Anda di halaman 1dari 3

1.

Soekarno
Pahlawan kemerdekaan nasional di posisi pertama terdapat Soekarno atau dikenal dengan sebutan Bung Karno. Pria kelahiran Surabaya, 6 Juni 1901 ini merupakan Presiden Indonesia pertama
pada periode tahun 1945-1967.

Peran penting sosok Bung Karno bagi Indonesia sendiri berupa sosok proklamator kemerdekaan Indonesia dan pencetus dasar negara, yaitu Pancasila. Sosoknya sendiri dikenal sebagai orator
andal yang mampu membangkit semangat para pendengarnya.

Beliau pernah dinyatakan mengidap gangguan ginjal, tapi ia memilih pengobatan tradisional. Sayangnya, pada 21 Juni 1970 beliau menghembuskan nafas terakhirnya di Jakarta, Indonesia.

2. Mohammad Hatta

Seperti sosok Bung Karno menjadi seorang proklamator, Mohammad Hatta telah menjadi salah satu pahlawan daerah Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Mohammad Hatta sendiri memiliki jabatan penting semasa hidupnya, seperti perdana menteri dalam kabinet Hatta I, Hatta II, dan RIS, hingga menjadi wakil presiden Indoensia. Meskipun sebagai
seorang politisi, Mohammad Hatta juga dijuluki sebagai 'Bapak Koperasi'.

Beliau lahir di Bukittinggi pada 12 Agustus 1902 dan meninggal di Jakarta pada 14 Maret 1980. Gelar pahlawan nasional untuk Mohammad Hatta ditetapkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono
pada 7 November 2012, gelar tersebut turut diberikan kepada mendiang Soekarno.

Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. (24 Agustus 1903 – 17 Oktober 1962) adalah sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum yang telah dihormati sebagai pahlawan nasional
Indonesia. Ia merupakan salah satu perintis puisi modern Indonesia dan pelopor Sumpah Pemuda sekaligus "pencipta imaji keindonesiaan" yang mempengaruhi sejarah persatuan Indonesia.[1][2]

Raja Berdaulat

Jenderal TNI. (Tit.) (Purn.) H. Sri Sultan Hamengkubuwana IX (Jawa: ꦲꦩꦼꦁꦏꦸꦨꦸ ꦮꦤ꧇꧙꧇; 12 April 1912 – 2 Oktober 1988,[a] lahir dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun) adalah Sultan
Yogyakarta kesembilan dan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang pertama. Ia merupakan Wakil Presiden Indonesia kedua yang menjabat pada tahun 1973–1978. Hamengkubuwana IX
juga merupakan Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka yang pertama dan dikenal sebagai Bapak Pramuka Indonesia

Syarif Kasim II dari Siak

Yang Dipertuan Besar Syarif Kasim Abdul Jalil Saifuddin[3] atau Sultan Syarif Kasim II (1 Desember 1893 – 23 April 1968) adalah sultan ke-12 Kesultanan Siak. Ia dinobatkan sebagai sultan
pada umur 21 tahun menggantikan ayahnya Sultan Syarif Hasyim. Sultan Syarif Kasim II merupakan seorang pendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tidak lama setelah proklamasi dia
menyatakan Kesultanan Siak sebagai bagian wilayah Indonesia, dan dia menyumbang harta kekayaannya sejumlah 13 juta gulden untuk pemerintah republik (setara dengan 151 juta gulden atau €
69 juta euro pada tahun 2011).[4] Bersama Sultan Serdang dia juga berusaha membujuk raja-raja di Sumatra Timur lainnya untuk turut memihak republik. Namanya kini diabadikan untuk Bandar
Udara Internasional Sultan Syarif Kasim II dan UIN SUSKA di Pekanbaru.
Pejuang yang berkarya

Chairil Anwar, dijuluki sebagai "Si Binatang Jalang", adalah penyair terkemuka Indonesia. Dia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk 70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia
dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 sekaligus puisi modern Indonesia.

Ismail Marzuki (11 Mei 1914 – 25 Mei 1958) adalah salah seorang komponis besar Indonesia. Namanya sekarang diabadikan sebagai suatu pusat seni di Jakarta yaitu Taman Ismail Marzuki
(TIM) di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.
Keroncong musik klasik mars perjuanganmusik tradisional

Abdoel Moeis (bahasa Arab: ‫' عبد المعز‬Abd Al-Mu'iz) (3 Juli 1886 – 17 Juni 1959) adalah seorang sastrawan, politikus, dan wartawan Indonesia. Dia merupakan pengurus besar Sarekat Islam dan
pernah menjadi anggota Volksraad mewakili organisasi tersebut. Abdoel Moeis dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang pertama oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959.[2]

Pejuang Wanita

Raden Dewi Sartika (Sunda: ᮛᮓᮦᮔ᮪ ᮓᮦᮝᮤ ᮞᮁ ᮒᮤ ᮊ, translit. Radén Déwi Sartika; 4 Desember 1884 – 11 September 1947) adalah seorang advokat dan tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita.
[1] Ia juga merupakan salah satu tokoh perempuan Indonesia paling terkenal. Ia diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1966.

Rasuna Said (14 September 1910 – 2 November 1965) adalah pejuang kemerdekaan Indonesia dan juga merupakan pahlawan nasional Indonesia. Seperti Kartini, ia juga memperjuangkan adanya
persamaan hak antara pria dan wanita. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Hj. Fatmawati Soekarno (5 Februari 1923 – 14 Mei 1980)[1] adalah istri dari Presiden Indonesia pertama Soekarno. Ia menjadi Ibu Negara Indonesia pertama dari tahun 1945 hingga tahun 1967
dan merupakan istri ke-3 dari presiden pertama Indonesia yaitu Soekarno dan merupakan ibunda dari presiden kelima, Megawati Soekarnoputri.[2] Ia juga dikenal akan jasanya dalam menjahit
Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang turut dikibarkan pada saat upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pejuang Daerah
Sutan Syahrir (ejaan lama: Soetan Sjahrir, 5 Maret 1909 – 9 April 1966) adalah seorang intelektual, perintis, dan revolusioner kemerdekaan Indonesia.[1] Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi
politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Ia menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947. Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia pada
tahun 1948. Ia meninggal dalam pengasingan sebagai tawanan politik dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Sutan Sjahrir ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia
pada tanggal 9 April 1966 melalui Keppres nomor 76 tahun 1966.[2]

Gatot Soebroto (10 Oktober 1907 – 11 Juni 1962) adalah tokoh perjuangan militer Indonesia dalam merebut kemerdekaan dan juga pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Ungaran,
kabupaten Semarang.
Slamet Rijadi (EYD: Ignatius Slamet Riyadi; 26 Juli 1927 – 4 November 1950) adalah seorang tentara Indonesia. Rijadi lahir di Surakarta, Jawa Tengah, putra dari seorang tentara dan penjual
buah. "Dijual" pada pamannya dan sempat berganti nama saat masih balita demi sembuh dari penyakit, Rijadi tumbuh besar di rumah orangtuanya dan belajar di sekolah milik Belanda. Setelah
Jepang menduduki Hindia Belanda, Rijadi menghadiri sekolah pelaut yang dikelola oleh Jepang dan bekerja untuk mereka setelah lulus; ia meninggalkan tentara Jepang menjelang akhir Perang
Dunia II dan turut mengobarkan perlawanan selama sisa pendudukan.

Anda mungkin juga menyukai