Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS FAKTOR PERCERAIAN KARENA PERKAWINAN DI USIA DINI

ABSTRAK

Perkawinan usia dini merupakan perkawinan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan
perempuan yang belum mencapai umur batas usia yang telah ditetapkan yakni 19
tahun.Tujuan dari perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan guna melanjutkan hidup
bersama dalam rumah tangga yang sakinah, mawadah, warohmah. Namun, pada
kenyataannya banyak terjadi ketidakcocokan yang terjadi antara suami dan istri dalam
menjalankan rumah tangga, yang pada akhirnya menyebabkan tidak tercapainya tujuan
perkawinan yang berakhir pada perceraian. Sehingga yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah apa faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan usia dini, kenapa
pernikahan dini dipakai sebagai alasan perceraian di Pengadilan Agama dan bagaimana
upaya-upaya yang harus dilakukan untuk mengurangi perceraian dari pernikahan usia dini.
Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif.
Penelitianyuridis normatif yang didukung data wawancara dengan informan. Sumber data
yang digunakan ialah berupa data sekunder dan data primer serta dianalisis dengan
menggunakan pendekatan kualitatif.
Hasil dari penelitian terhadap perceraian karena pernikahan di usia dini studi
Pengadilan Agama ini yaitu faktor penyebab teradinya perkawinan di bawah umur karena
keluarga yang mengalami kesulitan ekonomi cenderung menikahkan anaknya pada usia
yang masih muda, pernikahan ini diharapkan menjadi solusi kesulitan ekonomi yang
dialami oleh keluarga, dengan menikah diharapkan akan mengurangi beban ekonomi
keluarga. Terjadinya hamil di luar nikah karena anak-anak melakukan hubungan yang
melanggar norma memaksa mereka untuk melakukan pernikahan dini guna memperjelas
anak yang dikandung pernikahan ini memaksa mereka untuk menikah. keadaan terpaksa
sebab terjadinya kecelakaan hubungan sebelum perkawinan yang memaksa terjadinya
perkawinan muda tersebut, dan karena usia yang belum mencapai usia dewasa (pikirannya
masih labil) sehingga perkawinan berujung perceraian. Pernikahan dini juga mempunyai
dampak secara fisik meliputi ekonomi rumah tangga karena pada usia remaja masih belum
bisa menafkahi keluarganya sendiri, sementara faktor ekonomi merupakan faktor yang
mensejahterakan rumah tangga. Dalam permasalahan ini terdapat upaya-upaya mengatasi
perceraian karena pernikahan diusia dini dengan dan memahami ilmu kekeluargaan untuk
lebih meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pernikahan dibawah umur yaitu
dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang dilakukan secara efektif dan
berkesinambungan.

Kata kunci: Pernikahan, perceraian, pernikahan usia dini.

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai warga negara Indonesia setiap masyarakat diberikan hak untuk melanjutkan
kehidupan mengenal pasangan untuk membentuk suatu keluarga melalui perkawinan. Undang-
Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bertujuan mengatur pergaulan hidup yang sempurna,
bahagia dan kekal di dalam suatu rumah tangga guna terciptanya rasa kasih sayang dan saling
mencintai. Namun kenyataannya sejarah umat manusia yang telah berusia ribuan tahun telah
membuktikan bahwa tidak selalu itu dapat tercapai, bahkan sebaliknya kandas ataupun gagal
sama sekali di tengah jalan.
Hidup bersama sangat penting artinya di dalam kehidupan bermasyarakat. Hidup
bersama maka seseorang sedang membentuk sebuah rumah tangga yang berdiri sendiri,
keluarga merupakan unsur terkecil dari masyarakat. Kesejahteraan, ketentraman dan keserasian
keluarga besar atau bangsa sangat bergantung pada kesejahteraan, ketentraman, dan keserasian
keluarga.Kalau seorang laki-laki kawin dengan seorang perempuan, tentu termaksud dalam
pikiran mereka suatu angan-angan untuk hidup bersama selama-lamanya, artinya : sampai salah
seorang dari mereka meninggal dunia.
Keingian suami dan istri untuk terus hidup bersama, masyarakat Indonesia disokong
penuh oleh keluarga-keluarga mereka. Berhubungan dengan kenyataanbahwa, soal perkawinan
di Indonesia pada umunya bukan melulu soal suami dan isteri saja, melainkan juga soal para
sanak keluarga, yang turut merasakan pula baiknya perkawinan yang berlangsung terus.Tetapi
ada kalanya pula bahwa suatu perkawinan adalah demikian buruk keadaannya, sehingga dilihat
dari sudut apapun juga lebih baik perkawinan itu diputuskan daripada dilangsungkan.
Hukum keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan hukum
nasional dalam bidang keluarga, oleh karena itu harus melakukan unifikasi hukum yang
berkembang dalam masyarakat. Indonesia selaku negara hukum telah memiliki Undang-
Undang tersendiri mengenai perkawinan. Namun, hal itu tidak cukup untuk mengatasi simpang
siur pelaksanaan perkawinan di Indonesia. Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing- masing
dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan
materiil. Undang-Undang dinyatakan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; Disamping itu tiap-tiap
perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan
tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat
keterangan suatu akte yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Undang-Undang menganut prinsip bahwa calon suami istri itu harus telah masak jiwa
raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan
secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Harus
dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih dibawah umur. Disamping itu
perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan, ternyata bahwa dalam batas
umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan
itu maka Undang-Undang menetukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun bagi
wanita, ialah 19 (sembilan belas) tahun bagi pria, dan 16 (enam belas) tahun bagi wanita.
Ketentuan mengenai batas umur minimal tersebut terdapat di dalam pasal 7 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu sebagai berikut :
“Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita
telah mencapai umur 16 tahun. Disamping itu, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.”
Akhirnya disepakati batasan usia perempuan dan laki-laki adalah 19 (sembilan belas)
tahun untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah. Seperti yang tertuang dalam
Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) menyebutkan,
“Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.”
Hal ini kerap terjadi, karena pandangan masyarakat yang keliru dalam memaknai
masalah kedewasaan untuk melaksanakan perkawinan, misalnya:

1. Pandangan tentang “kedewasaan” seseorang dilihat dari perspektif ekonomi. Ketika


seseorang telah mampu menghasilkan uang atau telah terjun ke sektor pekerjaan produktif
telah dipandang dewasa dan dapat melangsungkan perkawinan, meskipun secara usia masih
anak-anak.
2. Kedewasaan seseorang yang dilihat dari perubahan-perubahan fisik, misalnya menstruasi
bagi anak perempuan dan mimpi basah bagi anak laki-laki, diikuti dengan perubahan
terhadap organ-organ reproduksi.
3. Terjadinya kehamilan diluar nikah, menikah adalah solusi yang sering diambil oleh keluarga
dan masyarakat untuk menutupi aib dan menyelamatkan status anak pascakelahiran.
4. Korban perkawinan di bawah umur lebih banyak anak perempuan karena kemandirian secara
ekonomi, status pendidikan dan kapasitas perempuan bukan hal penting bagi keluarga.
Karena perempuan sebagai istri, segala kebutuhan dan hak-hak individunya akan menjadi
tanggung jawab suami.
Demikian halnya dengan ajaran Hukum Islam dalam konsep Kompilasi Hukum Islam.
Hakikatnya Hukum Islam lebih cenderung meletakkan dasar-dasar ketentuan kedewasaan
dengan ciri-ciri fisik. Istilah yang lazim digunakan dalam ilmu fiqih untuk menyebabkan
tibanya masa kedewasaan adalah baligh. Ukuran yang dipakai sebagai penanda bagi laki-laki
adalah “mimpi basah” (hulum). Orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam, bahwa
pengaruh Hukum Islam adalah sangat besar dalam perihal perkawinan, dan berarti bahwa juga
Ajaran talak, dijumpai di dalam beberapa ayat Al-Qur‟an perihal perceraian pengaruh hukum
Islam itu nampak betul-betul. Dikalangan orang-orang Islam dimana perceraian yang lazim
adalah berupa pemberian talak oleh suami kepada istri, maka seiring si suami memberi talak itu
kepada istri atas permintaan atau desakan si istri.
Sahnya suatu perceraian pun harus sesuai dengan hukum agama, seperti apa yang telah
dibahas, bahwa sesuai dengan pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, bahwa perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu, maka perceraian adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu. Pengaturan tentang perkawinan dan pengaturan perceraian adalah ibarat
dua sisi dari mata uang, yang saling terkait. Walaupun dalam pasal-pasal tentang putusnya
perkawinan atau perceraian tidak disebut secara tegas seperti bunyi pasal 2 ayat 1 Undang-
Undang Perkawinan dan penjelasan resminya yang khusus untuk putusnya perkawinan atau
perceraian.
Masyarakat Indonesia yang beragama Islam sekarang ditemukan suatu kecenderungan
melecehkan ketentuan Perundang-undangan Hukum Perkawinan yang berlaku, dalam hal ini
tentang perceraian. Selama ini masyarakat mengenal apa yang disebut dengan perkawinan di
bawah tangan, maka sekarang telah berkembang pula apa yang disebut perceraian di bawah
tangan. Mengenai perkawinan bawah tangan adalah perkawinan yang sudah sah sesuai dengan
hukum agama dan pasangan yang bersangkutan (Pasal 2 ayat 1 UU No.1 Tahun 1974), jadi
melanggar ketentuan pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974. Begitu
pula perceraian di bawah tangan sebetulnya harus pula dicatat oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan (KCS atau KUA), walaupun sudah sesuai atau sah dengan hukum agama dari
suami istri tersebut tentang perceraian. Misalnya perceraian dalam hukum Islam yang dikenal
dengan istilah talaq, telah terjadi atau sah, cukup dengan ucapan dari sang suami yang berarti
atau dapat disimpulkan sebagai mentalak istriya, misal “aku talak engkau hari ini” atau
“pulanglah engkau kerumah orang tuamu” seperti kita ketahui dalam hukum perkawinan Islam,
saksi tidak diperlukan dalam suatu perceraian (talak), karena menurut agama Islam saksi bukan
rukun dari suatu perceraian, sedangkan dalam pernikahan, dua orang saksi merupakan rukun
dari suatu pernikahan. Akibat hukum dari ucapan sang suami yang mentalak sang istri itu,
adalah hubungan perkawinan tersebut sudah putus. Bila sang suami akan rujuk kepada mantan
istrinya, bisa saja dalam masa iddah, dengan tanpa akad nikah lagi, tetapi bila lewat masa
iddah, kembalinya sang suami kepada mantan istri, harus melalui akad nikah lagi, memenuhi
rukun nikah sesuai Hukum Agama Islam.
Setelah talak diucapkan oleh suami, maka perkawinan belum dihentikan seketika itu,
melainkan dapat dikata masih berlangsung selama masa iddah, yaitu selama masa dalam mana
si istri mendapat kotor bulanan tiga kali, atau biasanya ditetapkan tiga bulan atau seratus
hari.Selama masa iddah ini suami tetap berwajib memberi nafkah serta perumahan kepada istri,
si istri tidak boleh kawin dengan orang lain, dan si suami pun tidak boleh kawin dengan orang
lain, apabila sudah mempunyai tiga istri di luar istri yang diberi talak itu.
Waktu dalam masa iddah ini suami dan istri diberi kesempatan untuk yang dinamakan
rujuk, yaitu untuk balik lagi selaku suami istri. Baik talak maupun rujuk ini harus
diberitahukan kepada seorang pejabat yang disebutkan dalam pasal 1 Undang-Undang tentang
Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (Undang-Undang tanggal 21 November 1946 Nomor 22),
yaitu Pegawai Pencatat Nikah yang di angkat oleh Mentri Agama atau seorang pegawai lain
yang ditunjuk olehnya.
Harus diakui bahwa banyak ketentuan tentang perceraian yang berasal dari agama
tertentu dioper oleh Undang-Undang Perkawinan misalnya tentang talak. Talak adalah suatu
lembaga perceraian yang khusus terdapat dalam hukum agama Islam, dan merupakan hak
mutlak yang dimiliki oleh suami muslim untuk menceraikan (mentalak) istrinya, tetapi hak
mentalak ini tidak dipunyai oleh sang istri menceraikan suaminya, demikian ketentuan agama
Islam. Hanya dalam Undang-Undang Perkawinan, talak ini sekarang diatur, agar kepentingan
nasib dan kepastian hukum dari sang istri terjamin dan tidak sia-sia. Pasal-pasal tentang
pengaturan talak dalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang Perkawinan tegas dikatakan hanya
berlaku untuk perkawinan secara agama Islam.
Tetapi ada pula ketentuan tentang perceraian yang berasal dari suatu agama lain, juga
tidak tegas dan tidak eklusif disebutkan dalam Undang-Undang Perkawinan dan aturan
pelaksanaannya PP No.9 Tahun 1975 tentang Perkawinan, yaitu larangan bercerai dari agama
Katolik. Sesuai dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Perkawinan dimana ketentuan
agama dominan dan fundamental, maka seharusnya pasal-pasal tentang perceraian dalam
Undang-Undang Perkawinan dan PP No.9 Tahun 1975 tidak berlaku untuk perkawinan yang
disahkan menurut agama katolik.
Adanya pengaturan mengenai perkawinan seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan
UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi
adanya hubungan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan dalam suatu ikatan
resmi yang sering disebut sebagai ikatan perkawian. Dengan demikian, maka dapat diketahui
bahwa adanya perkawinan dapat menimbulkan suatu akibat-akibat yang oleh karena akibat
tersebut membutuhkan suatu hukum yang mengaturnya agar tidak menimbulkan permasalahan-
permasalahan di kemudian hari.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:


1. Apa faktor penyebab terjadinya perkawinan usia dini?
2. Mengapa pernikahan usia dini dipakai sebagai alasan perceraian di
Pengadilan Agama?
3. Bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mengurangi perceraian
dari pernikahan usia dini?

C. Pertanyaan Penelitian
1. Factor penyebab terjadinya pernikahan di usia dini
2. Kenapa pernikahan di usia dini rawan terhadap perceraian.
3. Bagaimana caranya untuk mengantisipasi dan mengurangi perceraian untuk pernikahan di
usia dini.

D. Tujuan penelitian

Berdasarkan masalah yang telah ditetapkan sebelumnya, tujuan yang akan dicapai dari
penelitian ini adalah:
1. Temukan faktor apa pernikahan dini.
2. Memahami kronologi perceraian yang disebabkan oleh pernikahan dini dengan Pengadilan
Agama.
3. Upaya untuk mengatasi peningkatan tingkat perceraian karena pernikahan dini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Dan Tujuan Perkawinan
Pengertian perkawinan adalah lepas dari pengertian hidup bersama dipandang dari
sudut ilmu hayat (biologi). Pengertian perkawinan ditentukan oleh hukum yang tiap-tiap
negara berlaku mengenai suatu hidup bersama tertentu antara seorang perempuan dan
seorang laki-laki.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang dimaksud Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.Sedangkan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Menurut Hukum Islam Perkawinan adalah perjanjian suci (sakral) berdasarkan agama
antara suami dan isteri berdasarkan hukum agama untuk mencapai satu niat, satu tujuan, satu
usaha, satu hak, satu kewajiban, satu perasaan: sehidup semati. Perkawinan adalah
percampuran dari semua yang telah menyatu yang dimaksud diatas. Nikah adalah akad yang
menghalalkan setiap suami istri untuk bersenang-senang satu dengan yang lainnya. Perikatan
suci, yang diperintahkan kepada tiap-tiap umat islam yang sanggup melaksanakanya, kecuali
jika ada hal-hal yang tidak memungkinkannya untuk melaksanakanya.
Wirdjono Prodjodikoro, memberikan pengertian perkawinan sebagai suatu hidup
bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang
termasuk dalam peraturan tersebut, peraturan yang dimaksud adalah peraturan dari hidup
bersama. Sebagai ikatan lahir dan batin dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang
sakinah mawaddah dan rahmah kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ketentuan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 terlihat bahwa perkawinan tidak hanya
dipandang berdasarkan persoalan materi, melainkan merujuk paham relegius. Tujuan
perkawinan bukan bersifat sementara, melainkan untuk kekal dan abadi, hidup bahagia
kecuali putus hubungan karena kematian. Ikatan lahir, perkawinan merupakan hubungan
hukum antara pria dengan wanita untuk hidup bersama suami istri. Ikatan lahir ini
merupakan hubungannya formal yang sifatnya nyata, baik bagi yang mengikatkan dirinya
maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sebagai ikatan batin, perkawinan merupakan
pertalian jiwa yang terjalin karena adanya kemauan yang sama dan ikhlas antara seorang pria
dengan seorang wanita untuk hidup bersama suami istri.
Rumusan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tercantum tujuan
perkawinan yaitu untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal.
Berarti bahwa perkawinan dilangsungkan bukan untuk sementara atau untuk jangka waktu
tertentu untuk direncanakan, akan tetapi untuk seumur hidup atau untuk selama-lamanya,
tidak boleh diputuskan begitu saja. Selanjutnya dalam rumusan perkawinan itu dinyatakan
dengan tegas bahwa pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti bahwa perkawinan harus didasarkan
pada agama dan kepercayaan. Agama Islam, perintah religius merupakan sunah Rasulullah.
Keberadaan unsur ketuhanan dalam sebuah perkawinan bukan saja peristiwa perjanjian yang
sakral merupakan sifat pertanggungjawaban kepada Tuhan Sang Pencipta (Allah SWT).
Adanya unsur ketuhanan, maka hilanglah pandangan yang mengatakan bahwa perkawinan
adalah urusan manusia semata- mata. Dapat dikatakan bahwa perkawinan mengandung
paham teokratis.
Tujuan perkawinan pada dasarnya adalah untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan
rohani manusia juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara dan meneruskan
keturunan dalam menjalani hidupnya di dunia ini, selain itu untuk mencegah perzinaan, agar
tercipta ketenangan keluarga dalam masyarakat. Islam sangat menganjurkan bagi mereka
yang telah mampu untuk menikah, karena nikah merupakan fitrah kemanusiaan serta naluri
kemanusiaan. Jika naluri tersebut tidak terpenuhi melalui jalan yang benar yaitu melalui
perkawinan, maka bisa menjerumuskan seseorang ke jalan yang tidak benar, yaitu mereka
dapat berbuat hal-hal yang diharamkan Allah SWT seperti berzina, kumpul kebo, dan lain
sebagainya.
Cita hukum suatu Undang-Undang yang merupakan refleksi normatif dari keinginan
masyarakatnya terletak kepada jantungnya hukum tesebut. Ilmu hukum, jantung hukum lebih
dikenal juga dengan sebutan asas hukum. Asas-asas hukum perkawinan tidak dicantumkan
secara tegas dalam batang tubuh-tubuh Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 melainkan
diletakkan dalam penjelasan umum Undang-Undang tesebut. Asas hukum seharusnya lebih
tepat dicantumkan dalam batang tubuhnya karena asas hukum perkawinan tersebut
merupakan harapan hukum (expected law) atau suatu cita-cita hukum yang sangat penting,
dan tempat pengembaliannya suatu masalah hukum jika terjadi penafsiran yang beraneka
ragam. Kedudukan asas hukum perkawinan ini adalah sebagai jantungnya Undang-Unang
Nomor 1 Tahun 1974. Selain itu, menciptakan keluwesan dan fleksibilitas hukum dalam
menghadapi faktor-faktor realita perkawinan. Tanpa ada asas-asas hukum perkawinan, maka
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi kaku dalam pelaksanaannya. Pembentuk
Undang-Undang telah menetapkan asas sebagai berikut:
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami
istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan
kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan matrial.
2. Suatu perkaiwinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing
agamaya dan kepercayaannya itu.

Selanjutnya dijelaskan bahwa faktor pendorong yang penting untuk hidup bersama
adalah hal bersetubuh, baik karena keinginan untuk mendapatkan keturunan maupun untuk
memenuhi hawa nafsu belaka. Kekuatan untuk bersetubuh tidaklah selalu ada pada seseorang
dan lagi tidak merupakan syarat untuk hidup bersama. Realitas hukum membuktikan bahwa
perkawinan dapat dilaksanakan antara 2 (dua) orang yang sudah lanjut usia, bahkan
diperbolehkan pula melakukan perkawinan pada saat salah satu hampir meninggal dunia, yang
disebut dengan perkawinan in extremis.
B. Syarat Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 terdiri dari syarat subtantif dan syarat ajektif. Syarat subtantif adalah syarat-syarat
yang menyangkut diri pribadi calon suami dan calon istri, sedangkan syarat ajektif adalah
syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas perkawinan yang dilakukan
menurut hukum masing-masing agamnya dan kepercayaannya.
Persyaratan subtantif tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan (kata sepakat) calon suami istri (pasal 6
ayat 1);
2. Umur dari calon suami sekurang-kurangnya 19 tahun dan calon istri berumur 16 tahun
(pasal 7 ayat 1; jika belum berumur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Kalau
orang tua sudah meninggal diperoleh dari Wali, jika tak ada wali diperoleh izin
Pengadilan setempat;
3. Calon istri tidak terikat pada pertalian perkawinan dengan pihak lain (pasal 3 dan 9);
4. Adanya waktu tunggu bagi wanita yang putus perkawinannya apabila akan
melangsungkan perkawinannya yang kedua (Pasal 11 jo PP No.9 Tahun 1975);
5. Calon suami istri memiliki agama yang sama.
Persyaratan akjektif adalah sebagai berikut:
1. Kedua calon suami istri atau kedua orang tua atau wakilnya memberitahukan kepada
pegawai pencatat perkawinan di tempat perkawinan akan dilangsungkan secara lisan atau
tulisan;
2. Pemberitahuan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan;
3. Pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan meneliti semua dokumen-dokumen
yang berkaitan dengan identitas calon suami istri;
4. Pengumuman tentang waktu dilangsungkan perkawinan pada Kantor Pencatatan
Perkawinan untuk diketahui umum. Lazimnya ditempel pada papan pengumuman di
kantor tersebut agar mudah dibaca oleh masyarakat;
5. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak pengumuman;
6. Perkawinan dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat dan dihadiri 2 (dua) orang saksi;
7. Akta perkawinan ditandatangani oleh kedua calon suami istri, dalam rangkap 2 (dua).
Helai pertama disimpan oleh pencatat, dan helai kedua disimpan pada Panitera
Pengadilan dalam wilayah kantor pencatat perkawinan tersebut. Kepada suami istri
diberikan kutipan akta perkawinan.
Terdapat empat persyaratan sahnya perkawinan menurut jumhur ulama dalam Islam,
antara lain: akad nikah (Ijab dan Qabul); calon mempelai laki-laki dan perempuan; wali; dan
saksi. Sementara Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur bahwa untuk
melaksanakan perkawinan dibutuhkan: calon suami; calon istri; wali nikah; dua saksi; ijab
dan qabul.
1. Ijab dan Qabul
Ijab yaitu ucapan penyerahan yang diucapkan wali (dari pihak perempuan) atau
wakilnya sebagai penyerahan kepada mempelai laki-laki. Sedangkan qabul adalah ucapan
pengantin laki-laki sebagai tanda penerimaan. Ijab dan Qabul dapat diucapkan dalam Bahasa
Indonesia. Ijab dan Qabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak
berselang waktu. Mengucapkan Qabul ialah calon mempelai pria secara pribadi. Dalam hal-
hal tertentu ucapan Qabul nikah dapat dilakukan pada pria lain dengan ketentuan calon
mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad
nikah itu adalah untuk mempelai pria.
2. Calon Mempelai
Persyaratan calon mempelai pria adalah sebagai berikut: calon suami beragama Islam;
terang bahwa calon suami itu betul laki-laki; orangnya diketahui dan tertentu; calon suami
itu jelas halal dikawin dengan calon istri; calon laki-laki tahu calon istri; calon suami rela
untuk melakukan perkawinan itu; tidak sedang melakukan ihram; tidak mempunyai istri
yang haram dimadu dengan calon istri; dan tidak punya istri empat. Sementara persyaratan
calon mempelai perempuan adalah sebagai berikut: beragama Islam; terang bahwa ia wanita;
wanita itu tentu orangnya; halal bagi calon suami; wanita tersebut tidak berada dalam ikatan
perkawinan dan tidak dalam masa iddah; tidak dipaksa; dan tidak sedang berihram.
3. Wali

Pasal 19 KHI menyatakan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan


syarat yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk
menikahinya. Syarat wali adalah: Islam; sudah baligh; berakal sehat; merdeka; laki-laki;
adil; dan sedang tidak melakukan ihram. Sementara urutan orang yang boleh menjadi
wali adalah: Bapak; Kakek dari jalur Bapak; Saudara laki-laki kandung; Saudara laki-laki
tunggal bapak; Kemenakan laki-laki (anak laki-lakinya saudara laki-laki sekandung);
Kemenakan laki-laki (anak laki-laki saudara laki-laki bapak); Paman dari jalur bapak;
Sepupu laki-laki anak paman; Hakim bila sudah tidak ada wali–wali tersebut dari jalur
nasab.
4. Saksi
Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Setiap
perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi. Yang dapat ditunjuk menjadi saksi
dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu
ingatan, dan tidak tuna rungu atau tuli. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara
langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad
nikah dilangsungkan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan pernikahan secara
sederhana atau secara bermewah-mewahan tidak mengapa dari segi persyaratan
pernikahan. Selama pernikahan diselenggarakan menurut hukum negara dan sesuai
dengan hukum agama dan kepercayaan masing-masing, maka tidak ada masalah.
B. Batas Usia Perkawinan
Maria dan gerakan perempuan yang tergabung di dalam konfederasi Kongres
Wanita Indonesia (kowani) mengusulkan agar usia minimum pasangan calon pengantin
adalah 18 tahun bagi perempuan dan 21 tahun bagi laki-laki. Sedangkan dalam RUU itu
disebutkan batas usia minimal menikah adalah 18 tahun untuk laki-laki dan 15 tahun
untuk perempuan.
Pokok pembicaraan dalam rapat dengan pendapat itu menyepakati bahwa
perkawinan harus hasil kesepakatan sukarela antara suami dan istri. Menghindari adanya
kemungkinan kawin paksa dari pihak-pihak diluar pasangan tersebut. Batas usia
perkawinan disepakati sekurang-kurangnya 21 tahun untuk laki-laki dan 18 tahun untuk
perempuan. Pada 2 Januari 1974, RUU Perkawinan disahkan menjadi UU Perkawinan
No.1 Tahun 1974. Namun UU perkawinan itu tidak mengakomodasikan usulan gerakan
perempuan tentang usia minimal dalam perkawinan, yakni 19 tahun bagi laki-laki dan 16
tahun bagi perempuan.
Pasal 29 KHU Perdata (BW) yang sudah tidak berlaku lagi, seorang pemuda yang
belum mencapai umur 18 tahun begitu pula pemudi yang belum mencapai umru 15 tahun
tidak dibolehkan mengikat perkawinan. Terdapat perbedaan batas umur perkawinan
antara KUH Perdata dan UU No.1 Tahun 1974. Namun kedua perundangan itu
menetapkan adanya batas umur perkawinan, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan
UU No.1 Tahun 1974 dengan bertujuan untuk mencegah terjadinya perkawinan anak-
anak, agar pemuda-pemudi yang akan menjadi suami-isteri benar-benar telah masak jiwa
raganya dalam membentuk keluarga/ rumah tangga yang bahagia dan kekal. Begitu pula
dimaksudkan untuk dapat mencegah terjadinya perceraian muda dan agar dapat
membenihkan keturunan yang baik dan sehat, serta tidak berakibat laju kelahiran yang
lebih tinggi sehingga mempercepat pertambahan penduduk.
Melangsungkan perkawinan, seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun harus mendapati izin dari kedua orang tua. Jika salah seorang dari kedua
orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua
yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendak.
Mereka yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun kalau akan melangsungkan
perkawinan harus ada izin orang tua (pasal 6 ayat 2 UU No.1 Tahun 1974). Jika kedua
calon mempelai tidak mempunyai orang tua lagi atau orang tua bersangkutan tidak
mampu menyatakan kehendaknya, misalnya karena berpenyakit kurang akal, sakit
ingatan, dll. Maka izin dimaksud cukup dari orang tua yang masih hidup atau dari orang
tua yang mampu menyatakan kehendaknya, kalau tidak ada juga izin diperoleh dari wali,
atau orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dengan
kedua calon mempelai dalam garis keatas selama mereka masih hidup (kakek, nenek, dll)
yang dapat menyatakan kehendaknya (Pasal 6 ayat 3 dan 4 UU No.1 Tahun 1974).
Jika terjadi perbedaan pendapat tentang siapa yang berhak memberi izin tersebut,
diantara orang tua, diantara orang tua yang masih hidup, orang tua yang mampu
menyatakan kehendak, wali, orang yang memelihara, keluarga dalam hubungan darah,
atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
setelah mendengar orang-orang tersebut dan berdasarkan permintaan mereka, maka izin
diberikan oleh pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan itu (Pasal 6 ayat 5 UU No.1 Tahun 1974).
C. Faktor-faktor yang Mendorong Perkawinan di Usia Dini
1. Faktor Ekonomi
Perkawinan usia muda terjadi karena keadaan ekonomi keluarga yang kurang
memungkinkan sehingga orang tua akan menikahkan anaknya dengan seorang laki-
laki yang dianggap mampu dalam segi ekonomi, kesulitan ekonomi menjadi salah
satu faktor penyebab terjadinya pernikahan dini, keluarga yang mengalami kesulitan
ekonomi akan cenderung menikahkan anaknya pada usia yang masih muda,
pernikahan ini diharapkan menjadi solusi kesulitan ekonomi yang dialami oleh
keluarga, dengan menikah diharapkan akan mengurangi beban ekonomi keluarga.
2. Faktor Lingkungan
Kehidupan di wilayah-wilayah yang padat penduduknya biasanya ditandai
dengan hubungan saling pengaruh-mempengaruhi yang sangat menentukan dari para
tetangga. Pola kehidupan ditandai dengan keinginan untuk campur tangan dalam
kehidupan keluarga-keluarga lain, yang tidak mustahil akan menjadidampak yang
sangat serius akibatnya.Orientasi pada pola kehidupantetangga sangat besar dan
bahkan sering kali dijadikan patokan. Oleh karenakeadaan keluarga yang rata-rata
besar, maka afeksipun tertuju pada anak-anaksecara menyeluruh, sehingga kadang-
kadang penanganan khusus yang diperlukan oleh anak-anak tertentu, terlepas dari
pusat perhatian. Salah satu akibatnya adalahbahwa salah seorang anak yang lebih
banyak memerlukan perhatian, merasa dirinya tidak diacuhkan.
Dampak pola pendidikan keluarga tetangga kadang-kadang berpengaruh keras
dan mungkin kecil. Hal ini sangat tergantung pada pola kehidupan bersama dalam
wilayah tersebut, sampai sejauh mana pengaruh tetangga diterima.Pengaruh yang
buruk atau dampak tersebut akan dapat ditanggulangi apabila menjalin hubungan
yang serasi dengan tetangga dapat terpelihara. Artinya, kadang-kadang hubungannya
harus erat dan kadang- kadang renggang. Kalau masalahnya menyangkut kegiataan
tolong menolong maka hubungan yang erat adalah wajar, namun apabila masalah
menyangkut pola pendidikan keluarga yang sifatnya pribadi, maka hubungan harus
agak direnggangkan. Pola pikir masyarakat dan kurangnya pengetahuan tentang
menikah muda dalam pernikahan sering terjadi misalnya adannya kekhawatiran
orang tua kepada anak perempuannya yang sudah menginjak remaja walaupun usia
anaknya belum mencapai dewasa atau masih di bawah umur, biasannya orang tua
yang tinggal baik di pedesaan maupun perkotaan apabila anak perempuannya tidak
lagi bersekolah dan tidak mempunyai kegiatan yang positif maka pada umumnya
akan menikahkan anaknya tersebut cepat-cepat karena takut akan menjadi perawan
tua. Sehingga terkad anaknya,dengan begituorang tua tidak merasa malu lagi karena
anaknya sudah laku dan apabila terdapatorang yang belum menikah sampai di usia 25
tahun keatas maka akan menjadi bahan gunjingan karena dianggap tidak laku.48
3. Faktor Pendidikan
Tingkat pendidikan yang rendah sehingga mendorong untuk cepat menikah.
Karena mereka tidak memahami bagaimana sejatinya pernikahan bukan semata-mata
karena seks akan tetapi banyak tanggung jawab yang harus dipikul oleh orang tua.
Karena kurangnya pengetahuan maka merasa ingin cepat-cepat menikah, dan
mengenai hukum pernikahan sendiri itu berbagai macam nikah tidak hanya berhukum
wajib bahkan ada yang haram, jadi faktor pendidikan sangat penting khususnya
pendidikan agama untuk mempelajari hal seperti itu dan mengenai batasan-batasan
laki-laki dan perempuan, dan pendidikan akan sebagai benteng untuk menjaga diri
dari pergaulan yang buruk. Maka peran pendidikan juga sangat penting dalam kasus
pernikahan di bawah umur.
4. Faktor Pergaulan Bebas
Pergaualan bebas merupakan perilaku menyimpang yang terjadi umumnya
pada anak muda. Hal ini dikatakan bebas karena melanggar batas norma yang ada,
sehingga pergaulan bebas ini adalah momok tersendiri bagi orang tua karena cemas
akan pengaruh itu terjadi pada anak mereka. Dorongan seks yang tinggi dan rasa
penasaran yang dialami oleh remaja yang orang tua akan segera menikahkan
menyebabkan banyak remaja yang terjerumus pada pergaulan bebas. Terjadinya
hamil di luar nikah, karena anak-anak melakukan hubungan yang melanggar norma
memaksa mereka untuk melakukan pernikahan dini guna memperjelas anak yang
dikandung pernikahan ini memaksa mereka untuk menikah dan bertanggung jawab
untuk berperan sebagai suami istri serta menjadi ayah dan ibu, dan ini akan
berdampak penuaan dini karena mereka belum siap lahir dan batin.
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode adalah cara kerja atau tata kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi
sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Penelitian merupakan suatu ilmiah yang
bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten.
Pada dasarnya metode penelitian adalah suatu upaya ilmiah untuk memahami dan
memecahkan suatu masalah berdasarkan metode tertentu. Dalam penulisan penelitian ini
digunakan metode penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif
yang didukung data wawancara dengan informan. Penelitian normatif merupakan penelitian
kepustakaan atau studi dokumen yang dilakukan atau diajukan pada peraturan-peraturan
tertulis, bahan hukum lainnya sampai pada dokumen resmi yang dilkeluarkan pemerintah.
Mendapatkan data yang menjadi permasalahan penulisan skripsi ini dilakukan dengan
cara menelusuri dan mengkaji Peraturan Perundang- Undangan dan buku-buku yang terkait
dengan perceraian serta didukung dengan penelitian lapangan yang dilakukan di Pengadilan
Agama serta mewawancarai beberapa informan yang terkait dengan penelitian ini.
2. Sifat Penelitian
Dilihat dari segi sifatnya, penelitian ini adalah penelitian deskriptif, artinya penelitian
yang menggambarkan objek tertentu dan menjelaskan hal- hal yang terkait fakta-fakta tertentu
dalam bidang tertentu secara factual dan cermat. Penelitian ini bersifat deskriptifkarena
penelitian ini semata-mata menggambarkan suatu objek untuk mengambil kesimpulan-
kesimpulan yang berlaku secara umum.
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan ialah berupa data Sekunder dan data Primer meliputi:
a. Bahan Hukum Primer yang digunakan dalam penelitian ini ialah data yang diperoleh dari
hasil penelitian lapangan di Pengadilan Agama Stabat. Bahan Hukum Primer adalah bahan
hukum yang isinya mempunyai kekuatan hukum mengikat dan disahkan oleh pihak yang
berwenang.
b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya
dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan
hukum primer, berupa buku-buku, hasil penelitian dan putusan pengadilan.
c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang mendukung bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan pengertian atas bahan
hukum lainnya. Bahan hukum yang digunakan adalah kamus bahasa, dan Internet hanya
berfungsi untuk memenuhi persoalan yang dikaji lebih baik dan sekaligus untuk mendukung
studi normative yang dilakukan.
4. Metode Pengumpulan Data
a. Studi Kepustakaan, yakni studi dokumen dengan mengumpulkan dan mempelajari
buku-buku hukum, tulisan-tulisan ilmiah, Peraturan Perundang-Undangan.
b. Studi Lapangan, adalah cara memperoleh data yang bersifat Primer. Studi lapangan ini
dilakukan dengan melihat dokumen resmi mengenai data perceraian di Pengadilan
Agama, Kantor Urusan Agama yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas
dalam penelitian ini.
5. Alat Pengumpulan Data
a. Studi dokumen
Dilakukan dengan mempelajari berbagai sumber bacaan yang berkaitan dengan
masalah yang diangkat dalam skripsi ini. Seperti : buku-buku hukum, makalah hukum,
artikel hukum, pendapat para sarjana dan bahan-bahan lainnya.
b. Pedoman Wawancara adalah panduan wawancara yang dapat membantu mengarahkan
pembicaraan ke topik penelitian dan rumusan masalah yang ditulis dengan sangat rinci
hingga relatif dan terarah untuk mengetahui arah apa yang harus ditanyakan. Sementara
informan yang diwawancarai dalam penelitian ini sebanyak 2 responden yaitu Hakim
Pengadilan Agama dan Kepala Kantor Urusan Agama.
6. Analisa Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dan data dari hasil penelitian
lapangan yang berkaitan dengan angka perceraian dianalisis dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan untuk menghasilkan deskriptif
analisis

DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir, Muhmmad. 2000.Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Bakti Aditya.

Abu Daud Sulaiman Al-Sajastani. 1974. Sunan Abu Daud, Beirut : Dari Hazm Ibnu.

Abidin, Ibnu. Hasyiah Rad Al Kabir, Jilid V. Mesir: Musthafa al-Babi al Halabi.

Adimiharja, Kusnaka. 1983. Kerangka Antropologi Sosial dalam Pembangunan. Bandung:


Tarsito.

Al-Qur‟an dan Terjemahan, 1971, Pelayanan Dua Tanah Suci Raja Abdullah Bin Abdul Aziz „ali
Saud, Jakarta.

Anshary, M. 2009. Hukum Perkawinan di Indonesia. Pustaka Belajar.

Anshori, Helmi. 2004. Tuntunan Keluarga Sakinah bagi Usia Nikah. Jakarta: Departemen Agama
RI.

Athibi, Ukasyah. 2001. Wanita Mengapa Merosot Akhlaknya. Jakarta: Gema Insani Press.

Azhari, Akmal dan Nuruddin, Amiur Tarigan. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:
Kencana.

Azwar, Sarifuddin. 1998. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bahari, Adib. 2016.Tata Cara Gugatan Cerai Pembagian Harta Gono-Gini dan Hak Asuh Anak.
Yogyakarta: Pustaka Yustisi.

Hadikusuma, Hilman. 2007.Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung.

Hanafi, Yusuf. 2011. Kontraversi Perkawinan Anak di Bawah Umur. Malang: Mandar Maju.

Hasan, Mustofa. 2011.Pengantar Hukum Keluarga.Bandung: CV Pustaka Setia.


Hasbi, Rusli. Rekonstruksi Hukum Islam. Jakarta Selatan: Al-Irfan Publishing. Jafizham, T.
1977.Persintuhan Hukum di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan

Islam. Medan: CV. Percetakan Mestika.


Junaedi, Dedi. 2003.Bimbingan Perkawinan.Jakarta: Akademika Pressindo. Kamello, Tan dan
Syarifah Lisa Andriati. 2011.Hukum Orang Dan Keluarga. Medan: USU press.

Kamil, Taufik.2003.Modul Pendidikan Agama dalam Keluarga. Dirjen Bimas Islam.

Malik, Rusdi. 2010. Peranan Agamadalam Hukum Perkawinan di Indonesia. Jakarta: Universitas
Trisakti.

Manan, Abdul. 2006. Reformasi Hukum Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai