Jenderal Besar TNI Dr. Abdul Haris Nasution adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah satu tokoh TNI AD yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September.
Kelahiran : 3 Desember 1918, Kotanopan
Meninggal : 6 September 2000, Jakarta Pasangan : Johanna Sunarti (m–2000) Pangkat : Jenderal Besar TNI Anak : Ade Irma Suryani Nasution, Hendrianti Saharah Nasution
A. Kehidupan Masa Kecil
Abdul Haris Nasution atau lebih dikenal A.H. Nasution dilahirkan pada tanggal 3 Desember 1918 di desa Hutapungkut, Distrik Mandailing, Kotanopan, Tapanuli Selatan suatu daerah perbatasan antara Sumatera Utara dan Sumatera Selatan tempat yang jauh dari keramaian dan kesibukan industri saat itu.7 Dapatlah dibayangkan besar hati dan rasa syukur keluarga Nasution. Nasution lahir dari pasangan suami istri H. Abdul Halim Nasution dan Hj. Zaharah Lubis. Terlahir sebagai anak kedua, sebagai anak laki-laki pertama dalam keluarganya. Tambahan nama Nasution di belakang nama Abdul Haris adalah mengikuti tradisi suku Batak yang mengikuti marga ayahnya. Sebagai anak laki-laki, Nasution akan meneruskan Marga Nasution tersebut dan silsilah keluarga. Begitulah adat orang Mandailing.
B. Pendidikan Masa Kecil
Keputusan Nasution akan disekolahkan dimana, sebelumnya terjadi konflik diantara orang tuanya. Ayahnya bersi keras setelah menyelesaikan sekolah dasar Nasution harus melanjutkan ke sekolah agama agar dia menjadi kiyai yang seperti yang ayah inginkan, tetapi tidak dengan keinginan ibunya, Nasution harus melanjutkan ke sekolah umum yang disebut sekolah “Belanda” (sekolah yang didirikan oleh Belanda) agar Nasution kelak menjadi dokter, bahkan keinginan kakeknya Nasution harus sekolah setingkat bela diri menjadi seorang pendekar silat, meneruskan jejaknya. Akhirnya saat Nasution memasuki usia sekolah, orang tuanya menyekolahkan ke sekolah Belanda. Walaupun pada masa itu pemerintah Belanda melakukan penyaringan secara ketat bagi anak-anak pribumi untuk diperbolehkan mengikuti pendidikan di sekolah Belanda. Tetapi Nasution salah satu murid pribumi yang lolos dan diperbolehkan sekolah di sekolah Belanda. Tahun 1932. Nasution menamatkan HIS kemudian diterima menjadi siswa di “Sekolah Raja” atau HIK13 yaitu sekolah guru di Bukittinggi. Nasution dan keluarga patut bangga karena hanya satu siswa saja dari tiap sekolah rendah di Sumatera dan Kalimantan yang terpilih untuk sekolah di sekolah guru ini. Di Bukittinggi Nasution tinggal di asrama selama tiga tahun. Seperti saat Nasution masih menduduki bangku Sekolah Dasar yang selalu mendapatkan peringkat baik, di Sekolah Guru Nasution pun selalu mendapatkan perigkat 5 besar di kelas. Saat masuk sekolah di Bukittinggi merupakan perubahan besar dalam cara hidup Nasution, tidak lagi mandi di kali bersama teman-teman semasa kecilnya tapi dalam kamar mandi. Dari tidak beralaskan kaki, menjadi bersepatu, makan dengan sendok dan garpu, dan hidup dalam disiplin asrama. Guru-guru di HIK adalah orang Belanda, kecuali guru seni rupa dan bahasa Melayu. Dengan demikian Nasution dapat mengenal cara berpikir, watak, dan sikap orang Belanda yang kelak akan dihadapinya dalam perang kemerdekaan Indonesia. Tahun 1935 sekolah guru di Bukittinggi resmi dibubarkan, yang masih tersisa hanya sekolah guru di Bandung. Sehingga untuk menamatkan sekolah guru, Nasution harus pindah ke kota Bandung. Nasution selama tiga tahun bersekolah di Bandung, selama itu pula di Nasution harus tinggal di asrama seperti saat dia sekolah di Bukittinggi. Sehingga kehidupannya tidak jauh beda saat tinggal di Bandung dan di Bukittinggi. Hanya saja jam belajar di Bandung lebih ketat dan lama. Sekolah di Bandung mengajarkan Nasution untuk banyak menguasai bahasa-bahasa asing, diantaranya bahasa Belanda, Inggris dan Jerman. Dari hari ke hari minat Nasution dalam bidang kemiliteran semakin tinggi, sebaliknya menjadi guru yang dulu adalah cita-citanya dari kecil semakin menurun. Nasution sering mendalami pelajaran politik daripada pelajaran tentang cara mengajar, terbukti dengan Nasution mengikuti rapat-rapat yang diadakan Indonesia Muda dan rapat-rapat yang digelar oleh aktivis pergerakan nasional.15 Bekal pendidikan yang diperoleh Nasution baik dari lingkungan keluarga, teman dan sekolah Belanda telah membentuk pribadi yang penuh dengan semangat juang dengan harapan kelak Nasution akan mampu melepaskan Indonesia dari penjajahan bangsa asing. Tahun 1938 Nasution menyelesaikan sekolahnya di HIK Bandung kemudian mengikuti ujian akhir AMS16 B di Jakarta.
C. Pendidikan Militer Tahun 1940
Ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda-pemuda Indonesia yang dikenal dengan Corps Opleiding Reserve Officieren (CORO) dengan syarat utama adalah mempunyai ijazah HBS atau AMS, karena Nasution pernah menempuh pendidikan AMS maka ia pun mengikuti seleksi pendidikan CORO di Palembang.17 Setelah melalui tahapan seleksi, Nasution dinyatakan lulus.18 Nasution berlayar ke Bandung untuk menjalani kehidupan di asrama taruna CORO. Di Bandung, Nasution harus berinteraksi dengan pemuda-pemuda Belanda karena hanya belasan pemuda Indonesia yang dapat masuk CORO, diantaranya adalah Alex Kawilarang, M.M.R. Kartakusumah, Aminin, T.B. Simatupang, Askari, dan Samsudarto. Pemerintah kolonial Belanda mengadakan suatu proses untuk secepatnya mengisi kebutuhan akan perwira-perwira.19 Pada tingkat pertama semua peserta menjadi milisi biasa. Pada tingkat kedua dilakukan seleksi, yang terpilih akan dinaikkan pangkat menjadi bintara-bintara milisi. Kemudian diseleksi lagi, yang terpilih akan menjadi taruna-taruna langsung tingkat kedua Akademi atau menjadi calon perwira cadangan dengan pangkat pembantu Letnan. Kehidupan tentara sangat keras dan benar- benar menuntut disiplin dan kemampuan untuk menyesuaikan diri. Pada bulan September 1940, Nasution naik pangkat menjadi Kopral, tiga bulan kemudian naik pangkat lagi menjadi Sersan.20 Setiap ada kesempatan, Nasution bertemu dengan keluarga Indonesia yang dikenal sebagai aktivis pergerakan. Diam-diam Nasution pun memberikan latihan kemiliteran pada pemuda-pemuda organisasi di Pasundan. Dalam Revolusi Kemerdekaan I (1946-1948), beliau diberi wewenang untuk memimpin Divisi Siliwangi. Ketika itulah muncul ide tentang perang gerilya sebagai bentuk perang rakyat. Metode perang ini dikembangkan setelah Pak Nas menjadi Panglima Komando Jawa dalam masa Revolusi Kemerdekaan II (948-1949). Tahun 1948, Pak Nas memimpin pasukan Siliwangi yang menumpas pemberontakan PKI di Madiun. Ia nyaris tewas bersama mendiang putrinya, Ade Irma yang tewas tertembak di rumahnya ketika pemberontakan PKI (G-30-S) meletus kembali tahun 1965. Meskipun sangat mengagumi Bung Karno, kedua tokoh besar itu nyatanya sering berselisih paham. Pak Nas menganggap Bung Karno intervensi dan bias ketika terjadi pergolakan internal Angkatan Darat tahun 1952. Dalam "Peristiwa 17 Oktober”, yang menuntut pembubaran DPRS dan pembentukan DPR baru, Pak Nas dituding hendak melakukan kudeta terhadap presiden RI yang berujung Bung Karno memberhentikannya sebagai KSAD. Setelah akur kembali, Pak Nas diangkat sebagai KSAD pada tahun 1955 setelah meletusnya pemberontakan PRRI/Permesta. Pak Nas dipercaya Bung Karno sebagai co-formatur pembentukan Kabinet Karya dan Kabinet Kerja. Keduanya tidak akur lagi usai pembebasan Irian Barat lantaran sikap politik Bung Karno yang cenderung pro-PKI. Dia merupakan salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September, namun yang menjadi korban adalah putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudannya, Lettu Pierre Tendean. Usai tugas memimpin MPRS tahun 1972, jenderal besar yang pernah 13 tahun duduk di posisi kunci TNI ini, menepi dari panggung kekuasaan. pak Nas lalu menyibukkan diri menulis memoar. Sampai pertengahan 1986, lima dari tujuh jilid memoar perjuangan beliau telah beredar. Kelima memoarnya, Kenangan Masa Muda, Kenangan Masa Gerilya, Memenuhi Panggilan Tugas, Masa Pancaroba, dan Masa Orla. Selain itu beliau juga menulis buku dan memoar berjudul Masa Kebangkitan Orba dan Masa Purnawirawan, Pokok-Pokok Gerilya, TNI (dua jilid), dan Sekitar Perang Kemerdekaan (11 jilid). Jenderal Besar Nasution menghembuskan nafas terakhir di RS Gatot Subroto, pukul 07.30 WIB (9/9- 2000), pada bulan yang sama ia masuk daftar PKI untuk dibunuh. Jendral yang merupakan salah satu dari tiga jendral yang berpangkat bintang lima di Indonesia ini sedari kecil hidup sederhana, dan beliau tak mewariskan harta pada keluarganya, kecuali kekayaan pengalaman dalam perjuangan dan idealisme. Rumahnya di Jalan Teuku Umar, Jakarta, tetap tampak kusam, hingga kini tak pernah direnovasi.