Anda di halaman 1dari 10

Berikut 9 Pahlawan Nasional Asal Sulawesi Utara

GSSJ Ratulangi, Arie Frederik Lasut, Jahja Daniel Dharma, Maria Walanda Maramis, Pierre Tendean, Robert
Wolter Monginsidi, Alex Mendur, Frans Mendur, Bernard Wilhelm Lapian

MANADO— Warga Nyiur Melambai mesti bangga. Pasalnya, sejak tempo dulu peran warga Sulawesi Utara untuk
membangun negeri ini sangat vital. Itu dibuktikan, dengan apresiasi yang diberi pemerintah bagi sejumlah warga
Kawanua, yang berjasa bagi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan sebuah gelar
Pahlawan Nasional. Di edisi hari pahlawan hari ini, Manado Post membeber sembilan pahlawan nasional berdarah
Kawanua. Yang pertama, Dr Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau dikenal dengan Sam Ratulangi.

Lahir di Tondano, Sulawesi Utara, 5 November 1890 dan meninggal di Jakarta, 30 Juni 1949 pada umur 58 tahun,
Sam Ratulangi adalah seorang aktivis kemerdekaan Indonesia dari Sulut. Ia adalah seorang pahlawan nasional
Indonesia. Sam Ratulangi juga sering disebut sebagai tokoh multidimensional. Ia dikenal dengan filsafatnya: ‘Si
Tou Timou Tumou Tou’ yang artinya ‘manusia hidup untuk menghidupkan orang lain’

Berikutnya, Arie Frederik Lasut, lahir di Kapataran, Lembean Timur, Minahasa, 6 Juli 1918 dan wafat di Pakem,
Sleman, Yogyakarta, 7 Mei 1949 pada umur 30 tahun. Adalah seorang Pahlawan Nasional dan ahli pertambangan
serta geologis. Lasut terlibat dalam perang kemerdekaan Nasional Indonesia dan pengembangan sumber daya
pertambangan dan geologis pada saat permulaan negara Indonesia.

Arie Lasut adalah putra tertua dari delapan anak, pasangan Darius Lasut dan Ingkan Supit. Lasut mendapat
penghargaan Pahlawan Pembela Kemerdekaan oleh pemerintah Republik Indonesia pada 20 Mei 1969. Ketiga,
Laksamana Muda TNI (Purn) John Lie Tjeng Tjoan, atau yang lebih dikenal sebagai Jahja Daniel Dharma, lahir di
Manado, 9 Maret 1911 dan meninggal di Jakarta, 27 Agustus 1988, pada umur 77 tahun.

Adalah salah seorang perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari etnis Tionghoa dan
Pahlawan Nasional Indonesia. Kesibukannya dalam perjuangan, membuat ia baru menikah pada usia 45 tahun,
dengan Pdt Margaretha Dharma Angkuw. Pada 30 Agustus 1966, John Lie mengganti namanya dengan Jahja
Daniel Dharma.

Ia meninggal dunia karena stroke pada 27 Agustus 1988 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata,
Jakarta. Atas segala jasa dan pengabdiannya, ia dianugerahi Bintang Mahaputera Utama oleh Presiden Soeharto
10 Nopember 1995, Bintang Mahaputera Adipradana dan gelar Pahlawan Nasional Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, 9 November 2009.

Selanjutnya, Maria Josephine Catherine Maramis, lahir di Kema, 1 Desember 1872 dan meninggal di Maumbi, 22
April 1924 pada umur 51 tahun, atau yang lebih dikenal sebagai Maria Walanda Maramis. Maria adalah seorang
Pahlawan Nasional Indonesia, karena usahanya untuk mengembangkan keadaan wanita di Indonesia pada
permulaan abad ke-20. Ibu Maria Walanda Maramis, sosok yang dianggap sebagai pendobrak adat, pejuang
kemajuan dan emansipasi perempuan di dunia politik dan pendidikan.

Menurut Nicholas Graafland, dalam sebuah penerbitan "Nederlandsche Zendeling Genootschap" 1981, Maria
ditahbiskan sebagai salah satu perempuan teladan Minahasa yang memiliki "bakat istimewa untuk menangkap
mengenai apapun juga dan untuk memperkembangkan daya pikirnya, bersifat mudah menampung pengetahuan
sehingga lebih sering maju daripada kaum lelaki". Mengenang jasanya, telah dibangun Patung Walanda Maramis
yang terletak di Kelurahan Komo Luar, Kecamatan Wenang.

Ada juga, Kapten CZI Anumerta Pierre Andreas Tendean, lahir 21 Februari 1939 dan meninggal 1 Oktober 1965
pada umur 26 tahun. Adalah seorang perwira militer Indonesia yang menjadi salah satu korban peristiwa Gerakan
30 September pada tahun 1965. Mengawali karier militer dengan menjadi intelijen dan kemudian ditunjuk sebagai
ajudan Jenderal Abdul Haris Nasution dengan pangkat letnan satu, ia dipromosikan menjadi kapten anumerta
setelah kematiannya. Tendean dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata bersama enam perwira korban
G30S lainnya. Ia ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi Indonesia pada 5 Oktober 1965.

Kemudian, Robert Wolter (RW) Monginsidi, lahir di Malalayang, Manado 14 Februari 1925 hingga meninggal di
Pacinang, Makassar, Sulawesi Selatan, 5 September 1949 pada umur 24 tahun. Adalah seorang pejuang
kemerdekaan Indonesia sekaligus pahlawan nasional Indonesia. Monginsidi dianugerahi sebagai Pahlawan
Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November, 1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi
Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada 10 November 1973. Ayahnya, Petrus, yang berusia 80
tahun pada saat itu, menerima penghargaan tersebut. Bandara Wolter Monginsidi di Kendari, Sulawesi Tenggara
dinamakan sebagai penghargaan kepada Monginsidi, seperti kapal Angkatan Darat Indonesia, KRI Wolter
Monginsidi dan Yonif 720/Wolter Monginsidi.

Adapula dua bersaudara, Alex Impurung Mendur (1907 - 1984) adalah salah satu fotografer yang mengabadikan
detik-detik proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945. Bersamanya ada saudara kandungnya
Frans Mendur, lahir tahun 1913– meninggal tahun 1971. Adalah salah satu dari para fotografer yang
mengabadikan detik-detik proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.Bersama saudara
kandungnya tersebut, mereka turut mengabadikan persitiwa bersejarah ini. Baru pada 9 November 2009 Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi kedua fotografer bersejarah Indonesia ini, Alexius Impurung Mendur
dan Frans Soemarto Mendur, penghargaan Bintang Jasa Utama. Putra Minahasa sang pahlawan foto itu kini telah
tiada, namun generasi berikut, wajib meneruskan dengan semangat nasional dan karya-karya foto yang baik, karya
foto yang mengutamakan fakta dan peristiwa bersejarah.

Penerima gelar pahlawan asal Bumi Nyiur Melambai yang terakhir adalah Bernard Wilhelm Lapian, lahir di
Kawangkoan, 30 Juni 1892 dan meninggal di Jakarta, 5 April 1977 pada umur 84 tahun. Adalah seorang pejuang
nasionalis berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara. Perjuangannya dilakukan dalam pelbagai bidang dan dalam
rentang waktu sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda, pendudukan Jepang, sampai pada zaman
kemerdekaan Indonesia.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, di mana semua gereja Kristen berada di bawah naungan satu institusi
Indische Kerk yang dikendalikan pemerintah, BW Lapian bersama tokoh-tokoh lainnya mendeklarasikan
berdikarinya Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) tahun 1933, yaitu suatu gereja mandiri hasil bentukan
putra-putri bangsa sendiri, yang tidak bernaung di dalam Indische Kerk. Pada masa revolusi kemerdekaan, BW
Lapian sebagai pimpinan sipil saat itu berperan besar pada momen heroik Peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946
di Manado.

Karena ketokohannya, pada masa kemerdekaan dipercayai untuk menjabat sebagai Gubernur Sulawesi pada
tahun 1950-1951, yang berkedudukan di Makassar. Pemberian tanda jasa untuk BW Lapian diberikan Presiden
Joko Widodo kepada ahli waris Louisa Magdalena Gandhi Lapian. Gelar Pahlawan Nasional tersebut diberikan
kepada BW Lapian karena ia merupakan sosok yang ikut merebut kekuasaan dan mempertahankan Negara
Kesatuan Republik Indonesia, terutama saat peristiwa Merah Putih 14 Februari 1946. (gnr/vip)

a Tokoh Sulut Diusulkan Jadi Pahlawan


Nasional
Penjabat Gubernur Sulut Dr Soni Sumarsono (Istimewa)
Oleh: Fanny Waworundeng / PCN | Sabtu, 7 November 2015 | 00:51 WIB

Manado-Dua tokoh pejuang asal Sulut diusulkan menjadi pahlawan nasional. Dua
tokoh pejuang masa lalu tersebut, yakni Arnoldus Izaac Zacharias Mononutu atau
Arnold yang berdarah Minahasa dan Bataha Santiago yang berdarah Sangihe.

Usulan dua tokoh ini menjadi pahlawan nasional sangat baik karena mereka banyak
berjasa di masa lalu. "Jadi sangat layak untuk diusulkan, karena adanya kajian dan
masukan dari para sejarawan dan tokoh masyarakat serta keluarga," kata Penjabat
Gubernur Sulut Dr Soni Sumarsono MDM kepada SP usai acara seminar nasional
untuk mengusulkan dua tokoh ini menjadi pahlawan nasional di Arya Duta Hotel
Manado, Jumat (6/11).

Dalam seminar ini, pakar sejarah dari Universitas Pajajaran Bandung Preof Dr Nina
H Lubis MS dan pakar sejarah dari Universitas Sam Ratulangi Manado Dr Mawicere
menjadi pembicara. Sementara Drs Masri Paturusi meyampaikan latar belakang
perjuangan Arnold Monunutu dan Drs Aldus Horohiung menjelaskan perjuangan
Batara Santiago.

Menurut Gubernur Sulut, pahlawan nasional asal Sulut sudah sekitar sembilan
orang. Ini menunjukan, pejuang asal Sulut sangat banyak dan berkualitas seperti Dr
Sam Ratulangi, HN Palar, Maramis, dan Lapian, serta Jhon Lee. Dua usulan baru ini
sangat baik. "Kita harus menghargai perjuangan para pahlawan masa lalu. Karena
dengan demikian kita akan maju dan dihargai kalau menghormati para pahlawan,”
katanya.

Dikatakan, negara atau pemerintah harus hadir dalam usulan apapun termasuk
usulan Pahlawan Nasional.

Sementara itu, pakar sejarah dari Universitas Pajajaran Bandung Prof Dr Nina Lubis
MS menilai, dua tokoh asal Sulut ini sangat layak diusulkan menjadi pahlawan
nasional. Karena memenuhi syarat sesuai ketentuan UU No 20 Tahun 2009. "Kami
menilai sangat layak, karena itu, Pemda Sulut harus segera mengusulkan ke Pusat,"
katanya.

Menurut Lubis, dua tokoh ini sangat berani dan berjuang di masa lalu. Mononutu
sebelum Indonesia merdeka, adalah seorang pemuda yang punya idealisme. Dia
sekolah di Belanda, dan bergabung dengan pejuang lainnya untuk membela
Indonesia. Tahun 1925 dia menjadi wakil ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda
dan terus berjuang untuk Indonesia.

Sementara Batara Santiago sangat berani dan punya jasa untuk negara dan
bangsa. Dia di masa lalu melawan monopoli perdagangan oleh VOC. Dia
dipaksakan untuk menandatangani perjanjian dengan VOC namun dia tetap tidak
mau. Akibatnya, dia dihukum gantung tahun 1675 karena menolak.

Paturusi dan Aldus Horohiung yang mengusulkan dua tokoh tersebut menjadi
pahlawan nasional menyatakan, sangat bangga karena banyak dukungan. "Kami
bangga, apalagi Penjabat Gubernur sangat mendukung," Kata Paturusi dan
Horohiung.
Berdasarkan penelusuran dari berbagai sumber, inilah daftar 5 pahlawan nasional dari
Sulawesi Utara diurut berdasarkan tahun lahir:

1. Maria Walanda Maramis (1872-1924)

Lahir di Kema, pada tanggal 1 Desember 1872. Orang tuanya adalah Maramis dan Sarah Rotinsulu. Dia adalah
anak bungsu dari tiga bersaudara dimana kakak perempuannya bernama Antje dan kakak laki-lakinya bernama
Andries. Andries Maramis terlibat dalam pergolakan kemerdekaan Indonesia dan menjadi menteri dan duta
besar dalam pemerintahan Indonesia pada mulanya.

Maria Walanda Maramis menjadi yatim piatu pada saat ia berumur enam tahun karena kedua orang tuanya jatuh
sakit dan meninggal dalam waktu yang singkat. ia kemudian diasuh oleh pamannya.
pada tahun 1917, tepatnya tanggal 8 juli M.W. Maramis bersama beberapa temannya mendirikan organisasi
Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya (PIKAT). Tujuan organisasi ini adalah untuk mendidik kaum wanita
yang tamat sekolah dasar dalam hal-hal rumah tangga seperti memasak, menjahit, merawat bayi, pekerjaan
tangan, dan sebagainya.

Organisasi PIKAT akhirnya berkembang pesat hingga ke pulau jawa, seperti di batavia, bandung, bogor, cimahi,
magelang dan surabaya.
Maramis terus aktif dalam PIKAT sampai pada kematiannya pada tanggal 22 April 1924.
Untuk menghargai peranannya dalam pengembangan keadaan wanita di Indonesia, Maria Walanda Maramis
mendapat gelar Pahlawan Pergerakan Nasional dari pemerintah Indonesia pada tanggal 20 Mei 1969.

2. Dr.G.S.S.J.Ratulangi (1890-1949)
Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi adalah nama lengkapnya, lebih dikenal dengan nama Sam
Ratulangi. lahir di Tondano 5 november 1890. Sam Ratulangi adalah anak dari Jozias Ratulangi. Pada tahun
1907, dia pergi ke Batavia untuk melanjutkan sekolah di Koningin Wilhelmina School. Setelah tamat, Sam
Ratulangi melanjutkan ke Vrije Universiteit Amsterdam, Belanda. Di sana, dia dipercaya menjadi Ketua
Perhimpunan Mahasiswa Indonesia di Belanda tahun 1914. Lima tahun kemudian, dia memperoleh gelar doktor
di bidang Matematika dan Fisika.

Sejak masih mahasiswa di Negri Belanda, ia sudah menginginkan persatuan mahasiswa Indonesia. Dengan
persatuan, para mahasiswa diharapkan dapat memenuhi kewajiban di Indonesia, kewajiban terhadap tanah air
dengan mempertinggi derajat bangsa.

Tahun 1924 ia menetap di Manado dan bekerja sebagai Sekertaris Minahasa Raad. Melalui Raad ia berhasil
mendesak pemerintah sehingga menghapuskan kewajiban rodi.
Tahun 1913 ia mensponsori pembentukan Persatuan Kaum Sarjana Indonesia. Organisasi ini menghimpun
sarjana Indonesia dan menanamkan rasa kebangsaan dan kesadaran bahwa pergerakan rakyat memerlukan
pimpinan kaum terpelajar.
Tahun 1928 dan 1941 ia menulis buku "Indonesia in den Pasifiek" (Indonesia di Pasifik). Bersama H.M.Thamrin
dan Sutarjo Kartohadikusumo, ia menulis buku "De Pasiefiek", buku yang berisi tentang uraian negara-negara
yang terletak di sekitar Lautan Pasifik. Antara tahun 1938-1942 ia menerbitkan dan memimpin majalah politik
Nasionale Commenttaren. melalui majalah tersebutlah Sam Ratulangi membahas masalah-masalah politik dalam
negeri dan luar negri dengan berpedoman kepada kepentingan rakyat Indonesia.
Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, Sam Ratulangi diangkat Gubernur Sulawesi berkedudukan
di Makasar.Sam Ratulangi dikenal dengan kalimat "Si tou timou tumou tou" yang artinya: manusia baru dapat
disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.
Sam Ratulangi meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 30 Januari 1949.
3. Laksamana Muda TNI Jahja Daniel Dharma (John Lie) (1911- 1988)
Adalah salah seorang perwira tinggi di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut dari etnis Tiongho yang lebih
dikenal dengan nama John Lie. lahir dari pasangan suami isteri Lie Kae Tae dan Oei Tjeng Nie Nio pada tanggal
9 Maret 1911 di Manado, Sulawesi Utara
Pada usia 17 tahun, John meninggalkan tanah kelahirannya menuju Batavia dan kemudian menjadi buruh di
pelabuhan Tanjung Priok. Dia bekerja sebagai mualim kapal pelayaran niaga milik Belanda KPM lalu tak berapa
lama kemudian dia bergabung dengan Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) sebelum akhirnya diterima di
Angkatan Laut RI. Semula John diperintahkan untuk bertugas di Cilacap dengan pangkat Kapten. Di pelabuhan
ini selama beberapa bulan dia menorehkan prestasi dengan berhasil membersihkan semua ranjau yang ditanam
Jepang untuk menghadapi pasukan Sekutu. Atas jasanya ini, pangkatnya dinaikkan menjadi Mayor. Dia lalu
ditugaskan untuk mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia yang
diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis.

Di awal tahun 1947, John pernah bertugas mengawal kapal yang membawa 800 ton karet untuk diserahkan
kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan. Sejak itu, dia secara rutin melakukan operasi
menembus blokade Belanda. Karet atau hasil bumi lain yang telah berhasil dibawa ke Singapura dibarter dengan
senjata yang nantinya akan diserahkan kepada pejabat Republik Indonesia di Sumatera sebagai sarana
perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga
harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan. Untuk
keperluan operasi ini, John Lie memiliki kapal kecil cepat yang dia namakan the Outlaw. Bersama kapal ini, John
selalu berhasil menembus barikade Belanda yang peralatan tempurnya jauh lebih hebat dari pada milik Angkatan
Laut Indonesia. Berkali-kali dia juga berhasil mengelabui Belanda. Berulang kali John selamat dari kejaran kapal-
kapal musuh.

Pada awal 1950 ketika berada di Bangkok, John dipanggil pulang ke Surabaya oleh KSAL Subiyakto dan
ditugaskan menjadi komandan kapal perang Rajawali. Pada masa berikut dia aktif dalam penumpasan RMS
(Republik Maluku Selatan) di Maluku. John mengakhiri pengabdiannya di TNI Angkatan Laut pada Desember
1966 dengan pangkat terakhir Laksamana Muda. John meninggal dunia karena stroke pada 27 Agustus 1988
dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas segala jasa dan pengabdiannya, pada 10
Nopember 1995 John dianugerahi Bintang Mahaputera Utama yakni Bintang Mahaputera Adipradana oleh
Presiden Soeharto dan pada 9 November 2009 John dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono.

4. Arie Frederik Lasut (1918-1949)


Arie Frederik Lasut lahir di desa Kapataran, Minahasa, Sulawesi Utara, 6 Juli 1918, sebagai putra tertua dari 8
bersaudara, anak pasangan Darius Lasut dan Ingkan Supit. Dia adalah tokoh perintis dalam ilmu pertambangan
dan geologi di Indonesia pada masa perang kemerdekaan. A. F. Lasut mulai mendalami ilmu geologi saat dia
mengikuti Asistent Geologen Cursus di Bandung yang diselenggarakan oleh Dienst van den Mijnbouw pada
tahun ajaran 1939-1941. Kursus Asisten Geologi tersebut adalah kursus dengan angkatan pertama yang
diselenggarakan menjelang meletusnya Perang Dunia II pada tahun 1939-1945

Kemampuannya sebagai geologiwan dalam kariernya telah ditunjukkan dari laporan-laporannya yang berturut-
turut tahun 1941, 1943, 1944 dan 1945. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan pada
tanggal 17 Agustus 1945, A.F. Lasut bersama dengan R. Sunu Somosoesastro dan rekan-rekan sejawat lainnya
berjuang untuk mengambilalih kantor Sangyobu Chishitsuchosacho yang kala itu dikuasai oleh Jepang.

Seiring dengan berjalannya perang, Lasut dan rekannya kemudian mendirikan pusat Djawatan Tambang dan
Geologi dengan kantor yang sama. Pengelolaan Pusat Djawatan yang semula dipimpin oleh R. Ali Tirtosoewirjo
dan kemudian oleh digantikan oleh R. Sunu Soemosoesastro. A.F. Lasut sendiri menjadi salah satu dari 7 orang
anggota Dewan Pimpinan dan merangkap sebagai Kepala Laboratorium.

Karena kepintarannya dalam hal ilmu pertambangan dan geologi, Lasut menjadi incaran bangsa Belanda. Lasut
tetap bersikeras untuk menolak bekerjasama dengan Belanda hingga akhir hayatnya. Ketika berusia 30 tahun,
Lasut diculik dari rumahnya dan ditembak mati oleh Belanda pada 7 Mei 1949 di daerah Pakem (sekitar 7
kilometer di utara Yogyakarta). Jenazah Lasut kemudian dimakamkan di Kintelan Yogyakarta, di sebelah makam
isterinya, Nieke Maramis, yang telah lebih dulu meninggal pada Desember 1947. Atas jasa-jasanya, A.F. Lasut
kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 012/TK/Tahun 1969 tanggal 20 Mei 1969.

5. Robert Wolter Monginsidi (1925-1949)


lahir di Malalayang, 14 Februari 1925, adalah anak dari Petrus Monginsidi dan Lina Suawa. dia memulai
pendidikannya pada 1931di Sekolah dasar yang diikuti sekolah menengah di Frater Don Bosco Manado.
Monginsidi lalu dididik sebagai guru bahasa jepang pada sebuah sekolah di Tomohon. sebelum akhirnya ke
Makassar.
Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan saat Monginsidi berada di Makassar. Namun, Belanda berusaha untuk
mendapatkan kembali kendali atas Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II. Mereka kembali melalui NICA
(Netherlands Indies Civil Administration/Administrasi Sipil Hindia Belanda). Monginsidi menjadi terlibat dalam
perjuangan melawan NICA di Makassar.Pada tanggal 17 Juli 1946. Monginsidi dengan Ranggong Daeng Romo
dan lainnya membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), yang selanjutnya
melecehkan dan menyarang posisi Belanda. Dia ditangkap oleh Belanda pada 28 Februari 1947 tetapi berhasil
kabur pada 27 Oktober 1947. Belanda menangkapnya kembali dan kali ini menjatuhkan hukuman mati
kepadanya. Monginsidi dieksekusi oleh tim penembak pada 5 September 1949. Jasadnya dipindahkan ke Taman
Makam Pahlawan Makassar pada 10 November 1950.
Robert Wolter Monginsidi dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada 6 November,
1973. Dia juga mendapatkan penghargaan tertinggi Negara Indonesia, Bintang Mahaputra (Adipradana), pada
10 November 1973.

Anda mungkin juga menyukai