Anda di halaman 1dari 8

SUKACITA LENTERA MERAH

Lolita Wiranda
SMAN 1 Pemali
Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

Lewat kaca nako yang sedikit berdebu. Aku tercenung, menopang dagu dengan
tangan kanan. Menyapu semua pemandangan sekitar. Menyaksikan segerombolan
anak kecil dengan pakaian muslim seragam, kejar-mengejar tujuan paling cepat
sampai ke Taman Pendidikan Al Quran. Ada juga beberapa orang berlalu lalang,
bersepeda motor, dan berjalan. Mengabaikan sengatan matahari yang membuat
keringat mereka bercucuran.

Sudah lebih dari setengah jam, aku masih duduk di pojokan itu. Menatap lamat-
lamat langit ruang tamu. Namun tiba-tiba aku tersentak kaget. Tampak perawakan
semampai, rambut dikepang, celana setengah lutut, baju kaos lengan pendek, dan
beralas sandal daimatu. Menawarkan dagangannya dengan suara yang melengking.
Sudah bisa kutebak tak lain dan tak bukan, orang itu pasti Aling. Kini kulit putihnya
yang seperti susu sudah memerah. Badannya pun pasti sudah tercium bau matahari
menyengat. Wajar saja karena sedari jam 7 pagi Aling sudah mulai mengayuh sepeda
dan menjajakan dagangannya ke penjuru Kota Mentok.

Mamak tampak keluar dari bilik dapur sambil merogoh saku daster, agaknya
ingin mengambil uang di dalamnya. Seperti sediakala, Mamak pasti hanya membeli
sayur kangkung saja. Padahal ada banyak pilihan sayuran yang ditawarkan Aling.
Transaksi di halaman rumah itu pun berjalan lancar. Perbincangan yang begitu akrab
dan hangat terjelaskan dari raut wajah keduanya. Bahasa Melayu Mamak yang begitu
kental disambung dengan bahasa campuran Hakka-Melayu Aling memang terkesan
unik. Hal itu tak lepas dari Aling yang sering berjumpa dan bergaul dengan warga
yang beretnis Melayu. Begitu juga dengan Mamak yang bisa dikatakan tipe manusia
suka berbaur dengan siapa pun. Membicarakan apa saja yang bisa mengundang tawa.
Sebelum Aling kembali melajutkan rute dagangannya.
Aling merupakan gadis keturunan Tonghoa yang seumuran denganku. Namun,
sudah tiga bulan belakangan Aling tidak pernah lagi datang ke sekolah. Dari mulut ke
mulut bisa kutangkap alasan Aling tidak mau lagi bersekolah karena ingin
menggantikan Akungnya berjualan. Lantaran Akungnya yang biasa dikenal dengan
Ako Alim itu sakit. Dari Mamak juga pernah kudengar, bahwa Ako Alim mengalami
kelumpuhan sehingga hanya bisa berbaring lemas di tempat tidur. Mungkin Aling
yang merasa banyak berhutang budi, akhirnya pun bersikukuh untuk membantu
mengurangi kesulitan Akungnya itu.

Sebenarnya inilah kesempatanku untuk menghampiri Aling. Tidak pernah aku


bertemu Aling berjualan sebelumnya. Kebetulan saja hari ini guru sedang rapat dan
siswa dipulangkan lebih awal. Hingga aku bisa berjumpa dengan Aling sore itu. Tapi
hatiku masih amat ragu. Takut Aling menghindar lagi dariku. Membawa cepat
dagangannya itu ke tempat lain dan Mamak tak sempat membeli sayurnya.
Kuurungkan niatku dalam-dalam, sedalam rasa ingin tahuku terhadap kondisi Aling
saat ini.

***

“Malam ni nganggung, Jang. Tolong kau siapkan sambal asem tu!” pinta Mamak
sembari melipat mukena dan sajadah yang baru saja ia kenakan seusai salat Asar.

“Duh, malas Mak.” Jawabku sedikit memelas.

“Janganlah Jang, Mamak sudah masak tu.” Ujar Mamak.

“Antar saja langsung ke Masjid Mak. Dulangnya nanti Bujang yang ambil kalau
sudah selesai nganggungnya.” Tawarku yang mengelak untuk nganggung.

“Tidak Jang, ni dulang dan tudung sajinya.” sanggah Mamak memaksaku dan
kubalas dengan mendengus sebal.

Mentari sudah kembali ke peraduannya. Suara syahdu azan magrib mengisi


langit-langit Kota Muntok. Di tengah rasa terpaksa, kukenakan kopiah resam hadiah
dari almarhum Babak dua tahun yang lalu. Warnanya begitu khas ditambah dengan
anyamannya yang rapi membuat ku tampak lebih gagah ketika memakainya.
Demikian dengan warga kampung lainnya yang tampak gagah ketika mengarak
dulang ke masjid. Warna merah yang mendominasi tudung saji keluar dari setiap
pintu rumah. Kemudian dijejer dengan rapi di teras masjid.

Seusai salat magrib barulah kegiatan nganggung dimulai. Aku dan warga
lainnya bergegas menuju teras masjid. Diawali sambutan dari ketua masjid. Lalu
membaca doa selamat, dan salawat. Setelah itu barulah warga bercengkrama,
bertukar kabar, dan tak sungkan menukar dulangnya agar bisa dinikmati oleh orang
lain. Setelah selesai nganggung orang tidak langsung pulang, biasanya akan
menunggu waktu isya untuk salat berjamaah. Namun, aku bukan salah satu dari
mereka. Entahlah apa yang merasuki hatiku sampai begitu malas salat berjamaah di
masjid. Bahkan salat lima waktu pun sering kali bolong. Padahal Mamak sudah
sangat sering mengingatkanku.

Memulai kebiasan atau pekerjaan baru, memanglah melelahkan. Itulah


pandanganku saat ini. Sejak Babak meninggal, akulah yang mengambil alih beberapa
pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh babak, nganggung salah satunya. Jujur,
sebenarnya aku begitu malas dan selalu membuat banyak alasan ketika disuruh
Mamak nganggung. Pasalnya, aku bukan tipe yang mudah berbaur dengan orang lain.

Kaki melangkah dengan dulang yang lebih ringan menuju rumah. Membawa rasa
terpaksa dan dongkolku malam ini. Namun baru saja keluar dari pagar masjid, aku
dikejutkan dengan seorang perempuan Tionghoa yang berjalan di seberang jalan.
Bulu matanya lentik, matanya sipit, kulitnya putih khas seperti susu. Ia mengenakan
busana cheongsam yang semerah buah strawberry segar. Di bawah cahaya lampion
aura kecantikannya terpancar lebih jelas. Seperti Bulan yang calak menampakkan
rupanya. Ternyata Aling, alih-alih menyapaku, Aling malah cepat-cepat mengalihkan
wajahnya saat melihatku. Aling mempercepat derap langkahnya dan bergegas masuk
ke klenteng. Tampak aneh, masjid dan klenteng bisa berdampingan. Tapi memang
benar adanya. Di ujung barat Pulau Bangka, kedua bangunan ini berdiri dan hanya
terpisah oleh seruas jalan kecil. Ikon simbol paling nyata dengan sebuah filosofi yang
tumbuh di tanah serumpun sebalai itu. Tong Ngin Fan Ngin Jit Jong yang artinya
Cina dan Melayu sama saja. Filosofi yang menjadi cermin eratnya kebersamaan
kendati beda agama dan etnis di situ.

Sudah lama rasanya aku dan Aling tak bersapa. Menurutku Alinglah yang mulai
menghindar untuk tidak mau berteman denganku. Tidak hanya menghindar dariku,
teman-teman lain juga begitu. Bahkan niat baik guru-guru untuk membantunya
kembali ke sekolah juga tidak begitu digubris Aling. Entahlah, apa yang menjadi
alasannya hingga begitu kuat memutuskan untuk berhenti sekolah. Padahal Aling
terkenal dengan siswa yang berprestasi di sekolah. Selalu jadi juara kelas dan begitu
aktif di berbagai organisasi yang ada di sekolah.

Di ruas jalan aku bungkam malam itu. Mengingat pengalaman lucu bersama
Aling dan teman-teman lainnya. Mandi di bekas lubang camui adalah kisah yang
paling terkesan. Sayangnya sekarang, persahabatan itu menjadi asing. Sejak Apa dan
Amanya meninggal dunia. Disusul lagi dengan kenyataan bahwa alat-alat
menambang timah dan ponton milik Apanya disita oleh pihak berwajib. Dikerenakan
penyewa-penyewa barang milik Apanya itu menambang timah secara ilegal. Hal itu
kemudian membuat ekonomi keluarga Aling turun drastis.

***

Tabuh tanda subuh sudah berbunyi. Disusul suara syahdu azan yang
memecahkan sunyi pagi. Tapi aku masih saja belum beranjak dari tempat tidur.
Berbeda jauh dengan Mamak yang sudah bangun sebelum subuh tadi. Menyiapkan
sarapan dan menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Sepertinya Mamak akan
memantau pekerja yang memetik sahang di kebun kami. Kami punya kebun yang
begitu luas. Bapak meninggalkan kami banyak warisan.

“Bangunlah Jang, sudah setengah enam ni!” ujar Mamak seraya menarik
selimutku.

“Iya Mak.” jawabku singkat. Bukannya bangun aku malah kembali


memejamkan mata.
“Jang, salat subuh. Mamak sebentar lagi mau berangkat ke kebun ni!” ujar
Mamak lagi.

Kelopak mataku rasanya begitu berat. Hingga aku tak mengubris ucapan Mamak
yang menyuruhku salat subuh. Berulang-ulang, sertiap pagi aku susah dibangun.
Semburat mentari kini sudah tampak di ufuk timur. Terangnya langit, menerobos
jendela kamar. Aku pun terperanjat. Apakah aku akan telat hari ini? Pekikku dalam
hati. Baru saja rasanya ku lanjutkan tidurku setelah dibangun Mamak subuh tadi.
Namun kini sudah menunjukkan pukul enam saja. Aku pun terburu-buru mandi lalu
berangkat ke sekolah. Kemudian tak lupa kuambil uang jajan di atas meja makan.
Terlihat ada rusip dan telur rebus. Mamak tahu sekali itu adalah makanan favoritku.
Sayangnya aku sudah sangat terburu-buru dan tak sempat lagi sarapan.

Sekuat tenaga ku kayuhkan sepeda menuju sekolah. Sesampainya di sekolah


kutelusuri koridor. Pas sekali bel berbunyi saat aku sudah berada di kelas. Pelajaran
pertama pun dimulai. Pak Kulop, guru paruh baya dengan kacamata plusnya
mengajarkan materi NKRI. Suara lantang Pak Kulop membuatku tidak berani
memejamkan mata di kelas. Biasanya pantang sekali mataku kalau sudah mendengar
guru mengajar. Apalagi kalau Bu Laila yang mengajar. Suaranya yang lembut
mendayu-dayu membuatku tak kuasa menahan kantuk. Di akhir pelajaran, Pak Kulop
memberikan kami pekerjaan rumah. Untukku yang begitu malas gerak dan tidak
kreatif. Tugas ini cukup untuk membuat kepalaku pusing tujuh keliling. Tugasnya
adalah merekam setiap perbedaan di lingkugan sekitar. Ayolah, otakku begitu buntu.

Temaram senja, sore mulai menepi. Aku masih bingung dengan tugas yang
diberikan Pak Kulop. Andai saja masih ada Aling pasti aku tidak sepusing ini. Setiap
kali aku kesulitan dalam mengerjakan tugas, Alinglah yang selalu membantu. Aku
benar-benar merindukan sosok teman seperti Aling. Aku pun berniat untuk
menemuinya besok. Kebetulan besok minggu, jadi aku bisa langsung ke rumahnya.

Pagi sekali, aku datang ke rumah Aling. Kalau terlalu siang, Aling pasti
sudah berjualan. Aku pun sudah sampai di depan rumahnya. Namun, pintu rumah
kayu berasitektur Tionghoa itu tertutup rapat. Aku pun mencoba untuk memanggil
Aling. Namun, tak kunjung ada sahutan. Hanya ada lampion yang sudah begitu
usang tergantung di teras bergerak-gerak karena desiran angin pagi. Apakah Aling
setiap hari berjualan sepagi ini? bukankah mentari saja baru tampak di ufuk timur?
Pekikku dalam hati. Aku pun bergegas pulang dengan membawa rasa takjubku pada
temanku itu. Tepat saat aku berjalan melewati Klenteng Kung Fuk Miaw. Kulihat
sepeda yang mulai berkarat dengan sadel sepeda di bungkus kantong plastik tersandar
di tembok rumah peribadatan itu. Dengan sejumlah sayuran yang tertata rapi di
keranjang sepeda.

Aku memberanikan diri untuk masuk ke halaman klenteng. Tampak Aling


dengan dupa hionya begitu khusyuk berdoa. Kurang lebih setengah jam aku
menunggu Aling di situ. Mungkin ada banyak harapan yang Aling langitkan.
Wajahnya tampak begitu sungguh-sungguh. Hingga saat Aling selesai kulihat
wajahnya yang memerah karena tangis. Aling begitu terkejut melihat keberadaanku.

“Aling.” panggilku kurang berani.

“Ya, Jang, ada apa kemari?” tanya Aling sembari pelan pelan menghampiriku.

“Aling, apa kau sibuk pagi ni? Aku perlu bantuanmu.” tanyaku langsung tanpa
basa-basi.

Suasana lengang sejenak. “Bantu apa Jang? aku harus mulai jualan.” tawar Aling
padaku.

“Sebentar saja Ling.” pintaku.

Suasana kembali lengang. Lidahku kelu, bingung ingin menjelaskan maksudku


mencari Aling. “Baiklah, mari kubantu, tapi jam 10 aku harus berjualan Jang.” jelas
Aling dengan suaranya yang sedikit serak.

Hari itu Aling membantuku dalam hal ide. Ia juga membantuku dalam
perekaman tugas, lalu membantuku mengedit video. Di akhir-akhir tugas itu aku
selesaikan. Aku mulai mengambil kesempatan untuk bertanya pada Aling. Awalnya
Aling juga tak mau begitu terbuka. Namun, mungkin saat rasa sedihnya itu
memuncak. Tangis pun pecah. Saat itulah Aling menceritakan masalah yang
dialaminya.

“Jikalau aku tetap melanjutkan sekolahku, siapa yang akan membiayai kehidupan
aku dan Akung Jang?” ujarnya dengan pipi dibanjiri air mata.

“Bisa Ling, ada banyak yang bisa bantu kau, teman-teman, guru-guru semua siap
bantu kau, tapi kau jangan terus menghindar.” jelasku pada Aling.

Begitu pilu memang cerita kami kali ini. Biasanya kami hanya bercerita tentang
hal konyol yang mengundang tawa saja. Alasannya begitu jelas untuk membantu
kesulitan Akungnya itu. Seketika aku terenyuh dengan ucapan Aling. Anak
perempuan namun begitu tegar dan bisa menerima keadaan. Di tengah kesulitan
hidupnya, ia tetap berusaha selalu mengasah sisi spritualnya. Pribadi pekerja keras,
baik di rumah maupun di sekolah. Berbeda jauh denganku yang sudah diberi Allah
nikmat yang banyak. Namun lupa bersyukur, sering meninggalkan salat, tidak pernah
mendengar nasihat Mamak, tidak gigih dalam menuntut ilmu. Begitu banyak hal
yang harus kuperbaiki.

Hari demi hari terus berganti. Waktu bergulir begitu cepat. Hari yang
ditunggu-tunggu oleh Aling dan umat Tionghoa lainnya tiba. Semarak imlek pun
terasa dengan dipasangnya lampion-lampion di penjuru Kota Muntok. Aku dan
teman-teman yang lain sepakat untuk bertamu ke rumah Aling. Namun ada yang
berbeda, kami beniat untuk membawa kue lebaran, seperti kue kembang goyang, kue
rintak khas Bangka Belitung, kue keranjang, dan masih banyak lagi. Hal itu kami
lakukan agar Aling pun bisa merasakan kebahagiaan di Imlek tahun ini. Tidak hanya
itu, aku dan teman-teman juga memberikan sumbangan untuk pengobatan Akungnya
itu. Sumbangan yang sudah dari seminggu yang lalu aku dan teman-teman lain
kumpulkan. Dari rumah warga yang satu ke rumah warga yang lainnya. Kepedulian
warga tak perlu diragukan lagi, meskipun berbeda agama dan etnis. Tapi dalam hal
ini tak ada lagi pagar bagi mereka. Itu tampak dari sumbangsih yang terkumpul
begitu banyak dalam waktu satu minggu.
Wajah bahagia Aling pun begitu jelas dari senyum terindah yang
dilemparkannya pada kami. Matanya berbinar penuh syukur. Mengucapkan kata
terima kasih yang terdengar tulus. Beberapa hari setelah libur imlek, sekolah masuk
kembali. Dari jendela kelas kulihat wajah yang tak asing lagi bagiku. Aling berjalan
dengan tas selempangnya. Itu benar Aling. Ia sudah kembali ke sekolah. Aku dan
teman-teman lain sumringah menyambut Aling. Dengan bantuan warga, Akung
Aling dibawa ke tempat terapi. Juga bujukan dari guru-guru Aling juga sudah
kembali ke sekolah. Senang rasanya melihat senyum Aling. Senyum yang sudah
lama tak terlihat.
Masih di suasana Imlek. Malam ini Kung Fuk Miaw begitu ramai karena ada
kegiatan puncak yaitu Cap Go Meh. Semarak imlek dengan ribuan lilin berwarna
merah dan berbagai ukuran dinyalakan secara serentak. Lampion yang menandakan
kesejahteran umat Tionghoa pun di gantung di tiang-tiang Kung Fuk Miau. Tampak
juga warga yang beretnis melayu ikut menyaksikan pertunjukan barongsai dengan
festival petasan. Ditengah keramaian itu, Aling dan umat Tionghoa lainnya khusyuk
berdoa. Di situlah aku begitu kagum dengan keberagaman yang ada di tanah
kelahiranku itu. Miniatur toleransi yang utuh itu membuktikan bahwa filososi Tong
Ngin Fan Ngin Jit Jong tak hanya sebatas filosofi melainkan ada bentuk nyata. Itu
terbukti dari persaudaraan kami yang elok. Saat saudara bahagia, kami pun larut di
dalamnya. Ketika saudara berduka, kami tetap hadir untuk membantunya.

Dari sini aku tersadar akan banyak hal. Bahwa keberagaman tak hanya
membahas tentang perbedaan. Melainkan apa inspirasi yang bisa kita dapatkan dari
keberagaman. Dari Aling aku banyak belajar caranya bersyukur, pentingnya bekerja
keras, dan pantang menyerah, kemudian yang lebih utama adalah rajin beribadah dan
selalu bertekun pada doa.

Anda mungkin juga menyukai