Anda di halaman 1dari 58

GERAKAN 30 SEPTEMBER PKI (G 30 S/PKI)

Dalam kurun waktu 1950-1959 pemerintah pada masa demokrasi Liberal telah
memberikan kesempatan pada PKI untuk mengadakan rehabilitasi, walaupun
sebelumnya partai komunis tersebut telah melakukan pemberontakan PKI Madiun.

D.N. Aidit selaku tokoh PKI kembali ke Indonesia dengan konsep baru yang dikenal
dengan “Jalan Demokrasi Rakyat Bagi Indonesia”.

Setelah memperoleh kesempatan merehabilitasi PKI dalam alam demokrasi Liberal,


langkah PKI selanjutnya adalah berusaha memperoleh kesempatan duduk dalam
pemerintahan melalui aliansi dengan kekuatan – kekuatan politik yang penting.

Posisi PKI semakin mantap berkat agitasi dan propaganda D.N.Aidit yang intensif,
sehingga PKI berhasil termasuk dalam salah satu empat partai besar yang terpilih
dalam pemilu 1955, meskipun tidak berhasil duduk dalam kabinet yang terbentuk
pada waktu itu (Kabinet Ali Sastroamijoyo II).

Dalam pidato Presiden yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”, Presiden
menjadikan pidato tersebut dirumuskan menjadi Garis–garis Besar Haluan Negara
(GBHN), kesempatan ini dimanfaatkan oleh D.N Aidit yang duduk dalam panitia
kerja DPA untuk memasukkan program – program PKI ke dalam GBHN yang
kemudian dikenal sebagai Manifesto Politik (Manipol) Republik Indonesia.

Perkembangan selanjutnya yang semakin menguntungkan PKI terjadi ketika


Presiden Soekarno membentuk Front Nasional sebagai alat penggerak masyarakat.
Akan tetapi pada kenyataannya, Front Pancasila malah menjadi sasaran
penggarapan PKI untuk dibawa ke dalam strategi “Front Persatuan”-nya PKI.
Jadilah Front Nasional menjadi alat politiknya PKI. Posisi PKI juga makin kuat
setelah dbentuknya Kabinet Dwikora pada tanggal 27 Agustus 1964 yang
didalamnya duduk beberapa tokoh PKI sebagai menteri koordinator dan menteri
lainnya.

Aksi – aksi PKI sebelum Pemberontakan G-30-S/PKI

Setelah penyusupan Kader-Kader PKI ke dalam tubuh aparatur Negara termasuk


ABRI, organisasi politik, dan organisasi masyarakat dinilai berhasil, maka PKI
melakukan gerakan yang disebutnya sebagai tahap ofensif revolusioner, sebagai
berikut :
a. Aksi Massa dan aksi sepihak

Dimulai pada 26 Maret 1964. Aksi ini dilakukan oleh BTI (Barisan Tani Indonesia)
terhadap para petani Indonesia, BTI melakukan hasutan diantara para petani
sehingga terjadi konflik yang melibatkan 1000 orang petani, selain itu juga
melakukan pembabatan padi milik seorang petani secara paksa. Aksi tersebut
dilakukan di Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara (aksi BTI di
Sumatera utara dikenal dengan Bandar Betsy).

b. Teror

Pada tanggal 13 Januari 1965 PKI melakukan penyerbuan terhadap para aktivis
Pelajar Islam Indonesia (PII). Pada kesempatan itu PKI melakukan pemukulan dan
penganiayaan terhadap para kiai, santri-santrinya dan imam masjid serta merusak
rumah ibadah, bahkan menginjak-injak kitab suci Al Qur’an.

c. Perusakan

Pada tanggal 27 September 1965 melakukan demonstrasi dan pengrusakan di


kantor Gubernur Jawa Timur, tujuannya adalah menangkap dan membunuh
Gubernur Wiyono.

d. Agitasi dan propaganda

Agitasi dan propaganda dilakukan melalui penguasaan unsur-usur pers, yaitu Kantor
Berita Antara dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Selanjutnya adalah
melakukan pidato tokoh-tokoh PKI disegala forum kegiatan pemerintahan dan non
pemerintahan. Hal ini bertujuan untuk memotivasi solidaritas kaum komunis dan
para simpatisannya.

e. Isu

PKI melancarkan isu “Dewan Jenderal” yang anggotanya adalah sejumlah Jenderal
TNI AD, yaitu A.H.Nasution, A.Yani, Soeprapto, S.Parman, Haryono M.T., Sutojo S.,
D.I.Pandjaitan, dan Soekendro. Isi isu “Dewan Jendral“ tersebut antara lain :

1. Dewan Jenderal mempunyai tugas khusus memikirkan usaha-usaha dalam


rangka menghadapi kegiatan yang bersifat “kiri”. Dengan isu ini ada kesan
bahwa TNI AD merupakan kekuatan yang bersifat “kanan” dan anti-PKI.

2. Dewan Jenderal mempunyai tugas menilai kebijakan Presiden. Dengan isu ini
dibangun kesan bahwa TNI tidak dapat dijamin loyalitasnya kepada Presiden.

3. Dewan Jenderal bekerjasama dengan imperialis. Citra yang hendak dibuat


adalah TNI AD telah menghianati perjuangan rakyat.
4. Dewan Jenderal akan merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno dengan
memanfaatkan pengerahan pasukan daerah yang didatangkan ke Jakarta dalam
rangka peringatan HUT ABRI Tanggal 5 Oktober 1965.

Selain isu “Dewan Jenderal” tersebut, PKI juga melancarkan isu “Dokumen
Gilchrist”. Wacana yang dibangun dalam isu ini adalah seolah-olah ada kerjasama
antara unsur-unsur TNI AD dengan pihak Amerika dan Inggris yang pada waktu itu
dikategorikan sebagai kekuatan Nekolim.

Kronologi Pemberontakan G 30 S PKI

Dalam situasi sakitnya Presiden Soekarno, PKI melakukan evaluasi, bahwa


pertentangan antara PKI dan TNI AD tidak dapat dihindari bila kepemimpinan
Presiden Soekarno tidak ada lagi. Dalam situasi tersebut, TNI AD mempunyai
kemampuan untuk menggulung PKI. Sebelum hal itu terjadi, PKI harus
melumpuhkan TNI AD terlebih dahulu, yaitu dengan melakukan Gerakan 30
September 1965 (G 30 S/PKI), Langkah-langkah PKI antara lain :

1. Persiapan

 Melakukan pelatihan kemiliteran pada bulan Juli-September 1965 di Lubang


Buaya, Pondok Gede, Jakarta. Yang dilatih adalah para kader dan ormas PKI,
antara lain Serikat Buruh Angkatan Udara, Barisan Tani Indonesia, Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, Pemuda Rakyat, Universitas
Republika, Serikat Buruh Kereta Api, SB Postel, SOBSI, Partindo, Buruh/Tani
non partai dan mereka yang bersimpati pada PKI.

 Sasaran Utama gerakan pasopati adalah : A.H.Nasution, A.Yani, Soeprapto,


S.Parman, Haryono M.T., Sutojo S., D.I.Pandjaitan.

 Sasaran pasukan bima sakti adalah objek-objek vital seperti gedung studio
RRI Jakarta, gedung telekomunikasi, dan daerah – daerah penting di sekitar
lapangan Monumen Nasional.

2. Aksi

Setelah langkah Persiapan selesai, pada malam hari 30 September 1965 menjelang
dini hari 1 Oktober 1965 PKI melakukan penculikan, penyiksaan dan pembunuhan
terhadap “Dewan Jenderal”. Mereka berhasil membunuh dan menculik enam
perwira tinggi Angkatan Darat. Enam perwira Angkatan Darat korban keganasan PKI
tersebut ialah
1. Letnan Jenderal Ahmad Yani,

2. Mayor Jenderal R. Suprapto,

3. Mayor Jenderal S. Parman,

4. Mayor Jenderal M.T. Haryono,

5. Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, dan

6. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo.

Jenderal Abdul Haris Nasution (Menteri Kompartemen/Kepala Staf Angkatan


Bersenjata) yang menjadi sasaran utama berhasil meloloskan diri dari upaya
penculikan. Akan tetapi, puterinya, Ade Irma Suryani meninggal setelah peluru
penculikmenembus tubuhnya. Dalam peristiwa itu tewas pula Lettu Pierre Andreas
Tendean, ajudan A.H. Nasution yang dibunuh karena melakukan perlawanan
terhadap PKI. Demikian pula Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun yang tewas ketika
mengawal rumah Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II Dr. J. Leimena, yang
rumahnya berdampingan dengan Jenderal A.H. Nasution.

Di perkampungan Lubang Buaya para pemberontak PKI menyiksa dan membunuh


para perwira TNI AD. Mayat-mayat mereka dimasukkan ke dalam sumur kering
dengan kedalaman 12 meter. Para pemberontak kemudian menyumbat lubang
tersebut dengan sampah dan daun-daun kering.

Setelah berhasil membunuh beberapa perwira TNI AD, PKI mampu menguasai dua
sarana komunikasi vital, yaitu studio RRI di Jalan Merdeka Barat dan Kantor
Telekomunikasi yang terletak di Jalan Merdeka Selatan. Melalui RRI, PKI
menyiarkan pengumuman tentang Gerakan 30 September yang ditujukan kepada
para perwira tinggi anggota “Dewan Jenderal” yang akan mengadakan kudeta
terhadap pemerintah. Diumumkan pula terbentuknya “Dewan Revolusi” yang
diketuai oleh Letkol Untung Sutopo.

Di Jawa Tengah dan DI. Yogyakarta, PKI melakukan pembunuhan terhadap Kolonel
Katamso (Komandan Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel Sugiyono (Kepala
Staf Korem 072/Yogyakarta). Mereka diculik PKI pada sore hari 1 Oktober 1965.
Kedua perwira ini dibunuh karena secara tegas menolak berhubungan dengan
Dewan Revolusi.

Penumpasan G 30 S PKI

Langkah penumpasan PKI diimpin oleh Mayjen Soeharto. Langkah yang ditempuh
antara lain :
1. Melakukan mengkonsolidasi dan menggerakkan personil Markas Kostrad dan
satuan – satuan lain

2. Menarik dan menyadarkan kesatuan-kesatuan yang telah dipengaruhi dan


digunakan oleh Gerakan 30 September 1965.

3. Operasi merebut studio RRI Jakarta dan Kantor Besar Telkom.

4. Melakukan serangan ke basis PKI di Pangkalan Udara Halim Perdana Kusumah.

Semua langkah tersebut berhasil diselesaikan.

Dampak Sosial-Poltik Pemberontakan G-30-S/PKI

Sikap pemerintah yang belum dapat mengambil keputusan untuk membubarkan


PKI, ditambah dengan situasi politik, ekonomi dan keamanan yang semakin
bertambah kacau, mengakibtakan kemarahan rakyat tidak dapat dibendung lagi.
Masyarakat yang terdiri dari berbagai unsur seperti kalangan politik, ormas,
perorangan, pemuda, mahasiswa, pelajar, kaum wanita secara serentak
membentuk satu kesatuan aksi dalam bentuk FRONT PANCASILA. Dipelopori oleh
Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang dibentuk pada tanggal 25 Oktober
1965 dan juga didukung oleh berbagai kesatuan aksi lainnya seperti KAPPI, KAPI,
KASI, KAWI, KABI, dsb. Mahasiswa dan rakyat bergerak mengadakan demonstrasi.

Demonstrasi besar-besaran terjadi tanggal 10 Januari 1966, menuntut 3 tuntutan


yang disebut TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat), meliputi :

1. Pembubaran PKI

2. Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI

3. Penurunan harga – harga (perbaikan ekonomi)

Pembaharuan kabinet Dwikora terjadi tanggal 21 Februari 1966, dan kemudian


disebut dengan Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Kabinet baru tersebut tidak
dapat diterima oleh rakyat, karena Jenderal A.H.Nasution (orang yang anti PKI)
tidak dimasukkan dalam kabinet. Sementara beberapa tokoh yang terindikasi
mendukung PKI terpilih dalam kabinet. Jumlah kabinet mencapai hampir 100
orang, maka disebut Kabinet 100 Menteri.

Menjelang pelantikan Kabinet, tanggal 24 Februari 1966, KAMI melakukan aksi


demonstrasi, dalam aksi tersebut tewas seorang mahasiswa bernama Arief Rahman
Hakim tertembus peluru pengawal Presiden. Setelah itu tanggal 25 Februari 1966
KAMI dibubarkan. Atas perlindungan Amir Mahmud mahasiswa membentuk Laskar
Arif Rahman Hakim dengan tujuh batalyon yang diberi Pahlawan Revolusi dan Ade
Irma Suryani. Mereka menamakan diri sebagai angkatan ’66.

Pada tanggal 11 Maret 1966, diselenggarakan sidang kabinet yang intinya


membahas kemelut politik nasional. Karena situasi sedang gawat, akhrnya Presiden
menutup siding dan pergi ke Bogor diikuti oleh Subandrio dan Chairul Saleh dan 3
Perwira Tinggi TNI AD (Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen M.Yusuf, Brigjen Amin
Mahmud). Dalam kesempatan itu Presiden membuat Surat Perintah 11 Maret yang
sering disingkat Supersemar. Isinya pokoknya: “memerintahkan kepada LetJend
Soeharto atas nama Presiden untuk mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk
terjaminnya keamanan dan ketertiban serta kestabilan jalannya pemerintahannya
dan jalan revolusi sera menjamin keselamatan pribadi dan kewibaan Presiden”

Dengan demikian, munculnya peristiwa G 30 S/PKI telah mengakibatkan :

1. Keadaan ekonomi dan politik sangat memprihatinkan.

2. Di daerah muncul gejala social.

3. Inflasi mencapai 600% tiap tahun.

4. Pemerintahan tidak berfungsi secara efisien.

5. Pemerintah melaksanakan politik mercusuar bagi Negara lain.

Proses Peralihan Kekuasaan Politik Setelah Peristiwa G 30 S/Pki

1. Masa Transisi (1966-1967)

Supersemar kemudian dikukuhkan menjadi Ketetapan MPRS No. IX/MPRS/1966 yang


memberikan wewenang kepada Letjen Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan
Darat untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu guna menjamin
keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya revolusi. Kemudian dalam
rangka pemurnian UUD 1945 MPRS membuat ketetapan MPRS No.XI/MPRS/1966
tentang Pemilu yang akan dilaksanakan selambatnya 5 Juli 1968.

Setelah itu MPRS mengeluarkan ketetapan MPRS No.XII/MPRS/1966 tentang


pembentukan Kabinet Ampera untuk memenuhi dan melaksanakan Tritura di
bidang ekonomi, keuangan, dan pembangunan. Tugas pembentukan Kabinet
Ampera diserahkan kepada Letjen Soeharto sebagai pengemban ketetapan MPRS
No. IX/MPRS/1966. Tugas pokok kabinet ini adalah menciptakan kestabilan politik
dan ekonomi, dengan programnya antara lain memperbaiki kehidupan rakyat,
terutama di bidang sandang dan pangan serta melaksanakan pemilu.

2. Peralihan Kekuasaan dari Presiden Soekarno kepada Jenderal Soeharto

Pada sidang Umum MPRS tahun 1966, Presiden selaku mandataris MPRS diminta
oleh MPRS untuk memberikan pertanggungjawaban mengenai kebijakan yang telah
dilakukan, khususnya mengenai masalah yang menyangkut peristiwa G 30 S/PKI.
Presiden memberi nama pidato pertanggungjawabannya itu NAWAKSARA yang
artinya Sembilan pokok masalah. Akan tetapi masalah nasional mengenai G 30
S/PKI sama sekali tidak diungkit, sehingga pertanggungjawaban Presiden dianggap
tidak lengkap.

Pada tanggal 23 Februari 1967 di Istana Negara Jakarta dengan disaksikan oleh
Ketua Presidium Kabinet Ampera dan para Menteri, Presiden/Mandataris
MPR/Panglima Tertinggi ABRI dengan resmi telah menyerahkan kekuasaannya
kepada pengemban Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 Jenderal Soeharto. Dengan
demikian maka berakhirlah periode pemerintahan Orde Lama yang dipimpin oleh
Presiden Soekarno dan dimulailah periode pemerintahan Orde Baru pimpinan
Presiden Soeharto.

3. Perkembangan Kekuasaan Orde Baru

Tujuan Orba adalah pemurnian kembali kepada pemurnian Pancasila dan UUD
1945.

Langkah yang dilakukan dalam Orde Baru :

1. Memurnikan politik luar negeri bebas aktif.

2. Mempererat dan memperluas hubungan kerjasama regional bangsa-bangsa Asia


Tenggara, pada tanggal 8 Agustus 1967 Deklarasi Bangkok berhasil
ditandatangani. Dengan ini lahirlah ASEAN.

3. Melaksanakan pembangunan nasional (Trilogi Pembangunan), bunyinya :

a. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya


keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

b. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi

c. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

4. Menetapkan Delapan Jalur Pemerataan

5. Melaksanakan tugas Kabinet Ampera yang disebut Darma Kabinet Ampera.

http://caritauapasaja.blogspot.sg/2014/02/gerakan-30-september-pki-g-30-spki.html

Ini daftar lengkap pasukan TNI yang disusupi PKI & G30S
Orang-orang Komunis menyebutnya para perwira berpikiran progresif revolusioner.
Mereka lah para tentara yang berhasil direkrut oleh PKI untuk mendukung Gerakan
30 September.

Adalah Ketua Biro Chusus PKI Sjam Kamaruzaman yang memiliki tanggung jawab
untuk itu. Sjam mengaku kekuatan tentara yang dibina PKI sudah cukup kuat untuk
mengadakan gerakan di Jakarta. Sedangkan di daerah akan ikut begitu di Jakarta
meletup.

Dalam buku 'Dalih Pembunuhan Massal' sejarawan John Roosa menuliskan


kekuatan para pembelot yang dipimpin Letkol Untung Samsuri tersebut.

Berikut rinciannya:

1. 2 Peleton dari Brigade 1 Kodam Jaya atau sekitar 60 orang


2. 1 Kompi minus dari Batalyon I Tjakrabirawa atau sekitar 60 orang
3. 5 Kompi Batalyon 530 Brawijaya atau 500 orang
4. 5 Kompi Batalyon 454 Diponegoro atau 500 orang
5. Satu Batalyon dari AURI dan Pasukan Pembela Pangkalan atau 1.000 orang
6. Perseorangan dari berbagai kesatuan sekitar 50 orang

Total prajurit militer sekitar 2.130 orang ditambah kekuatan sipil dan ormas
pendukung lain menjadi sekitar 4.130 orang.

Untung membagi tiga pasukannya. Pasukan Pasopati (Cakrabirawa dan


Brigif) bertugas menculik para jenderal, Bimasakti (Yon 454 dan Yon 530)
bertugas mengawal kawasan Monas dan merebut RRI serta Telkom. Lalu
pasukan Gatotkaca yang menjaga Lubang Buaya (Terdiri dari PPP dan
sukarelawan).

Untuk Batalyon 530 harus dicatat bahwa mereka berhasil langsung diajak
kembali bergabung oleh Soeharto. Bahkan Yon 530 langsung diajak ikut
menumpas pasukan G30S. Sementara Yon 454 yang akhirnya bergerak ke
Halim, juga jumlahnya makin menyusut dan memilih meninggalkan komandan
batalyon dan wakilnya. Sehingga kekuatan ini tidaklah sebesar di atas kertas.

"Jumlah pasukan yang ikut gerakan ini sangat kecil. Kodam Jaya punya 60.000
prajurit, 20 kali lebih banyak dari pasukan yang ikut G30S. Masih ditambah dengan
pasukan RPKAD dan Kodam Siliwangi di Bandung yang hanya berjarak tujuh jam
berkendara dari Jakarta."

John Roosa juga menilai hanya segelintir pasukan yang mau diajak komandannya
ikut gerakan tersebut. Kolonel Latief misalnya, sebagai Komandan Brigade dia
punya pasukan tiga batalyon atau sekitar 2.000 orang. Nyatanya hanya 60 orang
yang ikut gerakan ini.
"Begitu juga Letkol Untung. Dari 500 anggota Yon I Tjakrabirawa, hanya 60-70 orang
yang ikut memberontak," kata sejarawan Petrik Matanasi kepada merdeka.com.

Seperti kata salah satu tokoh G30S, Brigjen Soepardjo, Biro Khusus PKI nyatanya
memang hanya omong besar. Mereka mengklaim kalau komandan batalyon berhasil
didekati, maka dianggapnya seluruh pasukan akan ikut. Padahal kenyataannya tidak
demikian.

Selain para penculik, para tentara yang disiagakan di Monas juga bingung mau
berbuat apa. Koordinasi tak berjalan dengan mulus. Gara-gara tak makan seharian,
mudah saja mereka diajak Letjen Soeharto untuk bergabung dan balik memukul
G30S.

Maka gerakan ini nyaris tak berhasil menjalankan misinya selain menculik 7
jenderal. Dalam waktu 24 jam seluruh komando bubar tak beraturan.

Gerakan gagal ini memberi angin bagi kekuatan antikomunis untuk terus bergerak.
Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat Kolonel Sarwo Edhie Wibowo
mencatat sekitar 3 juta orang yang diduga terlibat komunis tewas dalam operasi
militer. [ian]

https://www.merdeka.com/peristiwa/ini-daftar-lengkap-pasukan-tni-yang-disusupi-pki-
g30s.html

GBN Yogyakarta : PKI Sudah Menyusup ke Pemerintahan

Di Plaza Serangan Oemoem Satu Maret (Titik Nol) Yogyakarta, Sabtu


(1/9/2016) telah dideklarasikan Organisasi Masyarakat (Ormas) Gerakan Bela Negara Daerah
Istimewa Yogyakarta (GBN DIY) yang dihadiri oleh pengurus pusat Mayjen TNI (Purn)
Budi Sudjana dan Marsda TNI (Purn) Amirullah Amin.

Seperti yang tertulis di press realase, Organisasi GBN ini dibentuk oleh masyarakat DIY
sebagai salah satu wujud sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai atas kecintaannya
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Selain itu juga untuk menjamin kelangsungan hidup WNI dalam berbangsa dan
bernegara. Khususnya dalam mengamankan ideologi negara yakni Pancasila dan NKRI dari
ancaman ideologi komunis dan ideologi non Pancasila lainnya.

Dalam press realase juga diceritakan tentang bagaimana perkembangan ideologi komunis dari
masa ke masa yang mana saat itu negara Indonesia telah mengalami beberapa kali fase
pemberontakan Komunisme sejak zaman penjajahan Belanda tahun 1926, Peristiwa Tiga
Daerah tahun 1945, Pemberontakan Cirebon tahun 1946 serta Peristiwa Madiun tahun 1948
dan terakhir pada era pemerintahan Soekarno (1965). Pada pemberontakan G30S PKI 1965
tidak sedikit rakyat Indonesia yang menjadi korban keganasan PKI sehingga menimbulkan
rasa traumatik yang luar biasa.

Namun, sejarah dan dinamika sosial politik Indonesia terus berubah, dan PKI (Partai
Komunis Indonesia) telah dibubarkan melalui supersemar (surat perintah 11 maret) dan
dikuatkan pula oleh Ketetapan MPRS no 25/1966 dan lebih dikuatkan lagi dengan UU no 27
Tahun 1999. Akan tetapi bagi para penggiat Komunisme, PKI tidak pernah mati dan tidak
pernah pula bubarkan oleh para pendirinya. Sebagaimana pesan DN Aidit, Sudisman serta
para tokoh PKI yang lain.

Berbagai gejala kebangkitan PKI bisa dilihat dari maraknya atribut dengan lambang PKI di
berbagai wilayah Indonesia, buku-buku yang mengajarkan komunisme, simposium nasional
yang membela PKI, Festival Sastra yang menyanyikan lagu genjer-genjer dan membela PKI,
serta munculnya petisi penghancuran monument Pancasila Sakti Lubang Buaya yang
dipimpin oleh Shinta Miranda (anak tokoh Gerwani PKI) di Taman Ismail Marzuki pada
awal Mei 2016 lalu.

Kondisi yang demikian membuat warga DIY khususnya yang tergabung dalam Front Anti
Komunis Indonesia (FAKI) khawatir dan meningkatkan kewaspadaan, sehingga meleburkan
diri dengan GBN sebuah organisasi massa yang berpusat di Jakarta.

FAKI sendiri di Yogyakarta, merupakan komunitas aktifis anti Komunis yang terdiri dari
para relawan yang memiliki kesamaan visi untuk membendung bangkitnya ideologi komunis
di wilayah DIY. FAKI juga kerap menggalang gelar pasukan dan pawai massa akbar anti
komunis, untuk mengingatkan masyarakat tentang Bahaya PKI pada perayaan hari peringatan
Pemberontakan G30S/PKI, setiap tahun.

Kini FAKI yang sudah meleburkan diri menjadi GBN melihat perkembangan situasi dan
kondisi sosial masyarakat saat ini sudah mulai masuk taraf mengkhawatirkan dimana para
aktifis Komunis yang sudah tidak lagi berbaju PKI diketahui telah masuk dan menyusup ke
dalam lini kehidupan masyarakat Indonesia secara luas.

“Mereka ada di DPR RI (Pusat), di DPRD Provinsi Kabupaten dan Kota. Beberapa diantara
yang terindikasi Komunis itu menjadi pejabat publik; ada yang menjadi Gubernur, Bupati,
Walikota dan lain-lain.” Seperti yang tertulis dalam press realasenya.

Mereka juga mencurigai hilangnya Film Tragedi G30S/PKI dari peredaran dan munculnya
Film-film seperti Gadis berkalung Sorban, Senyap, Jagal, dan Pulau Buru Tanah Air Beta
yang kental sekali aroma kirinya/Komunis merupakan cara PKI membalikkan fakta sekaligus
mem-brainwash wawasan generasi muda tentang sejarah kelam yang terjadi di tahun 65.
http://www.zonasatu.co.id/2016/10/gbn-yogyakarta-pki-sudah-menyusup-ke.html?m=0
Mewaspadai Petualangan Komunis dan Ideologinya di Indonesia
Umum

Letjen Soeharto

Tak terasa sudah 47 tahun bangsa ini mengenang tragedi kemanusiaan yang
memakan korban jutaan jiwa manusia dimana peristiwa tersebut di awali dari
terbunuhnya para jenderal TNI AD pada tanggal 30 September (G30S) 1965
yang kemudian di ikuti dengan pembunuhan massal di berbagai daerah
sebagai proses mengambil alih kekuasaan yang dilakukan oleh Partai
Komunis Indonesia (PKI). Suatu pengkhianatan yang amat sangat
menyakitkan bagi bangsa Indonesia pada waktu itu dimana rakyat Indonesia
tidak sedikit yang menjadi korban keganasan PKI dan simpatisannya.
Peristiwa dimana para jenderal TNI AD terbunuh oleh kelompok petualang
kontra revolusi kemudian dikenal dengan nama G30S/PKI.

Namun sejak reformasi 1998 dimana para Tapol/Napol (eks-PKI) terbebas


dari pulau Buru peristiwa kelam terkait G30S/PKI terlihat semakin kabur dan
tidak jelas. Hal ini di karenakan adanya upaya "cuci otak" dengan dalih
pelurusan sejarah” (tepatnya : cuci tangan) yang di lakukan oleh mantan
Tapol/Napol melalui berbagai cara seperti lewat media cet ak, televisi, bedah
buku, seminar sampai dengan indoktrinisasi. Dengan begitu tidak jarang kita
sering di buat bingung ketika mencari sebuah fakt a sejarah tentang peristiwa
65.

Saat penulis sedang mencari dan mengumpulkan bahan - bahan referensi


tentang peristiwa 65, penulis sendiri juga kerap terjebak dan terbawa arus
buku rekayasa sejarah G30S versi mereka dimana pada intisari G30S/PKI
adalah kudeta yang di lakukan oleh Soeharto untuk menggulingkan
Soekarno serta di anggap sebagai konflik internal AD.

Setiap isi bukunya diusahakan sedetil mungkin layaknya buku cerita (novel)
yang penuh dengan sisi drama dan intrik. Tapi dari semua cerita yang
dikemukakan tidak ada satupun yang bersifat otentik dan dapat melepaskan
mereka dari keterlibatan G30S/PKI. Sebaliknya, tentang keterlibatan
Soeharto pada masa itu hingga saat ini belum bisa di buktikan secara data
dan fakta, cerita yang diungkapkanpun juga cenderung berlebihan dan dikait
- kaitkan, seperti jabatan Pangkostrad yang dimiliki oleh Mayjen Soeharto
pada waktu itu dimana mereka selalu mengkisahkan Pangkostrad Mayjen
Soeharto memiliki pasukan terbesar di angkatan darat (AD) sehingga dengan
jabatan seperti itu Mayjen Soeharto di tuduh memiliki "power" untuk
menggerakkan semua prajurit AD guna melakukan kudeta terhadap
Soekarno. Pada kenyataannya jabatan Pangkostrad pada saat itu tidak
memiliki pasukan seperti yang di tuduhkan oleh eks -PKI (Tapol/Napol).
Meskipun Mayjen Soeharto telah berhasil mengkondisikan AD dan segera
menguasai keadaan itu tak lain karena kecekatannya dalam membaca
situasi, disamping itu pengalamannya sebagai Panglima Mandala saat
Trikora juga telah membuat dirinya yakin dengan kemampuannya sendiri
untuk kembali menghimpun pasukan yang telah terpecah - pecah. Ketika PKI
melakukan usaha kudeta dengan membunuh sejumlah pimpinan AD, tidak
sedikit pasukan TNI yang bertingkah seperti ayam kehilangan induknya, dan
agar tidak semakin liar maka dengan segala kepercayaan dirinya Mayjen
Soeharto mengambil alih pimpinan AD. Karena didalam lingkungan TN I
terdapat suatu sistem yang mengikat (rantai komando) yang wajib ditaati
prajurit, usaha Mayjen Soeharto untuk menyatukan seluruh pasukan AD
yang terpecah dapat dilakukan dengan cepat kecuali bagi pasukan yang
membangkang (insubordinasi) maka Mayjen Soeharto menjadikan mereka
sebagai musuh.

Dalam G30S/PKI keterlibatan kelompok PKI sangat terlihat jelas bahkan


bukti – bukti otentik yang dapat menunjukkan keterlibatan mereka sangat
banyak dan tak terbantahkan. Sebaliknya keterlibatan Soeharto kala itu
hingga saat ini masih belum bisa dibuktikan dan apa yang sedang di
usahakan oleh para eks-PKI untuk menggiring Soeharto sebagai
dalang/pelaku dibalik G30S/PKI dirasa sulit karena seluruhnya bersifat
analogi, persepsi dan hanya analisa seseorang semata yang tent unya
secara hukum sulit untuk di buktikan.

Partai Komunis Indonesia

Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah salah satu partai yang pernah ada di
Indonesia dan berhaluan komunis. Didirikan pada tahun 1914 oleh tokoh
sosialis Belanda bernama Henk Sneevliet dengan nama awal partainya
yaitu Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang artinya
Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda. Lambat laun seiring dengan
semakin bertambahnya pengikut ISDV lama – lama partai ini menjadi
gerakan yang bersifat radikal sehingga kerap melakukan tindakan yang
bersifat melawan pemerintahannya sendiri (Belanda). Pada tahun 1924 Hank
Sneevliet kemudian merubah nama ISDV menjadi Partai Komunis di
Indonesia (PKI).
Tahun 1926, PKI yang sudah merasa memiliki performance dan didukung
massa yang powerfull semakin berani melakukan tindakan – tindakan fisik
hingga berujung pada pemberontakan melawan pemerintahan sah Belanda.
Akan tetapi Belanda masih cukuplah kuat dan berhasil menghancurkan sel –
sel pemberontakan yang di lakukan oleh PKI dan menjadikan PKI sebagai
partai terlarang. Apa yang dilakukan oleh pemerintahan Belanda pada waktu
itu semata – mata tidak ingin keselamatan Negara dan masyarakatnya
terancam akibat kelihaian PKI yang selalu berupaya merongrong dan
menciptakan permusuhan di antara mereka. Meski demikian, dilarangnya
keberadaan PKI oleh pemerintahan Belanda tidak pernah menyurutkan PKI
untuk terus melakukan konsolidasi melalui gerakan bawah tanah (diam –
diam) sampai akhirnya PKI kembali kuat secara kuantitas.

Pengkhianatan PKI di Madiun 1948

Iring - iringan tank Sherman Belanda

Tanggal 18 September 1948, Dimana saat itu bangsa Indonesia sudah


merdeka dan sedang berseteru dengan Belanda baik secara politik maupun
militer tiba – tiba di kejutkan oleh aksi penyerbuan yang dilakukan oleh PKI
Moeso dengan kekuatannya menyerang Markas Besar Pertahanan Jawa
Timur,Sub Teritorial Komando Madiun, Depo Batalyon Korp Polisi Militer dan
Asrama Politik Negara sekaligus melucuti persenjataan Tentara Pela jar (TP),
Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) dan Tentara Geni Pelajar (TGP).
Pemberontakan tersebut bertujuan untuk membentuk Negara baru bernama
Republik Soviet Indonesia (RSI) yang berhaluan komunis sehingga membuat
Soekarno pada masa itu marah besar karena merasa di “tikam” dan di
khianati disaat bangsa Indonesia sedang mempertahankan kemerdekaan
dari tekanan Belanda yang secara militer memiliki kekuatan yang besar dan
lengkap.
Selama di Madiun PKI melakukan pembantaian besar - besaran terhadap
orang yang di anggapnya berseberangan. Selain itu berbagai macam aksi
sabotase, terror serta mengadu domba kekuatan bersenjata kerap di lakukan
PKI. Tentu ini adalah suatu situasi yang sulit bagi perjuangan bangsa
Indonesia dimana TNI bersama seluruh laskar pejuang Indonesia sedang
memusatkan perhatiannya untuk menghadapi Belanda. ”Pilih Sukarno –
Hatta atau Muso dengan PKI-nya” suara Sukarno di perdengarkan lewat
radio untuk seluruh rakyat Indonesia yang terhasut dengan Ideologi PKI.
Sukarno tidak menyangka PKI telah melakukan pengkhianatan besar
terhadap bangsanya sendiri.

PKI dalam aksinya tidak pandang bulu, banyak para tokoh masyarakat,
pejabat daerah, perwira TNI, pimpinan partai, alim ulama dan rakyat yang di
anggapnya sebagai musuh telah di bunuhnya. Melihat kekejaman PKI yang
tidak mengenal peri kemanusiaan serta membahayakan perjuangan bangsa
Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan yang ada maka Panglima
Besar Soedirman segera mengambil keputusan cepat yaitu memerintahkan
Kolonel Gatot Soebroto di Jawa Tengah dan Kolonel Sungkono di Jawa
Timur untuk melakukan penumpasan terhadap kekuatan PKI beserta
simpatisannya yang semakin membahayakan.

Saat melakukan razia dan penggeledahan di rumah salah satu tokoh PKI
Amir Syarifudin pada tanggal 21 September 1948 TNI berhasil
mengamankan sebuah dokumen penting dari kamarnya yang berisi :

“Pasukan yang ada di bawah atau yang pro PKI di tarik dari medan
pertempuran (garis demarkasi) dan ditempatkan di daerah – daerah yang
dianggap PKI strategis. Daerah Madiun akan dijadikan daerah gerilya untuk
melanjutkan perjuangan “oplang termijn” dan daerah Solo dijadikan “wild
west” agar perhatian umum selalu tertuju kesana.selain itu disamping tentara
“resmi” akan didirikan juga tentara illegal juga pemogokan – pemogokan
umum dan tindakan – tindakan kekerasan”

Pada tanggal 30 September 1948, TNI di bantu Polisi dan Rakyat berhasil
menguasai kembali kota Madiun dari tangan PKI dan menembak mati
Moeso, sedangkan Amir Syarifudin dan tokoh – tokoh lainnya yang juga
terlibat di dalam pemberontakan tersebut berhasil di tangkap untuk di jatuhi
hukuman mati.
Terjadinya G30S/PKI

Demonstrasi rakyat Indonesia menuntut PKI di bubarkan

Seperti tidak ada selesainya, tahun 1950 PKI kembali berhasil


mengorganisir kekuatannya selama bergerak di bawah tanah secara
rahasia, PKI kemudian kembali muncul kepermukaan dengan kekuatan
barunya yang di pimpin oleh DN. Aidit. Selama masa pengembaraannya di
tahun 50’an PKI berhasil mendekati dan lengambil hati Presiden RI
Soekarno bahkan menjadi salah satu kekuatan Soekarno berdampingan
dengan TNI. Namun sikap PKI masih tetaplah sama dan tidak berubah yaitu
berambisi menguasai pemerintahan Indonesia dan merubah ideologinya
menjadi komunis. Upaya ini tercium oleh TNI yang sejak awal memang
sudah tidak suka dan menaruh curiga terhadap PKI yang cenderung ugal-
ugalan demi memaksakan pemikirannya kepada bangsa Indonesia dan tidak
segan melakukan penghasutan, penyerobotan, adu domba, pencul ikan
sampai dengan pembunuhan.

Memasuki tahun 1965 dimana kedekatan Soekarno dengan PKI membuat


PKI semakin percaya diri untuk melakukan aktifitas propagandanya termasuk
menantang secara terang - terangan TNI meski hanya sekedar show of force
saat rombongan massa PKI melintasi kesatuan – kesatuan TNI.

Puncak dari petualangan PKI adalah penculikan dan pembunuhan pimpinan


TNI AD melalui Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). PKI menculik para
pimpinan AD dengan mengatasnamakan Presiden Soekarno dan
menuduhnya sebagai Dewan Jenderal yang hendak melakukan Kudeta.
Kejadian tersebut terjadi saat Indonesia sedang berkonfrontasi dengan
Malaysia yang hendak membentuk Negara Federasi Malaysia. Belakangan
diketahui, ide konfrontasi Indonesia – Malaysia adalah gagasan dari pihak
PKI demi ambisi besarnya dengan memanfaatkan kemarahan Soekarno yang
terlanjur marah akibat tindakan Perdana menteri Malaysia yang di paksa
oleh pemuda Malaysia untuk merobek foto Sukarno dan menginjak lambang
burung Garuda. AD yang saat itu tidak mendukung konfrontasi sepenuhnya
melawan Malaysia yang di dukung oleh Inggris dan Australia karena khawatir
akan berakibat fatal bagi bangsa Indonesia yang saat itu masih
mengalami inflasi serta kerusakan ekonomi yang parah, sehingga AD hanya
mengerahkan setengah dari kekuatannya. Apalagi didalam tubuh AD sendiri
juga terindikasi kuat adanya prajurit yang sudah terpengaruh hasutan PKI
dibawah pimpinan Letkol Untung. Saat militer Indonesia redang
berkonfrontasi dengan Malaysia, PKI kembali lagi melakuka n pengkhianatan
seperti di tahun 1946 saat Indonesia sedang melawan Belanda. PKI dengan
segala fitnahnya menuduh jenderal TNI AD berencana melakukan kudeta
serta menculiknya untuk dibunuh. G30S yang di prakarsai PKI di Jakarta
kemudian di ikuti oleh perwakilan – perwakilan (Biro) PKI di daerah beserta
simpatisannya dengan membunuh penduduk yang tidak sepaham dengan
pemikiran mereka.

Mayjen Soeharto yang pada waktu itu menjabat sebagai Pangkostrad


mendengar hal tersebut kemudian mengambil tindakan cepat gu na
mencegah semakin luasnya pengaruh PKI yang telah banyak menimbulkan
korban. Dengan dibantu oleh kekuatan rakyat yang terdiri dari elemen
mahasiswa, ormas, banser dan lain sebagainya Pangkostrad melakukan
sapu bersih terhadap PKI dan simpatisannya. Mereka yang tidak terima
keluarganya menjadi korban pembunuhan sadis yang di lakukan oleh PKI
kemudian ikut memanfaatkan moment tersebut untuk balik membunuh para
pengikut PKI sebagai aksi balas dendam. Tanggal 12 Maret 1966 atas
desakan seluruh elemen masyarakat dan mahasiswa dengan disertai adanya
TRITURA (Tiga Tuntutan Rakyat) yang isinya 1. Bubarkan PKI, 2. Bersihkan
kabinet Dwikora dari unsur – unsur 30 September, 3. Turunkan harga,
memaksa pemerintah membubarkan PKI dan melarang segala aktifitasnya
lewat penerbitan TAP MPRS RI No.XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran
PKI.

Munculnya KGB dan Simpatisannya di Era Reformasi


Reformasi tahun 1998

Sejak di gulirkannya Reformasi tahun 1998, banyak pihak yang meyakini


bahwa di balik peristiwa tersebut yang paling banyak berperan adalah orang
– orang eks-PKI. Mereka melakukan penggalangan kemudian menunggangi
aksi tersebut dengan menyuarakan demokrasi dan Hak Asasi Manusia
(HAM) yang bertujuan untuk memperlebar ruang gerak mereka dimana
selama di bawah kekuasaan orde baru mereka tidak mampu bergerak
dengan leluasa, selain itu adanya UU No 11 Tahun 1963 Tentang
Pemberantasan Kegiatan Subversi juga menjadi ganjalan bagi mereka.

Kehadiran orang – orang yang ingin menghidupkan kembali paham komunis


di era sekarang ini juga tidak jauh dari pengaruh serta usaha mereka yang
kerap di ketahui melakukan aksi penggalangan baik dari golongan
akademisi, buruh, tani, kelompok frustasi dan masyarakat kelas bawah. Cara
merekapun juga sudah berevolusi menyesuaikan situasi dan kondisi saat ini
dan organisasinya tanpa bentuk sehingga mereka di sebut sebagai Komunis
Gaya Baru (KGB). Isu yang kerap di usungnya yaitu Demokrasi, HAM,
Supremasi Sipil, Otonomi Daerah, Pilkada, PHK, Pertanahan dan lain
sebagainya.

Indijasi terlibatnya KGB ini saat reformasi 1998 dapat dilihat dari adanya
tuntutan untuk mencabut TAP MPRS No XXV/1966 Tentang Larangan Partai
Komunis Indonesia, adanya tuntutan hak politik bagi Tapol dan Napol dan
adanya orasi untuk menghapus Komando Teritorial (Koter). Kemu dian pada
tahun 2004 muncul sebuah buku berjudul “Aku Bangga Jadi Anak PKI” karya
Tjiptaning y`ng berprofesi sebagai Dokter yang akhirnya buku tersebut di
musnahkan oleh Kejaksaan Agung lewat instruksinya No INS -
003/A/JA/03/2007.

Baru ini, sebuah media nasional bernama Sindo News pada tanggal 15
Desember 2012 memuat berita tentang ungkapan Pangdam IV/Diponegoro
Mayjen TNI Hardiono Saroso yang diberi judul “PKI Kembali Muncul di
Jateng dan DIY” dimana isi daripada berita tersebut adalah tentang aktiftas
KGB yang saat ini sudah berani melakukan kegiatan secara terang –
terangan dengan dalih “meluruskan” sejarah.

Kontroversi

Seperti yang kita ketahui bahwasannya saat ini peristiwa G30S/PKI yang
terjadi pada tahun 1965 telah di jadikan kontroversi oleh seba gian pihak
khususnya oleh eks-PKI. Berikut perihal yang di kontroversikan :

1. Peristiwa G30S/PKI didalangi oleh Soeharto untuk naik ke tampuk


kekuasaan bekerja sama dengan CIA (Central Inteligent America) untuk
membendung pengaruh komunis yang konon mengkhawatirkan Amerika.
Bukti tersebut ada dari ditemukannya dokumen Gilchrist yang mengatakan
“Army our local friend”

2. PKI menyatakan tidak terlibat dalam G30S/PKI tapi menjadi korban


“pembersihan” yang di lakukan oleh Soeharto bersama militernya di bantu
masyarakat.

3. Soeharto merestui tindakan PKI dengan tidak melakukan pencegahan


setelah beberapa jam di beritahu oleh Kolonel Latief di Rumah Sakit Gatot
Subroto Jakarta terkait akan diadakannya penculikan dan pembunuhan
terhadap para jenderal AD.

Sanggahan :

1. Sejak adanya pengakuan Ladislav Bittmann seorang agen dinas rahasia


Cekoslovakia yang mendapat permintaan dari KGB dinas rahasia Uni Soviet
untuk melakukan disinformasi (penyesatan informasi) agar Angkatan Darat
mendapatkan tuduhan tengah bersekongkol dengan pihak amerika baik dari
masyarakat maupun Sukarno.adanya pengakuan tersebut telah mematahkan
tuduhan keterlibatan Angkatan Darat dengan Amerika dalam peristiwa G30S.
Sebaliknya dalam tulisan Masrshall Green Mantan Duta Besar AS untuk
Indonesia dalam bukunya yang berjudul “Dari Soekarno ke Soeharto”
menggambarkan kebingungan AS saat terjadi Kup di Indonesia di mana
peristiwa tersebut di luar kemampuan AS sehingga hanya mengambil sikap
netral dan tidak ingin ikut campur demi perjuangan bangsa Indonesia sendiri.
Selain itu pihak AS hanya mengumpulkan fakta – fakta dari peristiwa G30S.

“… kejadian tanggal 1 Oktober 1965 merupakan sesuatu yang sangat


mengejutkan bagi kami. Sungguh kejadian itu mengagetkan setiap orang
yang tidak mengetahui rencana yang hendak dilakukan mereka (PKI).”
“Kedutaan Besar dan Washington sepakat sepenuhnya bahwa Amerika
Serikat jangan terlibat dalam peristiwa ini. Kejadian – kejadian di Indonesia
jauh di seberang jangkauan kemampuan kami untuk mengawasinya…”

2. Apabila PKI menyatakan tidak terlibat dalam peristiwa G30S/PKI tentunya


harus didasari bukti – bukti ketidak terlibatannya, sebaliknya dalam peristiwa
tersebut banyak di jumpai bukti kuat bahwa PKI terlibat di baliknya dan
sebagai dalang pembunuhan Jenderal TNI AD. Hal ini dapat di buktikan
dari Pengakuan DN Aidit Ketua CC PKI dalam verbalnya paska tertangkap
oleh satuan Brigade IV Kodam VII/Diponegoro pimpinan Kolonel Yasir
Hadibroto di wilayah jawa tengah.

"Saya adalah satu-satunya yang memikul tanggung jawab paling besar


dalam peristiwa G30S yang gagal dan yang didukung oleh anggota –
anggota PKI yang lain, dan organisasi – organisasi massa di bawah PKI.
Sebagai di ketahui saya mengerjakan rencana untuk menghimpun kekuatan
komunis di jawa tengah…”

Selain itu adanya penuturan Kolonel Latief terkait pembunuhan para jenderal
AD mengatakan bahwa Syam Kamaruzaman yang saat itu menjabat sebagai
Ketua Biro Khusus PKI telah menginstruksikan untuk melakukan
pembunuhan tersebut :

“sebenarnya dalam perundingan tidak ada rencana untuk membunuh para


jenderal. Tapi dalam pelaksanaan lain jadinya. Mula – mula kita sepakati
para jenderal itu untuk di hadapkan kepada Presiden/Pangti bung karno di
istana. Pelaksanaannya oleh resimen “cakrabirawa” yang di komandoi ole h
letkol. Untung, komando pelaksanaan oleh letda arif. Saya dan brigjen.
Suparjo kaget “kenapa sampai mati?” Tanya pak pardjo. Letda arif menjawab
bahwa syam menginstruksikan bila mengalami kesulitan menghadapi para
“jenderal” diambil hidup atau mati. Mereka melaksanakan perintah syam
karena mereka tahu bahwa syam duduk dalam pemimpin intel “cakrabirawa”
Kemudian dari percakapan antara Syam Kamaruzaman dengan John
Lumeng Kewas Mantan Ketua GMNI yang sama – sama menjadi tahanan
ORBA dan satu lokasi dengan Syam dapat di ketahui keterlibatan PKI dalam
G30S. Percakapan tersebut pernah di muat di majalah Detak edisi khusus 29
september 1998.

“ketika berada di luar sel, saya bertemu dengan syam. Dalam kesempatan
itu saya menanyakan mengapa PKI melakukan pemberontakan pada 30
september 1965. Dengan hati – hati dia mengatakan, “bung john perlu tahu,
bahwa memang PKI berniat meng-kup bung karno”, saya Tanya apa
alasannya, dia menjawab “bung karno memimpin revolusi itu secara plin
plan”. Dalam pembicaraan yang singkat itu, syam tidak menyebut
keterlibatan soeharto. Saya tidak mau terlibat lebih jauh. Terus terang saja
situasi waktu itu tidak memungkinkan”

3. Mengenai pertemuan Kolonel Latief dan Soeharto di Rumah Sakit Gatot


Subroto Jakarta, secara logika tentu hal yang sangat tidak masuk akal dan
bisa di katakan sebagai tindakan bodoh serta sembrono apabila sebuah
operasi yang memiliki tingkat kerahasiaan sangat tinggi di bocorkan begitu
saja oleh Kolonel Latief kepada Soeharto yang pada waktu itu masih
berpangkat Letjen. Bagi soeharto waktu beberapa jam sebelum pelaksanaan
G30S masih terbilang cukup untuk melakukan antisipasi dan tindakan
pencegahan. Selain itu pertemuan antara keduanya juga tidak ada saksi
mata sehingga tidak dapat di buktikan kebenarann ya baik itu dari pihak
Kolonel Latief maupun Soeharto.

Jadi jelaslah sudah bahwa dari beberapa keterangan - keterangan di atas


dapat di ambil kesimpulan bahwa PKI berada di balik peristiwa G30S/PKI.
Terkait keterlibatan Soeharto juga tidak ada bukti – bukt yang kuat sehingga
di ragukan. Selain itu tidak ada keterlibatan AS dalam peristiwa G30S/PKI
karena saat kejadian pihak kedutaan AS untuk Indonesia tidak menyangka
dengan peristiwa tersebut.

Eks-PKI Menuntut Permintaan Maaf Pemerintah


Orasi masyarakat menolak Komunis

Ada yang aneh apabila kita mencoba untuk menelisiknya lebih jauh, tentang
posisi mereka yang menempatkan diri sebagai korban 65 kemudian
menuntut pemerintah untuk meminta maaf secara resmi. Keanehan tersebut
adalah sudahkah mereka melakukan hal yang sama meminta maaf kepada
seluruh korban-korban mereka di masa lalu secara terbuka dan resmi ?
Bukankah siapa yang memulai maka dia pula yang harus mengakhiri.
Apabila ingin membangun suatu hubungan yang lebih baik serta bersifat
konstruktif demi kepentingan bersama maka tidak ada salahnya kita
berbuat gentle.

Mengenai adanya pihak yang merasa di“komunis”kan saat terjadi


pembersihan pada masa itu serta tidak adanya pengadilan yang
menjatuhkan vonis bisa dikatakan hal tersebut adal ah dampak luas dari
sebuah aksi massa yang terefleksi akibat adanya sakit hati yang
terakumulasi dimana dulunya mereka juga telah di perlakukan sama yaitu
dimana sebagian anggota keluarganya menjadi korban eksekusi tanpa ada
pengadilan oleh PKI.

Kesimpulan
Front Anti Komunis (FAK) melarang pemerintah mencabut
TAP MPRS No. XXV/1966

1. Melihat bagaimana sepak terjang para petualang komunisme yang


berdiri dan masuk Indonesia sejak tahun 1914 sampai dengan 1965
sudah cukup memberikan kita gambaran dan bukti bahwasannya
keberadaan ideologi komunis adalah ancaman bagi persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia. Dimana dalam implementasinya kerap di
warnai suatu unsur pemaksaan yang tak jarang sering menimbulkan
gesekan sosial dalam penegakannya dan mengarah pada perpecahan.
2. Di Cina sendiri dan Rusia, ideologi komunis sudah masuk kategori
tidak laku sehingga mereka perlu mencari pengganti alternatifnya yang
dapat memberikan dampak yang lebih baik bagi kepentingan besar
mereka khususnya bagi ketahanan ekonomi negaranya. Cina
misalnya, keberhasilan ekonominya yang begitu membumbung tinggi
hingga mampu menjadi Negara yang memiliki ekonomi terbesar kedua
di dunia dikarenakan Cina sudah mulai beralih ke system kapitalis.

3. Meski PKI telah di bubarkan dan partainya telah terlarang hidup di


negeri ini akan tetapi ideologinya (komunis) tidak akan pernah mati
sehingga bangsa Indonesia harus tetap waspada dan tidak boleh
lengah. Sebagai bukti kekekalannya adalah saat ini masih ditemui
adanya kelompok yang berusaha menghidupkan kembali ideologi
komunis meski penciptanya seperti Karl Marx, Lenin dan Mao tse tung
telah lama mati
4. Adanya tuntutan permintaan maaf pemerintah dari kelompok yang
mengaku sebagai korban 65 tentulah sangat tidak masuk akal dimana
nantinya paska permintaan maaf pemerintah akan diwajibkan memberi
uang ganti rugi sebesar 1 milyar per kepala keluarga (KK). Lantas
bagaimana dengan nasib mereka (korban PKI) yang pernah menjadi
korban pembunuhan PKI di masa lalu ? Selain itu yang meletuskan
tragedi 65 adalah mereka (PKI) sendiri bukan pemerintah.
5. Pemerintah atas nama kemanusiaan tidak seharusnya mencabut TAP
MPRS No. XXV/1966 Tentang Partai Komunis Indonesia yang akan
memberikan ruang bagi paham komunis untuk bangkit dan
menyebarnya kembali ajaran Karl Marxis, Lenin dan Mao yang
berpotensi menciptakan suatu konflik horisontal di tengah masyarakat
seperti yang sudah pernah terjadi pada tahun 1924, 1948 dan 1965.
6. Secara umum bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki banyak
sekali perbedaan, dilain sisi itu bisa di katakan suatu kelebihan dan
kekayaan bangsa namun disisi lain perbedaan tersebut dapat berubah
menjadi buah permasalahan apabila tidak mampu di kelola dengan
baik. Ideologi Pancasila sudah terbukti ampuh menyatukan semua
perbedaan tersebut, dari sejak pertama kali di lahirkannya pada
tanggal 1 Juni 1945 sampai dengan saat ini beberapa point yang
terkandung didalam Pancasila telah berkali – kali berhasil menyatukan
pihak yang bertikai sehingga Pancasila dapat di terima oleh
masyarakat luas. Berbeda dengan Komunis yang sejak awal masuknya
di Indonesia sudah di warnai dengan kekerasan serta pemaksaan
sehingga hal ini sangat kontras sekali dan tentu saling bertentangan.
7. Kita sebagai bangsa yang besar dan bersatu, harus bisa semaksimal
mungkin menjauhi yang namanya perpecahan, perselisihan dan
pertikaian yang dapat mengarah pada disintegrasi. Jangan sampai
hanya demi ego kita harus mengorbankan kemerdekaan yang sudah
kita raih dengan susah payah hingga akhirnya hancur berantakan.

Oleh : Y. Aris Setiawan

Sumber Reff:

1. Buku “Mewaspadai Pengkhianatan Partai Komunis” karya Pusat Sejarah


Angkatan Darat

2. Buku “Mengapa G30S/PKI Gagal?” karya Mayjen (Purn) Samsudin

3. Buku “Kudeta 1 Oktober1965 : Sebuah Studi Tentang Konspirasi” karya


Victor M. Fic

4. Prolog G30S 1965: Asal-Usul Dokumen Gilchrist: Permainan Intelijen


Cekoslowakia Berdasarkan Pengakuan Ladislav Bittmann

5. http://www.anneahira.com/proses-peralihan-kekuasaan-politik-setelah-
peristiwa-g30s-pki.htm

6. http://hsoedarsono.blogspot.com/2009_02_01_archive.html

7. http://widhisejarahblog.blogspot.com/2011_10_01_archive.html

8. http://m.sindonews.com/read/2012/12/15/22/697885/pki -mulai-muncul-di-
jateng-diy
http://nirmiliter12.blogspot.sg/2012/12/mewaspadai-kebangkitan-neo-komunis-di.html

Masalah antara PKI dan TNI-AD

SUARA MERDEKA, 23 Juni 2006

PKI Selalu Menjadi Kambing Hitam

Oleh Mohammad Nasih

PERNYATAAN Pangdam Jaya dan Pangdam Siliwangi yang menyebut


lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) disusupi kader-kader
komunis yang tersebar di banyak partai politik menjadi wacana yang
membuat panas elite politik di Senayan.
Beberapa fraksi di lembaga legislatif itu bahkan langsung menanggapi
secara resmi pernyataan tersebut dan melayangkan surat yang
menuntut agar yang bersangkutan menjelaskan pernyataan tersebut
dan segera meminta maaf kalau tidak bisa
mempertanggungjawabkannya.

Pernyataan tentang penyusupan ini adalah pernyataan yang telah


menyulut suasana politik relatif terganggu. Wacana tentang Partai
Komunis Indonesia (PKI) merupakan wacana yang sangat sensitif.
TNI adalah alat negara. Pernyataan tersebut membuat TNI seolah-
olah bukan alat negara, melainkan alat kekuasaan dan berpretensi
kepada ideologi politik tertentu. Menjadikan TNI sebagai alat
kekuasaan secara faktual menyebabkan banyak pelanggaran dan
penyelewengan kekuasaan. Sebagai alat negara, TNI dalam konteks
ini tidak mempunyai hak sama sekali untuk masuk ke dalam wilayah
politik.

Sebagai alat negara agar dapat menjalankan tugas pertahanan


dengan baik, maka personelnya harus bersikap dan bertindak secara
profesional. Lontaran pernyataan yang bukan wewenangnya,
merupakan satu bentuk bukti bahwa profesionalisme yang diharapkan
tersebut belum melekat pada diri prajurit TNI.
Kasus ini membuka mata publik bahwa masih ada oknum-oknum TNI
yang melampaui wewenangnya, melakukan apa saja kecuali tugas
yang seharusnya diemban. Ini adalah sebuah realitas kontraproduktif
untuk menciptakan TNI sebagai alat negara yang netral dan
professional sebagaimana diharapkan reformasi.

Apa pun ceritanya, karena pernyataan tersebut sudah terlanjur


dilontarkan maka untuk menghindarkan fitnah, yang bersangkutan
perlu melakukan klarifikasi, dan jika tidak mampu
mempertanggungjawabkan maka harus secara lapang dada dan besar
hati meminta maaf. Itulah yang harus dikedepankan sebagai prajurit
sejati.
Selain itu, sebagai alat negara yang profesional, jika toh memang ada
penyusupan, seharusnya hanya dijadikan sebagai laporan saja yang
disampaikan kepada pihak intelijen bukan untuk dijadikan sebagai
opini umum.
Ini perlu dijadikan sebagai pengetahuan. Peran TNI hanya diperlukan
jika memang sudah ada indikasi gerakan-gerakan yang
membahayakan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jadi
loyalitas TNI jelas yakni kepada negara bukan kepada rezim dan
ideologi politik tertentu.

Tutup Buku

Seharusnya isu tentang PKI ditutup sampai di sini. Sudah terlalu lama
PKI selalu dikambinghitamkan. Sudah terlalu banyak orang yang
menjadi korban akibat tindakan pengambinghitaman. Padahal yang
mengambinghitamkan tidak selamanya lebih baik daripada yang
dikambinghitamkan itu sendiri.
Isu PKI seringkali , untuk tidak mengatakan selalu, dijadikan sebagai
alat untuk mendiskreditkan kelompok atau individu tertentu guna
membatasi ruang gerak, aktivitas, dan peran dalam masyarakat.
Telah terbukti menjadi alat yang sangat efektif sehingga membuat
rezim dapat melakukan apa saja untuk mempertahankan kekuasaan.

Biasanya individu atau kelompok tersebut dianggap membahayakan


eksistensi rezim. Dulu apabila seseorang tidak mengikuti Orde Baru
dicap PKI, tidak mau digusur dikatakan anak cucu PKI, karena tidak
mau menjual tanah yang memang tidak ingin dijual juga dianggap
pendukung PKI, atau bahkan karena tidak mau mengikuti organisasi
sosial dan politik tertentu juga distempel sebagai antek PKI.
Sekarang zaman sudah berubah. Rezim sudah berganti. Sama sekali
tak ada keuntungan bagi bangsa ini secara berulang-ulang
mendiskreditkan orang atau kelompok lain tanpa bukti yang jelas.
Tindakan seperti itu hanya akan memperburuk kondisi dan menyulut
kecurigaan di antara anak bangsa.

Delegitimasi

Cara-cara pengambinghitaman seperti ini adalah cara-cara lama


untuk melakukan delegitimasi terhadap kelompok tertentu agar tidak
mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.
Dalam konteks tuduhan bahwa DPR telah disusupi, patut diduga
bahwa ada skenario untuk turut mendelegitimasi DPR di mata rakyat
yang sebagian mind set-nya memang anti-PKI. Tindakan ini
hendaknya dihentikan, karena mendelegitimasi DPR sama dengan
berusaha mematikan demokrasi.
Tindakan mem-PKI-kan tersebut sesungguhnya juga menunjukkan
bahwa cara pandang aparat masih belum berubah. Padahal situasi
dan kondisi sudah berubah. PKI menjadi buruk dalam mand set
sebagian masyarakat karena sejak kecil mereka dijejali dengan versi
sejarah tertentu yang menegatifkan PKI.

Namun sesungguhnya itu tidak serta merta berhasil membuat seluruh


orang percaya dengan versi rezim.
Bagi mereka yang kritis dan melakukan akses terhadap penemuan-
penemuan ilmiah kontemporer tentang politik, tentu saja, wacana
mem-PKI-kan individu, kelompok, atau institusi tertentu justru
menunjukkan adanya skenario tersembunyi dari yang mengeluarkan
tuduhan. (11)

--- Mohammad Nasih, M.Si, analis politik di Yayasan KATALIS Jakarta,


Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik UI

***

Sinar Indonesia Baru, 16 Juni 2006

Terkejut, Ada Anggota DPRDSU Hadiri Rapat

Bangkitkan Kembali Komunisme


Ditulis oleh Redaksi

Komisi A DPRD Sumut terkejut mendengar pernyataan Pangdam I/BB


Mayjen TNI Liliek AS di sejumlah media massa tentang adanya digelar
tiga rapat
besar membangkitkan kembali semangat komunisme bergaya baru di
daerah ini di
sejumlah kawasan dan dihadiri oknum anggota DPRD Sumut.

Keterkejutan itu dilontarkan Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris dan


anggota Komisi A DPRD Sumut Ir Bustinursyah Sinulingga, MSc IAI, H
Dahlan
Hasibuan, Ahmad Ikhyar Hasibuan SE, Ir Edison Sianturi, H Abdul
Hakim
Siagian SH MHum, H Nurdin Ahmad, Ir Fanin Nurlita Nainggolan MSc
dan H Amas
Muda Siregar SH kepada wartawan di, Kamis (15/6) di DPRD Sumut
menyikapi
adanya pernyataan Pangdam I/BB, terkait digelarnya tiga rapat besar
untuk
menghidupkan kembali 'gaya komunis' baru di Sumut.

"Ikutnya oknum anggota Komisi A DPRD Sumut dalam rapat besar


yang
dituding Pangdam I/BB 'bergaya komunis' di Sibolangit tidak ada
kaitannya
dengan lembaga legislatif. Itu kebijakan dan tanggungjawab pribadi
oknum
dewan itu sendiri," ujar Sinulingga.

Sebab Komisi A tetap mengacu kepada peraturan dan perundang-


undangan
yang telah menyepakati penolakan segala bentuk tindakan maupun
kegiatan yang
dilakukan komunis, karena dapat menghancurkan NKRI (Negara
Kesatuan Republik
Indonesia).

Dalam kasus ini, Ikhyar, Edison dan Hakim mengatakan, masyarakat


harus hati-hati dan mewaspadai segala bentuk maupun kegiatan yang
dilakukan
kelompok-kelompok yang bergaya komunis baru, sebab komunis itu
dapat tumbuh
subur dalam kemiskinan, kemelaratan dan kesenjangan sosial.

Berkaitan dengan itu, anggota dewan tersebut mendesak Pangdam


I/BB
dan Kapoldasu segera bertindak tegas dengan membubarkan segala
rapat yang
membahas atau yang ada kaitannya dengan bangkitnya kembali
ajaran dan
semangat komunis.

"Sudah saatnya Pangdam dan Kapoldasu menindak tegas segala


kegiatan
yang tujuannya merusak idiologi bangsa, termasuk adanya tiga rapat
besar di
Kecamatan Percut Sei Tuan, di Balai Desa Beringin dan Sibolangit
Deliserdang
oleh LPR-Krob dan KKP HAM," ujar Ikhyar Hasibuan.

Karena dari hasil pertemuan tersebut, telah menghasilkan berbagai


kesimpulan yang erat kaitannya denggan komunis, yakni
pembersihan nama baik
PKI, mensosialisasikan UU No 27/2004 tentang rekonsiliasi korban
G30S/PKI
serta membahas pertanggungjawaban dan penyelesaian negara atas
terjadinya
pembantaian massal G30 S/PKI.

"Kita minta kepada pemerintah maupun DPR-RI agar tidak melayani


segala permintaan yang mengatasnamakan komite bergaya komunis
dan jika
ditemukan adanya kegiatan maupun rapat-rapat yang menjurus
kepada
pembahasannya segera dibubarkan," tegasnya.

Sementara itu, Nurdin Ahmad mengatakan, gaya-gaya bangkitnya


kembali
komunisme baru di Indonesia sudah mulai terendus ke permukaan,
sehingga
membuat suasana menjadi tidak mapan dengan melahirkan berbagai
tindakan
anarkisme tanpa mencari solusi.

"Untuk menghalau kegiatan komunisme ini, sudah saatnya kita


membentuk Forum Anti Komunis Indonesia sejalan dengan TAP MPRS
No 25/1966,
agar gerakan-gerakan ekstrim kekiri-kirian ini bisa segera diamputasi
dari
muka bumi ini," katanya.(A13/
***

Suara Karya, 14 Juni 2006

Waspadai Adu Domba Komunis

Letjen (Purn) Sumarsono


Sekjen DPP Partai Golkar
Pada mulanya gerakan komunis tercermin dalam gerakan Syariat
Islam Merah yang dipimpin Semaun. Setelah itu, muncul antara lain
pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948 dan pemberontakan
PKI pada tahun 1965. Sebelum itu, ada Nasakom (nasional, agama,
dan komunis). Doktrin komunis itu tidak pernah mati.

Karena itu, Sekber Golkar lahir untuk melawan Partai Komunis


Indonesia (PKI) dengan tetap mempertahankan Pancasila dan UUD
1945. Tegaknya Pancasila dan UUD 1945 serta pengembangan
wawasan kebangsaan adalah misi utama perjuangan Golkar.

Sebagai sebuah ideologi, komunis tidak pernah mati. Dia terus


mengembangkan pertentangan antarkelas: kaya miskin, buruh-
pengusaha/majikan, juga petani-tuan tanah.

Kalau dalam demo terdengar teriakan "Lawan!", itu adalah ciri-ciri


gerakan yang disusupi komunis. Eks PKI memang bisa menyusup ke
mana-mana. Secara formal PKI memang sudah dibubarkan, tapi dia
mampu bergerak tanpa bentuk. Komunis bisa menyusup ke lembaga
swadaya masyarakat (LSM) dan partai-partai politik. Kadang-kadang
komunis juga masuk ke organisasi Islam.

Karena itu, elite politik harus waspada. Kadang-kadang tanpa sadar


kita diadu-domba oleh komunis. Dalam konteks pembahasan RUU
Antipornografi dan Pornoaksi (APP), misalnya, masyarakat terbawa
oleh arus pro dan kontra yang saling berhadap-hadapan.

Dalam situasi demikian, elite politik jangan diam hanya karena punya
kepentingan politik. Semua kita harus menjaga terpeliharanya
keamanan dan ketertiban. Karena itu, kalau ada pihak-pihak yang
memaksakan kehendak -- apalagi dengan cara kekerasan -- itu harus
dicegah.

Kita tak perlu serius terbawa oleh isu pengembangan syariat Islam,
termasuk berkaitan dengan RUU APP. Dasar negara kita adalah
Pancasila dan UUD 1945. Itu tidak bisa ditawar-tawar. Tapi kita harus
waspada, karena komunis akan memanfaatkan isu tersebut untuk
mengadu-domba kita sebagai bangsa.
Bahkan di antara sesama umat Islam pun tanpa sadar bisa diadu-
domba komunis. Kelompok Abdurrahman Wahid (Gus Dur), misalnya,
dibuat tersinggung oleh kelompok Islam yang lain -- karena yang
diusik adalah harga diri kelompok. Kalau sudah begitu, rasionalitas
pun ditinggalkan.

Kita ingatkan bahwa komunis tidak pernah mati. Sasaran komunis


adalah orang-orang miskin, karena orang miskin itu labil. Celakanya,
kini banyak anggota masyarakat yang hidup dalam kemiskinan.
Situasi dan kondisi masyarakat yang resah karena kesulitan hidup
merupakan lahan subur bagi bangkitnya komunis. Karena itu,
berbagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat
perlu terus dilakukan

***

Gustaf Dupe
Perhimpunan Perjuangan Rakyat :

Ketakutan kepada "bahaya laten PKI"


Beberapa waktu yl saya buat catatan kecil bahwa ordebaru berhasil
rekonsolidasi dengan sangat sempurna dan kini berkuasa kembali
tanpa figur
Soharto. Akan tetapi kalau pada era ordebaru Suharto itu kaum
imperialis
dalam wajah neoliberalisme dengan sangat bebas memberi dukungan
penuhnya
melalui utang yang disebut "bantuan" melalui Bank Dunia (WB) dan
Dana
Moneter Internasioal (IMF) serta Bank Pembangunan Aasia (ADB),
maka dalam
ordebaru jilid 2nya SBY-JK ini situiasi dan kondisi sosial politik sudah
lain. Resistensi dan rakyat dan gerakan demokrasi ornop/civil
societies yang
berwawasan kebangsaan dan berjiwa patriotik cukup tinggi - melawan
utang
luar negeri, bahkan menuntut penghapusan utang2 haram dari rezim
Suharto.

Era ordebaru Suharto mengharamkan kritik dan beda pendapat


dengan
pemerintah. Yang kritis atau bebeda pendapat dengan pemerintah
pasti
di-PKI-kan atau di-subversifkan, dan konsekuensi minimalnya adalah
dipenjarakan. Kita boleh merasa agak lega atau bersyukur bahwa di
era
transisi menuju demokrasi (yang sangat disayangkan dikuasai
kembali oleh
kekuatan politik dan ekonomi ordebaru) ini penguasa dan aparat
keamanan
serta intelijennya tidak bisa bertindak seleluasa era ordebaru Suharto.
Bukan saja karena resistensi rakyat dan gerakan demokrasi dalam
negeri
melainkan juga hingga batas2 yang cukup kuat ornop/civil societies
internasional memberikan solidaritasnya pada pada resistensi rakyat
Indonesia. Dan civil societies di negeri2 industeri kapitalis itu memiliki
akses dan dapat mempengaruhi pengambil keputusan (pemerintah
maupun
parlemen/kongres) di negeri mereka.

Dalam sikon nasional dan terutama internasional seperti ini


seharusnya para
penguasa negeri ini, termasik militer dan saudagar2nya mau belajar
untuk
mencerdaskan diri agar boleh mengalami pencerahan. Dalam hal ini
nampaknya
yang paling tertinggal dalam cara berpikir dan intelektualitas yang
dinamis
adalah para pimpinan militer. Kita prihatin dan kasihan bahwa mereka
terbelenggu dalam penjara pemikiran dan paradigma dan doktrin
ordebaru yang
sangat ketakutan pada apa yang disebut bahaya laten PKI dengan
komunisme/marxisme/leninismenya, padahal ini sesungguhnya
merupakan bayangan
mereka ciptakan sendiri untuk menakuti rakyat agar "jangan
macam2". Jadi
mereka terjebak sendiri dalam bayangan menyeramkan yang
diciptakannya. Rasa
ketakutan dan miskin intelektualitas ini disuarakan oleh Panglima
Militer
Daerah Jakarta Raya (Pangdam Jaya) dan Pangdam Bukit Barisan
yang mampu
"mencium" keharuman kebangkitan kembali PKI di nusantara ini.
Mereka
ketakutan bayangan yang ada katanya 150 anggota parlemen yang
keturunan PKI.
Gerakan2 buruh, tani dan nelayan yang menuntut keadilan juga
mereka lihat
dan "cium" sebagai bukti kebangkitan kembali PKI. Kasihan memang,
tapi
inilah realita di negeri tercinta ini.

Dalam kondisi berpikir seperti inilah maka Presiden (mantan jederal)


Susilo
Bambang Yudhoyono berani melanggar Undang-undang dengan tidak
mengangkat
anggota2 Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang 42 calonnya
sudah
diserahkan DPR kepadanya setahun yang lalu.

Quo Vadis Republik Indonesia?

***

Kolom: Mayapada 16-06-06


Oleh: Haryo Sasongko

DPR KITA: DISUSUPI KOMUNISME

ATAU DIKUASAI SOEHARTOISME?


Ketika bencana alam berupa letusan Gunung Merapi dan Gempa
Yogya belum berakhir dan nasib korbannya masih tak menentu, tiba-
tiba muncul bencana politik yang kalau tidak segera ditanggulangi
mungkin bisa menelan korban lebih banyak daripada dua bencana
alam tersebut. Bencana politik itu dimulai ketika telunjuk seorang
jenderal mengarah ke DPR, bahwa lembaga yang bermarkas di
Senayan ini telah disusupi lebih dari 100 kader komunis. Spontan saja
Ketua DPR Agung Laksono minta klarifikasi. Bukan hanya kepada
sang jenderal berbintang dua itu, tapi juga kepada sang marsekal
berbintang empat, yang menjadi atasan sang jenderal. Klarifikasi ini
diperlukan agar semua menjadi jelas. Yang mana kader komunis,
yang mana bukan.

Kalau boleh menyambung, klarifikasi itu juga diperlukan supaya ada


kejelasan, yang mana pula kader preman berdasi, mana lagi kader
yang menafikan Pancasila dan ingin menggantinya dengan hukum
agama tertentu. Dan yang terpenting, mana pula kader Orde Baru
yang masih mengusung semangat Soehartoisme. Sebab
Soehartoisme jelas lebih berbahaya daripada komunisme yang di
Indonesia ini sudah hancur lebur berkeping-keping. Meskipun setiap
orang (termasuk anak kecil) bisa menggambar palu arit, rupanya
gara-gara gambar ini, ada wakil rakyat menggigil ketakutan dan
menyerukan "PKI mau hidup kembali". Dari tokoh inilah, yang bahkan
bisa menyebut beberapa nama yang dikategorikan "kader komunis",
bagaikan gayung bersambut akhirnya sampai ke telunjuk sang
jenderal. Pernyataannya yang diliput berbagai media itulah yang tiba-
tiba menjadi bencana politik menyaingi bencana alam yang sudah
menimbulkan derita banyak rakyat kecil.

Kenapa perlu disebut bencana politik? Dari dulu isu politik memang
melahirkan bencana. Dibantainya enam orang jenderal pada 1
Oktober 65 (bukan 30 September 65), karena ada isu politik tentang
Dewan Jenderal yang mau merebut kekuasaan dari tangan Presiden
Soekarno. Ya tujuh jenderal yang dituduh menjadi anggota Dewan
Jenderal itu yang dibantai, tapi seorang lolos. Menyusul kemudian
bergelimpangannya ratusan ribu rakyat yang dibantai karena isu
Dewan Revolusi akan merebut kekuasaan dari tangan Presiden
Soekarno. Konon di mana-mana "orang PKI" sudah menggali lubang
untuk membantai semua orang dari golongan nasionalis dan agama.
Konon para jenderal yang dibantai itu dicongkel matanya, dipotong
alat kelaminnya. Konon pelakunya ya "orang PKI" itu. Karena
berbagai konon itu, maka mereka harus dibasmi sampai ke akar-
akarnya.

Sesudah PKI, anggota, simpatisan, atau bukan siapa-siapa tapi dicap


pengikut PKI dihancurlumatkan oleh isu congkel mata, potong
kelamin dan gali lubang, barulah terjadi perebutan kekuasaan dari
tangan Presiden Soekarno lewat Supersemar yang ditandatanganinya
sendiri. Dan lahirlah TAP MPRS No. No XXV/1966.Yang ini bukan lagi
isu politik, tetapi aksi politik. PKI dan puluhan ormas dengan ratusan
ribu anggotanya yang ada maupun tak ada kaitan dengan PKI,
ditumpas habis atasnama isu konon-konon tersebut.

Cukup menarik pernyataan Agung Laksono ketika bencana politik


yang ditabur sang jenderal bagai angin kencang sampai ke Senayan.
Tokoh yang dikenal kader Golkar ini menegaskan: Anggota keluarga
yang mempunyai sejarah dan keterkaitan dengan PKI, tidak otomatis
mempunyai kesamaan ideologi. Sekalipun TAP MPRS No. XXV/1966
belum dicabut, bukan berarti anggota keluarga, putra-putri,
keponakan mereka, otomatis menjadi kader PKI.

Kini, gara-gara menabur angin begini, sang jenderal harus menuai


badai. Sungguh ajaib, dengan mengingat TAP tersebut, menimbang
sudah banyak gambar palu arit bertebaran mulai di kaos oblong
mahasiswa hingga celana kolor seorang pelajar yang sedang
berolahraga, maka memutuskan bahwa "PKI akan bangkit kembali"
dan menetapkan sekian ratus anggota DPR sebagai kader PKI. Dan
Effendi Choiri dari Komisi I ganti mengacungkan telunjuknya: Ini
gejala mau mengembalikan otoritarianisme Orba dan harus ditentang
karena tidak sesuai dengan demokrasi.

Telunjuk sang jenderal ternyata sangat tumpul. Dia bisa meraba ada
pengikut paham komunisme, tapi tidak bisa meraba banyak pengikut
paham soehartoisme di DPR. Kaos oblong bergambar palu arit
dipersoalkan tapi kaum anarkhis yang mengatasnamakan agama,
merusak dan menghancurkan apa saja yang dimiliki oleh pihak yang
dianggap tidak sepaham dengan mereka, dibiarkan saja. Budaya KKN
ala soehartoisme juga tak tersentuh oleh ujung jari yang amat tumpul
itu. Padahal, andaikata benar komunisme telah menyusup di DPR, itu
baru menyusup. Soehartoisme jelas bukan hanya menyusup tapi
malah menguasai DPR.

Lalu apa solusi yang perlu segera dilakukan berhubung Indonesia ini
negara berdasarkan hukum? Tak ada lain. Tangkap dan seret ke
pengadilan mereka yang memakai kaos oblong maupun celana kolor
bergambar palu arit. Jangan hanya diisukan. Kalau benar mereka
kader PKI dan menyebarkan paham komunisme, sedangkan TAP
MPRS No. XXV/1966 belum dicabut, jelas mereka ini melanggar
hukum dan hukumlah mereka. Lalu bagaimana pula dengan kader
soehartoisme? Yang ini tentu lain lagi. Tak mungkin ada yang bisa
menangkap, karena yang mau menangkap terlebih dahulu harus
menangkap dirinya sendiri, memborgol tangannya sendiri, lalu masuk
bui sendiri.

***

Kolom IBRAHIM ISA


----------------------------
Kemis, 15 Juni 2006.

SASARAN "MEREKA" adalah MEMBEBASKAN SUHARTO.


TIRAI ASAPNYA TERIAKAN-TERIAKAN BAHAYA PKI!

Gerak-tipu dalam suatu peperangan atau dalam pergulatan politik


demi
kekuasaan, dengan menggunakan tirai-asap alias taktik mengalihkan
perhatian untuk mengecoh lawan atau masyarakat secara
keseluruhan,
yang tidak jarang dilakukan dengan meniup-niupkan hantu "bahaya
laten
PKI", tentang "bahaya Komunis", --- bukanlah manuver yang otentik-
asli
hasil pemikiran orang-orang militer ataupun politsi pada periode
"perang dingin". Cara-cara demikian itu dilakukan dengan tujuan
utama
untuk mempertahankan dan/atau memperkuat pengaruh dan
kekuasaan yang
dikeloninya namun dirasakan terancam.

Cara tipu-muslihat seperti yang diuraikan diatas itu jelas bukan pula
hasil pemikiran murni Jendral Suharto.

Cara-cara seperti itu sudah digunakan oleh Hitler dengan berhasil.


Hitler menggunakannya ketika ia berkomplot meregisir pembakaran
gedung Reichstag (Parlemen) Jerman <1934-1935>. Berikutnya
Hitler
melemparkan dosa itu kepada kaum Komunis Jerman. Atas tuduhan
membakar
gedung Reichstag, Hitler dan kaum fasis Jerman berhasil menyeret
tokoh Komunis Dimitrov ke pengadilan dan divonis. Selanjutnya, biar
sejarah bicara sendiri.

Tapi kita juga tahu sejarah . . . .

Hitler kemudian merebut kekuasaan negara Jerman sesudah


memukul kaum
Komunis Jerman. Itu sejarah.

Benarlah adanya, sejarah itu berulang kembali. Kabinet dr Sukiman


(Masyumi) pada pertengahan 1951, ketika meregisir "Razia Agustus"
menjebloskan masuk penjara lawan-lawan politiknya, khususnya PKI
dan
sementara orang-orang PSI, juga dengan mengkopi cara Hitler tsb.
Diregisir suatu apa yang dinamakan "penjerbuan PKI" di pantai
sekitar
Tanjung Priok. Berikutnya ramailah pers Kanan hiruk-pikuk tentang
"bahaya Komunis" di Indonesia.

Kemudian orang-orang PKI, orang-orang demokrat dan sementara


orang PSI
serta sementara kaum oposisi lainnya dijebloskan dalam penjara.
Peristiwa itu terkenal dengan nama "Razia Agustus Sukiman". Ketika
itu
Kabinet Sukiman (Masyumi) sedang sibuk-sibuknya menggalang
aliansi
politik dan militer dengan AS. aliansi itu sesuai dengan strategi
global "Perang Dingin" AS. Kepada pemerintahan Sukiman, AS
menyodorkan suatu aliansi pertahanan bersama untuk menghadapi
'bahaya
Komunis'. Proyek ini dikenal dengan nama MSA, Mutual Security Act
antara RI dengan AS>.

Hitler yang menggunakan taktik "maling teriak malig" telah berhasil.


Namun, dr Sukiman yang juga menggunakan taktik tsb tidak berhasil.
Ia
gagal, kelanjutannya kabinet Sukiman terpaksa gulung tikar. A.l.
karena Presiden Sukarno dan kekuatan demokratis Indonesia
menentang
persekutuan politik/militer anti-Komunis AS. Republik Indonesia
menolak untuk dijadikan boneka AS seperti Chiang Kaishe (KMT) dan
Singhman Rhee(Korsel) ketika itu.
Puluhan tahun kemudian, bukankah taktik itu juga yang digunakan
Jendral Suharto dan klik militernya? Suharto ketika itu mendapat
dukungan penuh kaum agama berhaluan Kanan yang anti-Presiden
Sukarno
dan haus kekuasaan, pada periode tahun- tahun 1965.

***

Cobalah buka-buka kembali dokumentasi pers Orba selama tigapuluh


dua
tahun rezim tsb memonopoli kekuasaan. Orde Baru selalu dan terus
menerus membungkam "anders denkenden" (ini bahasa Belanda,
bahasa
Indonesianya : "yang punya fikiran lain"). Dari dokumentasi itu
terungkaplah bahwa menurut Orba, bahaya nasional, bahaya yang
mengancam bangsa dan negeri, adalah bahaya laten PKI, bahaya
Komunis.
Yang dikatakan bahaya laten PKI dan bahaya Komunis tsb, paling
sering dicanangkan, paling getol diingat-ingatkan, tak
kendur-kendurnya. Paling tidak dan yang sudah pasti ialah pada
setiap
tahun dengan pemutaran film "Pengkhianatan G30S/PKI". Di dalam
film
jang wajib ditonton itu diregisir bagaimana G30S/PKI itu didalangi
oleh PKI dan tentang betapa bahaya dan kejamnya PKI da
Komunisme.

Pendapat umum, pandangan masyarakat, pemikiran kaum muda


yang tak
tahu menahu mengenai G30S, mengenai PKI, mengenai Komunisme,
betul-betul di "brainwashed" habis-habisan. Kampanye media ini
berlangsung terus dari hari ke hari, dari tahun ke tahun, sampai 32
tahun lamanya.

Ternyata propaganda Orba itu berhasil. PKI, kaum Komunis di mata


masyarakat menjuadi suatu kumpulan penjahat, tukang komplot,
pembunuh
yang kejam dan haus kekuasaan. Maka orang-orang PKI dan yang
diduga
atau dianggap berindikasi PKI, dikucilkan, didiskriminasi,
distigmatisasi dan dimerosotkan sampai kepada status lebih rendah
dari
kaum pariah dalam kasta agama Hindu. Mereka dianggap kotoran
masyarakat. Dan ini yan paling dahsyat: Mereka boleh dibunuh -
ekstra
judisial. Tak perlu bukti apakah mereka itu benar-benar melanggar
hukum atau tidak. Tidak perlu proses pengadilan. Tangkap saja,
boyong
ke hutan, pinggir kali, ke pantai, atau ke gua. Habisi nyawanya disitu
juga.Ada satu lagi instruksi atasan: Sebelumnya perintahkan mereka
menggali liang kuburnya sendiri. Sesudah dikubur, kuburannya tak
perlu
diberi tanda apapun. Tidak peduli yang di-dor itu beragama Islam
atau
Kristen, Hindu atrau Konghucu. Habisi semua. Catatlah umumnya
yang
dibantai itu, mati karena peluru yang hanya militer yang memilikinya.
Ini bukan dongeng atau ceritera si fulan belaka. Ini adalah hasil riset.

Mau lebih jelas lagi? Ingin yang lebih mendetail?


Bacalah sebuah buku yang baru terbit(buku ini agak mahal, harganya
US$
115). Tapi baik dibaca. Pertama terbit tahun 2006. Adalah sahabatku
Profesor Dr Frans Hüsken yang memberitahukan kepadaku tentang
baru
terbitnya buku penting ini. Penulisnya adalah Ariel Haryanto, senior
lecturer pada Melbourne Institute of Asian Languages and Societies;
The University of Melbourne. Buku tsb berjudul STATE TERRORISM
AND
POLITICAL IDENTITY IN INDONESIA.

Orang luar tak mengerti mengapa orang-orang Indonesia yang


dikenal
berwatak begitu lemah-lembut dan sopan-santun, kok bisa
melakukan
pembantaian masal demikian kolosal. Mereka heran karena :
Bukanlah
orang yang tidak dikenal yang menghabisi nyawa orang lain. Si algojo
itu ternyata adalah tetangganya sendiri yang dikenalnya dalam
kehidupan sehari-hari. Sang Aljgojo tahu betul bahwa yang dihabisi
nyawanya itu adalah orang-orang yang dikenalnya sebagai anggota
syarikat tani atau syarikat buruh, organisasi pemuda atau wanita,
yang
patuh hukum dan sungguh-sungguh memebela politik nasional
Presiden
Sukarno. Genoside tsb terjadi karena ada kekuatan inti yang
mengendalikan dan mengelolanya: Yaitu kekuatan militer pilihan
Jendral
Suharto dengan dukungan golongan agama tertentu, yang sadar
betul apa
yang mereka sedang kerjakan.

Itulah keberhasilan kampanye kebohongan fihak militer berhari-hari,


berminggu-minggu lamanya mengenai kekekejaman, kebiadaban dan
komplotan pemberontak Koumunis. Komplotan PKI.
Celakannya sebagian yang tidak kecil juga termasuk kaum
cendekiawannya sampai sekarang ini, 8 tahun sesudah gerakan
Reformasi
menggulingkan Jendral Suharto, masih terys termakan brainwashing
Orba.
Ini bisa dilihat a.l. pada seorang dosen Universitas HAMKA, yang
baru-baru ini, sambil duduk enak-enak disamping Kasad TNI, pada
suatu pertemuan di Cilodong, Bogor pada hari Senin y.l. angkat suara
yang lantang sekali, nyaring dan gemuruh menakutkan bagi siapa
yang
bisa ditakutinya.

Berita yang bisa dibaca di media ini: "Dalam pembukaan pekan


olahraga
angkatan darat di Cilodong, Bogor, KSAD Joko Santoso mengatakan
bahwa
intelijen TNI-AD memiliki data tentang anggota DPR yang menjadi
kader
Komunis demikianlah Metro TV melaporkan, tetapi kepada Tempo
pernyataan ini dibantahnya dan dikatakan bahwa ini adalah
pernyataan
Alfian Tanjung (aktivis Islam pemerhati masalah sosial) dalam satu
seminar, tetapi tidak membantah bahwa adanya ancaman bahaya
laten
komunis. Djoko juga mengatakan bahwa pihaknya tidak menutup
kemungkinan akan kebenaran pernyataan Alfian Tanjung. "Karena
ideologi
komunis berkembang," katanya.

Bisa saja mereka itu saling bantah atau saling tuding. Namun, isi
masalahnya sama. Mereka itu, baik sang politisi agama maupun sang
militer, sami mawon mencanangkan tentang betapa bahayanya PKI
yang
sedang bangkit lagi.

Benarkah bahwa mereka-mereka itu sedang siap-siap, sedang


membersihkan senjatanya, untuk memulai lagi pembantaian masalah
terhadap warganegara yang tak bersalah, seperti yang mereka
lakukan
pada peristiwa pembantaian masal 1965. Sesudah mana mereka lalu
sepenuhnya menguasai negara Republik Indonesia.

Seseorang yang melakukan penelitian yang jujur akan melihat bahwa


dalam tahun 1965 sejak gagalnya G30S, bahaya yang paling besar
yang
mengancam negara, bukanlah bahaya Komunis atau bahaya PKI.
Karena PKI
sepenuhnya menyerahkan penyelesaian kasus G30S pada
kebijaksanaan
Presiden Sukarno. Dan Presiden Sukarno tahu betul sikap PKI ini.

Bukankah sudah menjadi pengetahuan umum bahwa yang


membangkang
terhadap Presiden Panglima Tertinggi Ir Sukarno, yang menggerowoti
wewenang politik dan milier Presiden Sukarno, bukanlah PKI, tetapi
adalah Jendral Suharto dan klik militernya. Adalah Jendral Suharto
dan
klik militernya yang memberontak sesudah gagalnya G30S, sesudah
dibunuhnya 6 perwira tinggi pimpinan TNI dan seorang perwira
menengah. Bukankah sesunggunya genosida, pembunuhan masal
terhadap
anggotap-anggota PKI, atau mereka yang dianggap berfihak atau
berindikasi PKI, adalah mereka-mereka yang dianggap pendukung
mantan
Presiden Sukarno ---- yang sebenarnya ketika masih sah kepala
negara
dan kepala pemerintahan. Tetapi dalam kenyataannya, Presiden
Sukarno
sudah tak punya kekuasaan apa-apa lagi. Sehingga apa yang terjadi
dan
berlangsung ketika itu, s e p e n u h ny a ada dibawah regisur dan
tanggungjawab Jendral Suharto yang sudah menyerobot
kepempimpinan
angkatan bersenjata dan kekuasaan negara.

Nyatanya Suharto tetap akan diadili sekarang ini. Jadi, bagaimana.


Itulah salah satu usaha mereka, bikin kampanye tirai asap untuk
menggolkan tujuan membebaskan Suharto dari segala tunutan
hukum.
Gunakan kembali senjata ampuh hantu "bahaya PKI".

Walhasil:
Hiruk-pikuk tentang "Bahaya bangkitnya PKI", tentang
"Penyelundupan
Kader-Kader PKI", semua itu --- sasarannya adalah untuk
mengalihkan
perhatian, untuk membela dan membebaskan Suharo. Bila Suharto
bisa
bebas dari tuntutan pengadilan, mereka fikir, mereka juga akan
terbebaskan dari tuntutan pengadilan, tuntutan hukum atas
pelanggaran
besar yang mereka lakukan terhadap HAM, terhadap tindak korupsi
besar-besaran yang membikin negeri ini nyaris betul-betul bangkrut
dan
terpuruk
***

Dari Heru Atmodjo


15 Juni 2006

Statement ini keluar dari AD, terutama Pangdam-Pangdam


Jaya,dan Surabaya. Mereka belajar, mengambil ajaran
dari Drs. Alfian Tanjung dan Taufik Ismail.

Angakatan Darat dan angkatan perang pada umumnya


missinya apa? Sesuai dengan konstitusi dan
undang-undang yang berlaku sekarang punyakah mereka
hak berpolitik? Panglima punya hak politik itu benar
di zaman Harto, orde baru.Sekarang missinya
mempertahankan negara, merencakan strategi pertahanan,
tidak dalam kontek sosial dan politik.AD masih
bermimpi melanjutkan politik diktatur militer,a la
Suharto. DPR harus panggil jendral-jendral dan KSAD,
mau reformasi atau tetap dikataur orde baru.

Alfian Tanjung dan Taufik Ismail, tidak usah diragukan


mereka pejuang anti-komunis, hendak mendirikan negara
berdasar Syariat Islam.Di dalam negara berazaskan
demokrasi ngomong dan menyampaikan pikiran tidak
dilarang (J.Kalla, Wapres).Tapi kalau kampanye dan
mensubversi dan provokasi ke dalam angkatan perang itu
tidak benar.Angkatan perang itu konstitusinya UUD
45,doktrinnya Sapta Marga dan Sumpah Prajurit.
Falsafah dasarnya Pancasila, bukan syariat
Islam.Pangdam-pangdam itu kini harus
mempertanggungjawabkan kata-kata dan perbuatannya ke
dalam negara, dalam hal ini DPR.Salah-salah mereka
harus dipecat, dengan melaksanakan politik bukan
politik negara yang dipatuhi, dan kepadanya dibebani
tugas dan tanggungjawab militer.

Isu susup-menyusupi itu sebuah isu yang harus


dibuktikan benar adanya, mereka melanggar konstitusi
atau undang-undang. Marilah kita bangun sebuah negara
beradab, berdasar konstitusi, dan undang-undang, bukan
berdasar isu,dan mimpi.

Kalau Alfian Tanjung melempar isu sekarang, maksudnya


apa?
Apa mau bangun jaringan teror? Komunisme itu sudah
ludes diganyang Harto. Di luar, Rusia maupun Cina,
sudah tidak ada komunis lagi, yang ada kapitalis.
Pakistan, Afghanistan dan Iran sudah bergabung dengan
mereka dalam SCO (Shanghai Conference Organization)
yang dikuatirkan oleh Amerika. Jangan ketinggalan
kereta api. Al Qaeda itu dibangun di North Caroline,
USA.
Sajak dan puisi Taufik Ismail apa tidak sebaiknya
dikembangkan berjuang bahu-membahu dengan Akhmadnajeb
dari Iran melawan Amerika, daripada mengisukan angin
busuk. Yang masuk akal galang front persatuan
seluas-luasnya anti-Amerika, bukan bersajak bermimpi
buruk.

***

Media Indonesia 2006-

Anggota TNI Dilarang Bicara Politik

JAKARTA (Media): Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Djoko


Santoso mengingatkan seluruh jajarannya untuk tidak memberikan
statement politik.

"Akan saya beri tahukan kepada jajaran saya agar memberikan


statement hanya sebatas tugas dan wewenang mereka saja," ujar
Djoko dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR di Gedung
MPR/DPR, Jakarta, kemarin.

Peringatan lisan itu dilontarkan KSAD menyusul permintaan dewan


agar TNI, termasuk di dalamnya TNI-AD, tidak mengeluarkan
pernyataan politik. Hal itu terkait dengan munculnya isu komunisme
di kalangan DPR.

"Itu tujuannya agar suhu perpolitikan nasional tak kian memanas.


Karena harusnya TNI justru bisa menghentikan penyusupan
pemikiran tentang itu (komunis). Tapi jangan menyebarluaskannya ke
muka publik dan memunculkan kekhawatiran masyarakat," kata Wakil
Ketua Komisi I DPR Amris Hasan.

Isu munculnya kembali komunisme berawal dari pernyataan Ketua


Gerakan Nasional Patriot Indonesia Alvin Tanjung, dalam sebuah
acara di Makodam Jaya, beberapa waktu lalu. Ia mengatakan, ada
sedikitnya 86 anggota dewan yang menjadi kader komunis.
Pernyataan Akbar itu ditanggapi Pangdam Jaya Mayjen Agustadi
Sasongko Purnomo, dengan merujuk pada sebuah teori bahwa
komunisme memang tidak pernah mati.
Senada dengan Amris, anggota Komisi I DPR Andi Ghalib meminta
TNI tidak lagi masuk dalam wilayah politik. "Bahkan walaupun itu
bentuknya hanya lewat penyampaian pernyataan," katanya.
Peringatan dari dewan yang bernuansa senada juga disampaikan
anggota Komisi I Effendi Choirie. Menurut Choirie, TNI bahkan harus
menyadari betul bahwa mereka bukan lagi pengawal ideologi ataupun
alat politik. Melainkan, sambung dia, alat negara di bidang
pertahanan.

Konsekuensi dari perubahan fungsi itu, menurut Choirie, TNI memang


tidak lagi memiliki hak untuk berwacana tentang politik di depan
publik. Baik itu atas inisiatifnya sendiri maupun mengomentari orang.
"Bahkan TNI juga tak perlu menjawab pertanyaan yang berbau
politik," katanya. (TY/FN/Ant/P-5)
__._,_.___

__,_._,___

***

Suara Karya, 14 Juni 2006

PENYUSUPAN KADER KOMUNIS

DPR Minta TNI Sebut Nama


JAKARTA (Suara Karya): Kalangan anggota Komisi I DPR menantang
Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Badan Intelijen Negara (BIN)
untuk buka-bukaan mengenai penyusupan kader komunis di
lingkungan legislatif. Dalam kaitan ini, Permadi (FPDIP) meminta agar
nama-nama kader komunis yang menyusup ke DPR disebut secara
terang-terangan.

"Ini penting agar tidak terjadi fitnah kepada anggota DPR," kata
Permadi dalam rapat dengar pendapat Komisi I DPR dan KSAD
Jenderal TNI Djoko Santoso di Jakarta, Selasa kemarin.
Permadi mengingatkan, pernyataan Pangdam Jaya dan Pangdam
Siliwangi yang menyebut DPR disusupi kader komunis telah
melampaui kewenangannya, karena memasuki wilayah politik. "Apa
Pangdam punya hak bicara (politik) seperti itu? Kalangan TNI tak
berhak menggulirkan wacana yang dapat melibatkan mereka kembali
ke arena politik," tutur Permadi.

Sementara Wakil Ketua Komisi I DPR Amris Hassan justru meminta


agar isu penyusupan kader komunis ke tubuh DPR tak perlu disikapi
secara berlebihan. Dia beralasan, kini sudah tak ada pelarangan
terhadap aliran dalam politik. "Yang menarik didiskusikan lebih lanjut
adalah soal penyusupannya. Tapi ini cukup dibahas secara internal
oleh partai yang berkepentingan," ucapnya.

Di lain pihak, Effendi Choirie (FKB) mengatakan, TNI harus diingatkan


bahwa mereka kini bukan lagi pengawal ideologi, bukan alat
kekuasaan, dan bukan alat politik. "UU TNI memberikan posisi TNI
hanya sebagai alat negara di bidang pertahanan," katanya.
Karena itu, TNI tak berhak berwacana di depan publik mengenai
masalah politik. "Bukan hak TNI mengatakan di partai ini ada
(anggota) PKI, ada unsur kiri atau kanan. Pembicaraan soal politik
sudah bukan wilayah TNI," katanya.

Sidarto Danusubroto (FPDIP) juga mengatakan, wacana parpol


disusupi kader komunis mestinya tak dipublikasikan secara luas,
melainkan hanya dijadikan bahan laporan kepada pihak intelijen.
"Tidak arif jika itu dijadikan wacana umum," ujarnya.
KSAD Jenderal TNI Djoko Santoso sendiri membantah bahwa TNI
secara resmi melansir nama anggota DPR yang terindikasi merupakan
kader komunis. "Yang disampaikan Pangdam Jaya itu pendapat
pribadi. Sama sekali bukan hasil analisis institusi TNI," ujarnya.

Sementara dosen Universitas Hamka Alfian Tanjung mengatakan,


bukan hanya lembaga DPR yang telah disusupi oleh kader-kader
komunis ini. Kalangan pemuda, pelajar, dan sejumlah organisasi
massa juga telah lama digarap kader-kader komunis, termasuk
kalangan seniman dan budayawan.

Soal itu diketahui Alfian yang sejak delapan tahun lalu melacak dan
memantau kegiatan kader-kader komunis ke beberapa daerah,
khususnya di beberapa kota di Jawa Timur yang merupakan basis
pembinaan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi
massa bermantel PKI.

Menurut Alfian yang Ketua Umum PP Gerakan Patriot Bangsa ini,


sekarang sudah tampak jelas adanya indikasi dan sistematika
kebangkitan Neo PKI di Indonesia. Ini, katanya, sebagai tindak lanjut
pernyataan Ketua CC PKI Sudisman dalam Sidang Mahmilub 1967
yang menyatakan: "Jika saya mati, bukannya berarti PKI ikut mati.
Tidak sama sekali tidak. Walaupun PKI sekarang sudah rusak
berkeping-keping, saya tetap yakin ini hanya sementara. Dalam
proses sejarah, nanti PKI tumbuh kembali. Sebab PKI adalah anak
zaman yang dilahirkan oleh zaman".
Alfian membeberkan, pembenahan konsep jalan baru DN Aidit (sudah
dibunuh prajurit RPKAD/Kopassus di Klaten pada 1967) oleh
Sudisman pada tahun 1969 diubah menjadi strategi organisasi tanpa
bentuk (OTB). OTB adalah organisasi yang bergerak di bawah tanah
dan muncul dalam dua model, yaitu desentralisasi mutlak dan
sentralisasi situasional.

Menurut Alfian, berdasarkan hasil investigasinya, sejumlah organisasi


massa, kalangan pemuda, pelajar dan mahasiswa telah lama disusupi
kader-kader komunis. Namun di antara mereka ada yang melakukan
pergerakan atau aksi bukan karena ideologi, tetapi karena motif
uang. "Mereka mau bergerak karena dibayar," ujarnya.
(Yudhiarma/Seno Atmodjo)

***

Rakyat Merdeka, 13 Juni 2006,

Budiman: Agustadi Bukan Prajurit Sejati


Jakarta, Rakyat Merdeka. Gara-gara melemparkan isu Partai Komunis
Indonesia (PKI) telah menyusupi 150 anggota DPR, nama Pangdam
Jaya Agustadi SP, tercoreng.

“Dia bukan prajurit sejati,” kata bekas Ketua Umum Partai Rakyat
Demokratik (PRD) kepada Situs Berita Rakyat Merdekam siang ini
(Selasa 13/6).

Menurutnya sebagai prajurit sejati, seharusnya Agustadi mengurusi


anak buahnya agar menjadi prajurit profesional, bukan mengurusi
politik.

Budiman menilai selama ini keterpurukan Indonesia tidak bisa


dilepaskan dari kiprah para petinggi militer mengurusi politik. Semasa
Orde Baru berkuasa, militer diajak oleh elit politik untuk memasuki
wilayah politik, yang sebenarhya bukan urusannya.

“Urusan militer adalah menjaga keamanan dan pertahanan negara ini


dari Sabang sampai Marauke. Bukan masuk ke wilayah politik seperti
yang terjadi sekarang ini,” katanya.

Akibat militer bermain di wilayah politik, menurut dia menyebabkan


kondisi Indonesia terseok-seok seperti sekarang ini. Sementara elit
politik gemar menyeret militer untuk wilayah politik.

“Ya jadinya seperti itu,” kata Budiman yang saat ini aktif di Relawan
Pejuang untuk Demokrasi (Repdem) yang merupakan underbow PDIP
ini.

Untuk itu dia mendesak DPR untuk segera memanggil Agustadi untuk
menanyakan langsung kepadanya apa motivasi dan maksud dia
mengeluarkan pernyataan seperti itu. dry.

***

darwiniskandard <darwiniskandard@yahoo.com> , 12 Juni 2006

Alfian lupa bahwa yang diuntungkan dari pertarungan antara


kelompok Islam dengan kelompok Komunis adalah Faksi kanan
Angkatan Darat yang berpihak kepada Imperalis (Tidak semuanya AD
kanan tetapi juga ada yang revolusioner yang tetap setia kepada
Bung Karno). Dari dahulu yang dikambinghitamkan adalah kelompok
Islam atau kelompok Komunis.

Apabila ada bom yang meledak pasti dituduhkan kepada kelompok


Islam dan apabila ada demonstrasi pasti dituduh Komunis dalangnya,
padahal mungkin saja Faksi Kanan AD yang melakukannya untuk
menjaga tuannya (imperialis) dari ancaman kedua kelompok tersebut.
Musuh kelompok Islam dan kelompok Komunis sama yaitu Imperialis,
kok ribut.

Sejarah Sarekat Islam dengan perpecahan antara SI Merah dan SI


Putih jangan dijadikan dendam sejarah anak cucu. SI Merah dan SI
Putih memperjuangkan masyarakat anti penindasan dan
penghisapan, bedanya SI Putih pakai baju (Islam) sedangkan SI
Merah tidak pakai baju (Islam).

Kalau Alfian bangga menjadi orang antikomunis, ribka tjiptaning


bangga menjadi anak PKI, saya bangga menjadi anak Marhaen yang
dari jaman penindasan kolonialisme dan feodalisme sampai sekarang
selalu anti penindasan.

Saya bangga dilahirkan dari rahimnya bangsa pejuang,


bangsa Indonesia. Saya bangga menjadi orang antipenindas baik itu
kanan ataupun kiri. Bangsa Pejuang Tidak pernah berhenti berjuang

.* * *

Suara Karya, 12 Juni 2006

KOMUNIS

Alfian: Bangga Menjadi Antikomunis

JAKARTA (Suara Karya): Dosen Universitas HAMKA Jakarta Alfian


Tanjung menegaskan dirinya bangga menjadi orang antikomunis. Itu
dia kemukakan menanggapi anggota DPR Ribka Tjiptaning
Proletariyati yang lantang menyatakan bahwa dirinya bangga menjadi
anak aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI).

Penegasan Alfian Tanjung itu dikemukakan saat mendampingi


Panglima Kodam Jaya Mayor Jenderal Agustadi Sasongko Purnomo
pada jumpa pers, seusai acara serah terima jabatan Kepala Staf
Kodam Jaya dari Brigjen Pruyanto kepada Brigjen Darpito P, di Aula
Sudiman, Makodam Jaya, Jakarta, Sabtu siang.

Alfian Tanjung yang mengaku sebagai kader gerakan Islam, yang


secara ideologis tidak akan pernah bertemu dengan komunis, kembali
menguraikan upayanya untuk mengumpulkan data-data mengenai
kegiatan kader-kader komunis di berbagai daerah, terutama di Jawa
Timur.

Ketika ditanya mengenai data-data yang dia peroleh, menurut Alfian,


yang paling nyata dan menjadi ikon adalah Ribka Tjitaning
Proletariyati yang telah meluncurkan bukunya pada awal Oktober
2002 dengan judul "Aku Bangga Jadi Anak PKI" dan pada
pertengahan tahun lalu dia meluncurkan buku kedua dengan judul
"Anak PKI Menjadi Anggota Parlemen".

Menurut Alfian, gerakan kader komunis Indonesia pada saat ini sudah
mencapai "stadium empat". "Saya melihat bahwa hal ini merupakan
kelicikan dan kelicinan cara bermain kader-kader komunis - PKI –
sejak dulu. Mereka menunggu sampai orang tidak berdaya dan
kemudian baru memukul mati lawan-lawannya," ujarnya, tegas.

Alfian menyadari bahwa apa yang dia kemukakan itu akan mendapat
reaksi negatif. "Saya katakan, siapapun yang ingin kembali
membangkitkan paham komunis di Indonesia, anda boleh
menganggap sudah cukup di atas angin. Tetapi, Anda akan
berhadapan dengan orang-orang yang siap mati untuk menghadapi
kebangkitan anda," kata Alfian.

Ditegaskan pula bahwa kebangkitan komunis (di Indonesia) sedang


menunggu hari. Ini sangat kentara dengan munculnya buku-buku,
demonstrasi yang menggunakan lambang-lambang Palu Arit dan
kaos-kaos Palu Arit yang banyak dipakai mahasiswa di beberapa
kampus. "Saya pikir bukan persoalan simbul, tetapi persoalan akar
kemengapaan orang-orang itu muncul," katanya.

Alfian juga bersedia menyebutkan nama-nama kader komunis yang


sekarang duduk di DPR, antara lain HM Rusli yang dulu menjadi Ketua
PRD kini menjadi petinggi di PAN. Kemudian Yusuf Lakaseng, yang
dahulu petinggi PKI muda yang sekarang berada di PBR. Dalam
masalah ini, Alfian menyatakan, siap untuk menyebutkan orang-orang
itu satu persatu, asalkan mereka berkata jujur dalam permasalahan
ini.

"Apabila Ribka Tjiptoning yang mewakili PDIP secara terang-terangan


menyatakan, bangga menjadi anak PKI. Maka saya menyatakan,
bangga menjadi antikomunis atau anti-PKI," kata Alfian. Dia
mengatakan, kalau memang harus ada pertarungan lagi, maka hal itu
akan dilanjutkan. "Masalahnya persoalan itu bukan urusan hari ini,
karena negara kita sedang menghadapi berbagai persoalan yang
cukup banyak, multi krisis yang harus ditangani. Intinya ingin saya
katakan, hari ini adalah lahan subur kebangkitan PKI," katanya lagi.

Alfian mengingatkan, pencabutan TAP MPRS Nomor XXV/1966 bukan


persoalan sepele. Itu merupakan kerangkeng keras yang dibangun
dengan tiga implikasi. Karena bila TAP di cabut, berarti PKI tidak
salah. Kalau PKI tidak salah, maka yang salah adalah TNI dan umat
Islam.

"Jika TAP itu dicabut maka mereka (PKI - Red) punya hak untuk
rehabilitasi dan konpensasi. Artinya, pemerintah harus keluarkan
uang Rp 2,5 miliar kali 20 juta klaim anggota mereka. Dengan
demikian PKI juga boleh ikut pemilu 2009. Ini bukan bercanda," kata
Alfian.

Dia mengingatkan, apabila tahun 1948 (tragedi Madiun) sudah


berdarah-darah, tahun 1965 (G30S) kembali berdarah-darah, apakah
itu harus terulang lagi. "Ancaman kebangkitan kembali PKI cukup
serius," ujar Alfian. (M Senoatmodjo)

***

Rakyat Merdeka, 10 Juni 2006

Ribka Tjiptaning Minta Pangdam Jaya

Amankan Jakarta

Tuduhan PKI Mengalihkan Isu

Gara-gara menyebut ada 150 anak cucu Partai Komunis Indonesia


(PKI) di DPR, Pangdam Jaya, Mayjend Agustiadi Susongko Purnomo
diomelin PDI Perjuangan. Adalah Ribka Tjiptaning yang menilai
langkah Pangdam Jaya yang mengungkit-ungkit PKI di DPR sebagai
langkah untuk mengalihkan isu di tengah kegagalan pemerintah,
terutama TNI/Polri dalam menangani berbagai kerusuhan dan aksi
separatis di negara ini.
“Ngapain sih omongin soal itu. Memangnya sudah tidak ada kerjaan
lagi. Sebahaya apakah sih anak cucu PKI di DPR, sehingga perlu
disebut-sebut seperti itu?” Ribka yang juga menjabat Ketua Komisi IX
DPR dari PDI Perjuangan ini. Dengan tegas, Ribka kembali
menegaskan dirinya sebagai salah seorang anak keturunan PKI. “Kita
di DPR ini karena undang-undang telah memperbolehkan anak cucu
PKI untuk menjadi caleg,” ujarnya.

Penulis buku “Anak PKI Masuk Parlemen” ini mendesak agar Pangdam
Jaya lebih berpikir jernih dan tidak buang energi untuk ngurusi anak
cucu PKI. “Lebih bagus Pangdam Jaya amankan Jakarta dan jaga agar
NKRI ini tidak dikuyo-kuyo separatis. Orang Jakarta saja belum
merasa aman tinggal di Jakarta, ini kan tugasnya dia. Jadi, kalau
orang Jakarta masih merasa takut, nggak usah mikirin hal-hal cere,”
desaknya.

Anak buah Megawati ini juga menilai, munculnya pernyataan


Pangdam Jaya soal anak cucu PKI membuktikan kalau selama ini
diskriminasi terhadap anak cucu PKI masih berjalan. “Keadilan yang
dirasakan anak cucu PKI agar bisa berpolitik dan berkehendak masih
separuh hati. Belum tuntas dan bebas,” tegasnya. Kendati demikian,
Ribka tidak membayangkan jika dalam waktu dekat ini pemerintah
akan kembali memberangus anak cucu PKI.

“Kayaknya langkah itu tidak akan diambil. Tapi, kalau diskriminasi


terhadap kami akan terus mereka lakukan,” katanya lagi. Lebih jauh
Ribka berharap, tidak ada lagi ketakutan dan kekhawatiran dari pihak
manapun terhadap anak cucu PKI. “Kita kan nggak mungkin macem-
macem. Ingat, kita nggak pernah minta NKRI porak-poranda. Justru
kita tetap berharap NKRI tetap utuh di bumi pertiwi ini,” ungkapnya.
RCH

http://umarsaid.free.fr/Masalah%20antara%20PKI%20dan%20TNI-AD.htm

Tgl 31 Oktober;1948 : Muso di Eksekusi di Desa Niten Kecamatan


Sumorejo Kabupaten Ponorogo. Sedang MH.Lukman dan Nyoto pergi
ke Pengasingan di Republik Rakyat China (RRC).
Akhir November 1948 : Seluruh Pimpinan PKI Muso berhasil di Bunuh
atau di Tangkap, dan Seluruh Daerah yg semula di Kuasai PKI
berhasil direbut, antara lain : Ponorogo, Magetan, Pacitan, Purwodadi,
Cepu, Blora, Pati, Kudus, dan lain'y.
Tgl 19 Desember 1948 : Agresi Militer Belanda kedua ke Yogyakarta.

Tahun 1949 : PKI tetap Tidak Dilarang, sehingga tahun 1949


dilakukan Rekontruksi PKI dan tetap tumbuh berkembang hingga
tahun 1965.

Awal Januari 1950 : Pemerintah RI dgn disaksikan puluhan ribu


masyarakat yg datang dari berbagai daerah seperti Magetan, Madiun,
Ngawi, Ponorogo dan Trenggalek, melakukan Pembongkaran 7
(Tujuh) Sumur Neraka PKI dan mengidentifikasi Para Korban. Di
Sumur Neraka Soco I ditemukan 108 Kerangka Mayat yg 68 dikenali
dan 40 tidak dikenali, sedang di Sumur Neraka Soco II ditemukan 21
Kerangka Mayat yg semua'y berhasil diidentifikasi. Para Korban
berasal dari berbagai Kalangan Ulama dan Umara serta Tokoh
Masyarakat.

Tahun 1950 : PKI memulai kembali kegiatan penerbitan Harian


Rakyat dan Bintang Merah.

Tgl 6 Agustus 1951 :Gerombolan Eteh dari PKI menyerbu Asrama


Brimob di Tanjung Priok dan merampas semua Senjata Api yg ada.

Tahun 1951 : Dipa Nusantara Aidit memimpin PKI sebagai Partai


Nasionalis yg sepenuh'y mendukung Presiden Soekarno sehingga
disukai Soekarno, lalu Lukman dan Nyoto pun kembali dari
pengasingan untuk membantu DN Aidit membangun kembali PKI.

Tahun 1955 : PKI ikut Pemilu Pertama di Indonesia dan berhasil


masuk empat Besar setelah MASYUMI, PNI dan NU.

Tgl 8-11 September 1957 : Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia di


Palembang–Sumatera Selatan Mengharamkan Ideologi Komunis dan
mendesak Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Pelarangan
PKI dan semua Mantel organisasi'y, tapi ditolak oleh Soekarno.

Tahun 1958 : Kedekatan Soekarno dgn PKI mendorong Kelompok


Anti PKI di Sumatera dan Sulawesi melakukan koreksi hingga
melakukan Pemberontakan terhadap Soekarno. Saat itu MASYUMI
dituduh terlibat, karena Masyumi merupakan MUSUH BESAR PKI.

Tgl 15 Februari 1958 : Para pemberontak di Sumatera dan Sulawesi


Mendeklarasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI),
namun Pemberontak kan ini berhasil dikalahkan dan dipadamkan.
Tanggal 11 Juli 1958 : DN Aidit dan Rewang mewakili PKI ikut
Kongres Partai Persatuan Sosialis Jerman di Berlin.

Bulan Agustus 1959 : TNI berusaha menggagalkan Kongres PKI,


namun Kongres tersebut tetap berjalan karena ditangani sendiri oleh
Presiden Soekarno.

Tahun 1960 : Soekarno meluncurkan Slogan NASAKOM (Nasional,


Agama dan Komunis) yg didukung penuh oleh PNI, NU dan PKI. Dgn
demikian PKI kembali terlembagakan sebagai bagian dari
Pemerintahan RI.

Tgl 17 Agustus 1960 : Atas Desakan dan Tekanan PKI terbit


Keputusan Presiden RI No.200 Th.1960 tertanggal 17 Agustus 1960
tentang "PEMBUBARAN MASYUMI (Majelis Syura Muslimin Indonesia)"
dgn dalih tuduhan keterlibatan Masyumi dalam Pemberotakan PRRI,
padahal hanya karena ANTI NASAKOM.

Medio Tahun 1960 : Departemen Luar Negeri AS melaporkan bahwa


PKI semakin kuat dgn keanggotaan mencapai 2 Juta orang.

Bulan Maret 1962 : PKI resmi masuk dalam Pemerintahan Soekarno,


DN Aidit dan Nyoto diangkat oleh Soekarno sebagai Menteri
Penasehat.

Bulan April 1962 : Kongres PKI.

Tahun 1963 : PKI Memprovokasi Presiden Soekarno untuk Konfrontasi


dgn Malaysia, dan mengusulkan dibentuk'y Angkatan Kelima yg terdiri
dari BURUH dan TANI untuk dipersenjatai dengan dalih
”Mempersenjatai Rakyat untuk Bela Negara” melawan Malaysia.

Tgl 10 Juli 1963 : Atas Desakan dan Tekanan PKI terbit Keputusan
Presiden RI No.139 th.1963 tertanggal 10 Juli 1963 tentang
PEMBUBARAN GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia), lagi-lagi
hanya karena ANTI NASAKOM.

Tahun 1963 : Atas Desakan dan Tekanan PKI terjadi Penangkapan


Tokoh-Tokoh Masyumi dan GPII serta Ulama Anti PKI, antara lain :
KH.Buya Hamka, KH.Yunan Helmi Nasution, KH.Isa Anshari,
KH.Mukhtar Ghazali, KH.EZ. Muttaqien, KH.Soleh Iskandar,
KH.Ghazali Sahlan dan KH.Dalari Umar.

Bulan Desember 1964 : Chaerul Saleh Pimpinan Partai MURBA


(Musyawarah Rakyat Banyak) yg didirikan oleh mantan Pimpinan PKI,
Tan Malaka, menyatakan bahwa PKI sedang menyiapkan KUDETA.

Tgl 6 Januari 1965 : Atas Desakan dan Tekanan PKI terbit Surat
Keputusan Presiden RI No.1/KOTI/1965 tertanggal 6 Januari 1965
tentang PEMBEKUAN PARTAI MURBA, dengan dalih telah Memfitnah
PKI.

Tgl 13 Januari 1965 : Dua Sayap PKI yaitu PR (Pemuda Rakyat) dan
BTI (Barisan Tani Indonesia) Menyerang dan Menyiksa Peserta
Training PII (Pelajar Islam Indonesia) di Desa Kanigoro Kecamatan
Kras Kabupaten Kediri, sekaligus melecehkan Pelajar Wanita'y, dan jg
merampas sejumlah Mushaf Al-Qur’an dan merobek serta menginjak-
injak'y.

Awal Tahun 1965 : PKI dgn 3 Juta Anggota menjadi Partai Komunis
terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. PKI memiliki banyak Ormas,
antara lain : SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia),
Pemuda Rakjat, Gerwani, BTI (Barisan Tani Indonesia), LEKRA
(Lembaga Kebudayaan Rakjat) dan HSI (Himpunan Sardjana
Indonesia).

Tgl 14 Mei 1965 : Tiga Sayap Organisasi PKI yaitu PR, BTI dan
GERWANI merebut Perkebunan Negara di Bandar Betsi, Pematang
Siantar, Sumatera Utara, dgn Menangkap dan Menyiksa serta
Membunuh Pelda Soedjono penjaga PPN (Perusahaan Perkebunan
Negara) Karet IX Bandar Betsi.

Bulan Juli 1965 : PKI menggelar Pelatihan Militer untuk 2000


anggota'y di Pangkalan Udara Halim dgn dalih ”Mempersenjatai
Rakyat untuk Bela Negara”.

Tgl 21 September 1965 : Atas desakan dan tekanan PKI terbit


Keputusan Presiden RI No.291 th.1965 tertanggal 21 September 1965
tentang PEMBUBARAN PARTAI MURBA, karena sangat memusuhi PKI.

Tgl 30 September 1965 Pagi : Ormas PKI Pemuda Rakjat dan Gerwani
menggelar Demo Besar di Jakarta.

Tgl 30 September 1965 Malam : Terjadi Gerakan G30S/PKI atau


disebut jg GESTAPU (Gerakan September Tiga Puluh) : PKI Menculik
dan Membunuh 6 (enam) Jenderal Senior TNI AD di Jakarta dan
membuang mayat'y ke dalam sumur di LUBANG BUAYA Halim,
mereka adalah : Jenderal Ahmad Yani, Letjen R.Suprapto, Letjen
MT.Haryono, Letjen S.Parman, Mayjen Panjaitan dan Mayjen Sutoyo
Siswomiharjo. PKI jg menculik dan membunuh Kapten Pierre Tendean
karena dikira Jenderal Abdul Haris Nasution. PKI pun membunuh AIP
KS Tubun seorang Ajun Inspektur Polisi yg sedang bertugas menjaga
Rumah Kediaman Wakil PM Dr.J.Leimena yg bersebelahan dgn Rumah
Jenderal AH.Nasution. PKI jg menembak Putri Bungsu Jenderal
AH.Nasution yg baru berusia 5 (lima) tahun, Ade Irma Suryani
Nasution, yg berusaha menjadi Perisai Ayahanda'y dari tembakan
PKI, kemudian ia terluka tembak dan akhir'y wafat pd tanggal 6
Oktober 1965.
G30S/PKI dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung yang membentuk tiga
kelompok gugus tugas penculikan, yaitu : Pasukan Pasopati dipimpin
Lettu Dul Arief, dan Pasukan Pringgondani dipimpin Mayor Udara
Sujono, serta Pasukan Bima Sakti dipimpin Kapten Suradi. Selain
Letkol Untung dan kawan-kawan, PKI didukung oleh sejumlah Perwira
ABRI (TNI/Polri) dari berbagai Angkatan, antara lain :

Angkatan Darat : Mayjen TNI Pranoto Reksosamudro, Brigjen TNI


Soepardjo dan Kolonel Infantri A. Latief.

Angkatan Laut : Mayor KKO Pramuko Sudarno, Letkol Laut Ranu


Sunardi dan Komodor Laut Soenardi.

Angkatan Udara : Men/Pangau Laksda Udara Omar Dhani, Letkol


Udara Heru Atmodjo dan Mayor Udara Sujono.

Kepolisian : Brigjen Pol. Soetarto, Kombes Pol. Imam Supoyo dan


AKBP Anwas Tanuamidjaja.

Tgl 1 Oktober 1965 : PKI di Yogyakarta jg Membunuh Brigjen


Katamso Darmokusumo dan Kolonel Sugiono. Lalu di Jakarta PKI
mengumumkan terbentuk'y DEWAN REVOLUSI baru yg telah
mengambil Alih Kekuasaan.

Tgl 2 Oktober 1965 : Letjen TNI Soeharto mengambil alih


Kepemimpinan TNI dan menyatakan Kudeta PKI gagal dan mengirim
TNI AD menyerbu dan merebut Pangkalan Udara Halim
Perdanakusuma dari PKI.

Tgl 6 Oktober 1965 : Soekarno menggelar Pertemuan Kabinet dan


Menteri PKI ikut hadir serta berusaha Melegalkan G30S, tapi ditolak,
bahkan Terbit Resolusi Kecaman terhadap G30S, lalu usai rapat Nyoto
pun langsung ditangkap.

Tgl 13 Oktober 1965 : Ormas Anshar NU gelar Aksi unjuk rasa Anti
PKI di Seluruh Jawa.

Tgl 18 Oktober 1965 : PKI menyamar sebagai Anshar Desa


Karangasem (kini Desa Yosomulyo) Kecamatan Gambiran, lalu
mengundang Anshar Kecamatan Muncar untuk Pengajian. Saat
Pemuda Anshar Muncar datang, mereka disambut oleh Gerwani yg
menyamar sebagai Fatayat NU, lalu mereka diracuni, setelah
Keracunan mereka di Bantai oleh PKI dan Jenazah'y dibuang ke
Lubang Buaya di Dusun Cemetuk Desa/Kecamatan Cluring Kabupaten
Banyuwangi. Sebanyak 62 (enam puluh dua) orang Pemuda Anshar
yg dibantai, dan ad beberapa pemuda yg selamat dan melarikan diri,
sehingga menjadi Saksi Mata peristiwa. Peristiwa Tragis itu disebut
Tragedi Cemetuk, dan kini oleh masyarakat secara swadaya dibangun
Monumen Pancasila Jaya.

Tgl 19 Oktober 1965 : Anshar NU dan PKI mulai bentrok di berbagai


daerah di Jawa.

Tgl 11 November 1965 : PNI dan PKI bentrok di Bali.

Tgl 22 November 1965 : DN Aidit ditangkap dan diadili serta di


Hukum Mati.

Bulan Desember 1965 : Aceh dinyatakan telah bersih dari PKI.

Tgl 11 Maret 1966 : Terbit Surat Perintah Sebelas Maret


(Supersemar) dari Presiden Soekarno yg memberi wewenang penuh
kepada Letjen TNI Soeharto untuk mengambil langkah Pengamanan
Negara RI.
B
Tgl 12 Maret 1966 : Soeharto melarang secara resmi PKI. Bulan April
1966 : Soeharto melarang Serikat Buruh Pro PKI yaitu SOBSI.

Tgl 13 Februari 1966 : Bung Karno masih tetap membela PKI, bahkan
secara terbuka di dalam pidatonya di muka Front Nasional di Senayan
mengatakan : ”Di Indonesia ini tdk ada partai yg Pengorbanan'y
terhadap Nusa dan Bangsa sebesar PKI…”

Tgl 5 Juli 1966 : Terbit TAP MPRS No.XXV Tahun 1966 yang ditanda-
tangani Ketua MPRS–RI Jenderal TNI AH.Nasution tentang
Pembubaran PKI dan Pelarangan penyebaran Paham Komunisme,
Marxisme dan Leninisme.

Bulan Desember 1966 : Sudisman mencoba menggantikan Aidit dan


Nyoto untuk membangun kembali PKI, tapi ditangkap dan dijatuhi
Hukuman Mati pd tahun 1967.

Tahun 1967 : Sejumlah kader PKI seperti Rewang, Oloan Hutapea


dan Ruslan Widjajasastra, bersembunyi di wilayah terpencil di Blitar
Selatan bersama Kaum Tani PKI.

Bulan Maret 1968 : Kaum Tani PKI di Blitar Selatan menyerang para
Pemimpin dan Kader NU, sehingga 60 (enam puluh) Orang NU tewas
dibunuh.

Pertengahan 1968 : TNI menyerang Blitar Selatan dan


menghancurkan persembunyian terakhir PKI. Dari tahun 1968 s/d
1998 Sepanjang Orde Baru secara resmi PKI dan seluruh mantel
organisasiya dilarang di Seluruh Indonesia dgn dasar TAP MPRS
No.XXV Tahun 1966. Dari tahun 1998 s/d 2015
Pasca Reformasi 1998 Pimpinan dan Anggota PKI yg dibebaskan dari
Penjara, beserta keluarga dan simpatisanya yg masih mengusung
IDEOLOGI KOMUNIS, justru menjadi pihak paling diuntungkan,
sehingga kini mereka meraja-lela melakukan aneka gerakan pemutar
balikkan Fakta Sejarah dan memposisikan PKI sebagai PAHLAWAN
Pejuang Kemerdekaan RI. Sejarah Kekejaman PKI yg sangat panjang,
dan jgn biarkan mereka menambah lagi daftar kekejamanya di negeri
tercinta ini..

Di Tanjung Pandan, Achmad bersekolah HIS (Hollands Inlandsche


School). Kemudian, antara tahun 1936-38, atas permintaannya sendiri
kepada ayahnya, dia diantar pamannya ke Jakarta. Di Jakarta, sesudah
tamat HIS, dia belajar di Sekolah Dagang Menengah (Handels School). Di
sinilah dia terjun dalam pergerakan pemuda hingga memperoleh
kesempatan berhubungan dengan Barisan Pemuda Gerindo yang dipimpin
Wikana, Ismail Widjaja, A.M. Hanafi dan lain-lain, dan dengan
Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia yang diketuai Chaerul Saleh.
Waktu itu, dia meminta ayahnya untuk menyetujui pengubahan namanya
menjadi Dipa Nusantara, dengan tetap mencantumkan nama ayahnya.

”Permintaan itu dikabulkan. Nama Dipa Nusantara itu untuk menghormati


perjuangan pahlawan Diponegoro dan agar memberi inspirasi kepada
Aidit dalam usahanya membebaskan Negara Nusantara. Cara mengubah
nama atau memilih gelar yang mengandung arti politik sudah agak biasa
di kalangan pemuda nasionalis (misalnya A.M. Hanafi diberi gelar Anak
Marhaen).”

Nama ayahnya Abdullah Aidit, seorang buruh perkebunan tamatan


sekolah HIS. Dipa Nusantara Aidit kelahiran Medan tanggal 30 Juni 1923.

Kemudian keluarganya pindah ke Belitung dan di sanalah ia menamatkan


sekolah dasar. Saudaranya 4 dengan dia, semuanya lelaki: Basri, Sobron,
Murad, dan D.N. Aidit.
Semuanya pengikut Marx dan Lenin hanya ada yang aktif ada yang tidak.
Ibunya meninggal tatkala bung Aidit berumur 6 tahun.

Di Belitung ada tambang. Sering bung Aidit bersama teman-temannya


masuk ke tambang sampai 200 m di bawah tanah. Kontras antara
kehidupan buruh dan majikan berkesan padanya.

Begitu pula nasib yang dialami ayahnya. Sekalipun pendidikannya lebih


tinggi, ia tetap buruh, sedangkan kepalanya, orang Belanda yang lulus
sekolah dasar saja tidak, lagi tolol dalam pekerjaan.

Abdullah Aidit oleh anaknya dilukiskan sebagai seorang Muslim liberal.


Liberal dalam arti membiarkan anak-anaknya memilih ideologi, lapangan
hidup dan kawan hidup menurut kehendak mereka sendiri-sendiri.

Sekitar tahun 1937 bung Aidit tiba di Jakarta, masuk sekolah dagang
sambil mengikuti kursus bahasa-bahasa asing. Karena biaya macet, tidak
sampai tamat.

Nama Aidit datang dari ayahnya, Abdullah Aidit, seorang aktivis Masyumi.

”Orangtua saya tinggal selalu di pinggir hutan, sebab kerjanya sebagai


mantri-hutan, atau mantri-kayu. Sebenarnya dengan ukuran sekarang
tidak jauh, 7 km jaraknya dari Tanjung Pandan. Nama desanya Air Raya,”
tulis Sobron.

Maka Amat muda pun tinggal di rumah pamannya, Busu Rachman, yang
ternyata guru mengaji, ”Kami seluruh bersaudara tamat mengaji,
khatam. Termasuk Bang Amat.”

Sobron berkisah panjang lebar, bahwa di Belitung waktu itu, pada saat
anak siapa pun tamat membaca al-Quran, akan diperlakukan seperti raja
dalam suatu perayaan tradisional yang meriah. Termasuk ketika Amat
muda itu juga khatam al-Quran.

Dalam kenangan Murad, ”Bang Amat sering diminta untuk


mengumandangkan azan, karena suaranya dianggap keras dan lafadsnya
jelas.”

Ia memasuki Persatuan Timur Muda. Anggotanya dari aneka macam


golongan termasuk keturunan Arab dan Tionghoa. Katanya, “Sejak dulu
saya menentang rasialisme.”

Ia berkenalan dengan Wikana pemimpin Gerindo. Kenal pula dengan Amir


Sjarifudin SH. “Besar pengaruhnya terhadap saya. Ia seorang intelektual
yagn militan, yang mengintegrasikan diri dengan massa rakyat. Pejuang
gigih melawan fasisme. Berwibawa dan berwatak.”

Resmi menjadi anggota partai komunis pada zaman Jepang.


Perantaranya, Widarta. Terjadi pada Juli 1943, umurnya waktu itu 20
tahun.

Mengapa? Karena PKI menentang fasisme Jepang secara konsekuen. Ia


pun turut memimpin Gerakan Indonesia Merdeka, suatu gerakan di
bawah tanah bersama Chairul Saleh, Sidik Kertapati, Lukman.

Gedung Menteg 31 memainkan sejarah penting. Di situ tempat institut


pendidikan politik Angkatan Baru Indonesia dalam zaman Jepang.
Direkturnya Wikana.

Guru-gurunya tokoh-tokoh pergerakan Bung Karno, Hatta, Syahrir, Moh.


Yamin, Soebarjo, Iwa Kusumasumantri. Pelajaran yang diberikan Hukum,
Filsafat, Sosiologi, Sejarah Politik, Ekonomi.

“Di situlah saya mendapat pendidikan politik yang lebih sistematis,”


sambungnya. Ditambahkannya pula sejak saat itu ia mengenal perbedaan
Soekarno dan Hatta.

Bung Karno seorang intelektual yang mengintegrasikan diri dengan massa


rakyat yang percaya akan massa aksi. Dengan indoktrinasi dan agitasi
menerapkan ide-ide ilmiah kepada massa.

Pada tanggal 15 Agustus 1945 itu dari seorang wanita Indo, Aidit
mendengar berita Jepang sudah kalah. Sore harinya di gedung Menteng
31 berkumpul kira-kira 13 pemuda dipimpin oleh Chairul Saleh. Serentak
semuanya sepakat: Sekarang juga merdeka!

Untuk itu dibutuhkan pimpinan, kalau tidak akan terjadi kekacauan. Juga
harus dijaga jangan sampai pemimpin-pemimpin yang patriotik
diserahkan sebagai inventaris Jepang kepada Sekutu.

Empat pemuda diutus rapat menghadap Bung Karno. Suroto Kunto, D.N.
Aidit, Subadio Sastrosatomo, dan Wikana, yang bertindak sebagai juru
bicara.

Mula-mula terjadi perbedaan paham akhirnya tiba juga saatnya 17


Agustus 1945 jam 10 pagi di gedung Pegangsaan Timur 17, proklamasi
kemerdekaan.

Tiga hari tiga malam Aidit dan kawan-kawan tidak memejamkan mata.
Dan proklamasi barulah permulaan. Ia bandingkan dengan proklamasi
RRC, Vietnam.
Pada kedua negara itu, mereka menduduki beberapa daerah dengan
kekuatan senjata, baru proklamasi. Kita proklamasi dulu baru
dipertahankan terhadap musuh.

Pada September 1945 setelah rapat raksasa Ikada tanggal 9 September,


Aidit ditawan Jepang bersama dengan Hanafi, Adam Malik.

Kepala penjara Bukitduri waktu itu Pak Thayeb, ayah Prof. Dr. Syaril
Thayeb, Rektor Universitas Indonesia. Dengan bantuan pak Thayeb
mereka lolos ketika penjaga membuka pintu untuk mengantarakan
makanan dan obat.

Dalam pertempuran di Jatinegara ia ditawan pasukan Inggris, diserahkan


kepada Belanda dan selama 7 bulan ditahan di pulau Onrust. Baru lepas
setelah perjanjian Linggarjati.

Ia terus ke Solo, tempat CC PKI pada waktu itu. Dalam Kongres IV PKI
1945 Aidit mewakili PKI Solo. Dalam kongres itu ia bertemu dengan
Njoto, wakil dari Jember. Ia terpilih menjadi anggota Central Komite PKI.

Menurut buku Arnold C. Brackman Indonesian Communism, sekitar tahun


1949 itu Aidit keluar negeri. “I left Indonesia because I was eager to learn
about the world.” (Saya meninggakan Indonesia karena saya ingin sekali
mempelajari dunia) katanya kepada Brackman menurut buku itu.

Setelah terjadinya “peristiwa Madiun” 1948, PKI kehilangan poros


pimpinan. Pada 1950 Aidit mulai menyusun konsep anggaran dasar baru.

Dan pada sidang CC tahun berikutnya ia terpilih menjadi Sekretaris.


Tahun 1951 bersama Njoto ia hendak menghadiri kongres partai komunis
Nederland.

Waktu itu kalau mau ke Belanda tak diperlukan visum. Sampai di


lapangan terbang Schiphol keduanya tak dibolehkan turun. Disuruh
pulang kembali.

Komentarnya, “Kami disuruh bayar lagi. Tentu saja kami tolak. Kan
mereka yang memulangkan kami.”

Pada Kongres IV PKI 1954 peremajaan pimpinan PKI berhasil. Sekjen


D.N. Aidit (31 tahun), kedua wakilnya MH Lukman (34 tahun), dan Njoto
(29 tahun).

Pada 1959 diubah menjadi Ketua Rekan dan anak buah menyebutnya
“Kawan ketua Aidit”. Salam mereka bukan membungkuk (ini feodal
bukan?) tetapi angkat tangan sambil tersenyum.
Agitas, organisasi, dan mobilisasi massa adalah garis baru yang
ditegaskan PKI selama ini. S

Dalam kedudukan sebagai Ketua CC, Aidit sering kali melawat ke luar
negeri. Menghadiri kongres-kongres di Moskow dan negara-negara
komunis lainnya.

Katanya ini perlu baginya. Karena merupakan bahan perbandingan yang


bermanfaat dalam “mengindonesiakan” partai komunis.

Kawan hidup Aidit seorang dokter spesialis atom untuk kesehatan tetapi
juga seorang aktivis Gerwani. Namanya, nyonya dokter Tanti Aidit.
Mereka kawin pada tahun 1948, rupanya di Solo.

“Sebenarnya anak saya 4, tetapi karena yang bungsu kembar jadi 5,”
kata Aidit

Tatkala nyonya Tanti mengadakan spesialisasi di Moskow, anak-anaknya


turut serta. Dua anak perempuan yang tertua sekolah di sana sampai
sekarang, 1 SM, 1 SD. Tiga yang di rumah semuanya lelaki. Dokter Tanti
Aidit kini mengajar pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Aidit berkendaraan mobil mentereng Dodge hitam karena sebagai wakil


ketua MPRS ia adalah Yang Mulia Menteri.

Karena itu kader-kader PKI sendiri diwajibkan mengikuti pelajaran. Untuk


itu dibuka Akademi-akademi seperti Akademi Ali Archam, Dr. Rivai, Dr.
Ratulangi, dll.

Anda mungkin juga menyukai