Anda di halaman 1dari 2

MEMAKNAI KEMBALI PERJUANGAN PERBURUHAN DI INDONESIA

Abu Thoyyib, SH.

Persoalan perburuhan di indonesia merupakan persoalan yang sangat komplek sekan-akan tiada
ujungnya. Kondisi perburuhan negara ini sangat tertinggal dengan negara lain dan yang lebih
mengenaskan lagi bahwa hubungan industrial kita masih berkutat pada persoalan upah buruh.
Hubungan industrial yang seharusnya mempunyai kepentingan yang sama untuk bersinergi dan
menghasilkan produktifitas serta profitabilitas sehingga mewujudkan kesejahteraan bagi buruh dan
kemajuan bagi pengusaha ternyata masih jauh seperti pungguk merindukan bulan.

Yang menjadi pertanyaan siapa yang diuntungkan dengan kondisi semacam ini, kenaikan Upah
Minimum Provinsi (UMP) setiap tahun seakan menjadi ancaman bagi para pengusaha. Di sisi lain
tuntunan buruh terkait upah yang layak itu juga sangat wajar dan apa yang mereka perjuangkan
dijamin oleh undang-undang. Hubungan industrial idealnya tidak boleh ada menang dan kalah tetapi
harusnya win-win solution. Tetapi kondisi saat ini masih menempatkan buruh pada posisi subordinatif
terhadap majikan (pengusaha). Selain itu Paradigma prinsip ekonomi yang selalu menempatkan
buruh sebagai faktor produksi dan buruh murah sebagai daya tarik investasi sudah saatnya diubah.
Buruh adalah manusia, karena itu paradigma yang dibangun seharusnya bersifat manusiawi atau
humanisme yaitu sebuah hubungan interdependensi yang saling menguntungkan. Hal ini karena tidak
ada didunia ini orang terus menerus mau dirugikan.

Di tengahi konflik kepentingan antara buruh dan pengusaha, maka negara harus hadir untuk
memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi kedua belah pihak agar mampu menemukan titik
temu yang baik. Tetapi terkadang pemerintah terlihat ragu-ragu didalam menerapkan kebijakan
perburuhan. Selain itu kecurigaan selalu muncul terhadap apa yang dilakukan pemerintah terkait
kebijakan perburuhan. Ketika pemerintah berpihak ke pekerja, maka pemerintah dianggap oleh
sebagaian kalangan sedang mencari popularitas politik dan ketika pemerintah berpihak ke pengusaha
maka gejolak perburuhan akan selalu muncul. Kondisi ini terjadi akibat kebijakan masa lampau yang
selalu sangat represif pada gerakan perburuhan.

Gerakan buruh di indonesia sendiri menemukan bentuk dan momen kebangkitan setelah rezim orde
baru runtuh dan kemudian pada tahun 2013 Presiden Susilo Bambang Yudoyono melalui Keputusan
Presiden (Keppres) Nomor 24 Tahun 2013 mengesahkan keputusan May Day tanggal 1 Mei sebagai
hari Libur Nasional. Sejalan dengan hal itu regulasi perburuhan mulai baik walaupun terkadang
pelaksanaan dilapangan belum berjalan maksimal.

Menjaga Nilai Perjuangan

Di tengah kebangkitan organisasi buruh dan kesadaran buruh akan hak-haknya, justru organisasi
buruh saat ini dihadapkan pada permasalahan yang semakin komplek. Perlambatan ekonomi dan
menyebabkan ancaman PHK setiap saat, pengangguran yang masih tinggi, rendahnya produktifitas
dan fenomena masuknya tenaga asing ke indonesia. Selain itu kemajuan tehnologi telah membawa
perubahan yang sangat besar dengan munculnya para pekerja tranportasi yang berbasis online.
Kemajuan ini disatu sisi telah menciptakan lapangan pekerjaan dan disisi lain dianggap sebagai
ancaman bagi pekerja lain. Kehadiran organisasi buruh atau serikat pekerja di tempat-tempat tersebut
tentu sangat diharapkan untuk menyatukan mereka agar sesama pekerja tidak saling terjadi
pertentangan.
Menjadi Rumah Besar Organisasi Buruh

Sudah saatnya organisasi buruh membuka diri terhadap perubahan yang ada untuk memperkuat
bargaining mereka, selain itu mereka juga harus memperluas ruang gerakan mereka tidak hanya pada
pekerja formal. Masih banyak pekerja khususnya yang bekerja diwilayah informal yang belum
mendapat perlindungan yang semestinya dan harus diperjuangkan. Salah satunya ada pekerja rumah
tangga, di saat perundangan ketenagakerjaan memberikan perlindungan dengan menetapkan hak-
hak dasar terhadap pekerja formal, maka nasib pekerja rumah tangga masih belum tersentuh sama
sekali. Belum ada regulasi yang mengatur tentang upah minimum, jam kerja, cuti, jaminan kesehatan
dan kontrak kerja bagi pekerja rumah tangga. Kesemuanya masih masih diserahkan kepada pemberi
kerja. Negara belum hadir memberikan perlindungan terhadap para pekerja ini, kalaupun negara hadir
ketika ada kasus yang menyita perhatian publik saja.

Para pekerja rumah tangga ini sebagian besar adalah perempuan dan dibanyak tempat dilakukan oleh
anak-anak. Berdasarkan data ILO 2010 di Indonesia ada sebanyak 2,6 juta orang yang di dominasi
perempuan berusia 13-30 tahun bekerja sebagai pekerja rumah tangga. Selain itu tercatat pula bahwa
ada sekitar 750.000 perempuan indonesia meninggal indonesia untuk bekerja diluar negeri sebagai
pekerja rumah tangga migran. Walaupun pekerja rumah tangga mempunyai peran yang penting
dalam sebuah keluarga tetapi dalam kenyataan mereka tidak diakui dalam peraturan ketenagakerjaan
sehingga mereka tidak mendapatkan perlindungan sebagaimana laiknya pekerja lainnya.

Hasil penelitian Rumpun Gema Perempuan tahun 2005 dan 2008 mengungkapkan bahwa 68 persen
pekerja rumah tangga mengalami pelecehan mental, 93 persen mengalami kekerasan fisik dan 42
persen mengalami kekerasan seksual oleh anggota keluarga majikan.

Berbagai upaya sudah mulai dilakukan untuk memberikan perlindungan kepada mereka, termasuk
rancangan undang-undang pekerja rumah tangga tetapi seakan menghadapi tembok tebal. Karena itu
sudah saatnya organisai buruh atau serikat pekerja di indonesia untuk bersama-sama
memperjuangkan nasib mereka agar mendapat hak-haknya seperti pekerja lainnya. Sehingga pada
akhirnya semua buruh atau pekerja merasakan manfaat keberadaan organisasi buruh.

Mantan Office Manager LPA Jatim

Anda mungkin juga menyukai