalan-persoalan itu (ius
dinyatakan memiliki jenis tersendiri. Dalam penjelasan constituendum) telah menjelma menjadi hukum positif
Pasal 7 UU tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud (positifitus constitutum) diatur dalam berbagai pasal UU
dengan Pengadilan Tata Usaha Negara adalah apa yang Nomor 14 Tahun 1970. Khusus tentang jenis-jenis
disebut “Peradilan Administratif” dalam Tap MPRS No. kekuasaan kehakiman, UU Nomor 14 Tahun 1970,
II/MPRS/1960 yang antara lain meliputi “Peradilan mengaturnya dalam Pasal 10 ayat (1). Menurut Pasal itu,
Kepegawaian” kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh:
a) Peradilan Umum
Undang-undang No. 14 Tahun 1970 b) Peradilan Agama
Pada awal kemunculannya, pemerintah orde baru c) Peradilan Militer
bertekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara d) Peradilan Tata Usaha Negara
murni dan konsekuen. Untuk itu pemerintah segera Tentang Peradilan Umum lebih jauh diatur dengan
melakukan “Legislative Review” (penilaian materi UU Nomor 2 Tahun 1986 yang sekaligus mencabut UU
perundang-undangan oleh lembaga legislatif) dengan Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam
menciptakan empat buah Undang-undang yang sangat Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung.
erat hubungannya dengan kekuasaan kehakiman, Pasal 3 ayat (1) UU Nomor 2 Tahun 1986 menyatakan
keempat Undang-undang tersebut adalah: bahwa kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan
a) Undang-undang Nomor 25 Tahun 1968 tentang Umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan
pernyataan tidak berlakunya berbagai Penetapan Pengadilan Tinggi, masing-masing berkedudukan di Ibu
Presiden dan Peraturan Presiden. Kota Kabupaten (Kotamadya) dan Ibu Kota Propinsi
b) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang (Pasal 4). Pengadilan Negeri merupakan pengadilan
pernyataan berbagai Penetapan Presiden dan Tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi merupakan
Peraturan Presiden sebagai Undang-undang. Pengadilan Tingkat Banding.
c) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 tentang Perihal Peradilan Agama, keberadaannya lebih
Pernyataan tidak berlakunya Undang-undang dan jauh diatur dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang. 1989. Sebagai Peradilan Khusus, Pasal 1 ayat (1)
d) Undang-undang Nomor 7 tahun 1969 tentang menegaskan Peradilan Agama adalah peradilan bagi
Penetapan berbagai Peraturan Pemerintah Pengganti orang-orang yang beragama Islam. Kekuasaan
Undang-undang menjadi Undang-undang. kehakiman pada Peradilan Agama dilaksanakan oleh
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1969 yang mulai Pengadilan Agama yang berkedudukan di Kotamadya
berlaku pada tanggal 5 Juli 1969 menyatakan Undang- atau ibu kota Kabupaten dan Pengadilan Tinggi Agama
undang Nomor 19 tahun 1964 adalah salah satu Undang- berkedudukan di Ibukota Propinsi. Sama halnya dengan
undang yang tidak memiliki kekuatan berlaku karena Peradilan Umum, Kekuasaan kehakiman di lingkungan
materinya bertentangan dengan UUD 1945. Namun Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung.
ketidakberlakuan itu berlangsung bila telah ada Undang- Berkenan dengan Peradilan Militer, lebih jauh
undang baru yang menggantikannya. Untuk keperluan peradilan ini diatur dengan Undang-undang Nomor 31
penggantian itu badan legislatif kemudian berhasil tahun 1997. Sebagai peradilan khusus. Pasal 9 UU
menciptakan Undang-undang baru yaitu UU Nomor 14 tersebut menyatakan; Peradilan Militer berwenang
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengadili pidana militer dan perkara pidana militer: a)
326
Ridham Priskap, Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

prajurit; b) mereka yang berdasarkan Undang-undang diselesaikan dengan upaya administratif, maka
dipersamakan dengan prajurit; c) anggota suatu Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang mengadili
golongan atau jawatan atau badan atau yang jika sebelumnya telah ditempuh upaya administratif
dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan tersebut. Pengadilan tidak berwenang mengadili
Undang-undang; d) seorang yang tidak masuk golongan sengketa Tata Usaha Negara dalam hal keputusan yang
pada huruf a, huruf b dan huruf c, tetapi atas keputusan disengketakan itu dikeluarkan: a) dalam waktu perang,
Penglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus keadaan bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan
diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan
Peradilan Militer. Selain kewenangan itu, Peradilan perundang-undangan yang berlaku; b) dalam keadaan
Militer berwenang menggabungkan perkara gugatan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan
ganti rugi dalam perkara pidana atas permintaan pihak peraturan perundang-undangan yang berlaku.
yang dirugikan dan sekaligus memutus dua perkara
pidana dan perdata itu dalam satu putusan. SIMPULAN
Adapun kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Dilihat dari sejarahnya kekuasaan kehakiman
Peradilan Militer dijalankan oleh: telah mengalami perkembangan yang sangat panjang
a) Pengadilan Militer sesuai situasi dan kondisi politik yang terus
b) Pengadilan Militer Tinggi berkembangan menurut era ketatanegaraan yang
c) Pengadilan Militer Utama mengikutinya. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda
d) Pengadilan Militer Pertempuran badan-badan peradilan yang dibentuk sebagai pelaksana
Tempat kedudukan Pengadilan Militer Utama kekuasaan kehakiman bersifat pluralistik dan
berada di Ibukota Negara RI, sementara Pengadilan diskriminatif dengan membedakan peradilan yang
Militer yang lainnya tempat kedudukannya lebih lanjut khusus untuk orang-orang eropa atau yang dipersamakan
diatur dengan keputusan Panglima. Pengadilan Militer dengannya dan badan peradilan yang khusus untuk
merupakan pengadilan tingkat pertama bagi prajurit golongan pribumi dengan peradilan adatnya.
yang berpangkat Kapten ke bawah. Pengadilan Militer Peradilan Gubernemen bertugas mengadili atau
Tinggi merupakan pengadilan banding bagi Pengadilan melaksanakan fungsinya atas nama Raja atau Ratu
Militer dan merupakan pengadilan tingkat pertama bagi Belanda, sedangkan Peradilan Adat menjalankan
prajurit yang berpangkat Mayor ke atas. Pengadilan kekuasaan kehakiman berdasarkan hukum adat di daerah
Militer utama merupakan Pengadilan banding dan setempat. Dalam prakteknya peradilan adat ini bukanlah
merupakan pengadilan militer atas Pengadilan Militer bentuk peradilan yang bebas dan merdeka karena
Tinggi yang telah memutus pada tingkat pertama perkara Residen yang diangkat oleh pemerintah Hindia Belanda
pidana militer dan perakara tata usaha angkatan mempunyai kewenangan untuk membatalkan putusan
bersenjata. Sementara Pengadilan Militer Pertempuran pengadilan adat atau memerintahkan pemeriksaan
adalah pengadilan yang agak spesifik karena pengadilan kembali oleh hakim yang ditunjuk oleh Residen dan
ini bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan serta Residen berkuasa untuk menetapkan bahwa seseorang
kedudukannya di daerah pertempuran. Pengadilan ini tidak termasuk ke dalam jurusdiksi Peradilan Adat
berwenang memutus perkara pidana militer pada tingkat setempat.
pertama dan terakhir yang tertuduh atau terdakwanya Pada masa pemerintahan militer Jepang sesuai
prajurit yang terlibat kegiatan pertempuran. karakteristik pemerintah penjajahan Jepang di Indonesia
Terakhir, mengenai Peradilan Tata Usaha Negara, berupa pemerintah militer yang bertujuan untuk menjaga
keberadaan peradilan ini diatur dalam Undang-undang keselamatan dan keamanan personil militer Jepang,
Nomor 5 Tahun 1986. Sifat khusus dari peradilan ini peradilan yang dibentuk oleh pemerintah militer Jepang
ditegaskan dalam Pasal 4 UU tersebut yang menyatakan adalah peradilan yang melindungi militer yang disebut
bahwa Peradilan tata Usaha Negara adalah salah satu Gunritukaigi. Selain peradilan yang bersifat melindungi
pelaksana kekuasan kehakiman bagi rakyat pencari kepentingan milter, dibentuklah Gunsei Hoin dan Gunsei
keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara. Kensatu Kyoku.
Pelaksana kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Setelah Indonesia merdeka, kebijakan yang
Peradilan Tata Usaha Negara dilaksanakan oleh: a) ditempuh berkaitan dengan pengembangan kekuasaan
Pengadilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di kehakiman adalah didasari pada prinsip “unifikasi”,
Kotamadya atau ibu kota Kabupaten; b) Pengadilan sebagai lawan dari prinsip “pluralistis” yang diterapkan
Tinggi Tata Usaha Negara yang berkedudukan di pada masa pemerintah kolonial Belanda”. “Unifikasi” itu
Ibukota Propinsi, Pengadilan Tata Usaha Negara kemudian muncul dalam kekuasaaan kehakiman yang
berpuncak ke Mahkamah Agung. bebas dan merdeka yang pada dasarnya terjelma dalam
Peradilan Tata Usaha Negara berwenang empat lingkungan peradilan yang terdiri dari: Peradilan
memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama dan
usaha negara. Jika suatu sengketa tata usaha negara Peradilan Tata Usaha Negara dimana masing-masing
tertentu menurut Undang-undang tertentu harus lingkungan peradilan ini berpuncak pada Mahkamah
327
Ridham Priskap, Sejarah Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

Agung, sebagai lembaga tertinggi pemegang kekuasaan


kehakiman yang bebas dan merdeka.

DAFTAR PUSTAKA
Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik
Indonesia, Universitas Islam Bandung, 1995.
Bob Brouwer (et.al), Cohorence and Conflict in Law,
WEJ Tjeenk Willink, Zwolle, Netherland, 1992.
C.F. Strong OBE, Modern Political Constitution,
Sidgewick & Jackson Limited, London, 1952.
DCM Yordley, Introduction to British Constitusional
Law, Butter Worths, London, 1969.
Fergus on & Mc Henry, The American System of
Government, Mc Graw-Hill Book Company, New
York, Dst., 1965.
H. McCourbey & ND White, Text Boook on
Jurisprudence, Black Stone Press, Ltd., London,
1996.
JB. Grossman & RS Well, Constitution Law and
Judicial Policy Making, John Willey & Sons,
Toronto, New York, London, Sydney, 1972.
L Lloyd of Hampsted & MDA Freeman, Lloyd’s
Introduction to Jurispuredence, Stevens & Sons,
London, 1985.
Philipus M. Hadjon, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-
Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945,
Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan, PT. Bina
Ilmu, Surabaya, 1987.
Soedirdjo, Mahkamah Agung, Kedudukan, Susunan
dan Kekuasaannya, Media Sarana Press, Jakarta,
1987.
W. Friedman, The State and The Rule of Law In Mixed
Economy, Steven & Sons, London, 1971.
W. Keefe & M.S. Ogul, The American Legislative
Process, Prentice Hall, Inc, Engle Cliffs, New
Jersey, 1964.
Wirijono Prodjodikoro, Hukum Negara dan Politik,
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 1971.

328

Anda mungkin juga menyukai