Anda di halaman 1dari 21

ABDUL HARIS NASUTION

Jenderal Besar TNI (Purn.) Dr. Abdul Haris Nasution (lahir di Kotanopan, Sumatra Utara, 3


Desember 1918 – meninggal di Jakarta, 6 September 2000 pada umur 81 tahun) adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia[2] yang merupakan salah satu tokoh TNI AD yang menjadi
sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September. Selamat dari upaya penculikan tersebut namun
Nasution harus kehilangan putrinya Ade Irma Suryani Nasution beserta ajudannya, Lettu Pierre
Tendean.
Nasution merupakan konseptor Dwifungsi ABRI yang disampaikan pada tahun 1958 yang
kemudian diadopsi selama pemerintahan Soeharto. Konsep dasar yang ditawarkan tersebut
merupakan jalan agar ABRI tidak harus berada di bawah kendali sipil, tetapi pada saat yang
sama tidak boleh mendominasi sehingga menjadi sebuah kediktatoran militer.
Bersama Soeharto dan Soedirman, Nasution menerima pangkat kehormatan Jenderal Besar yang
dianugerahkan pada tanggal 5 Oktober 1997, saat ulang tahun ABRI.

Kehidupan Awal
Perjalanan hidup seseorang dari sejak lahir sampai meninggal dunia, merupakan suatu rantai
peristiwa yang banyak mengandung arti, sehingga nilai nilai kehidupannya merupakan gambaran
pribadi-pribadi seseorang yang dimana antara satu pasti berbeda dengan yang lainnya. Nilai-nilai
hidup seorang tokoh besar perlu diabadikan dan dijunjung tinggi agar dapat dijadikan sebagai
panutan bagi generasi berikutnya. Salah satunya adalah Jendral Nasution tokoh besar bangsa dan
cendikiawan dari TNI AD. Nasution juga berperan penting dalam perjalanan sejarah TNI
terutama pada peristiwa peralihan kepemimpinan Orde Lama ke Orde Baru. Di bawah pimpinan
Nasution, seorang bekas guru dan perwira KNIL didikan Belanda, Angkatan Darat setelah
revolusi melawan Belanda muncul sebagai unsur mempersatukan yang kuat dengan perasaan
punya misi dan bersikap sebagai pendidik bangsa. Sebagai seorang yang berasal dari luar Pulau
Jawa dan tamatan Akademi Militer Kerajaan Belanda di Bandung, Nasution tidak banyak
berhubungan dengan para perwira Peta didikan Jepang, yang sebagian besar orang Jawa.
Nasution terlahir bukan dari keluarga militer tetapi jiwa dan semangat kemiliterannya tumbuh
dari lingkungan sekolah dan keadaan Indonesia yang saat itu sedang mengalami penjajahan
kolonial Belanda. Nasution juga seorang tokohpenulis dan pemikir di bidang kemiliteran. Karier
militernya dimulai dengan pengangkatnnya sebagai Kepala Staf Komandemen TKR Jawa Barat
dan terus meningkat hingga mencapai puncaknya ketika menjadi Kepala Staf Angkatan Darat.
Nasution adalah pencetus konsep dalam Angkatan darat yang sampai sekarang konsep tersebut
masih digunakan oleh kalangan militer yaitu Konsep Dwifungsi ABRI. Bagi Nasution, sejarah
bagian tak terpisahkan atau paket dari “desain besar” militer meraih kekuasaan.
Kepemimpinan menurut para ahli merupakan suatu proses mempengaruhi atau memberi contoh
oleh pemimpin kepada pengikutnya atau anggotanya dengan tujuan dan maksud tertentu.
Seorang pemimpin biasanya dijadikan panutan dan contoh bagi kelompoknya. Nasution dengan
berbagai kekuatan dan peluang yang dimilikinya telah mampu memberikan sumbangan yang
besar dalam perjalanan panjang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Peran militer yang
dominan dalam mempertahankan kemerdekaan Indoensia tidak terlepas dari pengaruh kuat
seorang Kepala Staf TNI AD pada waktu itu, yakni Jenderal Nasution. Nasution merupakan
seorang pejuang yang idealis, taat beribadah dan mampu memimpin TNI AD dengan baik
sehingga TNI tetap mampu mengawal perjalanan kemerdekaan Republik Indonesia.
Sebagai peletak dasar strategi yang mematikan langkah Belanda, Nasution memainkan peran
sentral dalam menempa AD yang modern dan profesional, dengan komposisi berbagai macam
organisasi perjuangan pemuda untuk mensukseskan revolusi. Nasution juga berhasil
menghancurkan serangkaian pemberontakan daerah dan menekan kaum Islam militan yang
cenderung menghendaki negara Islam. Tak kalah penting, Nasution muncul sebagai ahli teori
militer terkemuka. Nasution pun banyak merumuskan doktrin-doktrin untuk dasar militer TNI.
Seperti konsep yang terkenal sebagai “Jalan Tengah”. Nasution yang berjuang dan
memenangkan pertempuran untuk kembali ke UUD 1945, menekankan bahwa dalam keadaan
darurat pun konstitusi harus menjadi dasar tindakan pemerintah. Menurut Nasution, tugas utama
yang dihadapi kepemimpinan Indonesia adalah melaksanakan kontitusi UUD 1945 secara murni
dan konsekuen.
Sejak jabatan pertama dalam karir militer yang dipercayakan kepadanya menjukkan bahwa
Nasution orang yang memiliki kemampuan yang dapat diandalkan dari pengetahuan,
kepeminpinan maupun segi dedikasi dan jiwa patriotisme terhadap bangsa dan bernegara. Buku-
buku karya Nasution yang tidak sedikit jumlahnya apa lagi isinya telah membuka dan
memperluas cakrawala tentang sejarah kemiliteran Indonesia yang mampu mengagumkan baik
pihak dalam negeri atau luar negeri.

Masa Kecil
Abdul Haris Nasution atau lebih dikenal A.H. Nasution dilahirkan pada tanggal 3 Desember
1918 di desa Hutapungkut, Distrik Mandailing, Kotanopan, Tapanuli Selatan suatu daerah
perbatasan antara Sumatera Utara dan Sumatera Selatan tempat yang jauh dari keramaian dan
kesibukan industri saat itu. Dapatlah dibayangkan besar hati dan rasa syukur keluarga Nasution.
Nasution lahir dari pasangan suami istri H. Abdul Halim Nasution dan Hj. Zaharah Lubis.
Terlahir sebagai anak kedua, sebagai anak laki-laki pertama dalam keluarganya. Tambahan nama
Nasution di belakang nama Abdul Haris adalah mengikuti tradisi suku Batak yang mengikuti
marga ayahnya. Sebagai anak laki-laki, Nasution akan meneruskan Marga Nasution tersebut dan
silsilah keluarga. Begitulah adat orang Mandailing.
Pada saat kelahiran Nasution ayahnya tidak dapat menyaksikan dikarenakan ayahnya sedang
berdagang di kota Sibolga, kota pelabuhan kurang lebih 180 km dari Hutapungkut. Pada saat itu
kendaraan bermotor jarang ada, orang pergi berdagang menaiki padati atau kereta kuda sehingga
memakan waktu yang lama. Sesaat setelah Nasution lahir, Kakeknya membisikan adzan di
kuping Nasution bayi, sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. Kakeknya mengharapkan agar
Nasution setelah dewasa menjadi pendekar (guru pencaksilat) seperti dirinya. Sebagai guru
pencak, kakek Nasution sendiri yang akan mengajari Nasution.
Kelahiran Nasution bagi keluarga dan saudara-saudaranya merupakan wujud rasa syukur dan
besar hati bagi mereka. Banyak saudara yang berdatangan dan membawa bingkisan makanan
terdiri dari ayam panggang dan telur. Bingkisan makanan tersebut memiliki makna tersendiri.
Ayam panggang sebagai perlambang induk ayam yang selalu mendahulukan mencari dan
memberi makanan untuk anaknya. Telur rebus yang berwarna putih bermakna agar si anak
nantinya menjadi orang yang berjiwa bersih. Sedangkan kuning telurnya melambangkan
kebebasan dan kehormatan dari seseorang, layaknya emas yang juga berwarna kuning.
Masa kecilnya Nasution akrab dipanggil “si Ris” dan dikenal sebagai penggemar panjat pohon
yang tinggi. Sejak kecil Ris atau Nasution rajin membaca buku-buku cerita yang berkaitan
dengan sejarah-sejarah perang dan tertarik pada cerita kepahlawanan Nabi Muhammad SAW
yang dikenal sebagai ahli dalam strategi perang.9 Masyarakat Mandailing sejak dulu sangat
memperhatikan pendidikan anak-anak mereka. Mereka berhemat dan bekerja agar dapat
menyekolahkan khususnya anak laki-laki mereka diberbagai tempat. Di masyarakat Mandailing
terdapat tradisi biarlah makan ikan asin dengan sayur saja asal dapat menyekolahkan anak-
anaknya.
Keluarga Nasution berasal dari keluarga petani biasa, jika panen kurang menguntungkan
ayahnya juga berdagang tidak hanya di desanya tetapi berdagang sampai keluar desa. Ayahnya
termasuk pedagang tekstil, kelontong atau mengumpulkan karet dan kopi yang kemudian dijual
kepada para pedagang Cina di Padang Sidempuan, Sibolga, Bukit Tinggi maupun Padang
sendiri. Sesekali Nasution diajak ayahnya untuk berdagang, hal itu membuat Nasution merasa
senang dan antusias karena ia dapat melihat kota kota tersebut. Mengikuti ayahnya berdagang
merupakan pengalaman yang mengasyikkan bagi Nasution. Nasution dibesarkan dalam keluarga
petani yang taat beribadat. Kampung Nasution, Kotanopan, Tapanuli, Sumatera Timur, adalah
basis pergerakan Syarikat Islam (SI). Ayahnya merupakan salah satu anggota pergerakan Sarekat
Islam10, terutama pamannya, Syeikh Musthafa, adalah pendiri Pesantren Purba, pesantren tertua
di Sumatera Timur, yang saat itu menjadi basis pergerakan melawan Belanda. Lingkup pergaulan
inilah yang membuat Nasution kental dengan semangat nasionalisme.
Nasution kecil sangat senang berolahraga apalagi bermain sepakbola dengan teman sebayanya.
Dengan bermain bersama timbul kebersamaan di antara mereka. Lapangan yang mereka gunakan
dulunya merupakan bekas sawah yang ditanami padi sesudah dipanen dan bola yang digunakan
berasal dari jeruk bali karena belum ada bola yang terbuat dari plastik atau karet seperti
sekarang. Kebiasaan Nasution dan teman-temannya setelah bermain sepakbola adalah mandi
bersama di kali atau berjalan-jalan ke bukit sambil mencari buah yang tumbuh di hutan.
Desa Hutapungkut tempat kelahiran Nasution terkenal sebagai desa pelopor pergerakan politik
pada masa penjajahan Belanda dan juga salah satu pintu masuknya para pedagang Islam dan
Eropa. Ketika partai-partai bermunculan pada masa awal kebangkitan nasional, desa
Hutapangkut lahir semangat kemerdekaan yang tinggi. Tidak heran jika daerah tersebut
perkembangannya lebih cepat dibandingkan dengan daerah lain. Pada tahun 1932, di
Hutapungkut berdiri Sekolah Guru di Tanobato Mandailing. Sekolah ini merupakan sekolah ke-3
yang didirikan di Indonesia setelah sekolah yang didirikan di Surakarta dan Bukittinggi.
Nasution yang dibesarkan dari keluarga taat beragama tumbuh menjadi manusia yang membuat
dirinya banyak bertenggang rasa, nalurinya untuk bertindak adil, wajar, dan jujur serta menahan
diri dari perbuatan licik dan kotor. Pribadi Nasution yang serba sederhana, saleh dan tak kalah
pentingnya yaitu intelektual yang membuat citra tentang dirinya sebagai tokoh besar yang
disegani banyak orang. Tidaklah berlebihan untuk dikatakan bahwa Nasution adalah tokoh yang
tangguh, ulet, tekun, konsisten, berkarakter dan berkepribadian yang juga memiliki kualitas
kecendikiawan yang tinggi.

Pendidikan Masa Kecil


Keputusan Nasution akan disekolahkan dimana, sebelumnya terjadi konflik diantara orang
tuanya. Ayahnya bersi-keras setelah menyelesaikan sekolah dasar Nasution harus melanjutkan ke
sekolah agama agar dia menjadi kiyai yang seperti yang ayah inginkan, tetapi tidak dengan
keinginan ibunya, Nasution harus melanjutkan ke sekolah umum yang disebut sekolah “Belanda”
(sekolah yang didirikan oleh Belanda) agar Nasution kelak menjadi dokter, bahkan keinginan
kakeknya Nasution harus sekolah setingkat bela diri menjadi seorang pendekar silat, meneruskan
jejaknya. Akhirnya saat Nasution memasuki usia sekolah, orang tuanya menyekolahkan ke
sekolah Belanda. Walaupun pada masa itu pemerintah Belanda melakukan penyaringan secara
ketat bagi anak-anak pribumi untuk diperbolehkan mengikuti pendidikan di sekolah Belanda.
Tetapi Nasution salah satu murid pribumi yang lolos dan diperbolehkan sekolah di sekolah
Belanda.
Nasution mulai memasuki bangku pendidikan dasar HIS11 (Hollandse Inlandse School) atau
setara dengan Sekolah Dasar (SD) di Kotanopan, yang kira-kira berjarak 6 km dari kampung
Hutapungkut. Dalam masyarakat kampung pemuda-pemuda yang menamatkan sekolah HIS
dianggap “terpelajar”. Hal ini membuat Nasution merasa bangga. Bersama dengan lima
sepupunya Nasution tiap hari berangkat naik bendi (delman) ke sekolah karena pada saat itu
belum ada kendaraan. Nasution termasuk siswa yang rajin belajar. Di Sekolah Dasar Nasution
memperoleh pendidikan kebangsaan yaitu semangat cinta tanah air, itu tercermin dari kegemaran
Nasution terhadap mata pelajaran ilmu bumi dan sejarah. Nasution selalu mendapat nilai tinggi
pada mata pelajaran itu. Kegiatan sehari-hari Nasution setelah tiba dirumah pukul 14.00 atau
15.00 Nasution segera sembahyang dan melanjutkan pendidikan yang lain yaitu mengaji di
Madrasah dekat rumahnya hingga maghrib tiba.12 Madrasah tersebut semacam pesantren,
belajar tentang agama. Guru yang amat keras di pesantren itu adalah ayah Nasution sendiri.
Tahun 1931 Nasution harus meninggalkan kampungnya, karena dia naik kelas 7 dan harus
masuk “sekolah sore”. Karena itu Nasution dititipkan pada keluarganya yang tinggal di
Kotanopan. Hanya pada hari libur saja Nasution boleh pulang bertemu dengan kedua orang
tuanya dan sanak saudara di Hutapangkut. Dikelas 7 Nasution gemar meminjam buku
diperpustakaan sekolah yang kebanyakan menggunakan bahasa Belanda, sehingga ia mahir
berbahasa Belanda. Buku-buku yang pernah Nasution baca antara lain kisah-kisah para pahlawan
Belanda seperti Laksamana de Ruyter (pahlawan perang tahun 1880-an), Napoleon Bonaparte
dan Perang Boer di Afrika Selatan. Dalam tahun terakhir Nasution menderita sakit keras,
berharihari dia tidak sadarkan diri sehingga dia kembali kekampung dan dirawat oleh orang
tuanya. Nasution hanya dirawat dirumah tanpa diperiksakan ke dokter. Sehingga sama sekali tak
ada yang tahu apa penyakit yang dideritanya.
Tahun 1932. Nasution menamatkan HIS kemudian diterima menjadi siswa di “Sekolah Raja”
atau HIK13 yaitu sekolah guru di Bukittinggi. Nasution dan keluarga patut bangga karena hanya
satu siswa saja dari tiap sekolah rendah di Sumatera dan Kalimantan yang terpilih untuk sekolah
di sekolah guru ini. Di Bukittinggi Nasution tinggal di asrama selama tiga tahun. Seperti saat
Nasution masih menduduki bangku Sekolah Dasar yang selalu mendapatkan peringkat baik, di
Sekolah Guru Nasution pun selalu mendapatkan perigkat 5 besar di kelas.
Saat masuk sekolah di Bukittinggi merupakan perubahan besar dalam cara hidup Nasution, tidak
lagi mandi di kali bersama teman-teman semasa kecilnya tapi dalam kamar mandi. Dari tidak
beralaskan kaki, menjadi bersepatu, makan dengan sendok dan garpu, dan hidup dalam disiplin
asrama. Guru-guru di HIK adalah orang Belanda, kecuali guru seni rupa dan Bahasa Melayu.
Dengan demikian Nasution dapat mengenal cara berpikir, watak, dan sikap orang Belanda yang
kelak akan dihadapinya dalam perang kemerdekaan Indonesia. Kebanyakan dari mereka juga
tinggal di dalam komplek asrama. Nasution merupakan angkatan terakhir di sekolah HIK karena
sekolah guru tersebut dibubarkan. Alasan pemerintah Belanda membubarkan sekolah guru di
Bukittinggi karena sudah banyak guru dalam rangka penghematan dana.
Tahun 1935 sekolah guru di Bukittinggi resmi dibubarkan, yang masih tersisa hanya sekolah
guru di Bandung. Sehingga untuk menamatkan sekolah guru, Nasution harus pindah ke kota
Bandung. Di Bandung Nasution satu kelas dengan teman-teman dari sekolah guru yang
dibubarkan di Bukittinggi, hanya lima orang saja yang berhasil terseleksi untuk melanjutkan
sekolah guru di Bandung. Di Bandung Nasution belajar mengenal suku bangsa lain di Indonesia,
sehingga menambah pengetahuan dan berguna untuk menumbuhkan semangat nasionalisme.
Pelajaran sejarah semakin menarik bagi Nasution, karena cara penyampaian guru sejarah lebih
mengesankan. Guru sejarah di sekolah tersebut bernama Van der Werf yang juga pemimpin
Partai Khatolik di Bandung. Nasution sangat suka mendengar cerita-cerita dari guru sejarahnya
tentang masalah politik. Suatu hari Nasution membeli buku pidato pembelaan Soekarno
“Indonesia Menggugat”.
Nasution selama tiga tahun bersekolah di Bandung, selama itu pula di Nasution harus tinggal di
asrama seperti saat dia sekolah di Bukittinggi. Sehingga kehidupannya tidak jauh beda saat
tinggal di Bandung dan di Bukittinggi. Hanya saja jam belajar di Bandung lebih ketat dan lama.
Sekolah di Bandung mengajarkan Nasution untuk banyak menguasai bahasa-bahasa asing,
diantaranya bahasa Belanda, Inggris dan Jerman. Dari hari ke hari minat Nasution dalam bidang
kemiliteran semakin tinggi, sebaliknya menjadi guru yang dulu adalah cita-citanya dari kecil
semakin menurun. Nasution sering mendalami pelajaran politik daripada pelajaran tentang cara
mengajar, terbukti dengan Nasution mengikuti rapat-rapat yang diadakan Indonesia Muda dan
rapat-rapat yang digelar oleh aktivis pergerakan nasional.
Bekal pendidikan yang diperoleh Nasution baik dari lingkungan keluarga, teman dan sekolah
Belanda telah membentuk pribadi yang penuh dengan semangat juang dengan harapan kelak
Nasution akan mampu melepaskan Indonesia dari penjajahan bangsa asing. Tahun 1938
Nasution menyelesaikan sekolahnya di HIK Bandung kemudian mengikuti ujian akhir AMS16 B
di Jakarta.

Pengabdian sebagai Guru


Keinginan orang tua Nasution dari dulu agar Nasution menjadi guru akhirnya terlaksana setelah
Nasution menamatkan Sekolah Guru di Bandung pada tahun 1938, kemudian Nasution menjadi
guru di daerah Bengkulu. Sebagai seorang guru baru, Nasution hanya mendapat gaji sebesar 50
Gulden setiap bulannya. Menurut Nasution gaji sebesar 50 Gulden masih kurang cukup untuk
biaya hidupnya, bahkan Nasution masih harus mengirimkan sebagian gaji tersebut untuk orang
tuanya di desa, tetapi Nasution tetap mensyukurinya. Di Bengkulu Nasution tinggal di rumah
Kepala Sekolah tempat ia mengajar. Dengan senang hati Kepala Sekolah memberi tumpangan
gratis pada Nasution, namun Nasution merasa enggan karena Kepala Sekolah tersebut
mempunyai anak-anak gadis sehingga timbul rasa tidak enak. Kemudian bersama dengan tiga
pemuda lainnya, Nasution menyewa rumah kecil yang letaknya tidak jauh dari rumah Kepala
Sekolah.
Di Bengkulu Nasution pertama kali bertemu langsung dengan Soekarno seorang tokoh yang
sejak dulu ingin ia temui. Soekarno saat itu menjadi tawanan penjajah Belanda. Rumah
perasingan Soekarno tidak jauh dari sekolah tempat Nasution mengajar dan pondokannya,
sehingga setiap hari Nasution pasti melewati rumah tempat Soekarno diasingkan. Setiap
Nasution melewati rumah itu, Nasution menyapa atau hanya tersenyum pada Soekarno. Suatu
hari Nasution dipanggil Soekarno untuk mampir ke rumahnya, Nasution diajak berbincang-
bincang dengan Soekarno. Dalam kesempatan itu Soekarno menganjurkan Nasution agar masuk
Indonesia Muda. Nampaknya Nasution sangat mengagumi Soekarno sebagai tokoh nasional
nomor satu di Indonesia, Nasution selalu mencermati dengan sungguh-sungguh setiap pidato
Soekarno. Tetapi hal ini tidak membuat Nasution menjadi pengikut pribadi Soekarno.
Nasution tidak lama menetap di Bengkulu, ia kemudian pindah tugas ke Muara Dua, Sumatera
Selatan (Palembang) untuk mengisi lowongan guru karena ada yang pindah tugas. Nasution
diterima menjadi Kepala Sekolah dengan dibantu dua orang guru lainnya. Sekolah di Muara ini
terletak di kompleks Pasar yang belum mempunyai gedung sendiri. Di Muara Dua Nasution
langsung dihadapkan dengan masalah, keinginan Nasution untuk membangun gedung sekolah
harus berhenti sejenak karena uang pembangunan sekolah dikuras habis oleh guru yang
merangkap sebagai bendahara. Sehingga alternatif yang diambil, gaji dari guru tersebut dipotong
beberapa persen untuk menutupi biaya pembangunan gedung sekolah. Nasution juga meminta
untuk orang tua murid memberikan bantuan sekedarnya untuk biaya tambahan. Mencari swadana
masyarakat merupakan kegiatan yang sangat digemari Nasution, karena menurutnya hal ini
merupakan kesempatan mengurus organisasi masyarakat yang penuh pelajaran yang berguna.
Nasution mulai jenuh tinggal di Muara Dua karena pergaulannya hanya terbatas pada pegawai-
pegawai saja. Kehidupan pegawai-pegawai tersebut terbatas kepada urusan kepegawaian yang
berintikan usaha untuk naik pangkat dan kehidupan sehari-hari berupa giliran saling
mengundang, menjamu yang sering juga disisipi berjudi atau sekedar bermain kartu. Sehingga
Nasution meminta berhenti untuk mengajar di Muara Dua. Walaupun sedih meninggalkan Muara
Dua karena pembangunan sekolah yang belum selesai harus ditinggalkan dan keinginan untuk
membangun rumah di Muara Dua pupus.
Nasution melanjutkan perjalanan ke Tanjung Raja, disana ia juga mendapatkan pekerjaan
sebagai guru. Tetapi di Tanjung Raja, Nasution mengumpulkan uang untuk dapat kembali ke
Pulau Jawa untuk melanjutkan sekolah kemiliteran.

Pendidikan Militer
Tahun 1940, ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda-pemuda
Indonesia yang dikenal dengan Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) dengan syarat
utama adalah mempunyai ijazah HBS atau AMS, karena Nasution pernah menempuh pendidikan
AMS maka ia pun mengikuti seleksi pendidikan CORO di Palembang. Setelah melalui tahapan
seleksi, Nasution dinyatakan lulus. Nasution berlayar ke Bandung untuk menjalani kehidupan di
asrama taruna CORO. Di Bandung, Nasution harus berinteraksi dengan pemuda-pemuda
Belanda karena hanya belasan pemuda Indonesia yang dapat masuk CORO, diantaranya adalah
Alex Kawilarang, M.M.R. Kartakusumah, Aminin, T.B. Simatupang, Askari, dan Samsudarto.
Pemerintah kolonial Belanda mengadakan suatu proses untuk secepatnya mengisi kebutuhan
akan perwira-perwira. Pada tingkat pertama semua peserta menjadi milisi biasa. Pada tingkat
kedua dilakukan seleksi, yang terpilih akan dinaikkan pangkat menjadi bintara-bintara milisi.
Kemudian diseleksi lagi, yang terpilih akan menjadi taruna-taruna langsung tingkat kedua
Akademi atau menjadi calon perwira cadangan dengan pangkat pembantu Letnan. Hari pertama
pendidikan, Nasution langsung mengikuti kegiatan baris-berbaris. Kehidupan tentara sangat
keras dan benar-benar menuntut disiplin dan kemampuan untuk menyesuaikan diri. Pada bulan
September 1940, Nasution naik pangkat menjadi Kopral, tiga bulan kemudian nail pangkat lagi
menjadi Sersan. Setiap ada kesempatan, Nasution bertemu dengan keluarga Indonesia yang
dikenal sebagai aktivis pergerakan. Diamdiam Nasution pun memberikan latihan kemiliteran
pada pemuda-pemuda organisasi di Pasundan.

Menemukan Pasangan Hidup


Nasution menghabiskan masa lajangnya pada tahun 1947, saat ia menjabat sebagai Panglima
Divisi Siliwangi. Masa itu, ada kebijakan rasionalisasi dari pemerintah akibat siasat politik
Belanda dengan membentuk Negara Pasundan. Disela-sela kesibukannya mengatur serangan
terhadap Belanda, Nasution selalu menyempatkan untuk menengok kekasihnya Sunarti putri dari
bapak Gondokoesoemo di Ciwidey. Tidak lama setelah Divisi Siliwangi dikukuhkan, tanggal 17
Februari 1947, Nasution bertukar cincin dengan Sunarti. Sunarti saat itu masih berstatus
mahasiswa di perguruan tinggi Universitas Gadjah Mada.
Rencana Nasution dan Sunarti, setelah bertukar cincin mereka akan segera melangsungkan
pernikahan. Hubungan Nasution dan Sunarti sebenarnya tidak mendapatkan restu dari orangtua
Sunarti bapak Gondokoesoemo. Alasan orangtua Sunarti, karena Nasution sudah dianggap
seperti anak sendiri, tetapi setelah menyadari bahwa cinta mereka berdua amat suci maka bapak
Gondokoesoemo merestui hubungan Nasution dengan Sunarti, putrinya. Sunarti berhenti dari
kuliahnya di Universitas Gajah Mada setelah menikah. Pernikahan mereka dilangsungkan pada
tanggal 30 Mei 1947 di Ciwidey secara adat Sunda. Dua hari setelah pernikahannya, Nasution
kembali ke Medan perjuangan. Pernikahan Nasution dan Sunarti dikaruniai dua orang putri yang
bernama Hendrianti Shara Nasution dan Ade Irma Nasution. Malangnya anak kedua Nasution,
Ade Irma Nasution harus gugur mendahului ayahnya akibat peristiwa kebiadaban G 30 S/PKI.
Ade meninggal dunia pada usia 5,5 tahun.

Revolusi Nasional Indonesia RNI


Divisi Siliwangi
Setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Nasution
bergabung dengan militer Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Tentara Keamanan
Rakyat (TKR). Pada bulan Mei 1946, ia diangkat menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi,
yang memelihara keamanan Jawa Barat. Dalam posisi ini, Nasution mengembangkan teori
perang teritorial yang akan menjadi doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada
masa depan.
Pada bulan Januari 1948, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda
menandatangani Perjanjian Renville, membagi Jawa antara daerah yang dikuasai Belanda dan
Indonesia. Karena wilayah yang diduduki oleh Belanda termasuk Jawa Barat, Nasution dipaksa
untuk memimpin Divisi Siliwangi menyeberang ke Jawa Tengah.

Wakil Panglima
Pada 1948 Nasution naik ke posisi Wakil Panglima TKR. Meskipun hanya berpangkat Kolonel,
penunjukan ini membuat Nasution menjadi orang paling kuat kedua di TKR, setelah
Jenderal Soedirman. Nasution segera pergi untuk bekerja dalam peran barunya. Pada bulan
April, ia membantu Soedirman mereorganisasi struktur pasukan. Pada bulan Juni, pada sebuah
pertemuan, saran Nasution bahwa TKR harus melakukan perang gerilya melawan Belanda
disetujui.
Meski bukanlah Panglima TKR, Nasution memperoleh pengalaman peran sebagai Panglima
Angkatan Bersenjata pada bulan September 1948 saat Peristiwa Madiun. Kota Madiun di Jawa
Timur diambil alih oleh mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan Musso dari Partai
Komunis Indonesia (PKI). Setelah kabar itu sampai ke Markas TKR di Yogyakarta, diadakan
pertemuan antara perwira militer senior. Soedirman sangat ingin menghindari kekerasan dan
ingin negosiasi dilakukan. Soedirman kemudian menugaskan Letnan Kolonel Soeharto, untuk
menegosiasikan kesepakatan dengan komunis. Setelah melakukan perjalanannya, Soeharto
kembali ke Nasution dan Soedirman untuk melaporkan bahwa segala sesuatu tampak damai.
Nasution tidak percaya laporan ini sementara Soedirman sedang sakit. Nasution sebagai Wakil
Panglima kemudian memutuskan tindakan keras, mengirim pasukan untuk mengakhiri
pemberontakan komunis di sana.
Pada 30 September, Madiun diambil alih oleh pasukan republik dari Divisi Siliwangi. Ribuan
anggota partai komunis tewas dan 36.000 lainnya dipenjara. Di antara yang terbunuh
adalah Musso pada 31 Oktober, diduga ia terbunuh ketika mencoba melarikan diri dari penjara.
Pemimpin PKI lainnya seperti DN Aidit pergi ke pengasingan di Cina.
Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan sukses di Yogyakarta dan kemudian
mendudukinya. Nasution, bersama-sama dengan TKR dan para komandan lainnya, mundur ke
pedesaan untuk melawan dengan taktik perang gerilya. Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Mohammad Hatta ditawan Belanda, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
didirikan di Sumatra. Dalam pemerintahan sementara ini, Nasution diberikan posisi Komandan
Angkatan Darat dan Teritorial Jawa. Setelah pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia,
PDRI mngembalikan kekuasaan kepada Soekarno dan Hatta, dan Nasution kembali ke posisinya
sebagai Wakil Panglima Soedirman.

Era Demokrasi Parlementer


Periode Pertama sebagai KSAD
Pada tahun 1950, Nasution mengambil posisinya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat,
dengan T.B. Simatupang menggantikan Soedirman yang telah meninggal dunia sebagai Kepala
Staf Angkatan Perang.
Pada tahun 1952, Nasution dan Simatupang memutuskan untuk mengadopsi kebijakan
restrukturisasi dan reorganisasi untuk ABRI. Dalam pengaturan ini, Nasution dan Simatupang
berharap untuk menciptakan tentara yang lebih kecil tetapi yang lebih modern dan
professional. Nasution dan Simatupang, yang keduanya telah dilatih oleh pemerintah kolonial
Belanda ingin melepaskan para prajurit yang dilatih oleh Jepang dan mengintegrasikan lebih
banyak tentara yang dilatih oleh Belanda. Namun hal ini ditentang oleh Bambang Supeno yang
merupakan pimpinan prajurit yang dilatih oleh Jepang.
Dalam mengadopsi kebijakan mereka, Nasution dan Simatupang mendapat dukungan dari
Perdana Menteri Wilopo dan Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX. Namun, Bambang
Supeno berhasil menemukan dukungan dari kalangan partai oposisi di Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Para anggota DPR kemudian mulai membuat perbedaan pendapat mereka tentang
restrukturisasi ABRI. Nasution dan Simatupang tidak senang melihat apa yang mereka anggap
sebagai campur tangan urusan militer oleh warga sipil.
Peristiwa 17 Oktober
Pada 17 Oktober 1952, Nasution dan Simatupang memobilisasi pasukan mereka dalam unjuk
kekuatan. Memprotes campur tangan sipil dalam urusan militer, pasukan Nasution dan
Simatupang mengelilingi Istana Kepresidenan dan mengarahkan moncong meriam ke Istana.
Permintaan mereka ke Soekarno adalah mengajukan tuntutan pembubaran DPR. Untuk alasan
ini, Nasution dan Simatupang juga memobilisasi demonstran sipil. Soekarno keluar dari Istana
Kepresidenan dan meyakinkan baik tentara dan warga sipil untuk pulang. Nasution dan
Simatupang telah dikalahkan.
Nasution dan Simatupang kemudian diperiksa oleh Jaksa Agung Suprapto. Pada bulan Desember
1952, mereka berdua kehilangan posisi mereka di ABRI dan diberhentikan dari ikatan dinas.

Pokok-Pokok Gerilya
Ketika ia bukan lagi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Nasution menulis sebuah buku
berjudul Pokok-Pokok Gerilya. Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman Nasution sendiri yang
berjuang dan mengorganisir perang gerilya selama Perang Kemerdekaan Indonesia. Awalnya
buku ini dirilis pada tahun 1953, dan menjadi salah satu buku yang paling banyak dipelajari pada
perang gerilya bersama dengan karya-karya Mao Zedong pada subjek yang sama.

Periode Kedua sebagai KSAD


Pada 7 November 1955, setelah tiga tahun pengasingan, Nasution diangkat kembali ke posisi
lamanya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Dia segera mulai bekerja pada angkatan darat dan
strukturnya dengan mengadopsi pendekatan tiga kali lipat. Pendekatan pertama adalah untuk
merumuskan sistem tur tugas, sehingga perwira bisa ditempatkan di seluruh negeri dan
mendapatkan pengalaman. Pendekatan ini juga akan menghasilkan perwira militer yang lebih
profesional, bukannya merasa ikatan pribadi dan loyalitas ke provinsi dan daerah dari mana
mereka berasal. Pendekatan kedua Nasution adalah untuk memusatkan pelatihan militer. Semua
metode pelatihan pasukan sekarang akan seragam, bukan komandan daerah yang menyiapkan
metode pelatihan pasukan mereka sendiri. Pendekatan ketiga dan yang paling penting adalah
untuk meningkatkan pengaruh militer dan kekuatan sehingga mampu mengurus dirinya sendiri,
bukan mengandalkan keputusan sipil. Nasution tidak memiliki masalah menerapkan dua
pendekatan pertama, tetapi ia harus menunggu untuk menerapkan pendekatan ketiga.
Pada 1957, Presiden Soekarno mulai memperkenalkan konsep Demokrasi Terpimpin untuk
retorikanya dalam menanggapi kekecewaan dengan pendekatan Demokrasi Parlementer yang
telah diadopsi Indonesia sejak November 1945. Dalam hal ini, ia menemukan ikatan yang sama
dengan Nasution dan tentara, yang tidak lupa cara di mana warga sipil mengganggu urusan
militer pada tahun 1952. Pada 14 Maret 1957, setelah menerima pengunduran diri Perdana
Menteri Ali Sastroamidjojo dan kabinetnya, Soekarno mengumumkan keadaan darurat.
Langkah ini tidak hanya mengakhiri peran seremonial Soekarno sebagai presiden, tetapi juga
meningkatkan pengaruh dan kekuasaan militer. Dalam pengaturan ini, panglima daerah mampu
mencampuri urusan sipil seperti ekonomi dan masalah administrasi. Atas perintah dari Soekarno
sendiri, tentara juga mulai berpartisipasi dalam politik, mengisi posisi yang berkisar dari menteri
kabinet hingga gubernur provinsi dan bahkan anggota DPR. Pada bulan Desember 1957,
Nasution semakin meningkatkan peran tentara dengan memerintahkan para tentara untuk
mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda yang baru dinasionalisasi. Selain meningkatkan
peran tentara, langkah ini juga dirancang untuk menghentikan pengaruh PKI yang semakin kuat.
Pada tahun 1958, Nasution menyampaikan pidato terkenal yang akan menjadi dasar bagi
doktrin Dwifungsi yang pada rezim Soeharto akan diadopsi. Berbicara di Magelang, Jawa
Tengah, Nasution menyatakan bahwa ABRI harus mengadopsi "jalan tengah" dalam
pendekatannya terhadap bangsa. Menurut Nasution, ABRI tidak harus di bawah kendali sipil.
Pada saat yang sama, ABRI tidak boleh mendominasi bangsa dengan sedemikian rupa sehingga
menjadi sebuah kediktatoran militer.

Pemberontakan PRRI
Pada akhir 1956, ada tuntutan dari panglima daerah di Sumatra untuk otonomi yang lebih di
provinsi-provinsi mereka. Ketika tuntutan ini tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat, pasukan
mulai memberontak, dan pada awal 1957, telah tegas mengambil alih pemerintahan di Sumatra.
Kemudian, pada tanggal 15 Februari 1958, Letkol Ahmad Husein menyatakan
pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Hal ini mendorong
pemerintah pusat untuk menggelar pasukan.
Sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Nasution biasanya telah terlibat dalam memobilisasi
pasukan ke Sumatra. Namun, kali ini Kolonel Ahmad Yani yang ditugaskan memimpin pasukan
kesana dan berhasil menumpas pemberontakan.

Kembali ke UUD 1945


Pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan dekret yang menyatakan bahwa Indonesia sekarang
akan kembali ke UUD 1945 yang asli. Sistem demokrasi parlementer akan berakhir dan
Soekarno sekarang adalah Kepala Pemerintahan dan sekaligus Kepala Negara. Nasution diangkat
menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan di Kabinet Soekarno, sambil terus memegang posisi
sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.

Era Demokrasi Terpimpin


Korupsi di Angkatan Darat
Sejak 1956, Nasution telah berusaha untuk membasmi korupsi di Angkatan Darat, tetapi kembali
berlakunya UUD 1945 tampaknya telah memperbaharui tekadnya dalam hal ini. Dia percaya
bahwa tentara harus memberi contoh untuk seluruh masyarakat. Tidak lama setelah keputusan
Soekarno, Nasution mengirim Brigadir Jenderal Sungkono untuk menyelidiki transaksi keuangan
dari Kodam IV/Diponegoro dan panglimanya, Kolonel Soeharto.
Temuan Sungkono mengungkapkan bahwa selama menjadi pangdam, Soeharto telah mendirikan
yayasan untuk membantu masyarakat setempat. Namun, yayasan tersebut didanai melalui
pungutan wajib (bukan sumbangan sukarela) dari industri produksi dan layanan. Soeharto juga
terlibat dalam barter ilegal. Dia telah membarter gula dengan beras dari Thailand.
Nasution ingin mengambil tindakan terhadap Soeharto dan mengusirnya dari militer. Namun,
Wakil Kepala Staf Angkatan Darat, Gatot Soebroto mengintervensi. Gatot telah menjadikan
Soeharto berada di bawah sayapnya ketika ia menjadi Pangdam IV/Diponegoro dan telah melihat
bakat dari Soeharto. Gatot meminta Nasution untuk tidak mengusir Soeharto karena bakat
Soeharto bisa dikembangkan lebih lanjut. Nasution mendengarkan saran Gatot. Keputusannya
adalah untuk mencopot Soeharto dari jabatannya dan menghukumnya dengan mengirimnya
ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad).

Irian Barat
Selama perjuangan kemerdekaan, Soekarno selalu menganggap Irian Barat juga termasuk
sebagai Indonesia. Ketika Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia, Irian Barat terus
menjadi koloni Belanda. Soekarno tidak menyerah dan terus mendorong Irian Barat harus
dimasukkan sebagai bagian dari Indonesia melalui PBB dan melalui Konferensi Asia–Afrika, di
mana negara-negara yang hadir berjanji untuk mendukung klaim Indonesia. Belanda tetap terus
bersikeras. Pada tahun 1960, Soekarno sudah kehabisan kesabaran. Pada bulan Juli, ia bertemu
dengan penasihat utamanya, termasuk Nasution, dan disepakati bahwa Indonesia akan mengejar
kebijakan konfrontasi melawan Belanda pada masalah Irian Barat.
Sebagai bagian dari persiapan untuk operasi ini, Nasution berpaling ke Soeharto, yang telah
menyelesaikan kursus Seskoad pada bulan November 1960. Soeharto, sekarang seorang brigadir
jenderal, ditugaskan oleh Nasution untuk membuat unit kekuatan strategis yang akan siaga, siap
ketika dipanggil untuk melakukan tindakan setiap saat. Soeharto ditempatkan bertugas di gugus
tugas ini dan pada bulan Maret 1961, Cadangan Umum Angkatan Darat (Caduad) dibentuk,
dengan Soeharto diangkat sebagai panglimanya. Caduad pada tahun 1963 berubah nama
menjadi Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad).
Pada awal 1962, Nasution dan Yani adalah komandan keseluruhan yang disebut dengan
operasi Pembebasan Irian Barat, dengan Soeharto yang ditempatkan di Indonesia timur sebagai
komandan lapangan.

Rivalitas dengan PKI


Pada saat ini, Soekarno mulai melihat PKI sebagai sekutu politik utamanya, bukan tentara lagi.
Meskipun ia telah menetapkan Indonesia nonblok selama Perang Dingin, pernyataan
bahwa PRRI diberi bantuan oleh Amerika Serikat, menyebabkan Soekarno mengadopsi sikap
anti-Amerika. Dalam hal ini, ia memiliki PKI sebagai sekutu alami. Bagi PKI, bersekutu dengan
Soekarno hanya akan menambah momentum politik sebagai pengaruh mereka terus tumbuh
dalam politik Indonesia.
Nasution mewaspadai pengaruh PKI atas Soekarno dan pada gilirannya, Soekarno menyadari
bahwa Nasution tidak senang tentang pengaruh PKI dan mengambil langkah untuk melemahkan
kekuasaannya. Pada bulan Juli 1962, Soekarno mereorganisasi struktur ABRI. Status kepala
cabang Angkatan Bersenjata sekarang akan ditingkatkan dari kepala staf menjadi panglima.
Sebagai panglima, kepala cabang angkatan bersenjata akan memiliki kekuatan lebih dan hanya
akan menjawab untuk Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Yang membantu Soekarno
sebagai Panglima Tertinggi ABRI adalah kepala staf ABRI. Soekarno menunjuk Nasution untuk
posisi kepala staf ABRI[20] dan menunjuk Yani sebagai panglima angkatan darat. Dengan
melakukan ini, Soekarno menurunkan kekuatan Nasution, sebagai kepala staf ABRI ia hanya
bertanggung jawab untuk hal-hal administratif saja dan ia tanpa pasukan.
Sekarang dalam posisi tak berdaya, Nasution mulai memikirkan cara lain untuk menghentikan
momentum PKI. Saat yang tepat datang pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) pada Mei 1963. Nasution, Partai Nasional Indonesia (PNI) serta
anggota TNI yang hadir mengajukan mosi bahwa Soekarno ditunjuk sebagai presiden seumur
hidup.[21] Alasan di balik ini adalah bahwa dengan ditunjuknya Soekarno sebagai presiden
seumur hidup, maka tidak akan ada pemilu, dan tanpa pemilu, PKI tidak akan bisa mendapatkan
berkuasa tidak peduli berapa banyak partai tumbuh. Akhirnya, Soekarno menjadi presiden
seumur hidup.

Perbedaan dengan Yani


Nasution segera mulai mengembangkan sikap permusuhan terhadap Yani. Keduanya, baik
Nasution dan Yani sama-sama anti-komunis, tetapi sikap mereka terhadap Soekarno berbeda.
Nasution mengkritik Soekarno yang dianggap mendukung PKI, sementara Yani, seorang loyalis
Soekarno, mengambil sikap yang lebih lembut. Nasution mengkritik sikap lembut Yani dan
hubungan antara keduanya memburuk. Untuk membuat keadaan menjadi lebih buruk, Yani
mulai menggantikan komandan daerah yang dekat dengan Nasution dengan mereka yang dekat
dengan dirinya.
Pada 13 Januari 1965, sebuah delegasi dari pejabat yang mewakili Nasution dan Yani bertemu
dalam upaya untuk mendamaikan perbedaan antara dua jenderal itu. Pertemuan itu gagal
mengusahakan Yani untuk menjauhkan diri dari Soekarno, tetapi delegasi sepakat untuk
mengadakan seminar di mana mereka bisa berbicara tentang iklim politik saat ini dan peran
tentara dalam politik.
Sebuah dokumen beredar di Jakarta. Dijuluki Dokumen Gilchrist, dokumen itu adalah surat yang
mengaku datang dari Duta Besar Britania Raya Andrew Gilchrist, dan menyebutkan "teman-
teman tentara lokal kami". Kecurigaan pun langsung dilemparkan pada tentara yang ingin
memulai kudeta. Meskipun Yani dengan cepat menyangkal tuduhan itu, PKI mulai menjalankan
kampanye, mengklaim bahwa Dewan Jenderal yang berencana menggulingkan presiden. Sebagai
perwira paling senior di Angkatan Darat, Nasution dan Yani terlibat untuk menjadi bagian dari
Dewan ini.
G30S dan Transisi ke Orde Baru
Percobaan Penculikkan
Pada pagi hari 1 Oktober 1965, pasukan yang menyebut diri mereka Gerakan 30
September (G30S) mencoba untuk menculik tujuh perwira Angkatan Darat anti-komunis
termasuk Nasution. Letnan Doel Arief yang memimpin pasukan untuk menangkap Nasution, dan
timnya yang terdiri dari empat truk dan dua mobil militer berjalan menyusuri Jalan Teuku Umar
yang sepi pada pukul 4:00 pagi. Rumah Nasution di No 40, rumah sederhana dengan satu lantai.
Penjaga rumah di pos jaga di luar rumah melihat kendaraan yang datang, tetapi setelah melihat
orang-orang itu tentara dia tidak curiga dan tidak menelepon atasannya. Sersan Iskaq, yang
bertanggung jawab menjaga rumah saat itu. Sersan itu berada di ruang jaga di ruang depan
bersama dengan setengah lusin tentara, beberapa di antaranya sedang tidur. Seorang penjaga
sedang tidur di taman depan dan satu lagi sedang bertugas di bagian belakang rumah. Dalam
sebuah pondok yang terpisah, dua ajudan Nasution sedang tidur, seorang letnan muda
bernama Pierre Tendean, dan ajun komisaris polisi Hamdan Mansjur.
Sebelum alarm menyala, pasukan Letnan Arief telah melompat pagar dan menguasai para
penjaga yang mengantuk di pos jaga dan ruang jaga. Lainnya masuk dari seluruh sisi rumah dan
menutupinya dari belakang. Sekitar lima belas tentara masuk ke rumah. Nasution dan istrinya
terganggu oleh nyamuk dan terjaga. Mereka tidak mendengar para penjaga yang telah dikuasai
tetapi Nyonya Nasution mendengar pintu dibuka paksa. Dia bangkit dari tempat tidur untuk
memeriksa dan membuka pintu kamar tidur, ia melihat tentara Cakrabirawa (pengawal presiden)
dengan senjata siap menembak. Dia menutup pintu dan berteriak memberitahu suaminya.
Nasution ingin melihatnya dan ketika dia membuka pintu, tentara menembak ke arahnya. Dia
melemparkan dirinya ke lantai dan istrinya membanting dan mengunci pintu. Orang-orang di sisi
lain mulai menghancurkan pintu bawah dan melepaskan tembakan-tembakan ke kamar tidur.
Nyonya Nasution mendorong suaminya keluar melalui pintu lain dan menyusuri koridor ke pintu
samping rumah. Nasution berlari ke halaman rumahnya menuju dinding yang memisahkan
halamannya dengan Kedutaan Besar Irak. Dia ditemukan oleh tentara yang kemudian
menembaknya tetapi meleset. Memanjat dinding, Nasution mengalami patah pergelangan kaki
saat ia jatuh ke halaman Kedutaan Irak untuk bersembunyi. Dia tidak dikejar.
Seluruh penghuni rumah terbangun dan ketakutan oleh penembakan itu. Ibu dan adik Nasution,
Mardiah, juga tinggal di rumah dan berlari ke kamar tidur Nasution. Mardiah membawa putri
Nasution yang berusia lima tahun, Irma, dari tempat tidurnya, memeluk erat anak itu dalam
pelukannya, dan mencoba lari ke tempat aman. Saat ia berlari, seorang kopral dari penjaga istana
melepaskan tembakan ke arahnya melalui pintu. Irma tertembak dan menerima tiga peluru di
punggungnya. Dia meninggal lima hari kemudian di rumah sakit. Putri sulung Nasution, Janti
yang berusia 13 tahun, dan perawatnya Alfiah sudah lari ke rumah pondok ajudan Nasution dan
bersembunyi di bawah tempat tidur.
Tendean mengambil senjatanya dan lari dari rumah, tetapi ia tertangkap dalam beberapa langkah.
Dalam kegelapan, ia membuat kesalahan dan sudah berada di bawah todongan senjata. Setelah
mendorong suaminya keluar rumah, Nyonya Nasution lari ke dalam dan membawa putrinya
yang terluka. Saat ia menelepon dokter, pasukan Cakrabirawa menuntutnya agar memberitahu
mereka di mana keberadaan suaminya. Kabarnya dia melakukan percakapan singkat sambil
marah-marah dengan Arief dan mengatakan kepadanya bahwa Nasution sedang keluar kota
selama beberapa hari ini. Pasukan itu pun pergi dari rumah Nasution dan membawa Tendean
pergi dengan mereka. Nyonya Nasution membawa putrinya yang terluka ke rumah sakit pusat
angkatan darat. Komandan garnisun Jakarta, Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, bergegas
ke rumah Nasution.
Karel Satsuit Tubun, seorang penjaga di rumah Wakil Perdana Menteri Indonesia, Johannes
Leimena yang juga merupakan tetangga Nasution, mendengar keributan dan berjalan ke rumah
Nasution. Dalam kebingungan penjaga itu ditembak dan dibunuh. Pembunuhan penjaga itu tidak
direncanakan.
Nasution terus bersembunyi di halaman tetangganya sampai pukul 06:00 ketika ia kembali ke
rumahnya dalam keadaan patah pergelangan kaki. Nasution kemudian meminta ajudan untuk
membawanya ke Departemen Pertahanan dan Keamanan karena dia pikir itu akan lebih aman di
sana. Nasution kemudian mengirim pesan kepada Soeharto di markas Kostrad, mengatakan
kepadanya bahwa ia masih hidup dan aman. Setelah mengetahui bahwa Soeharto mengambil alih
komando tentara, Nasution kemudian memerintahkan dia untuk mengambil langkah-langkah
seperti mencari tahu keberadaan presiden, menghubungi panglima angkatan laut R.E.
Martadinata, komandan korps marinir R. Hartono serta kepala kepolisian Soetjipto
Joedodihardjo, dan mengamankan Jakarta dengan menutup semua jalan yang mengarah ke
sana. Angkatan udara tidak termasuk karena Panglima Omar Dhani dicurigai sebagai
simpatisan G30S. Soeharto segera mengintegrasikan perintah tersebut ke dalam rencananya
untuk mengamankan kota.
Sekitar pukul 14:00, setelah Gerakan 30 September mengumumkan pembentukan Dewan
Revolusi, Nasution mengirim perintah lain untuk Soeharto, Martadinata dan Joedodihardjo.
Dalam rangka itu, Nasution mengatakan bahwa ia yakin Soekarno telah diculik dan dibawa ke
markas G30S di Halim. Karena itu ia memerintahkan ABRI untuk membebaskan presiden,
memulihkan keamanan Jakarta, dan yang paling penting, menunjuk Soeharto sebagai kepala
operasi. Sama seperti Soeharto yang mulai bekerja, tetapi, pesan datang dari Soekarno di Halim.
Soekarno telah memutuskan untuk menunjuk Mayjen Pranoto Reksosamodra – loyalis Soekarno
– untuk mengisi posisi Panglima Angkatan Darat dan sekarang ingin Pranoto untuk datang
menemuinya. Soeharto tidak mengizinkan Pranoto pergi tetapi ia tahu bahwa Soekarno tidak
akan menyerah untuk mencoba memanggil Pranoto. Untuk memperkuat posisi tawar, Soeharto
meminta Nasution untuk datang ke Markas Kostrad.
Nasution tiba di markas Kostrad sekitar pukul 6 sore, Soeharto mulai mengerahkan
pasukan Sarwo Edhie Wibowo untuk mengamankan Jakarta dari Gerakan 30 September. Di
sana, Nasution akhirnya menerima pertolongan pertama untuk pergelangan kakinya yang patah.
Setelah Jakarta aman, Martadinata datang ke markas Kostrad dengan salinan Keputusan Presiden
yang menunjuk Pranoto. Setelah melihat keputusan tersebut, Soeharto mengundang Martadinata
dan Nasution ke ruangan untuk membahas situasi.
Nasution meminta Martadinata bagaimana caranya presiden datang untuk menunjuk Pranoto.
Martadinata menjawab bahwa pada sore hari ia, Joedodihardjo, dan Dhani telah menghadiri
pertemuan dengan Soekarno di Halim untuk memutuskan siapa yang harus menjadi Panglima
Angkatan Darat setelah Yani tewas. Pertemuan telah memutuskan bahwa Pranoto harus menjadi
Panglima Angkatan Darat. Nasution mengatakan bahwa penunjukan Soekarno tidak dapat
diterima karena penunjukan datang ketika Soeharto telah memulai operasi. Nasution dan
Soeharto kemudian mengundang Pranoto dan meyakinkannya untuk menunda menerima
pengangkatannya sebagai Panglima Angkatan Darat sampai setelah Soeharto selesai menumpas
percobaan kudeta.
Dengan pasukan Sarwo Edhie, Jakarta dengan cepat berhasil diamankan. Soeharto kemudian
mengalihkan perhatiannya ke Halim dan mulai membuat persiapan untuk menyerang pangkalan
udara. Untuk membantunya, Nasution memerintahkan angkatan laut dan polisi untuk membantu
Soeharto dalam menumpas Gerakan 30 September. Untuk angkatan udara, Nasution
mengeluarkan perintah mengatakan bahwa mereka tidak akan dihukum atas pembangkangan jika
mereka menolak untuk mematuhi perintah Dhani. Pada pukul 06:00 tanggal 2 Oktober, Halim
berhasil diambil alih dan Gerakan 30 September secara resmi dikalahkan.

Kehilangan Kesempatan
Meskipun Soeharto telah menjadi tokoh kunci pada 1 Oktober, banyak perwira Angkatan Darat
lainnya masih berpaling ke Nasution untuk kepemimpinan dan mengharapkannya untuk
mengambil kontrol yang lebih menentukan situasi. Namun, Nasution tampak ragu-ragu dan
perlahan tetapi pasti dukungan mulai menjauh darinya. Mungkin alasan ini adalah karena ia
masih berduka atas putrinya, Ade Irma, yang meninggal pada tanggal 6 Oktober.
Dalam beberapa minggu pertama setelah G30S, Nasution-lah yang terus-menerus melobi
Soekarno untuk menunjuk Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat. Soekarno, yang setelah 1
Oktober tetap menginginkan Pranoto sebagai pimpinan angkatan darat, awalnya menjadikan
Soeharto sebagai Panglima Kopkamtib, tetapi dengan lobi terus-menerus yang dilakukan
Nasution, Soekarno akhirnya dibujuk dan pada tanggal 14 Oktober 1965, ditunjuklah Soeharto
sebagai Panglima Angkatan Darat.
Sebuah peluang emas datang ke Nasution pada bulan Desember 1965 ketika ada pembicaraan
tentang penunjukkan dirinya sebagai wakil presiden untuk membantu Soekarno dalam masa
ketidakpastian. Nasution tidak memanfaatkan ini dan memilih untuk tidak melakukan apa-apa.
Soeharto mengambil inisiatif pada awal 1966 dengan mengeluarkan pernyataan yang
mengatakan bahwa tidak ada kebutuhan untuk mengisi kursi wakil presiden yang kosong.
Pada 24 Februari 1966, Nasution tidak lagi menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan
Keamanan dalam perombakan kabinet. Posisi Kepala Staf ABRI juga dihapuskan.
Pada tahap ini, harapan bahwa Nasution akan melakukan sesuatu sekarang telah hilang, para
perwira militer dan gerakan mahasiswa berada di belakang Soeharto. Namun demikian, ia terus
menjadi tokoh yang dihormati, banyak perwira militer megunjunginya pada hari-hari menjelang
penandatanganan Supersemar, dokumen penyerahan kewenangan dari Soekarno ke Soeharto.
Bahkan, ketika Soeharto hendak pergi Markas Kostrad untuk menunggu pengiriman Supersemar,
dia menelepon Nasution dan meminta restunya. Istri Nasution memberi restu atas nama
Nasution, yang tidak hadir.
Indra politik Nasution tampaknya telah kembali setelah Soeharto menerima Supersemar. Itu
mungkin karena dia yang pertama kali menyadari bahwa Supersemar tidak hanya memberikan
kekuasaan darurat kepada Soeharto tetapi juga memberinya kontrol eksekutif. Pada 12 Maret
1966, setelah Soeharto melarang keberadaan PKI, Nasution menyarankan kepada Soeharto
bahwa ia membentuk kabinet darurat.[31] Soeharto, masih hati-hati tentang apa yang dia bisa
atau tidak bisa lakukan dengan kekuatan barunya, karena pembentukan kabinet adalah tanggung
jawab presiden. Nasution mendorong Soeharto, berjanji untuk memberikan dukungan penuh
tetapi Soeharto tidak menanggapi dan percakapan berakhir tiba-tiba.

Ketua MPRS
Dengan kekuatan barunya, Soeharto mulai membersihkan pemerintahan dari pengaruh komunis.
Setelah penangkapan 15 menteri kabinet pada 18 Maret 1966, Soeharto mengincar MPRS,
mencopot anggota yang dianggap simpatisan komunis dan menggantinya dengan anggota yang
lebih bersimpati pada tujuan militer. Selama pembersihan, MPRS juga kehilangan
ketuanya, Chaerul Saleh, dan ada kebutuhan untuk mengisi posisi yang kosong.
Nasution adalah pilihan yang sangat populer karena semua fraksi di MPRS menominasikan dia
untuk posisi Ketua MPRS. Namun, Nasution menunggu sampai Soeharto menyatakan dukungan
untuk pencalonannya sebelum menerima nominasi.
Pada 20 Juni 1966, Sidang Umum MPRS dimulai. Nasution menetapkan Supersemar sebagai
agenda pertama yang akan dibahas dalam daftar dengan berjalan ke aula pertemuan dengan
dokumen yang sebenarnya. Keesokan harinya, pada 21 Juni, MPRS meratifikasi Supersemar,
sehingga ilegal bagi Soekarno untuk menariknya kembali. Pada 22 Juni, Soekarno
menyampaikan pidato berjudul Nawaksara (Sembilan butir) di depan sidang. Nasution dan
anggota MPRS lainnya merasa kecewa. Soekarno tidak menyebutkan apa-apa tentang G30S.
Sebaliknya, Soekarno tampaknya memberikan penjelasan tentang pengangkatannya sebagai
presiden seumur hidup, rencana kerjanya sebagai presiden, dan bagaimana Konstitusi bekerja
dalam praktik. MPRS menolak untuk meratifikasi pidato ini.
Selama dua minggu ke depan, Nasution sibuk memimpin Sidang Umum MPRS. Di bawah
kepemimpinannya, MPRS mengambil langkah-langkah seperti melarang paham Marxisme-
Leninisme, mencabut keputusan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan memerintahkan
pemilihan legislatif yang akan diselenggarakan pada bulan Juli 1968. Sidang Umum MPRS juga
meningkatkan kekuasaan Soeharto dengan secara resmi memerintahkannya untuk merumuskan
kabinet baru. Sebuah keputusan juga disahkan yang menyatakan bahwa jika presiden tidak
mampu melaksanakan tugasnya, ia kini akan digantikan oleh pemegang Supersemar, bukan
wakil presiden.
Tahun 1966 pun berlalu, Soekarno semakin defensif dan popularitasnya di kalangan rakyat
Indonesia semakin menurun. Soeharto, yang tahu bahwa kemenangan politiknya sudah dekat,
turun untuk memainkan peran orang Jawa yang sopan dengan terus-menerus memberikan kata-
kata meyakinkan kepada Soekarno dan membelanya dari tuntutan para demonstran. Jenderal
lainnya seperti Nasution tidak penuh belas kasihan, Nasution menyatakan bahwa Soekarno harus
bertanggung jawab atas situasi buruk yang melanda pemerintahan dan masyarakat Indonesia
pada saat itu. Nasution juga menyerukan agar Soekarno dibawa ke pengadilan.
Pada 10 Januari 1967, Nasution dan MPRS bersidang lagi dan Soekarno menyerahkan
laporannya (dia tidak menyampaikan hal itu secara pribadi sebagai pidato) yang diharapkan bisa
mengatasi masalah G30S. Diberi judul "Pelengkap Nawaksara", laporan itu berbicara tentang
desakan Soekarno menyebut G30S dengan Gerakan 1 Oktober (Gestok). Pada G30S, Soekarno
mengatakan bahwa PKI membuat kesalahan besar pada pagi hari 1 Oktober, tetapi juga
menambahkan bahwa hal ini disebabkan oleh kecerdikan pihak neokolonialis. Soekarno juga
menambahkan bahwa jika ia akan disalahkan atas G30S, Menteri Pertahanan dan Keamanan
pada saat itu (Nasution) juga harus disalahkan karena tidak melihat G30S datang dan
menghentikannya sebelum terjadi. Laporan sekali lagi ditolak oleh MPRS.
Pada bulan Februari 1967, DPR-GR menyerukan Sidang Istimewa MPRS pada bulan Maret
untuk mengganti Soekarno dengan Soeharto. Soekarno tampaknya pasrah akan nasibnya,
akhirnya pada 12 Maret 1967, Soekarno secara resmi dicabut mandatnya sebagai Presiden oleh
MPRS. Nasution kemudian menyumpah Soeharto ke tampuk kekuasaan sebagai pejabat
presiden. Setahun kemudian pada 27 Maret 1968, Nasution memimpin pemilihan dan pelantikan
Soeharto sebagai Presiden penuh.

Orde Baru
Jatuh dari Kekuasaan
Meskipun bantuan dari Nasution memberinya kesempatan naik ke kekuasaan, Soeharto melihat
Nasution sebagai saingan dan segera mulai bekerja untuk menyingkirkannya dari kekuasaan.
Pada tahun 1969, Nasution dilarang berbicara di Seskoad dan Akademi Militer. Pada tahun 1971,
Nasution tiba-tiba diberhentikan dari dinas militer, ketika berusia 53, dua tahun lebih cepat dari
usia pensiun yakni 55 tahun. Nasution akhirnya pada tahun 1972 digantikan oleh Idham
Chalid sebagai Ketua MPRS. Kejatuhan Nasution secara drastis tersebut membuatnya
mendapatkan julukan sebagai Gelandangan Politik.

Oposisi terhadap Orde Baru


Setelah ia disingkirkan dari posisi kekuasaan, Nasution berkembang menjadi lawan politik Orde
Baru. Pada akhir tahun 70-an, rezim Soeharto telah berubah dari populer menjadi otoriter dan
korup. Pada saat ini banyak suara mulai secara terbuka berbicara dan mengkritik rezim.
Setelah pemilu legislatif tahun 1977, di mana terdapat dugaan kecurangan pemilu yang
dilakukan oleh Golkar, Nasution mengatakan bahwa ada krisis kepemimpinan pada masa Orde
Baru.
Pada bulan Juli tahun 1978, bersama-sama dengan mantan wakil presiden Hatta, Nasution
mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB). Pemerintah Soeharto bergerak
cepat dan tidak mengizinkan YLKB untuk mengadakan pertemuan pertama pada Januari 1979.
Nasution dan YLKB tidak menyerah. Pada bulan Agustus 1979, ia berhasil mengadakan
pertemuan yang dihadiri anggota DPR. Mungkin secara signifikan, anggota ABRI menghadiri
pertemuan tersebut. Dalam pertemuan tersebut, Nasution mengkritik Orde Baru karena tidak
sepenuhnya melaksanakan Pancasila dan UUD 1945.
Soeharto menanggapi kritikan tersebut. Pada 27 Maret 1980, pada Rapat ABRI, Soeharto dalam
pidatonya mengatakan bahwa anggota ABRI harus siap untuk mempertahankan kursi mereka di
DPR dan mereka harus melindungi Pancasila dan UUD 1945 dari kemungkinan-
kemungkinan amendemen. Untuk itu, Soeharto memerintahkan ABRI sebagai sebuah kekuatan
sosial-politik, harus memilih mitra-mitra politik yang benar yang telah terbukti bersedia
mempertahankan Pancasila dan UUD 1945. Hal ini karena pada saat itu diyakini ada kekuatan-
kekuatan sosial-politik yang meragukannya. Soeharto mengulangi hal ini dalam pidato lain
tanggal 16 April 1980, pada kesempatan ulang tahun Kopassus. Di mana ia membantah
tuduhan korupsi dan mengklaim jika memungkinkan, dia akan menculik satu orang dari 2/3
anggota MPR yang menginginkan amendemen. Hal itu akan mencegah MPR untuk
mengubah konstitusi.
Nasution kemudian memutuskan bahwa penentang rezim harus membuat pernyataan besar. Ia
mengumpulkan anggota ABRI yang tidak puas dengan rezim Soeharto seperti mantan Gubernur
Jakarta Ali Sadikin, mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso, dan mantan Wakil Kepala Staf
Angkatan Darat Mochamad Jasin. Mantan Perdana Menteri Mohammad Natsir dan Burhanuddin
Harahap serta ketua PDRI Syafruddin Prawiranegara ikut bergabung. Bersama dengan banyak
nama kritikus terkenal terhadap pemerintah, mereka menandatangani petisi yang dikenal
sebagai Petisi 50, disebut demikian karena ada 50 orang penandatangan petisi tersebut.
Petisi itu ditandatangani pada 5 Mei 1980 dan disampaikan ke DPR pada 13 Mei 1980. Petisi ini
menyerukan Soeharto untuk berhenti menafsirkan Pancasila sesuai tujuannya sendiri dan bagi
ABRI untuk bersikap netral dalam politik bukan malah menguntungkan Golkar. DPR, khususnya
anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia menanggapi
serius petisi ini dan meminta Soeharto untuk merespon masalah ini. Soeharto menjawab bahwa
pidato-pidatonya pada tanggal 27 Maret 1980 dan 16 April 1980 adalah respon yang cukup
memadai. Dia menambahkan jika ada masalah, DPR bisa melakukan penyelidikan khusus. Di
sini anggota PPP dan PDI berhenti, mengetahui bahwa gerakan mereka akan dikalahkan karena
dominasi Golkar.
Bagi penandatangan petisi seperti Nasution, Soeharto memberlakukan larangan perjalanan dan
membuat transaksi bisnis yang sulit sehingga penandatangan petisi akan memiliki masa sulit
dalam mencari nafkah.

Rekonsiliasi
Pada awal tahun 1990-an, Soeharto mulai mengadopsi kebijakan keterbukaan politik, dan
penegakan hukum terhadap penandatangan Petisi 50 dilonggarkan. Pada Juni 1993, ketika ia
berada di rumah sakit karena sakit, Nasution dikunjungi oleh para petinggi militer. Dia kemudian
menerima kunjungan B.J. Habibie, Menteri Riset dan Teknologi. Habibie kemudian mengundang
Nasution dan penandatangan Petisi 50 lainnya untuk mengunjungi galangan kapal dan pabrik
pesawat yang berada di bawah yurisdiksinya. Pemerintah juga mulai mengklaim bahwa
meskipun ada larangan perjalanan bagi para penandatangan Petisi 50, tetapi larangan tersebut
tidak berlaku untuk Nasution. Sementara itu, Nasution membantah telah mengkritik pemerintah,
ia lebih memilih untuk menyebutnya sebagai "perbedaan pendapat".
Akhirnya, pada bulan Juli 1993, Soeharto mengundang Nasution ke Istana Presiden untuk
bertemu. Hal ini diikuti oleh pertemuan lain pada 18 Agustus 1993, setelah perayaan Hari
Kemerdekaan. Tidak ada pembicaraan tentang politik, tetapi jelas bahwa mereka berdua
berusaha untuk melakukan rekonsiliasi terhadap perbedaan di antara mereka. Dalam
sebuah wawancara pada tahun 1995, Nasution mendorong upaya Indonesia untuk melakukan
proses rekonsiliasi sehingga bangsa bisa bersatu di bawah kepemimpinan Soeharto.
Pada tanggal 5 Oktober 1997, pada kesempatan ulang tahun ABRI, Nasution diberi pangkat
kehormatan Jenderal Besar, pangkat yang juga diberikan kepada Soeharto dan Soedirman.

Akhir Hayat
Nasution akhirnya kembali ke hadirat Sang Pencipta, setelah tak lagi sanggup bertahan melawan
penyakit diabetes dan stroke kemudian koma. Beliau meninggal pada Rabu, 6 September 2000
pukul 7.30 WIB di RSPAD Gatot Subroto Jakarta. Beliau dimakamkan di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

Nama : Luciana Aprilianti


Kelas : X KS 2
Hari/tgl : Senin/30 Maret 2020

Soal!
1. Catatlah hal-hal penting dalam teks biografi di atas!
2. Catatlah hal-hal apa saja yang perlu diteladani dari teks biografi di atas!

Jawaban:
1. - Nasution merupakan seorang pejuang yang idealis, taat beribadah dan mampu
memimpin TNI AD dengan baik sehingga TNI tetap mampu mengawal perjalanan
kemerdekaan Republik Indonesia.
- Nasution adalah pencetus konsep dalam Angkatan darat yang sampai sekarang
konsep tersebut masih digunakan oleh kalangan militer yaitu Konsep Dwifungsi
ABRI.
- Ayahnya merupakan salah satu anggota pergerakan Sarekat Islam10, terutama
pamannya, Syeikh Musthafa, adalah pendiri Pesantren Purba, pesantren tertua di
Sumatera Timur, yang saat itu menjadi basis pergerakan melawan Belanda.
- Nasution bergabung dengan militer Indonesia yang kemudian dikenal sebagai
Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada bulan Mei 1946, ia diangkat menjadi
Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang memelihara keamanan Jawa Barat. Dalam
posisi ini, Nasution mengembangkan teori perang teritorial yang akan menjadi
doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada masa depan.
- Pada 17 Oktober 1952, Nasution dan Simatupang memobilisasi pasukan mereka
dalam unjuk kekuatan. Memprotes campur tangan sipil dalam urusan militer, pasukan
Nasution dan Simatupang mengelilingi Istana Kepresidenan dan mengarahkan
moncong meriam ke Istana. Permintaan mereka ke Soekarno adalah mengajukan
tuntutan pembubaran DPR.
- Nasution adalah pilihan yang sangat populer karena semua fraksi di MPRS
menominasikan dia untuk posisi Ketua MPRS. Namun, Nasution menunggu sampai
Soeharto menyatakan dukungan untuk pencalonannya sebelum menerima nominasi.
2. -Pantang Menyerah
-Keberanian dalam menjaga NKRI
-Rela Berkorban
-Ketaatan kepada Tuhan Yang Maha Esa
-Semangat dan rasa cinta tanah air

Anda mungkin juga menyukai