Anda di halaman 1dari 5

Teori yang menjelaskan kebenaran Epistemologis:

1. Teori Korespondensi
2. Teori Koherensi
3. Teori Pragmatisme

1. TEORI KORESPONDENSI

Menurut teori ini,kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian (correspondence)
antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh
pernyataan atau pendapat tersebut.

Kebenaran epistemologis = Kemanunggalan antara subjek dan objek

Kebenaran = kesetiaan pada realitas objektif, yaitu suatu pernyataan yang sesuai dengan fakta
atau sesuatu yang selaras dengan situasi.

Kebenaran ialah persesuaian (agreement) antara pernyataan (statement) mengenai fakta dengan
fakta actual; atau antara putusan (judgement) dengan situasi septuar (environmental situation)
yang diberi interpretasi

Teori korespondensi pada umumnya dikembangkan oleh para pengikut realisme. Pelopor teori
ini diantaranya Plato, Aristoteles, Moore, Russel, Ramsey, dan Tarski. Teori ini dikembangkan
oleh Bertrand Russel.

Realitas itu Subjektif / Objektif?

Terdapat 2 pandangan:

- Realisme Epistemologis:
Bahwa terdapat realitas independen (tidak tergantung), yang terlepas dari pemikiran; dan
kita tidak dapat mengubahnya bila kita mengalaminya atau memahaminya.
Pandangan ini kadangkala disebut objektivisme dimana berpegang kepada kemandirian
kenyataan, tidak tergantung pada yang diluarnya.
- Idealisme Epistemologis:
Bahwa setiap tindakan mengetahui berakhir di dalam suatu ide, yang merupakan suatu
peristiwa subjektif. Menekankan bahwa kebenaran adalah apa yang ada di dunia ide.
Pendefinisian pendekatan ini sama dengan subjektif.

Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu
sendiri.

2. TEORI KOHERENSI TENTANG KEBENARAN

Menurut teori ini, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan
sesuatu yang lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu
sendiri. Putusan yang satu dengan yang lain saling berhubungan dan saling menerangkan satu
sama lain.

Truth is a systematic coherence ( Kebenaran adalah saling hubungan yang sistematis)

Truth is consistency ( Kebenaran adalah konsistensi dan kecocokan)

Teori ini berkembang pada abad ke-19 di bawah pengaruh Hegel dan diikuti oleh pengikut
mazhab idealism, seperti filsuf Britania F. M Bradley.

Teori Konsistensi;

- Pertama, kebenaran menurut teori ini ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan
pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu kita ketahui, terima dan akui
sebagai benar.
- Kedua, teori ini dapat dinamakan teori penyaksian (justifikasi) tentang kebenaran, karena
menurut teori ini satu putusan dianggap benar apabila mendapat penyaksian-penyaksian
(justifikasi, pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang terdahulu yang sudah
diketahui, diterima, dan diakui benarnya.

Suatu teori dapat dianggap benar apabila tahan uji (testable):

- Jika teori tersebut bertentangan dengan data baru = teori pertama gugur atau batal
(refutability)
- Jika data baru cocok denga teori lama = teori tersebut semakin kuat (corroboration)
Jadi, ukuran kebenaran pada teori koherensi adalah konsistensi dan presisi.

3. TEORI PRAGMATISME TENTANG KEBENARAN

Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan,
perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh William James di Amerika
Serikat.

Menurut teori ini, suatu kebenaran atau suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan manusia.

Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang memuaskan,
apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh
kegunaannya, oleh hasilnya, dan oleh akibat-akibat praktisnya. Jadi kebenaran ialah apa saja
yang berlaku (works).

Bagi para penganut pragmatis, batu ujian kebenaran ialah kegunaan (utility), dapat dikerjakan
(workability), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequence). Jadi
menurut pendekatan ini, tidak ada apa yang disebut kebenaran yang tetap atau kebenaran yang
mutlak.
a. Koherensi

Menurut Suriasumantri (2009: 55), “Suatu hal dikatakan benar apabila pernyataan dan kesimpulan yang
ditariknya adalah konsisten dengan pernyataan dan kesimpulan terdahulu yang telah dianggap benar.”
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa koherensi merupakan suatu teori kebenaran
pengetahuan yang memiliki kriteria kebenaran suatu hal dikatakan benar apabila sesuai atau konsisten
dengan kebenaran terdahulu atau yang telah ada. Teori ini sama dengan penarikan kesimpulan secara
deduktif, atau penarikan kesimpulan dari pernyataan yang bersifat umum ke pernyataan yang bersifat
khusus.

Contoh:

Pembuktian kebenaran secara koherensi biasanya terdapat pada Matematika. Seperti yang diungkapkan
oleh Suriasumantri (2009: 57):

Matematika ialah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan pembuktian berdasarkan teori
koheren. Sistem matematika disusun di atas beberapa dasar pernyataan yang dianggap benar yakni
aksioma. Dengan mempergunakan beberapa aksioma maka disusun suatu teorema. Di atas teorema
maka dikembangkan kaidah-kaidah matematika yang secara keseluruhan merupakan suatu sistem yang
konsisten. Plato (427-347 S.M.) dan Aristoteles (384-322 S.M.) mengembangkan teori koherensi
berdasarkan pola pemikiran yang dipergunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya.

Selain itu, teori koherensi juga terdapat pada penarikan kesimpulan secara logis dalam logika
matematika atau silogisme. Misalnya, apabila terdapat pernyataan “Semua makhluk hidup bernapas”,
lalu ada pernyataan “manusia adalah makhluk hidup”, maka dapat ditarik kesimpulan “manusia
bernapas”. Penarikan kesimpulan tersebut adalah benar karena ide-idenya koheren atau konsisten.

b. Korespondensi

Dalam Suriasumantri (2009: 57), “Bagi penganut teori korespondensi maka suatu pernyataan adalah
benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan
obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut.” Menurut Syaripudin & Kurniasih (2008), “….kebenaran
pengetahuan diuji di dalam dunia material atau pengalaman dria.” Berdasarkan kedua pendapat
tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori korespondensi adalah teori kebenaran yang membuktikan
kebenaran suatu pengetahuan (pernyataan) dengan cara melakukan pengamatan (pengalaman)
terhadap suatu objek dalam pengetahuan tersebut sehingga berkorespondensi (berhubungan) dengan
pernyataan yang diuji.

Contoh:

Apabila ada pernyataan bahwa “Yoghurt itu rasanya asam”, maka untuk membuktikan kebenarannya
diperlukan pengujian berupa mencicipi yoghurt tersebut, apabila terasa asam maka dapat dikatakan
pernyataan awal adalah benar.

Contoh lainnya adalah yang dikemukakan oleh Suriasumantri (2009: 57) berikut:
….jika seseorang mengatakan bahwa “Ibu Kota Republik Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu
adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang bersifat faktual yakni Jakarta yang memang
menjadi Ibu Kota Republik Indonesia. Sekiranya orang lain yang menyatakan bahwa “Ibu Kota Republik
Indonesia adalah Bandung” maka pernyataan itu adalah tidak benar sebab tidak terdapat obyek yang
dengan pernyataan tersebut. Dalam hal ini maka secara faktual “Ibu Kota Republik Indonesia adalah
bukan Bandung melainkan Jakarta.”

c. Pragmatik

Dalam Suriasumantri (2009: 57):

Bagi seorang pragmatis maka kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan
tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya suatu pernyataan adalah benar. Jika
pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan
manusia.

Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa teori pragmatik adalah teori kebenaran
yang memiliki kriteria suatu pengetahuan adalah benar apabila memiliki kegunaan praktis atau manfaat
dalam kehidupan.

Contoh:

Seiring berkembangnya zaman, teknologi pun semakin canggih. Para ilmuwan menemukan teknologi-
teknologi baru untuk mempermudah pekerjaan manusia, telepon genggam
berupa smartphone contohnya. Penemuan dan pengaplikasian smartphone tersebut dikatakan benar
karena dapat berguna untuk mempermudah pekerjaan manusia. Contoh lainnya adalah Program
Keluarga Berencana (KB). Program ini bermanfaat untuk menekan angka pertumbuhan penduduk yang
semakin tidak terkendali. Dengan demikian, program KB dikatakan benar sebab memiliki kegunaan atau
manfaat dalam kehidupan.

Anda mungkin juga menyukai