ABSTRAK
Perkawinan usia dini merupakan perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan
perempuan yang belum mencapai umur batas usia yang telah ditetapkan yakni 19
tahun.Tujuan dari perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan guna melanjutkan hidup
bersama dalam rumah tangga yang sakinah, mawadah, warohmah. Namun, pada
kenyataannya banyak terjadi ketidakcocokan yang terjadi antara suami dan istri dalam
menjalankan rumah tangga, yang pada akhirnya menyebabkan tidak tercapainya tujuan
perkawinan yang berakhir pada perceraian. Sehingga yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah apa faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan usia dini, kenapa
pernikahan dini dipakai sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama dan bagaimana
upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mengurangi perceraian dari pernikahan usia dini.
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif.
Penelitianyuridis normatif yang didukung data wawancara dengan informan. Sumber data
yang digunakan ialah berupa data sekunder dan data primer serta dianalisis dengan
menggunakan pendekatan kualitatif.
Hasil dari penelitian terhadap perceraian karena pernikahan di usia dini studi
Pengadilan Agama ini yaitu faktor penyebab teradinya perkawinan di bawah umur karena
keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi cenderung menikahkan anaknya pada usia
yang masih muda, pernikahan ini diharapkan menjadi solusi kesulitan ekonomi yang
dialami oleh keluarga, dengan menikah diharapkan akan mengurangi beban ekonomi
keluarga. Terjadinya hamil di luar nikah karena anak-anak melakukan hubungan yang
melanggar norma memaksa mereka untuk melakukan pernikahan dini guna memperjelas
anak yang dikandung pernikahan ini memaksa mereka untuk menikah. keadaan terpaksa
sebab terjadinya kecelakaan hubungan sebelum perkawinan yang memaksa terjadinya
perkawinan muda tersebut, dan karena usia yang belum mencapai usia dewasa (pikirannya
masih labil) sehingga perkawinan berujung perceraian. Pernikahan dini juga mempunyai
dampak secara fisik meliputi ekonomi rumah tangga karena pada usia remaja masih belum
bisa menafkahi keluarganya sendiri, sementara faktor ekonomi merupakan faktor yang
mensejahterakan rumah tangga. Dalam permasalahan ini terdapat upaya-upaya mengatasi
perceraian karena pernikahan diusia dini dengan dan memahami ilmu kekeluargaan untuk
lebih meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pernikahan dibawah umur yaitu
dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang dilakukan secara efektif dan
berkesinambungan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai warga negara Indonesia setiap masyarakat diberikan hak untuk melanjutkan
kehidupan mengenal pasangan untuk membentuk suatu keluarga melalui perkawinan. Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bertujuan mengatur pergaulan hidup yang sempurna,
bahagia dan kekal di dalam suatu rumah tangga guna terciptanya rasa kasih sayang dan saling
mencintai. Namun kenyataannya sejarah umat manusia yang telah berusia ribuan tahun telah
membuktikan bahwa tidak selalu itu dapat tercapai, bahkan sebaliknya kandas ataupun gagal
sama sekali di tengah jalan.
Hidup bersama sangat penting artinya di dalam kehidupan bermasyarakat. Hidup
bersama maka seseorang sedang membentuk sebuah rumah tangga yang berdiri sendiri,
keluarga merupakan unsur terkecil dari masyarakat. Kesejahteraan, ketentraman dan keserasian
keluarga besar atau bangsa sangat bergantung pada kesejahteraan, ketentraman, dan keserasian
keluarga.Kalau seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan, tentu termaksud dalam
pikiran mereka suatu angan-angan untuk hidup bersama selama-lamanya, artinya : sampai salah
seorang dari mereka meninggal dunia.
Keingian suami dan istri untuk terus hidup bersama, masyarakat Indonesia disokong
penuh oleh keluarga-keluarga mereka. Berhubungan dengan kenyataanbahwa, soal perkawinan
di Indonesia pada umunya bukan melulu soal suami dan isteri saja, melainkan juga soal para
sanak keluarga, yang turut merasakan pula baiknya perkawinan yang berlangsung terus.Tetapi
ada kalanya pula bahwa suatu perkawinan adalah demikian buruk keadaannya, sehingga dilihat
dari sudut apapun juga lebih baik perkawinan itu diputuskan daripada dilangsungkan.
Hukum keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan hukum
nasional dalam bidang keluarga, oleh karena itu harus melakukan unifikasi hukum yang
berkembang dalam masyarakat. Indonesia selaku negara hukum telah memiliki Undang-
Undang tersendiri mengenai perkawinan. Namun, hal itu tidak cukup untuk mengatasi simpang
siur pelaksanaan perkawinan di Indonesia. Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing- masing
dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
materiil. Undang-Undang dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; Disamping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan
tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Undang-Undang menganut prinsip bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan
secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Harus
dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Disamping itu
perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, ternyata bahwa dalam batas
umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan
itu maka Undang-Undang menetukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi
wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria, dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu sebagai berikut :
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita
telah mencapai umur 16 tahun. Disamping itu, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.”
Akhirnya disepakati batasan usia perempuan dan laki-laki adalah 19 (sembilan belas)
tahun untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah. Seperti yang tertuang dalam
Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) menyebutkan,
“Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.”
Hal ini kerap terjadi, karena pandangan masyarakat yang keliru dalam memaknai
masalah kedewasaan untuk melaksanakan perkawinan, misalnya:
B. Rumusan Masalah
C. Pertanyaan Penelitian
1. Factor penyebab terjadinya pernikahan di usia dini
2. Kenapa pernikahan di usia dini rawan terhadap perceraian.
3. Bagaimana caranya untuk mengantisipasi dan mengurangi perceraian untuk pernikahan di
usia dini.
D. Tujuan penelitian
Berdasarkan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya, tujuan yang akan dicapai dari
penelitian ini adalah:
1. Temukan faktor apa pernikahan dini.
2. Memahami kronologi perceraian yang disebabkan oleh pernikahan dini dengan Pengadilan
Agama.
3. Upaya untuk mengatasi peningkatan tingkat perceraian karena pernikahan dini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Dan Tujuan Perkawinan
Pengertian perkawinan adalah lepas dari pengertian hidup bersama dipandang dari
sudut ilmu hayat (biologi). Pengertian perkawinan ditentukan oleh hukum yang tiap-tiap
negara berlaku mengenai suatu hidup bersama tertentu antara seorang perempuan dan
seorang laki-laki.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang dimaksud Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.Sedangkan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Menurut Hukum Islam Perkawinan adalah perjanjian suci (sakral) berdasarkan agama
antara suami dan isteri berdasarkan hukum agama untuk mencapai satu niat, satu tujuan, satu
usaha, satu hak, satu kewajiban, satu perasaan: sehidup semati. Perkawinan adalah
percampuran dari semua yang telah menyatu yang dimaksud diatas. Nikah adalah akad yang
menghalalkan setiap suami istri untuk bersenang-senang satu dengan yang lainnya. Perikatan
suci, yang diperintahkan kepada tiap-tiap umat islam yang sanggup melaksanakanya, kecuali
jika ada hal-hal yang tidak memungkinkannya untuk melaksanakanya.
Wirdjono Prodjodikoro, memberikan pengertian perkawinan sebagai suatu hidup
bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang
termasuk dalam peraturan tersebut, peraturan yang dimaksud adalah peraturan dari hidup
bersama. Sebagai ikatan lahir dan batin dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang
sakinah mawaddah dan rahmah kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 terlihat bahwa perkawinan tidak hanya
dipandang berdasarkan persoalan materi, melainkan merujuk paham relegius. Tujuan
perkawinan bukan bersifat sementara, melainkan untuk kekal dan abadi, hidup bahagia
kecuali putus hubungan karena kematian. Ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan
hukum antara pria dengan wanita untuk hidup bersama suami istri. Ikatan lahir ini
merupakan hubungannya formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya
maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan
pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria
dengan seorang wanita untuk hidup bersama suami istri.
Rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tercantum tujuan
perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
Berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu
tertentu untuk direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau untuk selama-lamanya,
tidak boleh diputuskan begitu saja. Selanjutnya dalam rumusan perkawinan itu dinyatakan
dengan tegas bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan
pada agama dan kepercayaan. Agama Islam, perintah religius merupakan sunah Rasulullah.
Keberadaan unsur ketuhanan dalam sebuah perkawinan bukan saja peristiwa perjanjian yang
sakral merupakan sifat pertanggungjawaban kepada Tuhan Sang Pencipta (Allah SWT).
Adanya unsur ketuhanan, maka hilanglah pandangan yang mengatakan bahwa perkawinan
adalah urusan manusia semata- mata. Dapat dikatakan bahwa perkawinan mengandung
paham teokratis.
Tujuan perkawinan pada dasarnya adalah untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan
rohani manusia juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara dan meneruskan
keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, selain itu untuk mencegah perzinaan, agar
tercipta ketenangan keluarga dalam masyarakat. Islam sangat menganjurkan bagi mereka
yang telah mampu untuk menikah, karena nikah merupakan fitrah kemanusiaan serta naluri
kemanusiaan. Jika naluri tersebut tidak terpenuhi melalui jalan yang benar yaitu melalui
perkawinan, maka bisa menjerumuskan seseorang ke jalan yang tidak benar, yaitu mereka
dapat berbuat hal-hal yang diharamkan Allah SWT seperti berzina, kumpul kebo, dan lain
sebagainya.
Cita hukum suatu Undang-Undang yang merupakan refleksi normatif dari keinginan
masyarakatnya terletak kepada jantungnya hukum tesebut. Ilmu hukum, jantung hukum lebih
dikenal juga dengan sebutan asas hukum. Asas-asas hukum perkawinan tidak dicantumkan
secara tegas dalam batang tubuh-tubuh Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 melainkan
diletakkan dalam penjelasan umum Undang-Undang tesebut. Asas hukum seharusnya lebih
tepat dicantumkan dalam batang tubuhnya karena asas hukum perkawinan tersebut
merupakan harapan hukum (expected law) atau suatu cita-cita hukum yang sangat penting,
dan tempat pengembaliannya suatu masalah hukum jika terjadi penafsiran yang beraneka
ragam. Kedudukan asas hukum perkawinan ini adalah sebagai jantungnya Undang-Unang
Nomor 1 Tahun 1974. Selain itu, menciptakan keluwesan dan fleksibilitas hukum dalam
menghadapi faktor-faktor realita perkawinan. Tanpa ada asas-asas hukum perkawinan, maka
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi kaku dalam pelaksanaannya. Pembentuk
Undang-Undang telah menetapkan asas sebagai berikut:
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami
istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan matrial.
2. Suatu perkaiwinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing
agamaya dan kepercayaannya itu.
Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor pendorong yang penting untuk hidup bersama
adalah hal bersetubuh, baik karena keinginan untuk mendapatkan keturunan maupun untuk
memenuhi hawa nafsu belaka. Kekuatan untuk bersetubuh tidaklah selalu ada pada seseorang
dan lagi tidak merupakan syarat untuk hidup bersama. Realitas hukum membuktikan bahwa
perkawinan dapat dilaksanakan antara 2 (dua) orang yang sudah lanjut usia, bahkan
diperbolehkan pula melakukan perkawinan pada saat salah satu hampir meninggal dunia, yang
disebut dengan perkawinan in extremis.
B. Syarat Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 terdiri dari syarat subtantif dan syarat ajektif. Syarat subtantif adalah syarat-syarat
yang menyangkut diri pribadi calon suami dan calon istri, sedangkan syarat ajektif adalah
syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas perkawinan yang dilakukan
menurut hukum masing-masing agamnya dan kepercayaannya.
Persyaratan subtantif tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan (kata sepakat) calon suami istri (pasal 6
ayat 1);
2. Umur dari calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon istri berumur 16 tahun
(pasal 7 ayat 1; jika belum berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Kalau
orang tua sudah meninggal diperoleh dari Wali, jika tak ada wali diperoleh izin
Pengadilan setempat;
3. Calon istri tidak terikat pada pertalian perkawinan dengan pihak lain (pasal 3 dan 9);
4. Adanya waktu tunggu bagi wanita yang putus perkawinannya apabila akan
melangsungkan perkawinannya yang kedua (Pasal 11 jo PP No.9 Tahun 1975);
5. Calon suami istri memiliki agama yang sama.
Persyaratan akjektif adalah sebagai berikut:
1. Kedua calon suami istri atau kedua orang tua atau wakilnya memberitahukan kepada
pegawai pencatat perkawinan di tempat perkawinan akan dilangsungkan secara lisan atau
tulisan;
2. Pemberitahuan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan;
3. Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan meneliti semua dokumen-dokumen
yang berkaitan dengan identitas calon suami istri;
4. Pengumuman tentang waktu dilangsungkan perkawinan pada Kantor Pencatatan
Perkawinan untuk diketahui umum. Lazimnya ditempel pada papan pengumuman di
kantor tersebut agar mudah dibaca oleh masyarakat;
5. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman;
6. Perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri 2 (dua) orang saksi;
7. Akta perkawinan ditandatangani oleh kedua calon suami istri, dalam rangkap 2 (dua).
Helai pertama disimpan oleh pencatat, dan helai kedua disimpan pada Panitera
Pengadilan dalam wilayah kantor pencatat perkawinan tersebut. Kepada suami istri
diberikan kutipan akta perkawinan.
Terdapat empat persyaratan sahnya perkawinan menurut jumhur ulama dalam Islam,
antara lain: akad nikah (Ijab dan Qabul); calon mempelai laki-laki dan perempuan; wali; dan
saksi. Sementara Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur bahwa untuk
melaksanakan perkawinan dibutuhkan: calon suami; calon istri; wali nikah; dua saksi; ijab
dan qabul.
1. Ijab dan Qabul
Ijab yaitu ucapan penyerahan yang diucapkan wali (dari pihak perempuan) atau
wakilnya sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Sedangkan qabul adalah ucapan
pengantin laki-laki sebagai tanda penerimaan. Ijab dan Qabul dapat diucapkan dalam Bahasa
Indonesia. Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak
berselang waktu. Mengucapkan Qabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. Dalam hal-
hal tertentu ucapan Qabul nikah dapat dilakukan pada pria lain dengan ketentuan calon
mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad
nikah itu adalah untuk mempelai pria.
2. Calon Mempelai
Persyaratan calon mempelai pria adalah sebagai berikut: calon suami beragama Islam;
terang bahwa calon suami itu betul laki-laki; orangnya diketahui dan tertentu; calon suami
itu jelas halal dikawin dengan calon istri; calon laki-laki tahu calon istri; calon suami rela
untuk melakukan perkawinan itu; tidak sedang melakukan ihram; tidak mempunyai istri
yang haram dimadu dengan calon istri; dan tidak punya istri empat. Sementara persyaratan
calon mempelai perempuan adalah sebagai berikut: beragama Islam; terang bahwa ia wanita;
wanita itu tentu orangnya; halal bagi calon suami; wanita tersebut tidak berada dalam ikatan
perkawinan dan tidak dalam masa iddah; tidak dipaksa; dan tidak sedang berihram.
3. Wali
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir, Muhmmad. 2000.Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Bakti Aditya.
Abu Daud Sulaiman Al-Sajastani. 1974. Sunan Abu Daud, Beirut : Dari Hazm Ibnu.
Abidin, Ibnu. Hasyiah Rad Al Kabir, Jilid V. Mesir: Musthafa al-Babi al Halabi.
Al-Qur‟an dan Terjemahan, 1971, Pelayanan Dua Tanah Suci Raja Abdullah Bin Abdul Aziz „ali
Saud, Jakarta.
Anshori, Helmi. 2004. Tuntunan Keluarga Sakinah bagi Usia Nikah. Jakarta: Departemen Agama
RI.
Athibi, Ukasyah. 2001. Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya. Jakarta: Gema Insani Press.
Azhari, Akmal dan Nuruddin, Amiur Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Bahari, Adib. 2016.Tata Cara Gugatan Cerai Pembagian Harta Gono-Gini dan Hak Asuh Anak.
Yogyakarta: Pustaka Yustisi.
Hanafi, Yusuf. 2011. Kontraversi Perkawinan Anak di Bawah Umur. Malang: Mandar Maju.
Malik, Rusdi. 2010. Peranan Agamadalam Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Universitas
Trisakti.
Manan, Abdul. 2006. Reformasi Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.