Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

ANALISIS PERISTIWA KETERLIBATAN MILITER


DALAM POLITIK INDONESIA
Diajukan untuk memenuhi nilai tugas mandiri pada Mata Kuliah Kekuatan-Kekuatan
Politik Indonesia
Dosen Pengampu : Dr. Firdaus Syam, M.A.

OLEH :
KAMALUDDIN
NPM. 221186918021
C.2

PROGRAM ILMU POLITIK


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS NASIONAL JAKARTA
2023
PERISTIWA PENTING KEMILITERAN REPUBLIK INDONESIA

1. Peristiwa 27 Juni 1946 “ Penculikan Perdana Menteri”


Pada tanggal 27 Juni 1946 telah terjadi penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir,
menteri kemakmuran Darmawan Mangunkusumo dan beberapa orang lainnya dalam
kabinet Sjahrir. Penculikan itu dilaterbelakangi oleh ketidakpuasan kelompok Persatuan
Perjuangan yang dipimpin Tan Malaka kepada kabinet yang telah dibentuk, karena
menganggap perjanjian linggarjati tidak lebih hanya akan menyisakan penderitaan
rakyat.
Kegagalan pemerintahan Sjahrir, menyebabkan beberapa kolega Tan Malaka dari
kalangan militer untuk bertindak. Dianataranya adalah Mayjend R.P. Sudarsono, Kolonel
Sutarto dan A.K. Yusuf adalah inisiator dalam penculikan Perdana menteri dan beberapa
menteri pada peristiwa tersebut. Penculikan ini disebut-sebut sebagai percobaan kudeta
pertama dalam sejarah Republik Indonesia, namun kudeta bukanlah terhadap Presiden
Sukarno, tetapi pada perdana menteri.
Analisis dalam kejadian penculikan Perdana Menteri Sutan Sjahrir pada tanggal
27 Juni 1946 ;
Tan Malaka membentuk Persatuan Perjuangan, dimana dalam kelompok ini Tan
Malaka bersama beberapa orang yang tergabung di dalamnya seperti Subardjo, Sukarni,
dll menggagas minimum program yang isinya ialah menasionalisasi asset kolonial
Belanda yang berada di Indonesia untuk dikuasai sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia,
namun ditolak oleh Sukarno dan Hatta, sehingga membuahkan kekecewaan dari
kelompok Tan Malaka, namun kelompok ini tak henti-hentinya menyerukan minimum
program yang digagasnya, sehingga propagandanya berhasil mengumpulkan ribuan
orang masuk dalam barisannya.
Sampai pada akhirnya, terjadi sebuah perundingan dengan Belanda melalui
Perjanjian Linggarjati yang seluruh isinya sangat mengecewakan kelompok Persatuan
Perjuangan, akhirnya kelompok ini mempropagandakan penolakan terhadap perjanjian
linggarjati, dan Tan Malaka beserta beberapa orang anggotanya menjadi buronan
pemerintah. Tan Malaka melalui Persatuan Perjuangannya terus menyerukan minimum
program dan penolakan perjanjian linggarjati, sampai tepat pada 17 Juni 1946 Tan
Malaka mendengar terjadi penculikan Perdana Menteri, ia menolak sebagai dalang
penculikan. Tan Malaka menganggap pemerintah hanya takut, karena ia berhasil
mengumpulkan ribuan massa dalam Persatuan Perjuangan, sehingga tuduhan
dilimpahkan kepadanya.1
Terlepas dari pengakuannya tersebut, Mayjend R.P. Sudarsono mengantarkan
Sutan Sjahrir yang ditemui oleh ajudan presiden dengan meminta kesepakatan agar
Sjahrir dicopot dari jabatannya, mengganti seluruh kabinet oleh tokoh Persatuan
perjuangan dan pemerintah menjalankan gagasan minimum program, namun
permintaannya ditolak dan Sudarsono bersama beberapa pengikutnya ditangkap.
Jika kita baca peristiwa tersebut, akan menemui beberapa kesimpulan, diantaranya
ialah bahwa Sudarsono bertindak tanpa sepengetahuan Tan Malaka, Penculikan ini
dijadikan sebagai senjata untuk melumpuhkan oposisi (Persatuan perjuangan) dibawah
kendali Tan Malaka agar tidak mengganggu jalannya pemerintahan.

2. Peristiwa 17 Oktober 1952 “ Pengerahan Pasukan Militer Ke Istana Presiden”


Pada tanggal 17 Oktober tahun 1952 telah terjadi pengerahan massa militer ke
depan istana yang dimotori oleh Mayjend TB. Simatupang dan Kepala Staf Angkatan
Darat (KSAD) Kolonel A.H. Nasution. Latar belakang terjadinya peristiwa ini adalah
karena sebagian besar anggota DPRS berasal dari negara-negara boneka.
Nasution dalam tuntutannya pada pengerahan massa tersebut meminta aga DPRS
dibubarkan dan sesegera mungkin melaksanakan pemilihan umum sebagai wujud
represantasi rakyat sesungguhnya, serta Nasution menginginkan rasionalisasi tentara.
Namun gerakan ini dibaca oleh Kolonel Bambang Supeno untuk menyingkirkan Tentara-
tentara PETA (bentukan Jepang), sehingga ia langsung menyurati DPRS dan Presiden
Sukarno. A.H. Nasution menganggap cara Supeno meyurati DPRS dan Presiden
merupakan tindakan indisipliner yang mengabaikan hirarkis, akhirnya Supeno diskors
dari dinas militer.
Tuntutan gerakan 17 Oktober 1952 yang menginginkan Pemerintah yang bersih
dengan tuntutan pemilihan umum, pembubaran DPRS dan rasionalisasi tentara ditolak
mentah-mentah oleh Presiden Sukarno dalam pidatonya yang mengatakan “ saya
peringatkan, ketika saya mengangkat almarhum pak dirman, saya pesan tentara tidak
boleh ikut-ikut politik, tidak boleh diombang-ambingkan oleh politik. Saya minta, bahkan
saya perintahkan kepada panglima tinggi supaya pernyataan ini jangan diumumkan” .

1
Terdapat dalam risalah Dari Penjara Ke Penjara (DPKP) karya Tan Malaka
Akibat pidatonya tersebut, sebagian prajurit yang mengepung istana berbalik menjadi
penentang gerakan Nasution, dan kubu TNI pun menjadi terbelah dua, antara pro gerakan
17 Oktober dibawah kendali A.H. Nasution dan kontra gerakan 17 Oktober dibawah
komando Bambang Supeno. Pada konflik dalam tubuh TNI makin meruncing antara
kubu Nasution dan kubu Supeno.
Analisis dalan peristiwa 17 Oktober 1952 ;
TNI sebagai benteng pertahanan negara merupakan sebuah pandangan ideal kaum
militer, sehingga TNI menurut A.H. Nasution bukan hanya perkara bagaimana
mempertahankan wilayah teritorial negara kesatuan, namun pertahanan di bidang politik
juga sebagian dari konsep pertahanan negara, kemudian pemahaman demikian dikenal
sebagai “ Dwi Fungsi ABRI” , dari pemikirannya itulah dia mampu menggerakkan
massa militer ke depan istana kepresidenan lengkap dengan meriam dan tank.
Tujuan Nasution dalam mengerahkan pasukan ke hadapan istana hanyalah untuk
menyampaikan aspirasinya agar dilakukan pemilihan umum dan Pembubaran DPRS
yang banyak diisi oleh kroni-kroni kolonial, ia sebut ini sebagai permohonan anak
kepada bapaknya. Namun bagi Sukarno sebagai Presiden, tidaklah ada seorang anak
yang memohon kepada bapaknya dengan mengancam menggunakan meriam, tank dan
peluru tajam, baginya ini merupakan upaya kudeta yang direncanakan Nasution.
Gerakan 17 Oktober juga menimbulkan gejolak dalam tubuh Angkatan Darat,
dimana bahwahan Nasution yakni Kolonel Supeno merasa Nasution ingin
menyingkirkan tentara yang berasal dari PETA, sehingga ia bereaksi dengan menyurati
DPRS dan Presiden, akibatnya Supeno Diberhentikan dari kedinasan Militer, kemudian
tak selang berapa lama Nasution dicopot jabatannya dari KSAD oleh Presiden. Dengan
dicopotnya Nasution menimbulkan gejolak dalam tubuh militer semakin meruncing.
Akhirnya Nasution kembali menjabat sebagai KSAD pada tahun 1955 setelah kekeruhan
dalam Angkatan Darat semakin manjadi. Setelah ia kembali menjabat, akhirnya gejolak
dapat diredam dan perpecahan dapat ditangani, kemudian pemilihan umum dapat
terwujud atas representasi rakyat.
Disini kita dapat membaca, bahwa memang Nasution memiliki peranan penting
dalam tubuh Angkatan Darat, kecerdikannya dalam memainkan peran dilihat sangat
menonjol, dapat dikatakan ia merupakan pemain strategi konflik yang ulung, sehingga
keinginannya menyelenggarakan pemilihan umum dapat terlaksana.
3. Peristiwa 27 Juni 1955 “ Pemboikotan Pengangkatan Pimpinan Angkatan Darat”
27 Juni 1955 merupakan peristiwa bersejarah bagi TNI, kala itu Bambang Utojo
dilantik sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) sebagai upaya untuk mengisi
kekosongan kepemimpinan Angkatan Darat. Kolonel Bambang Utojo yang semula
adalah panglima teritorium II/Sriwijaya, ditentang oleh pimpinan angkatan darat, pada
akhirnya pelantikan Bambang Utojo sebagai KSAD tidak dihadiri satupun perwira
Angkatan Darat.
Pemboikotan pelantikan KSAD ini merupakan buntut panjang dari peristiwa 17
Oktober 1952, juga merupakan jalan buntu atas perundingan Angkatan Darat dengan
pemerintah pada tanggal 1 Mei 1955 yang dikenal sebagai “ Rapat Collegial” .
Pelantikan Bambang Utojo ini akhirnya menyebabkan kabinet Ali Wongso terjungkal,
kemudian digantikan dengan kabinet Burhanudin Harahap, akhirnya penyelesaian
masalah penggantian pimpinan Angkatan Darat diselesaikan oleh Burhanudin Harahap
dengan kembali diangkatnya A.H. Nasution sebagai KSAD yang sebelumnya pernah
diberhentikan pada jabatan yang sama kerana gerakan 17 Oktober 1952 yang
dipimpinnya. Dengan kembalinya A.H. Nasution menjadi KSAD, kondisi Angkatan
Darat jauh lebih membaik dan konflik meruncingpun dapat diselesaikan dalam tubuh
Angkatan Darat.
Analisis Peristiwa 27 Juni 1955 terkait Masalah Penggantian Pimpinan Angkatan
Darat ;
Dari tiadanya titik temu antara pemerintah dan Angkatan Darat dalam Rapat
Collegial menyebabkan ketidak kondusifan Militer Indonesia pada tahun-tahun tersebut,
bahkan menjadi bahan olok-olokan pemerintah Belanda bahwa Indonesia merupakan
negara yang belum siap untuk merdeka. Hal ini menyebabkan beberapa posisi penting
dalam Angkatan Darat silih berganti tidak menemukan sosok yang cocok, akibatnya
dalam tubuh militer sering mengalami kekosongan kepemimpinan. Puncaknya pada
pengangkatan Panglima teritorium II/Sriwijaya Kolonel Bambang Utojo diboikot oleh
perwira-perwira tinggi Angkatan Darat, yang menyebabkan pula kabinet Ali Wongso
tumbang. Jika kita lihat sangat jelas Bambang Utojo tidak memiliki pengaruh yang
signifikan dalam Angkatan Darat, terlebih dia ditolak oleh seluruh perwira Angkatan
Darat.
Dari permasalahan yang terjadi, diangkat Burhanudin Harahap menggantikan Ali
Wongso sebagai perdana menteri, ia mengambil langkah untuk mengajukan beberapa
nama perwira tinggi militer untuk memimpin KSAD, akhirnya pilihan jatuh pada A.H.
Nasution. Dengan dipilihnya kembali Nasution sebagai KSAD, berangsur-angsur konflik
dalam tubuh Angkatan Darat mereda. Yang menjadi penting disini, Nasution merupakan
perwira Angkatan Darat paling berpengaruh saat itu setelah Ahmad Yani. Nasution
berhasil menjadi pemecah kebuntuan, bahkan momentum ini dipercaya sebagai
konsolidasi militer dalam pemerintahan Indonesia sebagai awal dari pembangunan
kekuatan militer yang solid.

4. Peristiwa 14 – 15 Agustus 1958 “ Sidang Dewan Nasional”


Sidang Dewan Nasional diselenggarakan pada tanggal 14-15 Agustus 1958,
dimana A.H. Nasution mengusulkan agar militer memiliki posisi di Dewan Nasional,
DPR maupun kabinet. Ia berargumentasi ketika berhadapan dengan agresi Belanda II,
tentara telah membentuk pemerintahan militer, Gagasan tersebut menimbulkan reaksi
baik dari kalangan internal militer maupun partai politik. Beberapa anggota militer
menginginkan agar setiap anggota TNI yang aktif berpolitik agar menanggalkan ke TNI-
annya, seangkan sejumlah partai politik yang berada di parlemen mengkhawatirkan
kudeta militer apabila usulan Nasution diterima.
Nasution mengganggap TNI tidak hanya bisa menjadi penonton pingir arena
politik, akan tetapi ia menganggap TNI akan turut terlibat dalam kebijakan politik
nasional, terutama di bidang politik, ekonomi, keuangan dan internasional, sehingga TNI
harus duduk di segala posisi, baik itu kabinet, dewan nasional, birokrasi, korps
diplomatik, dewan perancang nasional dan parlemen.
Perminataan Nasution ini sendiri dilatari oleh adanya Undang-Undang keadaan
bahaya (SOB), dimana Ir. Djuanda sebagai perdana menteri diperintahkan oleh Presiden
Sukarno untuk membangun format politik dengan militer dijadikan landasan utama. Hal
ini menguatkan peranan politik Sukarno dan TNI AD. Dikarenakan sama-sama memiliki
basis kekuatan yang seimbang, sehingga pada sidang Dewan Nasional, Nasution
menginginkan unsur militer masuk kedalam segala lini inti politik nasional yang telah
dikemukakan diatas.
Analisis tentang keinginan Nasution memasukan TNI ke Dewan Nasional
Keinginan kuat Nasution untuk memasukan unsur militer kedalam lini penting
politik nasional ialah dikarenakan Nasution menganggap bahwa TNI memiliki peran
penting yang sangat besar dalam memperjuangkan keutuhan Nasional, ia berharap
dengan segala jasa TNI, Presiden Sukarno dapat menempatkan posisi strategis militer
kedalam Dewan Nasional, birokrasi, korps diplomatik, Dewan Perancang Nasional dan
Parlemen. Sehingga posisi TNI dapat menguatkan keutuhan negara dari dalam.
Dalam keadaan bahaya pada agresi militer Belanda II, Nasution menjalankan
perintah Presiden dengan menyelenggarakan pemerintahan militer. Ketiadaan sipil yang
sanggup memerintah, mengharuskan kekuatan politik digalang oleh TNI. Pada masa-
masa bahaya tersebut TNI berhasil mempertahankan Republik Indonesia tetap menjadi
negara yang merdeka. Oleh karena itu Nasution tidak menginginkan jasa TNI hilang
ketika tampuk kepemimpinan nasional kembali kedalam keadaan normal.
Keinginan Nasution jelas menghadapi pertentangan, terutama pada parlemen,
dimana sebagian partai politik disana mengkhawatirkan adanya kudeta yang dilakukan
militer. Nasution sendiri berargumen bahwa militer tidak lagi harus berada di barisan
terluar dalam kancah politik, karena untuk mempertahankan negara memerlukan
kekuatan militer yang berada dalam pengambil kebijakan strategis. Dengan desakan ini,
unsur militer dan kepolisian negara masuk kedalam jajaran Dewan Nasional, diketahui
selaku Ketua Dewan Nasional ialah Presiden Sukarno dengan ex officio terdiri dari
KSAD (Jandral A.H. Nasution), KSAU (Komdor Surjadarma), KSAL (Laksamana
Madya Subijakto), dan Kelapa Kepolisian Negara (Sukanto), serta didampingi oleh
wakil-wakil perdana menteri dan Ketua Mahkamah Agung.
Mulai dari keinginan memasuki lini penting politik nasional, sampai disetujuinya
unsur militer yang berada dalam Dewan Nasional, ini menandakan kekuatan militer pada
masa itu sangat berpengaruh signifikan. Ini dibuktikan dengan eksistensi militer pada
masa-masa selanjutnya keberadaan militer pada posisi strategis pemerintahan, akhirnya
militer tidak lagi hanya menjadi alat negara untuk mengkonsolidasikan kekuatan nasional
dari angkatan perangnya, akan tetapi menjadi kekuatan politik baru yang disegani sampai
kepada masa orde baru mendatang.
Dibangunnya kekuatan militer didalam pemerintahan juga disebut oleh Nasution
sebagai politik jalan tengah atau juga disebut The Army Political Character yang
memandang bahwa ABRI bukan hanya alat sipil, tetapi juga bukan sebuah rezim yang
mendominasi kekuasaan, namun salah satu dari sekian banyak kekuatan dalam
masyarakat. Pada masa selanjutnya konsep Nasution ini dikaitkan dengan cikal bakal
Dwi Fungsi ABRI.
5. Peristiwa 1966 “ Dari SUPERSEMAR sampai Impictment Sukarno”
Pada tahun 1966 banyak peristiwa yang terjadi, mulai dari SUPERSEMAR yang
menjadi awal langkah Suharto naik panggung yang pada akhirnya menggantikan
Sukarno sebagai presiden. Masalah Surat Perintah Sebelas Maret atau dikenal
SUPERSEMAR ini menuai kontroversi dari beberapa versi yang ada. Sebagian kalangan
percaya bahwa supersemar merupakan tekanan yang dibuat Suharto kepada Sukarno
akibat meletusnya G30S/PKI atau Gestok pada 30 September 1965 dini hari (6 bulan
sebelum SUPERSEMAR). Dengan diterbitkannya SUPERSEMAR supremasi Suharto
dalam keamanan negara menjadi dominan melebihi kuasa Presiden atas angkatan
bersenjata.
SUPERSEMAR juga dijadikan senjata untuk membubarkan PKI, sehati setelah
terbitnya surat tersebut, Suharto melalui pasukan militer atas nama Presiden
memerintahkan untuk segera membredel Partai Komunis Indonesia (PKI), akhirnya
kantor CC PKI dan seluruh Cabang PKI dihancurkan, serta orang-orang yang dianggap
memiliki keterlibatan dengan PKI ditangkap (kabar yang beredar terjadi pembunuhan
massal kepada orang yang dianggap PKI pada tahun tersebut). MPRS mendukung
perintah Suharto dengan mengeluarkan ketetapannya Nomor XXV/1966 tentang
Pelarangan Marxisme-Leninisme/Komunisme.
Selain melakukan pembredelan, militer juga menyokong bantuan pada gerakan
mahasiswa (disebut Keluarga Aksi Mahasiswa Indonesia / disingkat KAMI) yang
menuntut Sukarno untuk menanggalkan jabatannya sebagai Presiden. Akhinya pada
tanggal 22 Juni 1966 melalui sidang umum ke-IV Sukarno menyampaikan pidato
Nawaksara sebagai pertanggungjawabannya sebagai presiden, bersamaan dengan
berakhirnya jabatan tersebut dan mengangkat Suharto menjadi Pejabat Presiden. Ini
merupakan awal dari perjalanan pemerintahan orde baru.
Analisis pada peristiswa tahun 1966;
Tahun 1966 merupakan tahun dimana titik balik sejarah Indonesia terjadi, juga
merupakan awal masuk pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Suharto. Dimana
tahun ini dikeluarkan SUPERSEMAR, TAP MPRS nomor XXV/1966, Aksi massa
Mahasiswa yang tergabung dalam KAMI dan Penolakan laporan presiden sekaligus
pencopotan jabatan Presiden kepada Sukarno di hadapan sidang umum MPRS ke-IV.
Dari runutan itu merupakan sebuah kejadian yang saling berkaitan, dimana akar
masalahnya ialah gerakan pada 30 September 1965 diduga dilakukan oleh PKI, dimana
perwira tinggi militer diculik dan dibunuh secara keji. Tuduhan atas PKI menyebabkan
berbagai reaksi, baik bagi masyarakat sipil maupun militer. Masyarakat sipil melalui
gerakan mahasiswa (KAMI) menyerukan agar dilakukan pembubaran PKI, kemudian
militer mulai masuk dalam jajaran legislatif, A.H. Nasution bertindak sebagai ketua
MPRS saat itu, melalui Suharto yang memiliki mandat atas SUPERSEMAR
mengeluarkan ketetapan pembubaran PKI, dikelaurkannya TAP MPRS XXV/1966
membuat terjadi tindakan-tindakan represi militer dan sipil. Dimana atas kuasa Suharto
sebagai Menteri Pertahanan memerintahkan untuk menghancurkan markas-markas PKI
dan menangkap orang-orang yang terlibat PKI.
Kejadian demi kejadian itu, kekuasaan Sukarno atas pemerintahan menjadi rapuh.
Partai penyokong kabinet dalam pemerintahan habis dibredel oleh Suharto,
mengakibatkan kekacauan yang tidak terkendalikan, ditambah aksi-aksi mahasiswa
disokong penuh oleh militer, yang pada akhirnya Sukarno diberhentikan oleh MPRS dan
mengangkat Suharto sebagai pejabat Presiden. Keluarnya SUPERSEMAR setelah kita
runut permasalahan-permasalahan di depannya merupakan sebuah upaya kudeta
tersistematis yang dilakukan oleh Suharto.

6. Peristiwa 22 – 24 September 1998 “ Seminar Peran ABRI Abad XXI Oleh


SESKOAD”
Pada tanggal 22 – 24 September 1998 Seskoad TNI Bandung mengadakan
seminar yang bertajuk “ Peran ABRI Abad XXI. Tujuan dari seminar ini ialah untuk
dilakukannya redefinisi, reposisi dan reaktualisasi peran TNI dalam kehidupan bangsa.
Sebelumnya Menhankam/Pangab Wiranto mengeluarkan buku yang berjudul “ ABRI
abad XXI : redefinisi, reposisi dan reaktualisasi dalam kehidupan bangsa” , dimana buku
tersebut merupakan kajian gabungan pemikiran elit sipil dan militer selama periode
1997-1998, dimana ABRI sering mengundang elit sipil ke Sesko ABRI untuk melakukan
pengkajian mengenai peran ABRI di masa yang akan datang.
Redefinisi yang dimaksudkan disini adalah Dwifungsi ABRI pada masa Reformasi
telah diubah terminologinya menjadi peran ABRI, hal ini dimaksudkan agar tidak salah
tafsir. Karena pada masa Orde Baru, dwi fungsi ABRI diidentikan dengan kekaryaan.
Istilah peran ABRI mengandung pemaknaan adanya integrasi secara fungsi secara utuh,
sehingga tidak ada lagi dikotomis dan disingtif. Sedangkan Reposisi berarti pengambilan
posisi yang dilakukan oleh ABRI, menggambarkan disamping proaktif dalam menjamin
keamanan dan mendorong terwujudnya kehidupan Demokratis, juga concern dalam
pembangunan nasional. Terakhir, Reaktualisasi berarti akan dilakukannya penataan
kembali implementasi peran ABRI pada masa mendatang. ABRI berkomitmen untuk
menerapkan perannya di masa depan secara tepat sesuai perkembangan zaman dan
aspirasi masyarakat.
Dilakukannya seminar yang dilakukan SESKOAD tersebut, secara terang doktrin
dwi fungsi ABRI mengalami pergeseran yang cukup signifikan, secara terbukan dalam
seminar tersebut TNI mengakui bahwa selama ini dalam pemerintahan Orde Baru,
mengalami distorsi yang cukup serius. Untuk itu TNI harus berbenah, dikarenakan
tantangan TNI kedapan begitu besar, kompleks dan multidimensional, untuk itu
penyesuaian harus dilakukan, kemudian TNI harus mendengar dan merespon aspirasi
rakyat.
Analisis Seminar ABRI Tanggal 22 – 24 September 1998;
Pasca aksi demonstrasi atas tuntutan untuk reformasi pada Mei 1998, terjadi
banyak gejolak sosial, mulai dari kebingungan atas aktivis yang tidak kembali setelah
dilakukannya penculikan oleh militer, kerusuhan yang terjadi di Poso, dan masalah
lainnya yang mengancam integrasi bangsa. Oleh karena itu TNI melakukan sebuah
seminar yang bertajuk “ ABRI di abad XXI” , dimana dalam seminar itu, diungkapkan
telah terjadi pergeseran peran ABRI, yang diakui memiliki kekurangan dan distorsi yang
cukup serius akibat imbas perpolitikan Orde Baru. Maka dari itu TNI berkomitmen
melakukan redefinisi, reposisi dan reaktualisasi.
Dengan konsepsi ABRI yang terbarukan, TNI berharap dapat jauh lebih dekat dan
tanggap dalam merespon aspirasi masyarakat, karena selama pemerintahan Orde Baru,
TNI digunakan sebagai alat untuk memuluskan keinginan dan tujuan pemerintah, tidak
berdasarkan aspirasi dari bawah, sehingga pembangunan komunikasi antara pemerintah
tidak dengan feddback, tetapi intruksional. Hal ini mengakibatkan adanya sekat yang
cukup tebal antara pemerintah dan masyarakat, kemudian masyarakat hanya dapat
mematuhi keinginan pemerintahan tanpa bisa mengkritisi.
Dalam pembaruan konsep pembangunan di tubuh TNI ini juga memiliki makna
yang dalam, antara hubungan masyarakat sipil dengan ABRI. Karena TNI pada akhirnya
tidak hanya menjadi alat untuk menjamin kemanan dan pertahanan saja, tetapi turut serta
dalam pembangunan nasional.
DAFTAR BACAAN

Buku :

Dekker, Nyoman. 1989. Sejarah Revolusi Nasional. Jakarta: Balai Pustaka.

Malaka, Tan. 2000. Dari Penjara Ke Penjara. Jakarta : Teplok Press

MILISIA. 1953. Edisi I. “ Paralel dan Perbedaan 3 Djuli 1946 dengan 17 Oktober 1952”

Syam, Firdaus. 2004. Wiranto : Reformasi, Politik Militer dan Panggilan Konstitusi. Jakarta :
PT. Dyatama Milenia.

Situs Internet :

https://www.merdeka.com/peristiwa/17-oktober-saat-tni-kerahkan-meriam-tank-minta-dpr-
dibubarkan-17-oktober-1952-4.html

http://young-empresario.blogspot.co.id/2011/03/27-juni-1955masalah-penggantian.html

http://chamad86.blogspot.co.id/2010/08/normal-0-false-false-false.html

http://nasional.kompas.com/read/2016/03/12/06310001/12.Maret.1966.Soeharto.Bubarkan.P
KI

Sumber Lainnya :
SURAT EDARAN KASAD KOLONEL INFANTERI AH NASUTION NO. V-5560/SU/52.-
TANGGAL 24 NOPEMBER 1952 TENTANG PERISTIWA 17 OKTOBER 1952.

Anda mungkin juga menyukai