OLEH :
KAMALUDDIN
NPM. 221186918021
C.2
1
Terdapat dalam risalah Dari Penjara Ke Penjara (DPKP) karya Tan Malaka
Akibat pidatonya tersebut, sebagian prajurit yang mengepung istana berbalik menjadi
penentang gerakan Nasution, dan kubu TNI pun menjadi terbelah dua, antara pro gerakan
17 Oktober dibawah kendali A.H. Nasution dan kontra gerakan 17 Oktober dibawah
komando Bambang Supeno. Pada konflik dalam tubuh TNI makin meruncing antara
kubu Nasution dan kubu Supeno.
Analisis dalan peristiwa 17 Oktober 1952 ;
TNI sebagai benteng pertahanan negara merupakan sebuah pandangan ideal kaum
militer, sehingga TNI menurut A.H. Nasution bukan hanya perkara bagaimana
mempertahankan wilayah teritorial negara kesatuan, namun pertahanan di bidang politik
juga sebagian dari konsep pertahanan negara, kemudian pemahaman demikian dikenal
sebagai “ Dwi Fungsi ABRI” , dari pemikirannya itulah dia mampu menggerakkan
massa militer ke depan istana kepresidenan lengkap dengan meriam dan tank.
Tujuan Nasution dalam mengerahkan pasukan ke hadapan istana hanyalah untuk
menyampaikan aspirasinya agar dilakukan pemilihan umum dan Pembubaran DPRS
yang banyak diisi oleh kroni-kroni kolonial, ia sebut ini sebagai permohonan anak
kepada bapaknya. Namun bagi Sukarno sebagai Presiden, tidaklah ada seorang anak
yang memohon kepada bapaknya dengan mengancam menggunakan meriam, tank dan
peluru tajam, baginya ini merupakan upaya kudeta yang direncanakan Nasution.
Gerakan 17 Oktober juga menimbulkan gejolak dalam tubuh Angkatan Darat,
dimana bahwahan Nasution yakni Kolonel Supeno merasa Nasution ingin
menyingkirkan tentara yang berasal dari PETA, sehingga ia bereaksi dengan menyurati
DPRS dan Presiden, akibatnya Supeno Diberhentikan dari kedinasan Militer, kemudian
tak selang berapa lama Nasution dicopot jabatannya dari KSAD oleh Presiden. Dengan
dicopotnya Nasution menimbulkan gejolak dalam tubuh militer semakin meruncing.
Akhirnya Nasution kembali menjabat sebagai KSAD pada tahun 1955 setelah kekeruhan
dalam Angkatan Darat semakin manjadi. Setelah ia kembali menjabat, akhirnya gejolak
dapat diredam dan perpecahan dapat ditangani, kemudian pemilihan umum dapat
terwujud atas representasi rakyat.
Disini kita dapat membaca, bahwa memang Nasution memiliki peranan penting
dalam tubuh Angkatan Darat, kecerdikannya dalam memainkan peran dilihat sangat
menonjol, dapat dikatakan ia merupakan pemain strategi konflik yang ulung, sehingga
keinginannya menyelenggarakan pemilihan umum dapat terlaksana.
3. Peristiwa 27 Juni 1955 “ Pemboikotan Pengangkatan Pimpinan Angkatan Darat”
27 Juni 1955 merupakan peristiwa bersejarah bagi TNI, kala itu Bambang Utojo
dilantik sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) sebagai upaya untuk mengisi
kekosongan kepemimpinan Angkatan Darat. Kolonel Bambang Utojo yang semula
adalah panglima teritorium II/Sriwijaya, ditentang oleh pimpinan angkatan darat, pada
akhirnya pelantikan Bambang Utojo sebagai KSAD tidak dihadiri satupun perwira
Angkatan Darat.
Pemboikotan pelantikan KSAD ini merupakan buntut panjang dari peristiwa 17
Oktober 1952, juga merupakan jalan buntu atas perundingan Angkatan Darat dengan
pemerintah pada tanggal 1 Mei 1955 yang dikenal sebagai “ Rapat Collegial” .
Pelantikan Bambang Utojo ini akhirnya menyebabkan kabinet Ali Wongso terjungkal,
kemudian digantikan dengan kabinet Burhanudin Harahap, akhirnya penyelesaian
masalah penggantian pimpinan Angkatan Darat diselesaikan oleh Burhanudin Harahap
dengan kembali diangkatnya A.H. Nasution sebagai KSAD yang sebelumnya pernah
diberhentikan pada jabatan yang sama kerana gerakan 17 Oktober 1952 yang
dipimpinnya. Dengan kembalinya A.H. Nasution menjadi KSAD, kondisi Angkatan
Darat jauh lebih membaik dan konflik meruncingpun dapat diselesaikan dalam tubuh
Angkatan Darat.
Analisis Peristiwa 27 Juni 1955 terkait Masalah Penggantian Pimpinan Angkatan
Darat ;
Dari tiadanya titik temu antara pemerintah dan Angkatan Darat dalam Rapat
Collegial menyebabkan ketidak kondusifan Militer Indonesia pada tahun-tahun tersebut,
bahkan menjadi bahan olok-olokan pemerintah Belanda bahwa Indonesia merupakan
negara yang belum siap untuk merdeka. Hal ini menyebabkan beberapa posisi penting
dalam Angkatan Darat silih berganti tidak menemukan sosok yang cocok, akibatnya
dalam tubuh militer sering mengalami kekosongan kepemimpinan. Puncaknya pada
pengangkatan Panglima teritorium II/Sriwijaya Kolonel Bambang Utojo diboikot oleh
perwira-perwira tinggi Angkatan Darat, yang menyebabkan pula kabinet Ali Wongso
tumbang. Jika kita lihat sangat jelas Bambang Utojo tidak memiliki pengaruh yang
signifikan dalam Angkatan Darat, terlebih dia ditolak oleh seluruh perwira Angkatan
Darat.
Dari permasalahan yang terjadi, diangkat Burhanudin Harahap menggantikan Ali
Wongso sebagai perdana menteri, ia mengambil langkah untuk mengajukan beberapa
nama perwira tinggi militer untuk memimpin KSAD, akhirnya pilihan jatuh pada A.H.
Nasution. Dengan dipilihnya kembali Nasution sebagai KSAD, berangsur-angsur konflik
dalam tubuh Angkatan Darat mereda. Yang menjadi penting disini, Nasution merupakan
perwira Angkatan Darat paling berpengaruh saat itu setelah Ahmad Yani. Nasution
berhasil menjadi pemecah kebuntuan, bahkan momentum ini dipercaya sebagai
konsolidasi militer dalam pemerintahan Indonesia sebagai awal dari pembangunan
kekuatan militer yang solid.
Buku :
MILISIA. 1953. Edisi I. “ Paralel dan Perbedaan 3 Djuli 1946 dengan 17 Oktober 1952”
Syam, Firdaus. 2004. Wiranto : Reformasi, Politik Militer dan Panggilan Konstitusi. Jakarta :
PT. Dyatama Milenia.
Situs Internet :
https://www.merdeka.com/peristiwa/17-oktober-saat-tni-kerahkan-meriam-tank-minta-dpr-
dibubarkan-17-oktober-1952-4.html
http://young-empresario.blogspot.co.id/2011/03/27-juni-1955masalah-penggantian.html
http://chamad86.blogspot.co.id/2010/08/normal-0-false-false-false.html
http://nasional.kompas.com/read/2016/03/12/06310001/12.Maret.1966.Soeharto.Bubarkan.P
KI
Sumber Lainnya :
SURAT EDARAN KASAD KOLONEL INFANTERI AH NASUTION NO. V-5560/SU/52.-
TANGGAL 24 NOPEMBER 1952 TENTANG PERISTIWA 17 OKTOBER 1952.