Pada 19 Februari 1949, Sukotjo dan anak buahnya yang berjaga di Desa
Selopanggung, Kediri, menangkap seseorang yang kemudian dikenali
sebagai Tan Malaka. “Sukotjo memerlukan sedikit waktu sebelum
mengambil keputusan: Tan Malaka seorang komunis yang berbahaya,
yang terhadapnya harus diberlakukan hukuman militer. Sukotjo
memberikan perintah, dan orang yang ditugasi menembak adalah Suradi
Tekebek,” tulis Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan
Revolusi Indonesia jilid IV (Baca: Hari Ini Adalah Hari Kematian Tan
Malaka).
Pada pagi hari tanggal 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Komando
Tjadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkos. trad), mendapat informasi telah terjadi gerakan
militer yang mencurigakan di rumah beberapa orang Jenderal pimpinan teras Angkatan Darat.
Informasi berikutnya menyatakan beberapa orang di antara Jenderal telah ditembak mati di
rumahnya oleh gerombolan bersenjata yang tidak dikenal.
Setelah mendengar informasi tersebut, Jenderal Soeharto segera pergi ke kantornya di Medan
Merdeka Timur. Dalam perjalanan ke kantornya, beliau menyaksikan adanya kegiatan militer di
sekeliling Monumen Nasional. Pada hari itu memang diketahui ada dua batalyon Kostrad yang
didatangkan ke Ibukota untuk ikut merayakan peringatan HUT Angkatan Bersenjata tanggal 5
Oktober 1965 yang kemudian disalahgunakan oleh Gerakan 30 September/PKI. Mereka itu
adalah Batalyon 454/Para yang berasal dari Semarang dan Batalyon 530/Para dari Madiun. Yon
454 menduduki bagian utara lapangan Medan Merdeka, sedangkan Yon 530 mendapat bagian
mulai dari gedung Museum ke selatan sampai Bundaran Air Mancur, membelok ke timur,
gedung Pusat Telekomunikasi, sampai ke bagian selatan Stasiun Gambir[2].
Tiba di kantor, Jenderal Soeharto memanggil para perwira stafnya, untuk mendengarkan laporan
mengenai peristiwa yang terjadi dan menganalisa situasi dan kondisi yang terjadi pada saat itu.
Dari hasil analisa Pangkostrad dan staf disimpulkan, bahwa telah terjadi pengkhianatan terhadap
TNI-AD dan usaha perebutan kekuasaan negara yang membahayakan keselamatan bangsa dan
negara. Ia bertekad akan melawan pengkhianatan dan pemberontakan tersebut.
Langkah pertama yang diambil untuk mengatasi kekosongan pimpinan TNI-AD adalah dengan
mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Hal ini sesuai dengan order tetap Menteri/ Panglima
Angkatan Darat (Men/Pangad) tentang pejabat yang mewakili pimpinan TNI – AD apabila
Men/Pangad berhalangan.
Mayor Jenderal Soeharto kemudian memanggil Panglima Komando Daerah Militer V/Jaya,
Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah. Sebelumnya Mayor Jenderal Umar disertai oleh Kepala
Staf Garnizun Ibukota Brigjen G .A. Mantik telah mengunjungi rumah para jenderal yang dibunuh
dan diculik oleh gerombolan penculik, yang baru kemudian diketahui sebagai gerombolan dari
Gerakan Tiga Puluh Septemberi PKI. Setelah itu Panglima memerintahkan untuk menutup
perbatasan Ibukota guna mencegah gerombolan penculik lari ke luar Jakarta. Sekalipun
situasinya belum jelas, dengan informasi yang dihimpun oleh Jenderal Umar, Jenderal Soeharto
dapat. mengambil serangkaian tindakan. Tindakan pertama mencoba menetralisir pasukan yang
berada di jantung ibu kota itu.[3] Kemudian, ia menghubungi Panglima Angkatan Laut dan
Panglima Angkatan Kepolisian. Kedua panglima tersebut berjanji, bahwa pasukan-pasukan
kedua Angkatan tersebut akan dikonsinyir di asrama masing-masing dengan maksud
menghindari tembak-menembak, sebelum jelas siapa kawan dan siapa lawan. Panglima
Angkatan Udara tidak berhasil dihubungi.
Sementara itu, pada pukul 07.15 rakyat Indonesia di seluruh tanah air dikejutkan oleh siaran RRI
Studio Jakarta yang mengumumkan Dekrit No.1 Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Letnan
Kolonel Untung. Siaran itu mengumumkan tentang dilangsungkannya :
Pengumuman Dewan Revolusi berikutnya ialah tentang susunan anggota Dewan Revolusi dan
pengumuman yang antara lain menyebutkan tentang dihapuskannya pangkat jenderal dan
pangkat Letnan Kolonel sebagai pangkat tertinggi dalam ABRI. Bagi Tamtama dan Bintara yang
mendukung G 30 S, pangkatnya dinaikkan satu tingkat sedangkan bagi mereka yang secara
aktif ikut mengadakan “pembersihan” pangkatnya dinaikkan dua tingkat. Pangkat-pangkat baru
boleh dipakai setelah menyatakan kesetiaannya kepada Dewan Revolusi. Pengumuman ini
kemudian disusul oleh Perintah Harian Men/Pangau Umar Dhani melalui RRI yang dikeluarkan
pukul 09.30[4]
Menjelang siang hari setelah mempelajari keadaan dan mendengarkan siaran-siaran radio
Dewan Revolusi, Mayjen Soeharto mengambil kesimpulan yang penting :
Jenderal Soeharto mengambil tindakan cepat untuk mengatasi krisis itu. Pertama, diusahakan
untuk menetralisir pasukan yang steling di dalam dan di sekitar Medan Merdeka. Telah diketahui
bahwa pasukan. pasukan itu adalah dari Yon 530 Para/Brawijaya dan Yon 454 Para/Diponegoro.
Pertama kali yang diutus oleh Pangkostrad adalah Letnan Kolonel Sukresno Komandan Brigade
3, kemudian disusul oleh para sesepuh batalyon-batalyon itu antara lain Pangdam VIII/Brawijaya
Mayjen Basuki Rachmat dan Brigjen Sabirin Mochtar. Dengan berpakaian preman kedua
jenderal itu mendatangi anak-anaknya. Usaha itu membuahkan hasil. Akhirnya pada pukul
15.00, Kapten Sukarbi Wadan Yon 530 dan Kapten Kuntjoro Wadan Yon 454 datang
menghadap Panglima Kostrad. Kemudian mereka pergi untuk melaksanakan perintah Panglima
Kostrad.
Kesibukan Mayor Jenderal
Soeharto memimpin jalannya operasi di hari- hari pertama setelah meletusnya peristiwa G.30
S/PKI (Repro : buku Kopkamtib)
Kedua, Panglima Kostrad memanggil Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo yang
bermarkas di Cijantung. Kolonel Sarwo Edhie Wibowo diperintahkan mempersiapkan
pasukannya untuk menguasai Gedung Telekomunikasi dan RRI. Satu jam kemudian Kapten
Sukarbi datang ke Markas Kostrad dengan membawa Yon 530 minus 1 kompi (yang dipakai di
dalam tim Pasopati). Namun Kapten Kuntjoro dengan Yon 454 tidak datang, tetapi menarik
seluruh anggota Yon 454 dari Medan Merdeka pada pukuI 17.00, dan bergerak ke sekitar Halim
Perdanakusuma.
Dengan mundurnya Yon 530 dari Medan Merdeka, disusul dengan cepat oleh pasukan RPKAD.
Sasarannya adalah merebut gedung RRI dan Pusat Telekomunikasi yang dikuasai pemberontak.
Pada pukul 19.00 Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) diperintahkan untuk
membebaskan kedua gedung tersebut dengan memegang teguh prinsip Panglima Kostrad yaitu
memperkecil kemungkinan timbulnya pertumpahan darah dengan menghindarkan tembak-
menembak. Dalam waktu 20 menit saja, satuan -satuan RPKAD berhasil merebut kembali Pusat
Telekomunikasi dan RRI sesuai dengan petunjuk Pang Kostrad.[6]
Setelah dapat direbut, studio RRI Pusat Jakarta untuk sementara waktu ditempatkan di bawah
pengawasan TNI-AD dan Staf Angkatan Bersenjata (SAB). Dengan demikian dua sarana
komunikasi vital untuk menyelenggarakan komunikasi dengan daerah-dearah di wilayah tanah
air telah dapat normal kembali. Pada pukul 20.10 Mayor Jenderal Soeharto berpidato melalui
RRI yang disiarkan ke seluruh Indonesia. Pidato itu berisi antara lain:
1. Pada tanggal 1 Oktober di Jakarta telah terjadi suatu peristiwa perebutan kekuasaan
negara yang dilakukan oleh gerakan kontra revolusioner yang menamakan dirinya
“Gerakan 30 September”.
2. Mereka telah melakukan penculikan terhadap beberapa perwira tinggi Angkatan Darat
yaitu:
3. Gerakan 30 September memaksa dan menggunakan Studio RRI Jakarta dan Kantor Besar
Telekomunikasi untuk aksi terornya.
4. Paduka Yang Mulia Presiden/Panglima Tertinggi ABRI Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno,
dan Yang Mulia Menko Hankam/ Kasab Jenderal Nasution dalam keadaan aman dan ada dalam
keadaan sehat wal’afiat.
6) Situasi umum sudah dapat dikuasai kembali dan tindakan pengamanan sedang giat
dilakukan. Kepada masyarakat ramai diserukan, agar tetap tenang dan terus melakukan
tugasnya masing-masing sebagaimana biasa.
Pidato yang disiarkan ke seluruh Indonesia itu ternyata mempunyai pengaruh psikologis yang
besar. Pada saat itu semua orang mulai mengetahui bahwa siaran-siaran yang dikeluarkan
Untung adalah bagian dari percobaan perebutan kekuasaan yang gagal di Jakarta. Pidato ini
meruntuhkan moril para pendukung pemberontakan itu di daerah-daerah.
Setelah daerah sekitar Istana Merdeka dan Medan Merdeka bersih dari pasukan G30S/PKI,
maka operasi penumpasan terhadap kaum pemberontak ditujukan ke Pangkalan Halim
Perdanakusama dan sekitarnya yang digunakan sebagai basis oleh pemberontak. Situasi militer
di Ibukota segera berubah karena direbutnya inisiatif dari Gerakan 30 September PKI oleh
Kostrad. Pangkostrad Mayjen Soeharto melalui Ajudan Presiden, Kolonel KKO Bambang
Widjanarko, mengirimkan pesan kepada Presiden Soekarno agar meninggalkan kompleks
Halim, selambat-lambatnya pada pukul 24.00, karena Kostrad telah mengetahui pangkalan itu
merupakan basis kekuatan fisik pemberontak.
Perkembangan menjelang petang hari itu juga, berlangsung dengan cepat, sehingga
pemberontak yang berkedudukan di Halim dan sekitarnya merasakan tekanan situasi. Akhirnya,
mereka segera menyingkir keluar Halim. Perintah Presiden melalui Brigjen Supardjo agar
menghentikan gerakannya, menimbulkan kerumitan bagi D.N. Aidit, Sjam, dan Pono.
Dengan ketegasan sikap Mayjen Soeharto tersebut, yang dibarengi dengan operasi-operasi
penumpasan secara militer, jelas bahwa Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma tidak akan
mungkin dapat dipertahankan lagi. Presiden Soekarno beserta rombongan pada tanggal 1
Oktober 1965 pukul 23.30 telah meninggalkan Pangkalan Halim Perdanakusuma melalui jalan
darat menuju Bogor.
Pada pukul 01.00 dinihari tanggal 2 Oktober 1965, Jenderal Soeharto memerintahkan kesatuan-
kesatuan RPKAD dibantu oleh Batalyon 328 Kujang/Siliwangi, satu kompi tank dan satu kompi
panser Kavaleri untuk membebaskan Pangkalan Halim. Kepada pasukan-pasukan yang ditugasi
dipesankan, agar dalam melaksanakan perintah ini sedapat mungkin menghindarkan
pertumpahan darah serta menghindarkan pengrusakan terhadap benda-benda yang berguna.
Demikianlah sekitar pukul 03.00 pagi, pasukan tersebut bergerak menuju sasaran yang telah
ditentukan. Pada pukul 06.00 pagi, lapangan udara Halim telah dapat dikuasai kembali. Namun
karena luasnya kompleks Halim, kekuatan-kekuatan pemberontak ternyata tidak seluruhnya
mengundurkan diri.[8]
Gerakan penumpasan selanjutnya adalah menuju desa Lubang Buaya yang diperkirakan
sebagai tempat pembunuhan terhadap 7 orang Perwira Tinggi Angkatan Darat. Tembak-
menembak terjadi di Lubang Buaya antara RPKAD dengan satuan-satuan Yon 454, sehingga
jatuh korban seorang gugur dan dua orang luka-luka. Pada pukul 14.00 gerakan pembersihan
oleh satuan-satuan RPKAD dan Yon 328 Kujang di sekitar Cililitan dan Lubang Buaya dihentikan
karena para pemberontak telah buyar melarikan diri ke luar kota. Dengan telah di kuasainya
Halim dan bubarnya pasukan pemberontak, maka gagallah kudeta Gerakan 30 September yang
didalangi PKI itu. Para pemimpin pemberontak meninggalkan Halim menuju ke Pondok Gede,
dan selanjutnya menyelamatkan diri dari kejaran RPKAD.
Pada hari Minggu tanggal 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD di bawah pimpinan Mayor C.I.
Santoso telah menguasai desa Lubang Buaya di dekat Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim
Perdanakusuma. Pasukan ini masih sempat melihat bekas tempat berlatih pasukan bersenjata
“sukarelawan/sukarelawati” Pemuda Rakyat dan Gerwani. Pasukan pemberontak itu telah
melarikan diri.
Dengau bantuan seorang anggota Polri, Agen Polisi II (Bharada) Sukitman yang pernah diculik
pasukan Pasopati yang baru menculik dan membunuh Jenderal Pandjaitan, maka batalyon
RPKAD itu menemukan perkiraan tempat pembunuhan para jenderal pimpinan TNI-AD. Pada
pukul 17.15 hari itu juga telah ditemukan sebuah sumur tua yang terletak kurang lebih tiga meter
di sebelah rumah seorang guru yang menjadi aktivis PKI. Lubang sumur itu disamar sedemikian
rupa sehingga sulit dikenali. Dengan ketajaman instuisi Mayor C.I. Santoso, lubang sumur itu
ditemukan. Ia memerintahkan anggotanya untuk mengorek-ngorek suatu tempat yang ia
tunjukkan. Ternyata, setelah tanah diangkat terlihat lubang yang menganga yang berdiameter +
75 cm, dan tereium bau busuk. Karena hari telah gelap, usaha pengangkatan jenazah
ditangguhkan. Mayor C.I. Santoso memerintahkan pasukannya untuk menjaga daerah itu secara
ketat.
Baru keesokan harinya, hari Senin tanggal 4 Oktober, penggalian jenazah itu dapat dikerjakan
dengan sungguh-sungguh. Batang-batang pohon pisang, daun singkong dan tanah secara
berselang seling penutup lubang itu disingkirkan. Pelaksanaan teknis penggalian dilakukan oleh
anggota-anggota Kesatuan lntai Para Amfibi (KIPAM) dari KKO-AL yang dihubungi oleh Kapten
CZI R. Sukandar. Dengan memakai alat-alat khusus seperti aqualung tabung zat asam, jenazah-
jenazah itu diangkat. Namun, pelaksanaan tugas itu terasa ringan karena disaksikan oleh
Panglima Kostrad, Mayor Jenderal Soeharto yang membawa suatu rombongan antara lain terdiri
atas Direktur Peralatan AD, Direktur Polisi Militer AD, Direktur Zeni AD, Kepala Penerangan
Angkatan Bersenjata serta sejumlah wartawan.[9]
Pada pukul 12.05, pertama kali dinaikkan jenazah Lettu Pierre Tendean, ajudan Jenderal
Nasution. Pada pukul 12.30 menyusul jenazah Mayor Jenderal Soeprapto dan Mayor Jenderal
S. Parman yang diikat menjadi satu. Pada pukul 12.55 menyusul jenazah Letnan Jenderal Yani
yang diikat menjadi satu dengan jenazah Brigadir Jenderal Sutojo Siswomihardjo serta jenazah
Mayor Jenderal Haryono MT Akhirnya pada jam 13.40 diangkat jenazah Brigadir Jenderal D.I.
Pandjaitan. Pada saat itu juga Mayor Jenderal Soeharto mengucapkan pidato singkat yang
pokok-pokoknya adalah sebagai berikut :
1) Tuhan telah memberikan petunjuk yang jelas bahwa setiap tindakan yang tidak baik pasti
akan terbongkar
2) Jenazah-jenazah itu merupakan bukti nyata mengenai tindakan-tindakan biadab dari
petualang-petualang yang menamakan dirinya “Gerakan 30 September”
3) Didekat tempat diketemukannya jenazah-jenazah itu terdapat tempat latihan Pemuda Rakyat
dan Gerwani
4) Daerah Lubang Buaya itu “termasuk lingkungan” Pangkalan Angkatan Udara Halim
Perdanakusuma
5) Pastilah ada oknum-oknum AURI yang terlibat, yang seyogyanya dibersihkan oleh patriot di
dalam AURI sendiri.