Kehidupan Awal
Perjalanan hidup seseorang dari sejak lahir sampai meninggal dunia, merupakan suatu rantai
peristiwa yang banyak mengandung arti, sehingga nilai nilai kehidupannya merupakan gambaran
pribadi-pribadi seseorang yang dimana antara satu pasti berbeda dengan yang lainnya. Nilai-nilai
hidup seorang tokoh besar perlu diabadikan dan dijunjung tinggi agar dapat dijadikan sebagai
panutan bagi generasi berikutnya. Salah satunya adalah Jendral Nasution tokoh besar bangsa dan
cendikiawan dari TNI AD. Nasution juga berperan penting dalam perjalanan sejarah TNI
terutama pada peristiwa peralihan kepemimpinan Orde Lama ke Orde Baru. Di bawah pimpinan
Nasution, seorang bekas guru dan perwira KNIL didikan Belanda, Angkatan Darat setelah
revolusi melawan Belanda muncul sebagai unsur mempersatukan yang kuat dengan perasaan
punya misi dan bersikap sebagai pendidik bangsa. Sebagai seorang yang berasal dari luar Pulau
Jawa dan tamatan Akademi Militer Kerajaan Belanda di Bandung, Nasution tidak banyak
berhubungan dengan para perwira Peta didikan Jepang, yang sebagian besar orang Jawa.
Nasution terlahir bukan dari keluarga militer tetapi jiwa dan semangat kemiliterannya tumbuh
dari lingkungan sekolah dan keadaan Indonesia yang saat itu sedang mengalami penjajahan
kolonial Belanda. Nasution juga seorang tokohpenulis dan pemikir di bidang kemiliteran. Karier
militernya dimulai dengan pengangkatnnya sebagai Kepala Staf Komandemen TKR Jawa Barat
dan terus meningkat hingga mencapai puncaknya ketika menjadi Kepala Staf Angkatan Darat.
Nasution adalah pencetus konsep dalam Angkatan darat yang sampai sekarang konsep tersebut
masih digunakan oleh kalangan militer yaitu Konsep Dwifungsi ABRI. Bagi Nasution, sejarah
bagian tak terpisahkan atau paket dari “desain besar” militer meraih kekuasaan.
Kepemimpinan menurut para ahli merupakan suatu proses mempengaruhi atau memberi contoh
oleh pemimpin kepada pengikutnya atau anggotanya dengan tujuan dan maksud tertentu.
Seorang pemimpin biasanya dijadikan panutan dan contoh bagi kelompoknya. Nasution dengan
berbagai kekuatan dan peluang yang dimilikinya telah mampu memberikan sumbangan yang
besar dalam perjalanan panjang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peran militer yang
dominan dalam mempertahankan kemerdekaan Indoensia tidak terlepas dari pengaruh kuat
seorang Kepala Staf TNI AD pada waktu itu, yakni Jenderal Nasution. Nasution merupakan
seorang pejuang yang idealis, taat beribadah dan mampu memimpin TNI AD dengan baik
sehingga TNI tetap mampu mengawal perjalanan kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebagai peletak dasar strategi yang mematikan langkah Belanda, Nasution memainkan peran
sentral dalam menempa AD yang modern dan profesional, dengan komposisi berbagai macam
organisasi perjuangan pemuda untuk mensukseskan revolusi. Nasution juga berhasil
menghancurkan serangkaian pemberontakan daerah dan menekan kaum Islam militan yang
cenderung menghendaki negara Islam. Tak kalah penting, Nasution muncul sebagai ahli teori
militer terkemuka. Nasution pun banyak merumuskan doktrin-doktrin untuk dasar militer TNI.
Seperti konsep yang terkenal sebagai “Jalan Tengah”. Nasution yang berjuang dan
memenangkan pertempuran untuk kembali ke UUD 1945, menekankan bahwa dalam keadaan
darurat pun konstitusi harus menjadi dasar tindakan pemerintah. Menurut Nasution, tugas utama
yang dihadapi kepemimpinan Indonesia adalah melaksanakan kontitusi UUD 1945 secara murni
dan konsekuen.
Sejak jabatan pertama dalam karir militer yang dipercayakan kepadanya menjukkan bahwa
Nasution orang yang memiliki kemampuan yang dapat diandalkan dari pengetahuan,
kepeminpinan maupun segi dedikasi dan jiwa patriotisme terhadap bangsa dan bernegara. Buku-
buku karya Nasution yang tidak sedikit jumlahnya apa lagi isinya telah membuka dan
memperluas cakrawala tentang sejarah kemiliteran Indonesia yang mampu mengagumkan baik
pihak dalam negeri atau luar negeri.
Masa Kecil
Abdul Haris Nasution atau lebih dikenal A.H. Nasution dilahirkan pada tanggal 3 Desember
1918 di desa Hutapungkut, Distrik Mandailing, Kotanopan, Tapanuli Selatan suatu daerah
perbatasan antara Sumatera Utara dan Sumatera Selatan tempat yang jauh dari keramaian dan
kesibukan industri saat itu. Dapatlah dibayangkan besar hati dan rasa syukur keluarga Nasution.
Nasution lahir dari pasangan suami istri H. Abdul Halim Nasution dan Hj. Zaharah Lubis.
Terlahir sebagai anak kedua, sebagai anak laki-laki pertama dalam keluarganya. Tambahan nama
Nasution di belakang nama Abdul Haris adalah mengikuti tradisi suku Batak yang mengikuti
marga ayahnya. Sebagai anak laki-laki, Nasution akan meneruskan Marga Nasution tersebut dan
silsilah keluarga. Begitulah adat orang Mandailing.
Pada saat kelahiran Nasution ayahnya tidak dapat menyaksikan dikarenakan ayahnya sedang
berdagang di kota Sibolga, kota pelabuhan kurang lebih 180 km dari Hutapungkut. Pada saat itu
kendaraan bermotor jarang ada, orang pergi berdagang menaiki padati atau kereta kuda sehingga
memakan waktu yang lama. Sesaat setelah Nasution lahir, Kakeknya membisikan adzan di
kuping Nasution bayi, sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. Kakeknya mengharapkan agar
Nasution setelah dewasa menjadi pendekar (guru pencaksilat) seperti dirinya. Sebagai guru
pencak, kakek Nasution sendiri yang akan mengajari Nasution.
Kelahiran Nasution bagi keluarga dan saudara-saudaranya merupakan wujud rasa syukur dan
besar hati bagi mereka. Banyak saudara yang berdatangan dan membawa bingkisan makanan
terdiri dari ayam panggang dan telur. Bingkisan makanan tersebut memiliki makna tersendiri.
Ayam panggang sebagai perlambang induk ayam yang selalu mendahulukan mencari dan
memberi makanan untuk anaknya. Telur rebus yang berwarna putih bermakna agar si anak
nantinya menjadi orang yang berjiwa bersih. Sedangkan kuning telurnya melambangkan
kebebasan dan kehormatan dari seseorang, layaknya emas yang juga berwarna kuning.
Masa kecilnya Nasution akrab dipanggil “si Ris” dan dikenal sebagai penggemar panjat pohon
yang tinggi. Sejak kecil Ris atau Nasution rajin membaca buku-buku cerita yang berkaitan
dengan sejarah-sejarah perang dan tertarik pada cerita kepahlawanan Nabi Muhammad SAW
yang dikenal sebagai ahli dalam strategi perang.9 Masyarakat Mandailing sejak dulu sangat
memperhatikan pendidikan anak-anak mereka. Mereka berhemat dan bekerja agar dapat
menyekolahkan khususnya anak laki-laki mereka diberbagai tempat. Di masyarakat Mandailing
terdapat tradisi biarlah makan ikan asin dengan sayur saja asal dapat menyekolahkan anak-
anaknya.
Keluarga Nasution berasal dari keluarga petani biasa, jika panen kurang menguntungkan
ayahnya juga berdagang tidak hanya di desanya tetapi berdagang sampai keluar desa. Ayahnya
termasuk pedagang tekstil, kelontong atau mengumpulkan karet dan kopi yang kemudian dijual
kepada para pedagang Cina di Padang Sidempuan, Sibolga, Bukit Tinggi maupun Padang
sendiri. Sesekali Nasution diajak ayahnya untuk berdagang, hal itu membuat Nasution merasa
senang dan antusias karena ia dapat melihat kota kota tersebut. Mengikuti ayahnya berdagang
merupakan pengalaman yang mengasyikkan bagi Nasution. Nasution dibesarkan dalam keluarga
petani yang taat beribadat. Kampung Nasution, Kotanopan, Tapanuli, Sumatera Timur, adalah
basis pergerakan Syarikat Islam (SI). Ayahnya merupakan salah satu anggota pergerakan Sarekat
Islam10, terutama pamannya, Syeikh Musthafa, adalah pendiri Pesantren Purba, pesantren tertua
di Sumatera Timur, yang saat itu menjadi basis pergerakan melawan Belanda. Lingkup pergaulan
inilah yang membuat Nasution kental dengan semangat nasionalisme.
Nasution kecil sangat senang berolahraga apalagi bermain sepakbola dengan teman sebayanya.
Dengan bermain bersama timbul kebersamaan di antara mereka. Lapangan yang mereka gunakan
dulunya merupakan bekas sawah yang ditanami padi sesudah dipanen dan bola yang digunakan
berasal dari jeruk bali karena belum ada bola yang terbuat dari plastik atau karet seperti
sekarang. Kebiasaan Nasution dan teman-temannya setelah bermain sepakbola adalah mandi
bersama di kali atau berjalan-jalan ke bukit sambil mencari buah yang tumbuh di hutan.
Desa Hutapungkut tempat kelahiran Nasution terkenal sebagai desa pelopor pergerakan politik
pada masa penjajahan Belanda dan juga salah satu pintu masuknya para pedagang Islam dan
Eropa. Ketika partai-partai bermunculan pada masa awal kebangkitan nasional, desa
Hutapangkut lahir semangat kemerdekaan yang tinggi. Tidak heran jika daerah tersebut
perkembangannya lebih cepat dibandingkan dengan daerah lain. Pada tahun 1932, di
Hutapungkut berdiri Sekolah Guru di Tanobato Mandailing. Sekolah ini merupakan sekolah ke-3
yang didirikan di Indonesia setelah sekolah yang didirikan di Surakarta dan Bukittinggi.
Nasution yang dibesarkan dari keluarga taat beragama tumbuh menjadi manusia yang membuat
dirinya banyak bertenggang rasa, nalurinya untuk bertindak adil, wajar, dan jujur serta menahan
diri dari perbuatan licik dan kotor. Pribadi Nasution yang serba sederhana, saleh dan tak kalah
pentingnya yaitu intelektual yang membuat citra tentang dirinya sebagai tokoh besar yang
disegani banyak orang. Tidaklah berlebihan untuk dikatakan bahwa Nasution adalah tokoh yang
tangguh, ulet, tekun, konsisten, berkarakter dan berkepribadian yang juga memiliki kualitas
kecendikiawan yang tinggi.
Pendidikan Militer
Tahun 1940, ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda-pemuda
Indonesia yang dikenal dengan Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) dengan syarat
utama adalah mempunyai ijazah HBS atau AMS, karena Nasution pernah menempuh pendidikan
AMS maka ia pun mengikuti seleksi pendidikan CORO di Palembang. Setelah melalui tahapan
seleksi, Nasution dinyatakan lulus. Nasution berlayar ke Bandung untuk menjalani kehidupan di
asrama taruna CORO. Di Bandung, Nasution harus berinteraksi dengan pemuda-pemuda
Belanda karena hanya belasan pemuda Indonesia yang dapat masuk CORO, diantaranya adalah
Alex Kawilarang, M.M.R. Kartakusumah, Aminin, T.B. Simatupang, Askari, dan Samsudarto.
Pemerintah kolonial Belanda mengadakan suatu proses untuk secepatnya mengisi kebutuhan
akan perwira-perwira. Pada tingkat pertama semua peserta menjadi milisi biasa. Pada tingkat
kedua dilakukan seleksi, yang terpilih akan dinaikkan pangkat menjadi bintara-bintara milisi.
Kemudian diseleksi lagi, yang terpilih akan menjadi taruna-taruna langsung tingkat kedua
Akademi atau menjadi calon perwira cadangan dengan pangkat pembantu Letnan. Hari pertama
pendidikan, Nasution langsung mengikuti kegiatan baris-berbaris. Kehidupan tentara sangat
keras dan benar-benar menuntut disiplin dan kemampuan untuk menyesuaikan diri. Pada bulan
September 1940, Nasution naik pangkat menjadi Kopral, tiga bulan kemudian nail pangkat lagi
menjadi Sersan. Setiap ada kesempatan, Nasution bertemu dengan keluarga Indonesia yang
dikenal sebagai aktivis pergerakan. Diamdiam Nasution pun memberikan latihan kemiliteran
pada pemuda-pemuda organisasi di Pasundan.
Wakil Panglima
Pada 1948 Nasution naik ke posisi Wakil Panglima TKR. Meskipun hanya berpangkat Kolonel,
penunjukan ini membuat Nasution menjadi orang paling kuat kedua di TKR, setelah
Jenderal Soedirman. Nasution segera pergi untuk bekerja dalam peran barunya. Pada bulan
April, ia membantu Soedirman mereorganisasi struktur pasukan. Pada bulan Juni, pada sebuah
pertemuan, saran Nasution bahwa TKR harus melakukan perang gerilya melawan Belanda
disetujui.
Meski bukanlah Panglima TKR, Nasution memperoleh pengalaman peran sebagai Panglima
Angkatan Bersenjata pada bulan September 1948 saat Peristiwa Madiun. Kota Madiun di Jawa
Timur diambil alih oleh mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan Musso dari Partai
Komunis Indonesia (PKI). Setelah kabar itu sampai ke Markas TKR di Yogyakarta, diadakan
pertemuan antara perwira militer senior. Soedirman sangat ingin menghindari kekerasan dan
ingin negosiasi dilakukan. Soedirman kemudian menugaskan Letnan Kolonel Soeharto, untuk
menegosiasikan kesepakatan dengan komunis. Setelah melakukan perjalanannya, Soeharto
kembali ke Nasution dan Soedirman untuk melaporkan bahwa segala sesuatu tampak damai.
Nasution tidak percaya laporan ini sementara Soedirman sedang sakit. Nasution sebagai Wakil
Panglima kemudian memutuskan tindakan keras, mengirim pasukan untuk mengakhiri
pemberontakan komunis di sana.
Pada 30 September, Madiun diambil alih oleh pasukan republik dari Divisi Siliwangi. Ribuan
anggota partai komunis tewas dan 36.000 lainnya dipenjara. Di antara yang terbunuh
adalah Musso pada 31 Oktober, diduga ia terbunuh ketika mencoba melarikan diri dari penjara.
Pemimpin PKI lainnya seperti DN Aidit pergi ke pengasingan di Cina.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan sukses di Yogyakarta dan kemudian
mendudukinya. Nasution, bersama-sama dengan TKR dan para komandan lainnya, mundur ke
pedesaan untuk melawan dengan taktik perang gerilya. Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Mohammad Hatta ditawan Belanda, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
didirikan di Sumatra. Dalam pemerintahan sementara ini, Nasution diberikan posisi Komandan
Angkatan Darat dan Teritorial Jawa. Setelah pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia,
PDRI mngembalikan kekuasaan kepada Soekarno dan Hatta, dan Nasution kembali ke posisinya
sebagai Wakil Panglima Soedirman.
Pokok-Pokok Gerilya
Ketika ia bukan lagi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Nasution menulis sebuah buku
berjudul Pokok-Pokok Gerilya. Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman Nasution sendiri yang
berjuang dan mengorganisir perang gerilya selama Perang Kemerdekaan Indonesia. Awalnya
buku ini dirilis pada tahun 1953, dan menjadi salah satu buku yang paling banyak dipelajari pada
perang gerilya bersama dengan karya-karya Mao Zedong pada subjek yang sama.
Pemberontakan PRRI
Pada akhir 1956, ada tuntutan dari panglima daerah di Sumatra untuk otonomi yang lebih di
provinsi-provinsi mereka. Ketika tuntutan ini tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat, pasukan
mulai memberontak, dan pada awal 1957, telah tegas mengambil alih pemerintahan di Sumatra.
Kemudian, pada tanggal 15 Februari 1958, Letkol Ahmad Husein menyatakan
pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Hal ini mendorong
pemerintah pusat untuk menggelar pasukan.
Sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Nasution biasanya telah terlibat dalam memobilisasi
pasukan ke Sumatra. Namun, kali ini Kolonel Ahmad Yani yang ditugaskan memimpin pasukan
kesana dan berhasil menumpas pemberontakan.
Irian Barat
Selama perjuangan kemerdekaan, Soekarno selalu menganggap Irian Barat juga termasuk
sebagai Indonesia. Ketika Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia, Irian Barat terus
menjadi koloni Belanda. Soekarno tidak menyerah dan terus mendorong Irian Barat harus
dimasukkan sebagai bagian dari Indonesia melalui PBB dan melalui Konferensi Asia–Afrika, di
mana negara-negara yang hadir berjanji untuk mendukung klaim Indonesia. Belanda tetap terus
bersikeras. Pada tahun 1960, Soekarno sudah kehabisan kesabaran. Pada bulan Juli, ia bertemu
dengan penasihat utamanya, termasuk Nasution, dan disepakati bahwa Indonesia akan mengejar
kebijakan konfrontasi melawan Belanda pada masalah Irian Barat.
Sebagai bagian dari persiapan untuk operasi ini, Nasution berpaling ke Soeharto, yang telah
menyelesaikan kursus Seskoad pada bulan November 1960. Soeharto, sekarang seorang brigadir
jenderal, ditugaskan oleh Nasution untuk membuat unit kekuatan strategis yang akan siaga, siap
ketika dipanggil untuk melakukan tindakan setiap saat. Soeharto ditempatkan bertugas di gugus
tugas ini dan pada bulan Maret 1961, Cadangan Umum Angkatan Darat (Caduad) dibentuk,
dengan Soeharto diangkat sebagai panglimanya. Caduad pada tahun 1963 berubah nama
menjadi Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Pada awal 1962, Nasution dan Yani adalah komandan keseluruhan yang disebut dengan
operasi Pembebasan Irian Barat, dengan Soeharto yang ditempatkan di Indonesia timur sebagai
komandan lapangan.
Kehilangan Kesempatan
Meskipun Soeharto telah menjadi tokoh kunci pada 1 Oktober, banyak perwira Angkatan Darat
lainnya masih berpaling ke Nasution untuk kepemimpinan dan mengharapkannya untuk
mengambil kontrol yang lebih menentukan situasi. Namun, Nasution tampak ragu-ragu dan
perlahan tetapi pasti dukungan mulai menjauh darinya. Mungkin alasan ini adalah karena ia
masih berduka atas putrinya, Ade Irma, yang meninggal pada tanggal 6 Oktober.
Dalam beberapa minggu pertama setelah G30S, Nasution-lah yang terus-menerus melobi
Soekarno untuk menunjuk Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat. Soekarno, yang setelah 1
Oktober tetap menginginkan Pranoto sebagai pimpinan angkatan darat, awalnya menjadikan
Soeharto sebagai Panglima Kopkamtib, tetapi dengan lobi terus-menerus yang dilakukan
Nasution, Soekarno akhirnya dibujuk dan pada tanggal 14 Oktober 1965, ditunjuklah Soeharto
sebagai Panglima Angkatan Darat.
Sebuah peluang emas datang ke Nasution pada bulan Desember 1965 ketika ada pembicaraan
tentang penunjukkan dirinya sebagai wakil presiden untuk membantu Soekarno dalam masa
ketidakpastian. Nasution tidak memanfaatkan ini dan memilih untuk tidak melakukan apa-apa.
Soeharto mengambil inisiatif pada awal 1966 dengan mengeluarkan pernyataan yang
mengatakan bahwa tidak ada kebutuhan untuk mengisi kursi wakil presiden yang kosong.
Pada 24 Februari 1966, Nasution tidak lagi menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan
Keamanan dalam perombakan kabinet. Posisi Kepala Staf ABRI juga dihapuskan.
Pada tahap ini, harapan bahwa Nasution akan melakukan sesuatu sekarang telah hilang, para
perwira militer dan gerakan mahasiswa berada di belakang Soeharto. Namun demikian, ia terus
menjadi tokoh yang dihormati, banyak perwira militer megunjunginya pada hari-hari menjelang
penandatanganan Supersemar, dokumen penyerahan kewenangan dari Soekarno ke Soeharto.
Bahkan, ketika Soeharto hendak pergi Markas Kostrad untuk menunggu pengiriman Supersemar,
dia menelepon Nasution dan meminta restunya. Istri Nasution memberi restu atas nama
Nasution, yang tidak hadir.
Indra politik Nasution tampaknya telah kembali setelah Soeharto menerima Supersemar. Itu
mungkin karena dia yang pertama kali menyadari bahwa Supersemar tidak hanya memberikan
kekuasaan darurat kepada Soeharto tetapi juga memberinya kontrol eksekutif. Pada 12 Maret
1966, setelah Soeharto melarang keberadaan PKI, Nasution menyarankan kepada Soeharto
bahwa ia membentuk kabinet darurat.[31] Soeharto, masih hati-hati tentang apa yang dia bisa
atau tidak bisa lakukan dengan kekuatan barunya, karena pembentukan kabinet adalah tanggung
jawab presiden. Nasution mendorong Soeharto, berjanji untuk memberikan dukungan penuh
tetapi Soeharto tidak menanggapi dan percakapan berakhir tiba-tiba.
Ketua MPRS
Dengan kekuatan barunya, Soeharto mulai membersihkan pemerintahan dari pengaruh komunis.
Setelah penangkapan 15 menteri kabinet pada 18 Maret 1966, Soeharto mengincar MPRS,
mencopot anggota yang dianggap simpatisan komunis dan menggantinya dengan anggota yang
lebih bersimpati pada tujuan militer. Selama pembersihan, MPRS juga kehilangan
ketuanya, Chaerul Saleh, dan ada kebutuhan untuk mengisi posisi yang kosong.
Nasution adalah pilihan yang sangat populer karena semua fraksi di MPRS menominasikan dia
untuk posisi Ketua MPRS. Namun, Nasution menunggu sampai Soeharto menyatakan dukungan
untuk pencalonannya sebelum menerima nominasi.
Pada 20 Juni 1966, Sidang Umum MPRS dimulai. Nasution menetapkan Supersemar sebagai
agenda pertama yang akan dibahas dalam daftar dengan berjalan ke aula pertemuan dengan
dokumen yang sebenarnya. Keesokan harinya, pada 21 Juni, MPRS meratifikasi Supersemar,
sehingga ilegal bagi Soekarno untuk menariknya kembali. Pada 22 Juni, Soekarno
menyampaikan pidato berjudul Nawaksara (Sembilan butir) di depan sidang. Nasution dan
anggota MPRS lainnya merasa kecewa. Soekarno tidak menyebutkan apa-apa tentang G30S.
Sebaliknya, Soekarno tampaknya memberikan penjelasan tentang pengangkatannya sebagai
presiden seumur hidup, rencana kerjanya sebagai presiden, dan bagaimana Konstitusi bekerja
dalam praktik. MPRS menolak untuk meratifikasi pidato ini.
Selama dua minggu ke depan, Nasution sibuk memimpin Sidang Umum MPRS. Di bawah
kepemimpinannya, MPRS mengambil langkah-langkah seperti melarang paham Marxisme-
Leninisme, mencabut keputusan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan memerintahkan
pemilihan legislatif yang akan diselenggarakan pada bulan Juli 1968. Sidang Umum MPRS juga
meningkatkan kekuasaan Soeharto dengan secara resmi memerintahkannya untuk merumuskan
kabinet baru. Sebuah keputusan juga disahkan yang menyatakan bahwa jika presiden tidak
mampu melaksanakan tugasnya, ia kini akan digantikan oleh pemegang Supersemar, bukan
wakil presiden.
Tahun 1966 pun berlalu, Soekarno semakin defensif dan popularitasnya di kalangan rakyat
Indonesia semakin menurun. Soeharto, yang tahu bahwa kemenangan politiknya sudah dekat,
turun untuk memainkan peran orang Jawa yang sopan dengan terus-menerus memberikan kata-
kata meyakinkan kepada Soekarno dan membelanya dari tuntutan para demonstran. Jenderal
lainnya seperti Nasution tidak penuh belas kasihan, Nasution menyatakan bahwa Soekarno harus
bertanggung jawab atas situasi buruk yang melanda pemerintahan dan masyarakat Indonesia
pada saat itu. Nasution juga menyerukan agar Soekarno dibawa ke pengadilan.
Pada 10 Januari 1967, Nasution dan MPRS bersidang lagi dan Soekarno menyerahkan
laporannya (dia tidak menyampaikan hal itu secara pribadi sebagai pidato) yang diharapkan bisa
mengatasi masalah G30S. Diberi judul "Pelengkap Nawaksara", laporan itu berbicara tentang
desakan Soekarno menyebut G30S dengan Gerakan 1 Oktober (Gestok). Pada G30S, Soekarno
mengatakan bahwa PKI membuat kesalahan besar pada pagi hari 1 Oktober, tetapi juga
menambahkan bahwa hal ini disebabkan oleh kecerdikan pihak neokolonialis. Soekarno juga
menambahkan bahwa jika ia akan disalahkan atas G30S, Menteri Pertahanan dan Keamanan
pada saat itu (Nasution) juga harus disalahkan karena tidak melihat G30S datang dan
menghentikannya sebelum terjadi. Laporan sekali lagi ditolak oleh MPRS.
Pada bulan Februari 1967, DPR-GR menyerukan Sidang Istimewa MPRS pada bulan Maret
untuk mengganti Soekarno dengan Soeharto. Soekarno tampaknya pasrah akan nasibnya,
akhirnya pada 12 Maret 1967, Soekarno secara resmi dicabut mandatnya sebagai Presiden oleh
MPRS. Nasution kemudian menyumpah Soeharto ke tampuk kekuasaan sebagai pejabat
presiden. Setahun kemudian pada 27 Maret 1968, Nasution memimpin pemilihan dan pelantikan
Soeharto sebagai Presiden penuh.
Orde Baru
Jatuh dari Kekuasaan
Meskipun bantuan dari Nasution memberinya kesempatan naik ke kekuasaan, Soeharto melihat
Nasution sebagai saingan dan segera mulai bekerja untuk menyingkirkannya dari kekuasaan.
Pada tahun 1969, Nasution dilarang berbicara di Seskoad dan Akademi Militer. Pada tahun 1971,
Nasution tiba-tiba diberhentikan dari dinas militer, ketika berusia 53, dua tahun lebih cepat dari
usia pensiun yakni 55 tahun. Nasution akhirnya pada tahun 1972 digantikan oleh Idham
Chalid sebagai Ketua MPRS. Kejatuhan Nasution secara drastis tersebut membuatnya
mendapatkan julukan sebagai Gelandangan Politik.
Rekonsiliasi
Pada awal tahun 1990-an, Soeharto mulai mengadopsi kebijakan keterbukaan politik, dan
penegakan hukum terhadap penandatangan Petisi 50 dilonggarkan. Pada Juni 1993, ketika ia
berada di rumah sakit karena sakit, Nasution dikunjungi oleh para petinggi militer. Dia kemudian
menerima kunjungan B.J. Habibie, Menteri Riset dan Teknologi. Habibie kemudian mengundang
Nasution dan penandatangan Petisi 50 lainnya untuk mengunjungi galangan kapal dan pabrik
pesawat yang berada di bawah yurisdiksinya. Pemerintah juga mulai mengklaim bahwa
meskipun ada larangan perjalanan bagi para penandatangan Petisi 50, tetapi larangan tersebut
tidak berlaku untuk Nasution. Sementara itu, Nasution membantah telah mengkritik pemerintah,
ia lebih memilih untuk menyebutnya sebagai "perbedaan pendapat".
Akhirnya, pada bulan Juli 1993, Soeharto mengundang Nasution ke Istana Presiden untuk
bertemu. Hal ini diikuti oleh pertemuan lain pada 18 Agustus 1993, setelah perayaan Hari
Kemerdekaan. Tidak ada pembicaraan tentang politik, tetapi jelas bahwa mereka berdua
berusaha untuk melakukan rekonsiliasi terhadap perbedaan di antara mereka. Dalam
sebuah wawancara pada tahun 1995, Nasution mendorong upaya Indonesia untuk melakukan
proses rekonsiliasi sehingga bangsa bisa bersatu di bawah kepemimpinan Soeharto.
Pada tanggal 5 Oktober 1997, pada kesempatan ulang tahun ABRI, Nasution diberi pangkat
kehormatan Jenderal Besar, pangkat yang juga diberikan kepada Soeharto dan Soedirman.
Akhir Hayat
Nasution akhirnya kembali ke hadirat Sang Pencipta, setelah tak lagi sanggup bertahan melawan
penyakit diabetes dan stroke kemudian koma. Beliau meninggal pada Rabu, 6 September 2000
pukul 7.30 WIB di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Beliau dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Soal!
1. Catatlah hal-hal penting dalam teks biografi di atas!
2. Catatlah hal-hal apa saja yang perlu diteladani dari teks biografi di atas!
Jawaban:
1. - Nasution merupakan seorang pejuang yang idealis, taat beribadah dan mampu
memimpin TNI AD dengan baik sehingga TNI tetap mampu mengawal perjalanan
kemerdekaan Republik Indonesia.
- Nasution adalah pencetus konsep dalam Angkatan darat yang sampai sekarang
konsep tersebut masih digunakan oleh kalangan militer yaitu Konsep Dwifungsi
ABRI.
- Ayahnya merupakan salah satu anggota pergerakan Sarekat Islam10, terutama
pamannya, Syeikh Musthafa, adalah pendiri Pesantren Purba, pesantren tertua di
Sumatera Timur, yang saat itu menjadi basis pergerakan melawan Belanda.
- Nasution bergabung dengan militer Indonesia yang kemudian dikenal sebagai
Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada bulan Mei 1946, ia diangkat menjadi
Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat. Dalam
posisi ini, Nasution mengembangkan teori perang teritorial yang akan menjadi
doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada masa depan.
- Pada 17 Oktober 1952, Nasution dan Simatupang memobilisasi pasukan mereka
dalam unjuk kekuatan. Memprotes campur tangan sipil dalam urusan militer, pasukan
Nasution dan Simatupang mengelilingi Istana Kepresidenan dan mengarahkan
moncong meriam ke Istana. Permintaan mereka ke Soekarno adalah mengajukan
tuntutan pembubaran DPR.
- Nasution adalah pilihan yang sangat populer karena semua fraksi di MPRS
menominasikan dia untuk posisi Ketua MPRS. Namun, Nasution menunggu sampai
Soeharto menyatakan dukungan untuk pencalonannya sebelum menerima nominasi.
2. -Pantang Menyerah
-Keberanian dalam menjaga NKRI
-Rela Berkorban
-Ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa
-Semangat dan rasa cinta tanah air