Anda di halaman 1dari 5

FILOSOFI NAMA AMBALAN & NAMA SANGGA

Disusun oleh
A.N.S Pelaksana

01.001-01.002
SMAN 1 BEKASI
Jl. KH. Agus Salim No.181, Bekasi Jaya, Bekasi Tim., Kota Bks,
Jawa Barat 17112
Tahun Ajaran 2018/2019
A. Filosofi Ambalan Nasution

1. Sejarah Tokoh Nasution


Jenderal Besar Dr. Abdul Haris Nasution lahir di kampung Huta Pungkut, Tapanuli, 3
Desember 1918. Sewaktu kecil, pagi hari ia belajar di sekolah umum, sore di madrasah,
dan malam negaji di musholla.

Pada tahun 1932, Nasution menamatkan HIS dan melanjutkannya ke sekolah Raja (HIK)
di Bukttinggi, Sumatera Barat, Sekolah Guru. Usianya ketika 14 tahun. Tahun 1935,
Nasution berangkat ke Bandung untuk menamatkan Sekolah Guru. Pada tahun 1937,
Nasution menamatkan pelajarannya dan menjadi guru di Bengkulu. Pada tahun 1940,
Nasution kembali ke Bandung. Kali ia datang sebagai kadet (taruna) Corps Opleiding
Reserve Officieren (CORO), korps pendidikan perwira cadangan Kerajaan Belanda. Coro
sengaja didirikan Belanda untuk membanti kepentingan perangnya. Pilihannya untuk
berkarier di militer memang tidak sia-sia. Kariernya dalam waktu singkat meroket. Pada
tahun 1940, Nasution naik pangkat menjadi Kopral. Tiga bulan kemudian menjadi sersan.
Ketika Jepang menyerbu Hindia Belanda CORO tutup, kadernya langsung diangkat
menjadi vaandrig (pembantu letnan calon perwira). Nasution ditempatkan di Batolion III
Infanteri di Surabaya. Kompinya ditugaskan mempertahankan pelabuhan Tanjung Perak
bila diserbu Jepang. Terjadi pertempuran hebat. Nasution jengkel melihat tentara Belanda
yang desersi, takut melawan Jepang. Ia akhirnya memutuskan balik ke Bandung, naik
sepeda. Ketika Jepang membentuk PETA dan Heiho, Nasution ikut membantu. Ia
memang tak pernah menjadi personil PETA, namun ketika PETA membentuk Badan
Pembantu Perajurit Priangan (BPP), Nasution ditunjuk menjadi pengurusnya.

Pada tanggal 22 Agustus 1945 KNIP membentuk BKR. Tugas awalnya untuk menjaga
keamanan dalam negeri saja. Bekas PETA, Heiho dan laskar rakyat ditampung.
Tanggal 5 Oktober 1945, BKR diubah menjadi TKR. Nasution ditunjuk jadi Panglima
Divisi III TKR yang membawahi seluruh Priangan.

Pada bulan Januari 1946, TKR diubah menjadi TRI. Nasution tetap memimpin Divisi III.
Tak lama kemudian Bung Karno mengubah lagi TRI menjadi TNI. Dan
pertempuran-pertempuran dengan tentara sekutu pecah dimana-mana. Karier Nasution di
bidang militer diuji. Ia berhasil lolos dari semua ujian berat. Jenderal Urip Sumohardjo
mantan perwira KNIL diangkat menjadi Kepala Staf Komandan TKR. Di Jawa Barat
penyusunan TKR diserahkan kepada Didi Kartasasmita. Nasution diminta jadi pembantu
Didi dan diangkat menjadi Kepala Staf Komandemen TKR Jawa Barat yang bermarkas di
Tasikmalaya. Sebagai Kepala Staf, Nasution diserahi tugas tugas-tugas yang cukup berat
dan beragam, mulai dari menyusunan staf, pembentukan Divisi, menertibkan laskar liar.
Tindakannya membuat banyak pihak tidak senang kepadanya.

Ide lainnya adalah menjalankan siasat bumi hangus, memobilisasi dan merasionalisasi
pasukan, reorganisasi dan rekonsiliasi, pemerintahan sipil di tingkat desa dan kecamatan
diaktifkan. Dan menyebarkan kantong-kantong gerilya. Membuat instruksi-instruksi
melawan Belanda. Dalam melaksanakan ide-ide tersebut dia menggunakan sejumlah
referensi (Ia memang terkenal sebagai “kutu buku”, antara lain The Red Army dan
Wingate, yang selalu dibawanya kemana-mana.

Atas prestasinya itu dia diangkat menjadi Wakil Panglima Besar, berdasarkan Penpres
Nomor 9 tanggal 17 Pebruari 1948. Atasannya adalah Jenderal Soedirman. Umurnya
waktu itu baru 30 tahun. Buah pikir selanjutnya antara lain, “melawan inflasi pangkat”.
Juga memperbaiki tanda pangkat dari leher ke pundak. Ide-idenya itu mendapat sokongan
penuh dari rekannya Mayor Jenderal Purbonegoro.

Setahun sesudah diangkat menjadi wakil Panglima Besar, Nasution yang banyak
dipengaruhi pemikiran tokoh militer klasik Jerman, Karl von Clausewitz itu, diangkat
menjadi Kepala Staf TNI AD (KSAD). Nasution mendapat pangkat jenderal dengan
empat bintang di pundaknya ketika usianya baru menginjak 40 tahun pada 1958.
Nasution pernah menjabat sebagai Panglima Siliwangi (146-1948), KSAD (1949-1952
dan 1956-1963), Menko Hankam/KASAB (63-66), Ketua MPRS (66-72). Di jabatan
terakhir itulah ia melantik Jenderal Soeharto sebagai Presiden RI pada tahun 1968.

Semasa “menganggur “itu, antara 1952-1965, Nasution banyak menuliskan berbagai


buah pikirannya. Antara lain mengenai postur kekuatan Angkatan Darat yang memadai
untuk pertahanan negara serta komposisi yang cocok untuk penyelenggaraan sistem
perang teritorial. Berbagai pemikiran itu dimuat dalam surat kabar ibukota dan mendapat
perhatian luas, termasuk oleh Presiden Seokarno.

Sementara itu, di jajaran “atas” Angkatan Darat terjadi perubahan. Panglima Komando
Tentara dan Teritorium V Brawijaya—pengganti Bambang Sugeng yang telah menjadi
KSAD—yaitu Kolonel Sudirman, yang termasuk penentang keras Peristiwa 17 Oktober
1952, rupanya menilai Nasution masih pantas mendapat kepercayaan dan “yang paling
layak memimpin AD.” Pada bulan September 1955, justru Kolonel Sudirman bersama
sejumlah Panglima Tentara dan Teritorium lainnya yang mengusulkan kepada Presiden
untuk kembali mengangkat Pas menjadi KSAD.

Pada tanggal 1 Nopember 1955, Pak Nas dilantik menjadi KSAD untuk kedua kali oleh
Presiden Soekarno, dengan pangkat Mayor Jenderal. Pelantikan diselenggarakan di
Lapangan Banteng, Jakarta. Sebelum mengatakan kesediannya untuk diangkat kembali
menjadi KSAD, Nasution mengajukan syarat kepada Presiden Soekarno, yaitu
mencalonkan Kolonel Gatot Subroto sebagai Wakil KSAD dan Bung Karno
menyetujuinya.

Pada tahun 1956, dalam kendudukannya sebagai KSAD, Nasution menuangkan pikirannya
dalam suatu brosur terbitan Pusat Penerangan Angkatan Darat. Ia menulis, demi persatuan dan
kesatuan bangsa dan terpeliharanya NKRI, jalan terbaik adalah kembali ke UUD 1945.
Maraklah berbagai gerakan di daerah. Seperti Dewan Banteng di Sumatera Barat, Dewan Gajah
di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, dan PARMESTA di Sulawesi Selatan
dan Utara. Semoga gerakan tersebut merupakan koreksi terhadap pemerintah pusat, akhirnya
berubah menjadi gerakan separatis. Setelah berbagai pendekatan tidak berhasil, maka
diberlakukanlah SOB (darurat perang) di wilayah bergolak tersebut. operasi militer pun
diluncurkan secara besar-besaran. Dan berhasil. Sementara itu, sidang Konstituante di Bandung
macet total. Golongan nasionalis dan komunis tak mau lagi bersidang. Melihat situasi yang
berbahaya tersebut, Nasution memberikan pertimbangan kepada Presiden untuk mengeluarkan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali memakai UUD 1945. Dengan berbagai peran penting
dalam pentas sejarah RI, tak heran kalau Pak Nas seperti menjadi the living legend, seorang
tokoh militer yang masih hidup, dan paling berpengaruh sepanjang sejarah RI dan juga ABRI.
Ketokohannya itu tercermin dari 33 bintang kehormatan yang diperolehnya dari Pemerintah RI
dan pemerintah negara lainnya. Ia juga memperoleh 3 gelar kehormatan dari berbagai
universitas, seperti Universitas Padjajaran, Universitas Andalas, dan Universitas Sumatera Utara.
Ia juga telah menerbitkan 22 judul buku, serta ratusan tulisan dan makalah. Dan puncaknya dari
semua penghargaan itu adalah sebah bintang lima yang disematkan oleh Presiden Soeharto pada
tahun 1997.
Sukar mencari tokoh dengan deretan penghargaan sebanyak Nasution.

2. Kesimpulan dan Filosofi yang dapat diambil,


Melihat dari karakteristik Nasution yang cerdas,cinta Tanah Air,serta berani mengambil
keputusan,kita sebagai Ambalan yang mengadopsi nama Nasution haruslah menjadi pemuda
pemudi yang memiliki sifat-sifat tersebut.

B. Filosofi Sangga Pelaksana

1. Makna nama Sangga Pelaksana


Pelaksana mengandung kiasan keberanian melaksanakan sesuatu tugas dengan
penuh tanggung jawab.

2. Sejarah Sangga Pelaksana


sangga pelaksana mengingatkan kita pada peristiwa setelah tahun 1945 hingga
sekarang,saat indonesia masuk pada masa pembangunan,sangga ini juga
mengingatkan kita untuk mengisi kemerdekaan,agar perjuangan para Pahlawan
tidak sia-sia.

Anda mungkin juga menyukai