Anda di halaman 1dari 5

NAMA : ANANDA OKTAVIA

KELAS : 9G
NO. ABSEN : 03

GENGSI HILANG SYUKUR DATANG

Aku terbangun ketika jam beker dekat ranjang berdering dengan keras hingga memekakkan
telinga. Tanganku meraih jam itu lalu kubenamkan dengan bantal sehingga ia menjerit-jerit
minta tolong. Lalu kusumpal kedua telingaku dengan kapas sampai aku tidak mendengar lagi
suara tangisannya. Saat aku menyempatkan untuk melihat di luar kamar melalui ventilasi
udara tampaknya langit masih gelap. Namun dinginnya udara terasa kian mencucuk tulang.
Kedua telapak kakiku serasa digigit-gigit oleh bibir angin. Kemudian aku membungkus
kedua kaki dengan ujung selimut. Setelah itu aku memejamkan kedua mataku yang berat nian
dan melanjutkan tidur. Aku masih mengantuk sebab tadi malam aku begadang sampai pukul
satu dini hari.

Pukul tujuh pagi aku bangun lalu aku bangkit dari ranjang tidur. Tidak lupa aku kembali
melipat selimut dan kuletakkan di atas bantal. Setelah itu aku turun dan berjalan ke arah
jendela kamar. Kusibak perlahan gorden motif bunga dan kukaitkan pada pengait di jendela.
Di luar tampak gerombolan bunga mawar yang sudah mekar tersenyum padaku seolah
mengucapkan selamat pagi. Mereka menyambutku dengan aroma wanginya yang semerbak
sampai berembus ke taman hati. Tak mau kalah juga gerombolah perdu bunga melati di pojok
kebun juga menampakkan bunganya yang suci. Kenanga dan kamboja juga memberikan
salam hormat padaku dengan memarmerkan bunganya yang berwarna-warni. Itulah bungaku.
Aku yang merawat mereka. Dua bulan yang lalu aku membawa mereka dari pelbagai tempat
dan kujadikan penghias rumahku. Ada yang berasal dari tempat sampah. Misalkan kamboja
yang saat itu dibiarkan terlantar dan nyaris mati. bunga-bunganya telah layu. Begitu juga
dengan mawar, ia kutemukan dalam kondisi sekarat di pinggir bak tempat pembuangan
sampah. Lalu kupungut dan kurawat dengan sepenuh jiwa. Aku pupuk mereka dan kuberi
minum. Lihatlah kebunku sekarang. Penuh dengan bunga. Aku memang suka menanam
bunga. Bahkan kalau salah satu dari mereka ada yang sakit, aku bawa masuk ke dalam rumah
supaya tidak menular pada bunga-bunga yang lain.
Setelah sarapan aku berangkat kerja. Dengan mengendarai motor matic aku menuju kantor di
mana aku selama ini bekerja. Kantorku berada di daerah Jambangan, Surabaya. Jarak antara
rumahku dan kantor lumayan jauh. Tapi aku sangat enjoy dan sama sekali tidak mengeluh
apalagi mempersoalkan jarak. Aku sangat menyukai posisiku yang sekarang. Tiap hari aku
memang mengendarai sepeda motor. Berangkat pagi pukul delapan, pulang sore pukul lima.
Setelah menempuh perjalanan satu jam akhirnya aku sampai di depan kantor, lalu aku
langsung menuju ke tempat parkir kendaraan khusus karyawan. Aku mencabut kunci kontak
lalu melepas helm. Kemudian aku berjalan menuju ke dalam kantor yang berada di belakang
gedung utama. Di depan kantor aku melihat Cak Madi sedang bersih-bersih halaman. Pria itu
tampak menyukai pekerjaannya sebagai cleaning service. Karena sudah lama bekerja di sini
maka ia diangkat sebagai supervisor alias pengawas anggota yang lain Pagi, Bro! Sehat?
Siap-siap menerima sarapan ya!” sapanya dengan menyengir.
“Sarapan? Sarapan apa, Cak?” aku heran.
Tidak ada jawaban. Pria itu hanya menjawab dengan sebuah senyuman penuh arti.

Aku masuk ke dalam ruangan kantor berukuran 15×10 meter persegi itu. Di ruangan utama
aku langsung disambut oleh AC yang menampar mukaku dengan lembut. Di sana aku melihat
sebuah rak panjang berukuran 4×2 meter persegi yang berisi buku-buku dokumentasi. Ada
banyak judul di sana yang ditulis oleh penulis-penulis hebat yang sebenarnya dulu adalah
orang melarat. Sebut saja Dahlan Iskan, anak miskin yang hidup di pelosok Kediri Jawa
Timur yang sekarang menjadi Big Boss perusahaan koran terbesar di Indonesia, Jawa Pos.
Ada pula Prof. Reinald Kasali, Prof. Hadi Susanto, Ippho Santoso, Zawawi Imron, Gus Mus,
Gus Dur, Gus Sholah dan sebagainya. Lalu di pojok ruangan itu ada banner kecil bertuliskan
sebuah nama: JP Books. Ya aku bekerja di salah satu penerbit yang masih satu naungan
dengan Jawa Pos Grup.

Di sepanjang jalan menuju ruanganku aku berpapasan dengan karyawan lain, dan mereka
tersenyum padaku. Aku sama sekali tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi. Aku terus
melangkahkan kakiku dan akhirnya aku sampai di depan ruangan yang berpintu kaca hitam
itu. Perlahan aku mendorong pintu supaya tidak mengganggu konsentrasi karyawan yang
lain. Ternyata setelah aku aku masuk, rekan-rekanku belum bekerja melainkan duduk dengan
menghadap ke papan putih dengan kepala tertunduk. Sementara di depan sana seorang pria
muda berambut plontos dengan mengenakan kemeja lengan panjang dan celana hitam tengah
memberi sarapan dengan kata-kata yang pedas.
“Kalian itu sama sekali tidak becus!” dampratnya kepada karyawan yang lain. “coba
bayangkan, buku produksi kita selama bulan-bulan terakhir ini terjun bebas di pasaran. Oplah
yang kita keluarkan lebih tinggi pasak daripada tiang. Kalian ini bagaimana sih jadi redaksi?
Apakah kalian tidak bisa menyeleksi naskah yang bermutu, yang marketable?”

Semua yang duduk di kursi tertunduk dalam diam. Sama sekali tidak ada yang berani
interupsi seperti anggota dewan yang selalu mau menang sendiri meski sudah jelas-jelas
terbukti bersalah. Mereka tidak bisa memprotes ataupun melawan terhadap pria itu sebab
mereka tahu dengan siapa mereka berhadapan. Aku sendiri telah mengenal betul siapa lelaki
itu karena aku pernah membaca tulisan-tulisan artikelnya di koran. Dia dulunya adalah
seorang wartawan salah satu koran ternama pada masa Orde Baru. Ia pernah dijebloskan ke
dalam penjara oleh penguasa kala itu lantaran artikelnya yang dianggap membahayakan. Aku
sendiri dulu merasa ngeri ketika penguasa Orde Baru masih berkuasa. Rakyat sama sekali
tidak diberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapatnya melalui sebuah tulisan. Coba
bayangkan saja, menulis satu novel saja terlebih dulu disensor oleh penguasa kala itu. Kalau
tidak sesuai dengan misi pemerintah, jangan mimpi bukunya bisa terbit. Setelah lama makan
asam garam sebagai wartawan koran, pria itu makin rajin mengangkat berita-berita yang
selalu menjadi topik utama untuk dibahas, bahkan sering dimuat di bagian muka koran. Atas
prestasinya yang gemilang dalam dunia jurnalistik, akhirnya ia diangkat menjadi pemimpin
redaksi di sebuah kantor koran ternama sebelum akhirnya ditarik ke penerbit ini.

“Kalau penulis recehan, jangan diterima tulisannya apalagi diterbitkan!” lanjutnya


membentak. “sebab jika kita menerbitkan sebuah karya yang tidak bermutu maka hal itu akan
memengaruhi produk kita di pasar! Bodoh!”

Setelah puas menyumpah-serapahi kami, pria itu keluar dari ruangan. Dari sini kalian sudah
tahu kalau pekerjaanku di tempat ini adalah sebagai redaksi. Tugasku adalah meloloskan
draft naskah sebuah karya tulis, baik fiksi maupun non fiksi untuk dijadikan sebuah buku
bermutu. Tapi sejak akhir-akhir ini oplah buku produksi kami kian merosot dan terjun bebas
di pasaran. Bila terus-menerus seperti itu maka akan memengaruhi aktivitas produksi yang
dapat membuat perusahaan bangkrut. Apalagi belakangan ini makin banyak penerbit indie
yang tumbuh pesat di daerah kami Bekerja pada orang lain ternyata tidak bisa membuatku
sebebas burung di langit nan biru. Sayap-sayapku seolah-olah dipatahkan sehingga tidak bisa
bergerak. Sementara jiwaku dikurung di dalam sebuah sangkar besi yang rapat sehingga
membuatku tidak memiliki ruang untuk kabur. Mulutku juga disumpal dengan jangkrik dan
larva sehingga aku tidak bebas untuk berbicara. Aku ingin bebas seperti kupu-kupu di taman
yang menari-nari bersama awan. Oh aku ingin terbang bebas seumpama burung prenjak yang
berkejar-kejaran di bawah pelangi.

“Serius sampeyan mau resign?” tanya Pak Ubed tak percaya.’


Aku menganggukkan kepala. Kutampakkan pula muka seriusku pada pria yang duduk di
depanku itu. Lalu kusodorkan sepucuk amplop padanya. Ia menerima amplop lalu dibukanya
isinya. Setelah itu ia baca isi surat dengan dahi ditekuk macam kain jemuran kering.
Lumayan lama ia membaca surat itu.

“Setelah ini sampeyan mau kemana?”


“Saya ingin bebas, Pak.”
“Kenapa sampeyan ingin bebas?”
“Karena jiwa saya terkungkung oleh banyaknya aturan yang dibuat oleh manusia sementara
Tuhan tidak pernah membuat aturan.”
“Bukankah hukum syariat itu aturan?”
“Tuhan tidak membutuhkan aturan, Pak.”

Setelah pagi itu aku resmi mengundurkan diri dari kantor di mana aku bekerja, aku
meninggalkan ruangan. Dan saat itu aku merasa benar-benar bebas. Bebas dari pelbagai
macam aturan. Bebas dari segala macam tugas yang selalu salah di mata atasan. Ya pagi itu
aku melayangkan surat pengunduran diriku. Setelah ini aku akan menentukan rencana
hidupku selanjutnya. Tapi yang jelas aku tidak akan kembali bekerja dengan menjadi
karyawan. Jujur saja aku paling tidak bisa bersahabat dengan orang lain. Sebab rasa yang kita
miliki tidak akan sama dengan rasa yang dimiliki oleh mereka.

Sesampainya di rumah aku berjalan menuju ke sebuah ruangan yang selama ini aku kunci
dari luar. Klik! Aku membuka pintu hingga tampaklah sebuah ruang kerja. Aku beranjak
menuju meja di mana di atasnya terdapat sebuah laptop tipis. Rupanya ia telah lama
menungguku. Dan sore itu aku duduk di belakangnya. Sementara jari-jemariku menari-nari di
atas tuts-tuts keyboard. Sedangkan di depanku kata-kata menari-nari dengan lincahnya. Yah,
sejak resign aku kembali ke profesi lamaku, menjadi penulis novel.
Setiap pagi sebelum merangkai kata-kata, aku selalu menyempatkan diri untuk menyapa
bungaku yang tampak riang dan selalu tersenyum padaku. Sambil menyeruput hangatnya
kopi hitam yang dipadu dengan sejumput gula aren di dalam cangkir, aku selalu menjenguk
dan menanyakan kabar si mawar, si kenanga, si kamboja, si melati dan si garbia. Lihatlah
mereka semakin cantik dengan bunganya yang warna-warni seperti hidupku. Di dalam rumah
itu aku menulis. Dari dalam ruangan itu terlahir karya-karya yang sekarang dibaca oleh
ribuan mata di luar sana. Aku benar-benar sudah bebas. Jiwaku bebas. Hidupku juga bebas.
Batinku pun bebas dari segala peraturan yang dibuat oleh tangan manusia. Sungguh, Tuhan
tidak butuh peraturan

Anda mungkin juga menyukai