Anda di halaman 1dari 8

BAB 18

PERIODE PEMERINTAHAN LIBERAL

Pada Pidato 17 Agustus 1960, Bung Karno membagi


Periodisasi Revolusi Indonesia ke dalam tiga tingkatan, yaitu:
1) 1945 – 1950 : Periode Physical Revolution
2) 1950 – 1955 : Periode Survival,
3) 1955 – sekarang : Periode Investment.140
Produk KMB adalah RIS dengan Konstitusinya UUD RIS,
di mana RI dengan Ibu Kotanya Yogyakarta merupakan salah satu
negara bagian RIS. Dalam periode RIS ini amat terasa ketegangan
antara rakyat yang berwawasan Republikein dengan kelompok
yang berpihak kepada pejabat negara boneka. Periode survival bagi
Revolusi Indonesia terdukung lebih kuat, ketimbang kapitulasi
(menyerah) kepada formula–formula yang disebarkan oleh pihak
Belanda. Memang Belanda masih berupaya menjalankan
semacam Pemberontakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di
Bandung, atau Pemberontakan Andi Azis di Makassar dan juga
Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) oleh Soumokil di Maluku
yang semuanya bertujuan mempertahankan konsep kolonial di
Indonesia. Akan tetapi gerakan kontra revolusi ini tidak disambut
oleh rakyat, sebaliknya dipukul dan dihancurkan bekerjasama
dengan aparat negara.
Kesan yang tidak pernah terlupakan pada masa RIS ini
adalah “Gunting Uang” oleh Menteri Keuangan Syafruddin
Prawiranegara bulan Maret 1950 yang kemudian terkenal dengan
sebutan ‘Gunting Syafruddin’. Yang dimaksudkan dengan
gerakan gunting uang ini adalah lembaran 5 Rupiah (waktu itu
masih Gulden–Rupiah Belanda) dipotong hingga bernilai hanya
2,50 Rupiah. Walaupun rakyat tidak berdemo, seperti halnya
rakyat pun tidak mengugat obligasi tahun 1946, akan tetapi
kebijakan gunting uang ini memang sangat merugikan rakyat.

140 Soekarno. Op.cit. DBR II, Hal,396.


 Tahun 1946, tidak lama setelah keluar Oeang Republik Indonesia (ORI), pemerintah
mengajak rakyat membantu pemerintah dengan membeli obligasi, dengan janji akan
dibayar setelah perang.
Ketidaksenangan rakyat terhadap kebijaksanaan
pemerintah tersalur kepada ketidaksenangan terhadap sistem
federalisme. Di setiap negara bagian mulai dari Negara Jawa
Timur, Negara Pasundan, Negara Borneo, Negara Indonesia Timur,
Negara Madura muncul Kongres Rakyat. Kongres Rakyat ini
mendesak negara–negara bagian membubarkan diri dan menyatu
kembali dalam bentuk negara kesatuan. Sementara itu, tanggal 24
Juli 1950, UUD Sementara Negara Kesatuan selesai disusun.141
Bung Karno mengatakan di tahun 1950 itu:
“Nah, saudara–saudara. Ini hari kita berdiri kembali di bumi Negara
Kesatuan. Ia harus kita perlengkapkan. Ia harus kita bangun.”142
Sesuai dengan UUD Sementara, maka sistem
pemerintahan Liberal berlaku di Indonesia. Sistem ini memang
sudah dilaksanakan pada masa revolusi fisik, sejak Sutan Syahrir
menjadi Perdana Menteri. Artinya cara Parlementarisme sudah
terbiasa bagi kaum elit di Indonesia. Sayangnya, pada tahun 1950
itu belum jelas kekuatan partai politik yang ada sebab belum
berlangsung pemilihan umum.
Namun demikian di DPR, Masyumi merupakan partai
terbesar di ikuti oleh PNI. Maka wajar setelah diberlakukannya
negara kesatuan, Partai Masyumi ditunjuk oleh Presiden menjadi
formatur kabinet yang akhirnya menghasilkan Kabinet Moh.
Natsir. Kabinet Natsir dimosi tidak percaya oleh PNI dan tanggal
11 Maret 1951, Moh. Natsir mengembalikan mandat kepada
Presiden. Kabinet berikutnya dipegang oleh Sukiman, juga dari
Masyumi, yang jatuh pada bulan Maret 1952, akibat mosi tidak
percaya DPR. Mosi dari DPR ini muncul sehubungan dengan
kebijaksanaan Mutual Security Act (MSA) yang terjadi dibawah
pemerintahan Sukiman yang mana MSA berisikan hubungan kerja
sama militer dengan Amerika Serikat.
Kemudian presiden menunjuk Wilopo menjadi formatur.
Tanggal 30 Maret 1952, Wilopo berhasil membentuk kabinet.
Program Kabinet Wilopo adalah pelaksanaan Pemilihan Umum,
Pengembalian Irian Barat dan Politik Bebas Aktif. Kabinet Wilopo
141 Ibid. Hal,104.
142 Ibid. Hal,111.
jatuh disebabkan sengketa antara petani dan pengusaha
perkebunan di Tanjung Morawa yang melibatkan PNI Sumatra
Utara. Setelah sebelumnya kabinet Wilopo digugat akibat Peristiwa
17 Oktober 1952. Peristiwa 17 Oktober ini merupakan saksi
sejarah yang dituliskan jelas dalam buku Manai Sophian sebanyak
42 halaman. Diterangkan bagaimana kalangan militer tidak mau
dicampuri oleh DPR mengenai kebijaksanaan kemiliteran.
Pertentangan yang pokok adalah sikap dari Kolonel Bambang
Supeno dan kawan–kawannya yang menghendaki TNI
mengutamakan Patriotisme dengan Kolonel A.H.Nasution dan
kawan–kawannya di pihak lain, yang menghendaki TNI bersikap
profesionalisme dan mengharuskan anggota TNI dididik oleh Misi
Militer Belanda (MMB). Campur tangan DPR mengenai sikap
politik militer ini memancing militer melakukan tindakan yang
sama sekali tidak diperkirakan oleh A.H.Nasution. Dalam buku
Cindy Adams, Bung Karno mengisahkan:
“Pagi–pagi pada tanggal 17 Oktober 1952, dua buah tank, empat
kendaraan berlapis baja dan ribuan orang menyerbu memasuki
gerbang istana membawa poster “Bubarkan Parlemen”. Satu
batalyon artileri dengan empat buah meriam menggemuruh
memasuki lapangan keliling istana. Meriam–meriam 25 ponder
dihadapkan kepadaku.
Kol. A.H.Nasution yang memimpin percobaan ‘Setengah Kup’ ini
menyampaikan persoalannya: “Bung Karno harus segera
membubarkan parlemen”.
Aku berkata: “Menyatakan apa yang ada di hatimu boleh saja. Akan
tetapi mengancam Bapak Republik Indonesia, sekali–kali jangan!”143
Akhirnya kup itu pun gagal total dan Nasution
diberhentikan dari jabatannya. Peristiwa 17 Oktober ini telah
diselesaikan dengan korban minim. Secara formal, dapat
ditafsirkan, bahwa Demokrasi Parlementair dapat bertahan
terhadap gugatan pihak militer. Gugatan “Bubarkan Parlemen”
batal dan sebaliknya, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD)
diberhentikan dari jabatannya, satu hal yang memang tidak bisa
diperkirakan.

143 Cindy Adams. Op.cit, Hal,406.


Setelah Kabinet Wilopo jatuh, muncul Kabinet Ali
Sostroamidjojo, yang terkenal lewat Konferensi Asia–Afrika yang
berlangsung di Bandung April 1955. Suasana liberal begitu kental
dalam perpolitikan nasional dan Kabinet Ali pun terus dirongrong
oleh partai oposisi. Walau demikian pada masa Kabinet Ali ini
telah dibentuk Panitia Pemilihan Umum yang diketuai
S.Hadikusumo.
Seirama dengan Suasana Demokrasi Liberal, maka
Kabinet Ali ditentang oleh Masyumi, tanpa pokok persoalan yang
jelas.144 Menyikapi sikap “Asal melawan” dari Masyumi itu, Bung
Karno menegaskan bahwa Pemilihan Umum yang akan datang tak
lain tak bukan hanyalah satu jalan penyempurnaan saja secara
demokratis dalam melanjutkan usaha pelaksanaan cita-cita
Revolusi Nasional kita. Siapa yang dalam pemilihan umum ini
menyimpang dari cita–cita asli Revolusi Nasional itu, tidak setia
kepada revolusi, ia menyalahi kepada Revolusi Nasional.145
Walaupun di tengah kesibukan persiapan Pemilihan
Umum, di Jakarta terjadi ‘Kehebohan’ karena adanya berita bahwa
salah satu peserta pemilihan umum mendapat sumbangan dana
dari Amerika Serikat. Ini tak lain karena Amerika Serikat amat
bersimpati kepada Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI),
karena diperkirakan bahwa pemerintahan Masyumi akan
menyelamatkan Indonesia untuk Barat. Pandangan ini cukup pas
dengan rancangan Dewan Keamanan Nasional Amerika Serikat
(NSC). Seorang penulis Amerika Serikat, Joseph B.Smith
mengemukakan bahwa CIA (Badan Intelijen AS) telah
menyediakan dana bernilai jutaan Dolar AS untuk mendukung
kampanye Masyumi. Dana itu dikumpulkan di Kantor CIA
Hongkong yang diperoleh di pasar gelap dan dikirim berkarung–
karung ke Jakarta. Pada akhirnya sokongan dana jutaan dolar
ternyata tidak menghasilkan kemenangan bagi Masyumi146

144 Ali Sastroamidjojo. Tonggak–tonggak Perjalananku.(Solo. P.T. Kinta; 1974). Hal, 319.
145 Soekarno. Amanat Proklamasi II, Hal,71.
146 Tribuana Said. Indonesia dalam Politik Global Amerika, (Medan. Penerbit Waspada,
1983). Hal,161.
Kabinet Ali tersungkur, gara–gara terjadi lagi konflik di
kalangan militer soal penggantian KSAD. Penggantian KSAD dari
Kolonel Bambang Sugeng ke penggantinya Kolonel Bambang Utoyo
mendapat tentangan dari Kolonel Zulkifli Lubis. Tanggal 12
Agustus 1955, Ali mengembalikan mandatnya kepada Wakil
Presiden, sebab Presiden Soekarno sedang melaksanakan ibadah
haji. Hatta kemudian menunjuk Burhanuddin Harahap sebagai
formatur dan membentuk Kabinet baru. Kabinet Burhanuddin ini
bertahan hanya sampai 16 Maret 1956 dan merupakan
pemerintahan penyelenggara Pemilihan Umum Pertama pada
Bulan September 1955 dengan munculnya empat partai besar
pemenang pemilu, yaitu: Partai Nasional Indonesia (PNI),
Masyumi, NU dan Partai Komunis indonesia (PKI). Berdasar hasil
Pemilihan umum ini, maka Presiden Soekarno menunjuk Ali
Sastroamijoyo (PNI) sebagai formatur kabinet, yang kemudian
lazim disebut sebagai Kabinet Ali 2, tanggal 24 Maret 1956.
Hasil Pemilihan Umum yang berjalan sangat jujur, adil
dan terbuka itu ternyata tidak diterima secara jujur oleh berbagai
kelompok, terutama yang sudah mendapat bantuan dari CIA.
Selain penolakan dari unsur–unsur yang mendapat bantuan dana
menjelang pemilu, juga dari kalangan militer, seperti usaha
‘Setengah Kup’ tahun 1952 oleh A.H.Nasution yang diteruskan
pada saat pergantian KSAD Bambang Sugeng di tahun 1955,
maka Kabinet Ali yang secara formal berkoalisi dengan Masyumi
dan NU (159 suara), secara substansial sangat lemah. Usaha
pertama menjatuhkan pemerintah berawal dari kalangan militer.
“Pada tanggal 17 Oktober 1956, desas–desus tentang akan
terjadinya coup untuk menggulingkan pemerintahan benar–benar
menjadi kenyataan. Pasukan–pasukan yang kira–kira berkekuatan
9 batalyon pada pagi–pagi hari bergerak dari Cirebon dan
Tasikmalaya ke arah Jakarta, lewat Bogor. Tetapi aksi ini gagal
dihentikan oleh pasukan TNI dibawah Mayor Achmad
Wiranatakusumah.”147

147 Ali Sastroamidjojo. Op.cit, Hal, 357.


Upaya menjatuhkan Kabinet Ali ini, lebih kuat lagi
dilakukan atas nama gerakan daerah yang mendapat bantuan dari
beberapa panglima dan terbentuklah :
“Dewan Banteng di Sumatera Barat oleh Letkol. A. Husein tanggal 20
Desember 1956, Dewan Gajah dibentuk oleh Kolonel Simbolon di
Medan tanggal 22 Desember 1956, dan Dewan Manguni dibentuk
oleh Letkol. Ventje Sumual 18 Februari 1957 di Manado.”148
Menghadapi aksi–aksi daerah yang didukung oleh militer
itu, Ali mengembalikan mandat kepada Presiden tanggal 14 Maret
1957. Segera setelah penyerahan mandat, Presiden Soekarno
mengumumkan berlakunya SOB (keadaan bahaya) dan kemudian
pada tanggal 9 April 1957 membentuk kabinet non partai, dengan
Ir. Juanda sebagai perdana menteri.
Walau sudah diberlakukan SOB, pihak separatis tetap
melakukan gerakan perlawanan, malah pada tanggal 15 Februari
1958, Letnan Kolonel A. Husein memproklamasikan Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia dengan Syafruddin
Prawiranegara sebagai Perdana Menteri.149 Adalah sangat
berkaitan mulai dari bantuan dana untuk Pemilihan Umum 1955
dan bantuan Amerika Serikat untuk kaum pemberontak PRRI
(Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) dan juga Permesta
(Perjuangan Rakyat Semesta), seperti terlibatnya Allen Pope, yang
berkebangsaan Amerika secara langsung dengan pesawat
tempurnya mengebom wilayah Nusantara. Allen Pope tertembak
jatuh pada 15 Mei 1958 dan melalui Cindy Adams, Bung Karno
mengatakan:
“Anak–anak kami dengan mengunakan meriam penangkis udara
yang sudah tua menembak sebuah pesawat B25, Penerbangnya
jatuh. Dan siapakah pembunuh bayaran ini yang disewa untuk
mencabut nyawa anak–anak kami? Seorang Amerika. Namanya
Allen Pope.”150
Pemberontakan PRRI/Permesta yang dibatu oleh
Amerika Serikat, bersamaan waktunya dengan aksi kaum politisi

148 Sejarah Nasional Indonesia .VI Op,cit., Hal, 97.


149 Ibid. Hal, 99.
150 Cindy Adams. Op.cit, Hal,409.
di Badan Konstituante, yang bersidang pertama kali tanggal 15
Desember 1955.
Sidang Konstituante berjalan dengan sangat alot, karena
masing–masing anggota membawa gagasan dari partainya masing–
masing. Sejak mula Masyumi sudah punya konsep supaya bentuk
Negara Indonesia bukan Negara Kesatuan. Melainkan Negara
Federal. Setelah melalui diskusi panjang, Fraksi Masyumi dapat
menerima bentuk Negara Kesatuan, akan tetapi setelah itu
Masyumi berubah sikap kembali :
“Akan tetapi ternyata kemudian ada perkembangan baru di
kalangan Islam dalam konstituante, yakni adanya usul dari pihak
Masyumi agar dimasukan azas–azas Negara Islam sebagai dasar
negara yang akan dimuat dalam konstitusi baru.”151
Reaksi pemerintah mengenai usul ini, adalah berupa
“Amanat Presiden” tanggal 22 April 1959 yang berjudul
“Respublika! Sekali lagi Respublika!” sebagai jalan pelaksanaan
Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945. Rapat
pleno konstituante untuk menetapkan setuju atau tidak setuju
terhadap usulan Masyumi tadi, berkali–kali diadakan, sehingga
pada tanggal 2 Juni 1959, pertemuan tidak lagi mencapai kuorum,
artinya tidak mencapai dua pertiga suara dari jumlah anggota
konstituante yang hadir.152 Sejak tanggal 2 Juni 1959 itu, anggota
konstituante tidak ada lagi yang hadir ke gedung tempat mereka
bersidang.
Terhadap kebuntuan yang terjadi dalam lembaga
pembuat UUD ini, Bung Karno dalam hal kedudukannya sebagai
presiden, tanggal 5 Juli 1959, setelah sebelumnya bertukar
pikiran dengan pimpinan partai dan kalangan militer,
mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945. Adapun alasan yang
dikemukakan presiden termuat dalam pengantar dekrit yang
antara lain berbunyi:
“Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian terbesar anggota–
anggota sidang pembuat UUD untuk tidak menghadiri lagi sidang,
Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang

151 Soebagijo IN, Wilopo. 70. Tahun. (Jakarta. Gunung Agung , 1979). Hal,168.
152 Ibid. Hal, 174
dipercayakan oleh rakyat kepadanya. Bahwa hal yang demikian
menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan
persatuan dan keselamatan negara. Menetapkan pembubaran
konstituante. Menetapkan UUD 1945 berlaku lagi bagi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia terhitung
mulai hari tanggal penetapan dekrit ini.”153

153 Soekarno.Op.cit, DBR II. Hal,358 – 359.

Anda mungkin juga menyukai