Dosen Pengampu
Dr. Mohammad Zaenal Arifin, MHI
Disusun Oleh :
DWI BASUKI WIDODO
NIM : 21502002
PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) KEDIRI
2022
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tafsir Al-Qur’an merupakan diskursus yang telah ada dalam tradisi
keilmuan Islam sejak masa klasik, yang mana diskursus keilmuan ini terus
berkembang seiring perkembangan zaman. Dimulai dengan metodologi tafsir yang
berlandaskan riwayat atau At-Tafsir bi Al-Ma’tsur dan tafsir yang berlandaskan
pemikiran / logika atau At-Tafsir bi Ar-Ra’yi, hingga memunculkan metode-
metode atau corak penafsiran lain semisal tafsir ahkam, tafsir falsafi, tafsir isyari,
tafsir ilmi, dan lain sebagainya.
Namun meski perkembangan zaman dan metode tafsir itu sendiri, tetap saja
tidak bisa lepas dari faktor kebahasaan yang menjadi instrumen utama penafsiran.
Bahkan para ulama menarik kesimpulan jika syarat mutlak untuk memahami
makna dan pesan dari Al-Qur’an adalah memiliki kemampuan dalam berbahasa,
utamanya bahasa arab. Hal ini dikarenakan orang yang menfasirkan Al-Qur’an
tanpa memahami kaidah bahasa arab akan cenderung menyimpang dalam
penafsirannya sehingga keluar dari makna lafadz Al-Qur’an itu sendiri.
Karena itulah, kajian bahasa yang dalam konteks tafsir ini yaitu bahasa arab
penting untuk dilakukan dalam rangka mencegah terjadinya penyelewengan atau
penyimpangan makna dari makna sebenarnya pada makna yang salah. Maka para
ulama kemudian menyusun kaidah-kaidah tafsir yang berkenaan dengan bahasa
arab, atau dikenal sebagai kaidah-kaidah kebahasaan (Al-Qawaa’id Al-
Lughawiyah). Tujuannya adalah memberikan batasan agar penafsiran tidak
serampangan dan melenceng jauh dari makna asal yang dikehendaki dari ayat Al-
Qur’an itu sendiri.
Diantara kaidah kebahasaan yang penting untuk dibahas yaitu yang berkiatan
dengan sifat dari kata nomina (kata benda), apakah definitif ataukah tidak definitif.
Yang dalam keilmuan nahwu (grammar bahasa arab) dikenal dengan istilah
ma’rifah (kata benda definitif) dan nakirah (kata benda tidak definitif). Yang
masing-masing diantara keduanya akan memberikan konsekuensi makna yang
berbeda terhadap kalimat Al-Qur’an. Oleh karenanya penulis menyusun makalah
dengan judul penerapan ismu nakirah pada tafsir Al- Quran dengan rumusan
masalah sebagai berikut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kaidah tafsir berkenaan dengan Ismu Nakirah ?
2. Bagaimanakah penerapan kaidah Isim Nakirah dalam tafsir Al qur’an?
C. Tujuan
Pada ayat di atas terdapat kata رجلyang bermakna laki-laki, yang mana kata
tersebut berjenis nakirah, kata ini secara jumlah juga berjenis mufrad (kata
tunggal), sehingga kata rojulun dalam ayat dapat dimaknai berjumlah tunggal, atau
seorang laki-laki saja.
Fungsi kedua menunjukan jenis sesuatu (an-nau’), maksudnya bahwa kata
nakirah bisa mencakup seluruh personal dari jenis kata tersebut. Contohnya adalah
surat An-Nur ayat 45 :
Pada ayat terdapat kata ماءyang bermakna air. Maksud dari air di sini
adalah air mani atau sperma. Maka ayat ini mengindikasikan bahwa Allah SWT
menciptakan berbagai macam hewan melata dari berbagai macam air mani. Maka
untuk merangkum seluruh jenis air mani tersebut digunakanlah kata berjenis
nakirah.
Fungsi ketiga menunjukan suatu hal yang besar (at-ta’dzim) dan serius,
maksudnya yaitu isim nakirah memberikan makna pengagungan terhadap suatu
hal. Contohnya adalah surat Al-Baqarah ayat 279 :
Pada ayat di atas terdapat isim nakirah yaitu kata ( َأ ْج َراimbalan), yaitu
imbalan yang berlimpah lagi banyak, dimana hal tersebut harus setimpal dengan
kesulitan mereka mengalahkan Nabi Musa as.
Fungsi kelima adalah menunjukan suatu yang yang kecil, rendah, atau
remeh, semisal Al-Qur’an surat ‘Abasa ayat 18 :
Pada ayat ini terdapat isim nakirah yaitu kata ( ش َْي ٍءsesuatu), yang
mengindikasikan pertanyaan ini bermaksud untuk menyadarkan manusia bahwa
mereka tercipta dari sesuatu yang remeh bahkan dipandang hina.
Fungsi keenam yaitu menunjukan suatu hal yang sedikit, misalnya saja Al-
Qur’an surat At-Taubah ayat 72 :
Pada ayat di atas terdapat kata ( َمآبtempat kembali), dan makna ayat ini
yaitu hanya kepada Allah lah tempat kembali pada hari kiamat dan bukan kepada
selain-Nya. Dia-lah pula yang akan memberikan balasan amal kepada manusia. Ini
menunjukan bahwa makna isim nakirah tersebut adalah menunjukan makna
tunggal.
Contoh ketiga terdapat dalam surat Maryam ayat 7 :
Pada ayat ini terdapat kata س ِميَّا
َ (penamaan), makna ayat ini yaitu bahwa saat
itu belum ada sama sekali seseorang yang diberi nama Yahya, baik pada zaman itu
ataupun sebelumnya. Ini menunjukan bahwa kata tersebut bermakna tunggal.
Dan contoh keempat yaitu surat Yusuf ayat 76 :
Pada ayat ini terdapat kata ( َعلِيمyang berpengetahuan), dimana kata ini
ditafsirkan oleh Ibnu Abbas bahwa maksudnya adalah Allah SWT yang maha
mengetahui melampaui seluruh orang yang berilmu. Ini menunjukan bahwa isim
nakirah tersebut bermakna tunggal, walau ada pula yang menyebut bermakna
pengagungan.
2. Menunjukkan Jenis
Contoh pertama terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 7 :
Pada ayat terdapat kata ٌ( ِغشَا َوةpenutup), makna dari ayat sendiri yaitu
bahwa pada pendangan atau pengelihatan orang yang kafir itu telah tertutup
dengan suatu jenis penutup yang belum diketahui oleh manusia.
Contoh kedua terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 48 :
Pada ayat di atas terdapat kata ( َماءair), dan yang dimaksud di sini yaitu air
hujan. Dan Isim nakirah disini menunjukan makna jenis dari air tersebut.
3. Menunjukkan hal besar dan Agung
Contoh pertama terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 268 :
Pada ayat di atas terdapat kata ( فِ َرة َم ْغampunan), yaitu menunjukan betapa
agung ampunan yang ebrasal dari Allah tersebut. Karena kata tersebut diiringi
dengan penisbatan kepada Allah. Karena agungnya Allah SWT, maka segala yang
dinisbatkan kepada-Nya pun menjadi agung.
Contoh kedua terdapat dalam surat Ali Imran ayat 171 :
Pada ayat ini terdapat dua kata, yaitu ( َأ ْحيَاءyang hidup) dan ( َأ ْم َواتًاyang
mati), kedua kata ini merupakan isim nakirah yang berfungsi menunjukan jumlah
banyak. Maka makna ayat yaitu bumi menghimpun banyak sekali baik orang-
orang yang hidup maupun yang sudah mati.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kaidah bahasa adalah salah satu kaidah
terpenting dalam memahami Al-Qur’an. Karena itu seseorang yang tidak
memahami bahasa Al-Qur’an akan sulit untuk bisa menangkap tujuan aplikatif
dari ayat-ayatnya.
Salah satu kaidah kebahasaan yang harus dipahami yaitu kaidah yang
berkenaan dengan kata benda yang bersifat non definitif (isim naikrah), yang mana
dia mengandung kemungkinan 4 makna : untuk menunjukan makna tunggal,
menunjukan jenis dari sesuatu, menunjukan pengagungan dan menunjukan makna
hal yang banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Amin Suma, Muhammad. Ulumul Qur’an. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persadah,
2013.
As-Sabuni, Muhammad Ali. At-Tibyan fi Ulum al-Qur’anI. Mekkah: Dar as Sabuni,
2003.
Izzan, Ahmad. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung : Tafakkur, 2007.
Ilyas, Yunaihar. Kuliah Ulumul Qur’an. Yogyakarta : AL ITQAN Publishing, 2014.
Khaeruman, Badri. Sejarah Perkembangan TafsirAl Qur’an. Bandung : Pustaka,
2003.
Khalil Qattan, Manna. Mabahis fi Ulum Qur’an. Al Qahirah, Maktabah Wahbah,
2007.
Muhammad, Badruddin. Syarh Ibn Nadzim ‘ala Alfiyat Ibn Malik.Beirut: Daar Al-
Kutub Al-‘Ilmiyah, 2000.
Mutakin, Ali. “Kedudukan Kaidah Kebahasaan dalam Kajian Tafsir”. Al-Bayan:
Jurnal Studi Al-Qur’an dan Tafsir. No. 2. Desember 2016.
Samsurrahman. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta : Amzah, 2014.
Syihab, M. Quraisy. Kaidah Tafsir. Tanggerang: Lentera Hati, 2013.
Zahrah, Abu. Zahrat At-Tafasir. Damaskus: Daar El-Fikr Al-‘Arabi, t.th.