Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ontology atau metafisika merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang
paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan
sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memilki pandangan yang
bersifat ontologis adalah Thales, Plato, dan Ariestoteles. Pada masanya
kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan
kenyataaan.
Awal mula alam pemikiran Yunani telah menunjukkan munculnya
perenungan di bidang ontology. Dalam persoalan ontology seseorang akan
menghadapi permasalahan bagaimana menerangkan hakikat dari segala yang
ada. Pertama, seseorang akan berhadapan dengan dua kenyataan yaitu berupa
materi dan rohani. Kedua, pembicaraan mengenai hakikat sangatlah luas
meliputi segala yang ada dan yang mungkin ada. Hakikat yang ada adalah
kenyataan sebenarnya bukan sementara atau berubah-ubah.
Secara ringkas ontology adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang
sesuatu yang ada.1 Pembahasan mengenai ontology berarti membahas
kebenaran atau fakta. Ontology juga merupaka salah satu dari obyek garapan
filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas
yang ada, baik berupa wujud fisik maupun metafisik.

B. Fokus Pembahasan
1
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014), hal 118.

1
1. Apa definisi dari metafisika atau ontology ilmu?
2. Apa saja pokok-pokok pemikiran ontology ilmu?
3. Apa yang dimaksud dengan asumsi ontology ilmu?
4. Apa saja metode yang diterapkan di dalam ontology ilmu?
5. Apa yang dimaksud dengan pencarian abadi?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari metafisika atau ontology ilmu.
2. Untuk mengetahui pokok-pokok pemikiran ontology ilmu.
3. Untuk mengetahui definisi dari asumsi ontology ilmu.
4. Untuk mengetahui metode yang diterapkan di dalam ontology lmu.
5. Untuk mengetahui definisi dari pencarian abadi.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi dan Bidang Kajian Metafisika atau Ontology Ilmu


a. Pengertian ontology
Pembahasan tentang ontology sebagai dasar ilmu berusaha untuk
menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The First Philosophy
dan merupakan ilmu mengenai esensi benda. Kata ontology berasal dari
bahasa Yunani, yaitu ta onta artinya “yang berada” atau on/ontos yang
artinya “ada atau segala sesuatu yang ada (Being)”, dan logos berari ilmu
pengetahuan. Jadi, ontology adalah The Theory of Being Qua Being (teori
tentang keberadaan sebagai keberadaan).
Ontology merupakan cabang teori dari ilmu filsafat yang
membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Hakikat ialah relitas, realitas
adalah kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan yang
sebenarnya, kedaan sebenarnya sesuatu, bukan kedaan sementara atau
keadaan yang menipu (berubah-ubah).2
Dapat disimpulkan bahwa:
a. Menurut bahasa, ontology berasal dari Bahasa Yunani, yaitu
on/ontos=ada, dan logos=ilmu. Ontology adalah ilmu tentang hakikat
yang ada.
b. Menurut istilah, ontology adalah ilmu yang membahas tentang hakikat
yang ada, yang merupakan kenyataan yang asas, baik yang berbentuk
jasmani/konkret maupun rohani/abstrak.

Menurut Ensiklopedia Britanica yang juga diangkat dari konsepsi


Ariestoteles. Ontology yaitu teori atau studi tentang “being” atau wujud
seperti karakteristik dasar dari seluruh realitas. Ontology sinonim dari
metafisika, yaitu studi filosofis untuk menentukan sifat nyata yang asli (real

2
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum (Bandung: PT Remaja Rosdakaria, 2013), hal 28.

3
nature) dari suatu benda untuk menentukan arti, struktur, dan prinsip benda
tersebut.

Di dalam ontology hakikat kenyataan atau realitas dibagi menjadi


dua macam sudut pandang, yaitu :

1. Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan itu


tunggal atau jamak?
2. Kualitatif, dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas)
tersebut memiliki kualitas tertentu atau apakah yang merupakan
kenyataan itu?3 Seperti misalnya daun yang memilki warna kehijauan
dan bunga mawar yang berbau harum.

Diantara istilah-istilah terpenting yang terdapat dalam bidang


ontology ilmu adalah yang ada (being), kenyataan (reality), eksistensi
(exsistence), perubahan (change), tungaal (one), dan jamak (many).

a) Yang Ada (Being) dan Yang Tiada (Non-Being)


Penerapan pengertian ada seakan-akan mempersatukan segala
sesuatu yang ada dengan jalan menunjukkan suatu ciri yang sepenuhnya
sama yang dipunyai oleh segala sesuatu tadi. Tanpa sifat ada, tidak
mungkin ada sesuatu yang bereksistensi. Bahkan tidak mungkin ada
sesuatu yang dipikirka. Karena “ada” merupakan sifat yang paling
mendalam dan yang paling bersahaja. Karena itu, salah satu cara untuk
dapat mengenal maknanya ialah dengan jalan menghubungkannya dengan
ciri-ciri khas yang lain atau menetapkan ukuran tersebut bagi
penerapannya.
b) Kenyataan dan Kenampakan
Kenampakan adalah bersifat nyata, sedangkan barangnya sendiri
tampak demikian itulah yang tidak nyata. Misalnya sebuah contoh yang
menggambarkan ada seseorang yang mengira bahwa ia melihat gajah
berwarna jingga. Ilusinya bersifat nyata, karena membawa pengaruh

3
louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), hal 186.

4
tertentu terhadap pola tingkah laku orang yang bersangkutan, tetapi
barangnya sendiri, yaitu gajah yang berwarna jingga itulah yang tidak
nyata.
c) Eksistensi dan Non-Eksistensi
Seperti telah dinyatakan di atas, “ada” berarti mempunyai
hubungan. “Nyata ada” berarti mempunyai hubungan keserasian dengan
segi-segi lain dari kenyataan. Jadi, dalam hal “ada” dan “kenyataan”
senantiasa terdapat suatu hubungan tertentu yang menonjol. Misalnya
adalah seseorang mungkin merupakan ahli ekonomi yang pandai yang
dapat mengetahui secara cermat esensi $500, meskipun ia tidak memilki
uang tersebut. Sementara itu ada orang lain yang mungkin memilki uang
tersebut, namun tidak mampu mengetahui esensinya. Oleh karena itu,
kiranya kita perlu secara hati-hati mengadakan pemilihan antara esensi
barang dengan eksistensinya.
b. Objek Formal Ontology
Menurut aspek-aspek yang diselidiki, obyek-obyek material dapat
dikhususkan lagi menjadi obyek formal. Misalnya manusia saja dapat
dipandang secara, fisik, biotik, psikis, dan sebagainya. 4 Obyek formal
bersifat menyeluruh dalam memandangnya sehingga dapat mencapai
hakikat (mendalam).
c. Bidang Kajian Ontology
Ontology mengkaji segala sesuatu yang ada yaitu ada individu, ada
umum (universal), ada terbatas, ada tidak terbatas, dan ada yang bersifat
mutlak. Yang nantinya obyek ini melahirkan pandangan-pandangan (point
of view) atau aliran-aliran seperti monoisme, dualisme, pluralisme,
nihilisme, dan agnotisisme, dan lain sebagainya.
d. Manfaat Kajian Ontology
Mempelajari ontology akan dapat mengetahui nilai-nilai penting
yang terdalam dari yang ada dan membantu untuk mengembangkan serta

4
Anton Bakker, Ontology Metafisika Umum Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan
(Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal 13.

5
mengkritisi berbagai macam sesuatu. Jika dilihat dari mamfaat mempelajari
filsafat itu sendiri maka filsafat akan mengajarkan tentang hakikat alam
semesta.
B. Pandangan Pokok-Pokok Pemikiran Ontology
a. Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas)
Artinya berapa banyak kenyataan yang paling banyak itu.
Pandangan ini melahirkann beberapa aliran filsafat sebagai jawabannya,
yaitu:
1. Monoisme
Aliran yang menyatakan bahwa hanya satu kenyataan fundamental.
Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi
lainnya yang tidak dapat diketahui. Tokohnya adalah Thales yang
berpendapat bahwa kenyataan yang terdalam adalah satu substansii yaitu
air.
2. Dualisme
Aliran yang mencoba untuk memamdukan dua paham yang saling
bertentangan yaitu materialisme dan idealisme. Aliran dualisme
memandang paham yang serba dua yaitu materi dan bentuk. Tiap benda
yang dapat diamati tersusun dari materi dan bentuk. Materi dan bentuk
tidak dapat dipisahkan. Materi tidak dapat berwujud tanpa bentuk dan
sebaliknya. Rene Descartes adalah contoh filosof Dualis.
3. Pluralisme (serba banyak)
Aliran yang tidak mengakui adanya satu substansi atau dua
substansi melainkan banyak substansi. Para filsuf yang termasuk
penganut aliran ini adalah Empedokles (490-430 SM) yang menyatakan
bahwa hakikat kenyataan terdiri dari empat unsur, yaitu api, air, udara,
dan tanah. Anaxagoras (500-428 SM) menyatakan bahwa hakikat
kenyataan terdiri atas unsur-unsur yang tidak terhitung banyaknya.5

5
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014), hal 118-119.

6
b. Keberadan dipandang dari segi sifat (kualitas)
Keberadaan dipandang dari segi sifat (kualitas) menimbulkan
beberapa aliran sebagai betrikut:
1. Spiritualisme atau Idealisme
Spiritualisme mengandung beberapa arti yaitu; 1) Ajaran yang
menyatakan bahwa kenyataan terdalam adalah ruh atau ide. 2) Kadang-
kadang dikenakan pada pandangan idealistis yang menyatakan adanya
roh mutlak. 3) Dipakai dalam istilah keagamaan untuk menekankan
pengaruh langsung dari roh suci dalam bidang agama. 4) Kepercayaan
bahwa roh orang mati bisa berkomunikasi dengan orang yang masih
hidup. Tokoh dari aliran ini adalah Plato6 dengan ajarannya tentang idea
(cita) dan jiwa.
2. Materialisme atau Naturalisme
Materialisme menolak hal-hal yang tidak kelihatan. Bagi
materiaalisme, “ada” yang sesungguhnya adalah yang keberadaannya
semata-mata bersifat material atau sama sekali bergantung pada material.
Jadi, realitas yang sesungguhnya adalah alam kebendaan, dan segala
sesuatu yang mengatasi alam kebendaan itu haruslah di kesampingkan.
Oleh sebab itu, seluruh realitas hanya mungkin di jelaskan secara
materialistis.
Ludwig Andreas Feuerbach (1804-1872) menekankan bahwa
materi haruslah menjadi titik pangkal dari segala sesuatu. Bagi
Feuerbach, alam material adalah realitas yang sesungguhnya. Adapun
karena manusia adalah bagian dari alam material itu, manusia adalah satu
realitas yang konkret. Menurut Feuerbach, agama dan Tuhan hanyalah
mimpi manusia yang begitu egoistis demi meraih kebahagiaan bagi
dirinya sendiri.7

6
The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2010), hal 8.
7
Rapar Jan Hendrik, Pengantar Filsafat (Yogyakarta: Kanisus, 1996), hal 45

7
c. Keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian, dan perubahan
1. Mekanisme
Menyatakan bahwa semua gejala dapat djelaskan berdasarkan asas-
asas mekanik (mesin). Aliran ini juga menerangkan semua peristiwa
berdasarkan pada sebab kerja, yang dilawankan dengan sebab tujuan.
Alam dianggap seperti sebuah mesin yang keseluruhan fungsinya
ditentukan secara otomatis oleh bagian-bagiannya. Pandangan ini dianut
oleh Galilie Galilei.
2. Teologi (serba tujuan)
Teologi berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian alam
bukanlah kaidah sebab akibat, akan tetapi sejak semula memang ada
sesuatu kemauan atau kekuatan yang mengarahkan alam ke suatu tujuan.
Menurut Aristoteles untuk melihat kenyataan yang sesungguhnya kita
harus memahami empat sebab, yaitu sebab bahan, sebab bentuk, sebab
kerja, dan sebab tujuan.
3. Vitalisme
Vitalisme memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya
dijelaskan secara fisika kimiawi karena hakikatnya berbeda dengan yang
tidak hidup. Filsuf dari aliran ini adalah Henry Bergson.8
d. Aliran lain dalam ontology
1. Nihilisme
Aliran yang meyakini bahwa dunia ini terbuka untuk kebebasan
dan kreativitas manusia. Dalam paham ini manusia bebas berkehendak
dan berkreativitas. Di dalam dunia Islam aliran ini biasa disebut dengan
Qadariyyah yang dipelopori oleh Ma’bad Al-Juhaini Al-Basri.9
2. Agnosticisme/Agnostisisme/Agnotisme
Aliran ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui
hakikat seperti yang dikehendaki. Manusia tidak mungkin mengetahui
hakika batu, air, api, dan lain sebagainya. Sebab menurut aliran ini

8
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2014), hal 120-121.
9
Asmoro Achmad, Filsafat Umum (Jakarta:Rajawali Pers, 2013), hal 101.

8
kemampuan manusia sangat terbatas. Contoh paham ini adalah para
filosof Eksistensialisme, seperti Jean Paul Sartre, Karl Jaspers, Gabriel
Marcel, dan lain-lain.10
C. Asumsi Ontology Ilmu
Ilmu bertujuan untuk mengerti mengapa hal itu terjadi, dengan
membatasi diri pada hal-hal yang asasi. Atau dengan perkataan lain, proses
keilmuan bertujuan untuk memeras hakikat objek empiris tertentu, untuk
mendapatkan sari yang berupa pengetahuan mengenai objek tersebut. Untuk
mendapatkan pengetahuan ini ilmu membuat beberapa andaian (asumsi)
mengenai objek-objek empiris. Asumsi ini perlu, sebab pernyataan asumtif
inilah yang member arah dan landasan bagi kegiatan penelaahan bagi kita.
Sebuah pengetahuan baru di anggap benar selama kita bisa menerima asumsi
yang di kemukakannya. Semua teori keilmuan mempunyai asumsi-asumsi ini,
baik yang di nyatakan secara tersurat maupun yang tersirat.
Ilmu menganggap bahwa objek empiris yang menjadi bidang
penelaahanya mempunyai ifat keragaman, memperlihatkan sifat berulang dan
semuanya jalin-menjalin secara teratur. Suatu peristiwa tidaklah terjadi secara
kebetulan namun tiap peristiwa mempunyai pola tetap yang teratur.
Secara lebih terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris :
1. Asumsi pertama menganggap obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan
satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya.
2. Asumsi yang kedua adalah anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami
perubahan dalam jangka waktu tertentu. Tercakup dalam pengertian ini
adalah pengakuan bahwa benda-benda dalam jangka panjag akan
mengalami perubahan dan jangka waktu ini berbeda-beda untuk tiap benda.
3. Determinisme merupakan asumsi ilmu yang ketiga, determinisme dalam
pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistic).11

D. Metode Ontology
10
Ibid, hal 128.
11
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hal 6-9.

9
Abstraksi dalam ontology terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu
abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi metafisik. Abstraksi fisik
menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu obyek. Sedangkan abstraksi
bentuk adalah mendiskripsikan sifat umum yang menjadi ciri semua sesuatu
yang sejenis. Dan abstraksi metafisik mendeskripsikan mngenai dasar dari
semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontology adalah abstraksi
metafisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontology dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1. Pembuktian Apriori
Pembukitian apriori disusun dengan meletakkan term tengah berada
lebih dahulu dari predikat. Dan pada kesimpulan term tengah menjadi
sebab dari kebenaran kesimpulan.
Contoh: Term Awal : Sesuatu yang bersifat lahiriah itu fana
Term Tengah : Badan itu sesuatu yang lahiriah
Kesimpulan : Jadi, badan itu fana.
2. Pembuktian Posteriori
Pembuktian posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah
realitas kesimpulan. Dan term tengah menunjukkan akibat realitas
yang dinyatakan dalam kesimpulan.
Contoh: Term Awal :Tumbuhan yang tumbuh di gurun itu kaktus
Term Tengah :Tumbuhan yang tumbuh di gurun itu
berduri
Kesimpulan : Jadi, kaktus itu berduri.

E. Pencarian Abadi
Setiap filsafat seluruhnya semua bagiannya pada filsuf siapapun
pada dasarnya berangkat pada suatu ontology (meskipun belum di
tematisasikan). Mereka bersumber pada suatu ide sentral yang menguasai
seluruh pemikirannya. Secara konkret inti itu dapat ditunjukkan pada
setiap filsuf. Setiap filsuf mulai berpikir dengan berdiri dalam situasi

10
tertentu dan pada titik historis tertentu dan itu akan membentuk
pertanyaannya.
Oleh karena itu, meskipun berciri mutlak dan ultima ontology
senantiasa ditengah-tengah jalan yang sudah berkembang. Ontology
merupakan pelaksanaan dorongan manusia paling mendalam yang tetap
mendesak. Usaha untuk mencari inti misteri itu tidak dapat dimatikan. Dan
semakin bagian-bagian filsafat lainnya berkembang, semakin pula
ontology menampakkan diri didalamnnya.12

BAB III

12
Anton Bakker, Ontology Metafisika Umum Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan
(Yogyakarta: Kanisius, 1992), hal 23.

11
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ontology adalah cabang teori dari ilmu filsafat yang
membicarakan hakikat sesuatu yang ada. Hakikat ialah relitas, realitas
adalah kenyataan yang sebenarnya. Ontology juga dikaitkan sebagai
salah satu kajian filsafat yang paling kuno dan berasal dari yunani.
Dengan mempelajari ontology kita akan dapat mengetahui
nilai-nilai penting yang terdalam dari yang ada dan membantu untuk
mengembangkan serta mengkritisi berbagai macam sesuatu.
Di dalam ontology terdapat berbagai macam pokok pemikiran
diantaranya, yaitu Monoisme, Dualisme, Pluralisme, Spiritualisme,
Materialisme, Mekanisme, Vitalisme, Teologi, Nihilsme, dan
Agnosticisme.
B. Saran
Penulis menyarankan  kepada para pembaca bahwa kami dari
penulis menerima dengan lapang dada segala kritikan dan saran yang
bersifat membangun guna sempurnanya makalah kami ini.
Kami menyadari bahwa tidak ada manusia yang sempurna
dibandinkan Tuhan Yang Maha Esa. Maka dari itu, apabila terdapat
suatu hal dalam makalah yang kami susun ini menyinggung ataupun
tidak berkenan, kami meminta maaf sebesar-besarnya.

DAFTAR PUSTAKA

12
Achmad, Asmoro. 2013. Filsafat Umum. Jakarta: Rajawali Pers.

Bakker, Anton. 1992. Ontology Metafisika Umum Filsafat Pengada dan Dasar-

Dasar Kenyataan. Yogyakarta: Kanisius.

Gie, The Liang. 2010. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta, Liberty Yogyakarta.

Hendrik, Rapar Jan. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisus.

Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Surajiyo. 2014. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Suriasumantri, Jujun S. 2009. Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Tafsir, Ahmad. 2013. Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja Rosdakaria.

13

Anda mungkin juga menyukai