Anda di halaman 1dari 12

ABDUL HARIS NASUTION

Biografi :

Abdul Haris Nasution (3 Desember 1918 – 6 September 2000) adalah seorang jenderal berpangkat
tinggi dan politikus Indonesia. Ia bertugas di militer selama Revolusi Nasional Indonesia dan ia tetap di
militer selama gejolak berikutnya dari demokrasi Parlementer dan Demokrasi Terpimpin.

Kelahirannya :
Jenderal Abdul Haris Nasution lahir di Kotanopan, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara pada
tanggal 3 Desember 1918. Pria Tapanuli ini lebih menjadi seorang jenderal idealis yang taat
beribadat. Ia dibesarkan dalam keluarga tani yang taat beribadat. Ayahnya bernama H. Abdul
Halim Nasution dan ibunya bernama Zahara Lubis.

Pendidikannya :

HIS, Yogyakarta (1932)

HIK, Yogyakarta (1935)

AMS Bagian B, Jakarta (1938)

Akademi Militer, Bandung (1942)

Doktor HC dari Universitas Islam Sumatera Utara, Medan (Ilmu Ketatanegaraan, 1962)

Universitas Padjadjaran, Bandung (Ilmu Politik, 1962)

Universitas Andalas, Padang (Ilmu Negara 1962)

Universitas Mindanao, Filipina (1971)


Karir :

Divisi Siliwangi

Nasution bersiap demobilisasi Divisi Siliwangi pasca Perjanjian Renville

Setelah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Nasution


bergabung dengan militer Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
Pada bulan Mei 1946, dia diangkat menjadi Panglima Regional Divisi Siliwangi, yang memelihara
keamanan Jawa Barat. Dalam posisi ini, Nasution mengembangkan teori perang teritorial yang akan
menjadi doktrin pertahanan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada masa depan.[11][12]

Pada bulan Januari 1948, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Belanda menandatangani Perjanjian
Renville, membagi Jawa antara daerah yang dikuasai Belanda dan Indonesia. Karena wilayah yang
diduduki oleh Belanda termasuk Jawa Barat, Nasution dipaksa untuk memimpin Divisi Siliwangi
menyeberang ke Jawa Tengah.[13][14]

Wakil Panglima

Nasution sebagai Wakil Panglima TKR

Pada 1948 Nasution naik ke posisi Wakil Panglima TKR. Meskipun hanya berpangkat Kolonel,
penunjukan ini membuat Nasution menjadi orang paling kuat kedua di TKR, setelah Jenderal Soedirman.
Nasution segera pergi untuk bekerja dalam peran barunya. Pada bulan April, dia membantu Soedirman
mereorganisasi struktur pasukan. Pada bulan Juni, pada sebuah pertemuan, saran Nasution bahwa TKR
harus melakukan perang gerilya melawan Belanda disetujui.

Meski bukanlah Panglima TKR, Nasution memperoleh pengalaman peran sebagai Panglima Angkatan
Bersenjata pada bulan September 1948 saat Peristiwa Madiun. Kota Madiun di Jawa Timur diambil alih
oleh mantan Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan Musso dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Setelah
kabar itu sampai ke Markas TKR di Yogyakarta, diadakan pertemuan antara perwira militer senior.
Soedirman sangat ingin menghindari kekerasan dan ingin negosiasi dilakukan. Soedirman kemudian
menugaskan Letnan Kolonel Soeharto, untuk menegosiasikan kesepakatan dengan komunis. Setelah
melakukan perjalanannya, Soeharto kembali ke Nasution dan Soedirman untuk melaporkan bahwa
segala sesuatu tampak damai. Nasution tidak percaya laporan ini sementara Soedirman sedang sakit.
Nasution sebagai Wakil Panglima kemudian memutuskan tindakan keras, mengirim pasukan untuk
mengakhiri pemberontakan komunis di sana. [15][16]

Pada 30 September, Madiun diambil alih oleh pasukan republik dari Divisi Siliwangi. Ribuan anggota
partai komunis tewas dan 36.000 lainnya dipenjara. Di antara yang terbunuh adalah Musso pada 31
Oktober, diduga dia terbunuh ketika mencoba melarikan diri dari penjara. Pemimpin PKI lainnya
seperti DN Aidit pergi ke pengasingan di Cina.
Penyerahan Markas Besar Militer Belanda di Jakarta kepada Tentara RIS yang dipimpin oleh Kolonel
Abdul Harris Nasution yang pada saat itu adalah Panglima Angkatan Darat RIS.

Pada 19 Desember 1948, Belanda melancarkan serangan sukses di Yogyakarta dan kemudian
mendudukinya. Nasution, bersama-sama dengan TKR dan para komandan lainnya, mundur ke pedesaan
untuk melawan dengan taktik perang gerilya. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad
Hatta ditawan Belanda, Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) didirikan di Sumatra. Dalam
pemerintahan sementara ini, Nasution diberikan posisi Komandan Angkatan Darat dan Teritorial Jawa.
Setelah pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia, PDRI mngembalikan kekuasaan kepada
Soekarno dan Hatta, dan Nasution kembali ke posisinya sebagai Wakil Panglima Soedirman.

Era Demokrasi Parlementer[sunting | sunting sumber]

Periode pertama sebagai KSAD[sunting | sunting sumber]

Nasution, 1951

Pada tahun 1950, Nasution mengambil posisinya sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, dengan T.B.
Simatupang menggantikan Soedirman yang telah meninggal dunia sebagai Kepala Staf Angkatan Perang.

Pada tahun 1952, Nasution dan Simatupang memutuskan untuk mengadopsi kebijakan restrukturisasi
dan reorganisasi untuk ABRI. Dalam pengaturan ini, Nasution dan Simatupang berharap untuk
menciptakan tentara yang lebih kecil tetapi yang lebih modern dan profesional. [17] Nasution dan
Simatupang, yang keduanya telah dilatih oleh pemerintah kolonial Belanda ingin melepaskan para
prajurit yang dilatih oleh Jepang dan mengintegrasikan lebih banyak tentara yang dilatih oleh Belanda.
Namun, hal ini ditentang oleh Bambang Supeno yang merupakan pimpinan prajurit yang dilatih oleh
Jepang.

Dalam mengadopsi kebijakan mereka, Nasution dan Simatupang mendapat dukungan dari Perdana
Menteri Wilopo dan Menteri Pertahanan Hamengku Buwono IX. Namun, Bambang Supeno berhasil
menemukan dukungan dari kalangan partai oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Para anggota
DPR kemudian mulai membuat perbedaan pendapat mereka tentang restrukturisasi ABRI. Nasution dan
Simatupang tidak senang melihat apa yang mereka anggap sebagai campur tangan urusan militer oleh
warga sipil.

Peristiwa 17 Oktober

Artikel utama:  Peristiwa 17 Oktober

Nasution dengan atase militer Tiongkok dan seorang pria lainnya

Pada 17 Oktober 1952, Nasution dan Simatupang memobilisasi pasukan mereka dalam unjuk kekuatan.
Memprotes campur tangan sipil dalam urusan militer, pasukan Nasution dan Simatupang
mengelilingi Istana Kepresidenan dan mengarahkan moncong meriam ke Istana. Permintaan mereka ke
Soekarno adalah mengajukan tuntutan pembubaran DPR. Untuk alasan ini, Nasution dan Simatupang
juga memobilisasi demonstran sipil. Soekarno keluar dari Istana Kepresidenan dan meyakinkan baik
tentara dan warga sipil untuk pulang. Nasution dan Simatupang telah dikalahkan.

Nasution dan Simatupang kemudian diperiksa oleh Jaksa Agung Suprapto. Pada bulan Desember 1952,
mereka berdua kehilangan posisi mereka di ABRI dan diberhentikan dari ikatan dinas.

Pokok-Pokok Gerilya

"Pokok-Pokok Gerilya" oleh A.H. Nasution

Ketika dia bukan lagi sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Nasution menulis sebuah buku
berjudul Pokok-Pokok Gerilya. Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman Nasution sendiri yang berjuang
dan mengorganisir perang gerilya selama Perang Kemerdekaan Indonesia. Awalnya buku ini dirilis pada
tahun 1953, dan menjadi salah satu buku yang paling banyak dipelajari pada perang gerilya bersama
dengan karya-karya Mao Zedong pada subjek yang sama.

Periode kedua sebagai KSAD

Nasution sebagai KSAD, 1957

Pada 7 November 1955, setelah tiga tahun pengasingan, Nasution diangkat kembali ke posisi lamanya
sebagai Kepala Staf Angkatan Darat. Dia segera mulai bekerja pada angkatan darat dan strukturnya
dengan mengadopsi pendekatan tiga kali lipat. [18] Pendekatan pertama adalah untuk merumuskan
sistem tur tugas, sehingga perwira bisa ditempatkan di seluruh negeri dan mendapatkan pengalaman.
Pendekatan ini juga akan menghasilkan perwira militer yang lebih profesional, bukannya merasa ikatan
pribadi dan loyalitas ke provinsi dan daerah dari mana mereka berasal. Pendekatan kedua Nasution
adalah untuk memusatkan pelatihan militer. Semua metode pelatihan pasukan sekarang akan seragam,
bukan komandan daerah yang menyiapkan metode pelatihan pasukan mereka sendiri. Pendekatan
ketiga dan yang paling penting adalah untuk meningkatkan pengaruh militer dan kekuatan sehingga
mampu mengurus dirinya sendiri, bukan mengandalkan keputusan sipil. Nasution tidak memiliki
masalah menerapkan dua pendekatan pertama, tetapi dia harus menunggu untuk menerapkan
pendekatan ketiga.

Pada 1957, Presiden Soekarno mulai memperkenalkan konsep Demokrasi Terpimpin untuk retorikanya


dalam menanggapi kekecewaan dengan pendekatan Demokrasi Parlementer yang telah diadopsi
Indonesia sejak November 1945. Dalam hal ini, dia menemukan ikatan yang sama dengan Nasution dan
tentara, yang tidak lupa cara di mana warga sipil mengganggu urusan militer pada tahun 1952. Pada 14
Maret 1957, setelah menerima pengunduran diri Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan kabinetnya,
Soekarno mengumumkan keadaan darurat.

Langkah ini tidak hanya mengakhiri peran seremonial Soekarno sebagai presiden, tetapi juga
meningkatkan pengaruh dan kekuasaan militer. Dalam pengaturan ini, panglima daerah mampu
mencampuri urusan sipil seperti ekonomi dan masalah administrasi. [19] Atas perintah dari Soekarno
sendiri, tentara juga mulai berpartisipasi dalam politik, mengisi posisi yang berkisar dari menteri kabinet
hingga gubernur provinsi dan bahkan anggota DPR. Pada bulan Desember 1957, Nasution semakin
meningkatkan peran tentara dengan memerintahkan para tentara untuk mengambil alih perusahaan-
perusahaan Belanda yang baru dinasionalisasi. Selain meningkatkan peran tentara, langkah ini juga
dirancang untuk menghentikan pengaruh PKI yang semakin kuat.

Pada tahun 1958, Nasution menyampaikan pidato terkenal yang akan menjadi dasar bagi
doktrin Dwifungsi yang pada rezim Soeharto akan diadopsi. Berbicara di Magelang, Jawa Tengah,
Nasution menyatakan bahwa ABRI harus mengadopsi "jalan tengah" dalam pendekatannya terhadap
bangsa. Menurut Nasution, ABRI tidak harus di bawah kendali sipil. Pada saat yang sama, ABRI tidak
boleh mendominasi bangsa dengan sedemikian rupa sehingga menjadi sebuah kediktatoran militer.[4]

Pemberontakan PRRI

Pada akhir 1956, ada tuntutan dari panglima daerah di Sumatra untuk otonomi yang lebih di provinsi-
provinsi mereka. Ketika tuntutan ini tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat, pasukan mulai
memberontak, dan pada awal 1957, telah tegas mengambil alih pemerintahan di Sumatra. Kemudian,
pada tanggal 15 Februari 1958, Letkol Ahmad Husein menyatakan pembentukan Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Hal ini mendorong pemerintah pusat untuk menggelar pasukan.

Sebagai Kepala Staf Angkatan Darat, Nasution biasanya telah terlibat dalam memobilisasi pasukan ke
Sumatra. Namun, kali ini Kolonel Ahmad Yani yang ditugaskan memimpin pasukan kesana dan berhasil
menumpas pemberontakan.

Kembali ke UUD 1945

Nasution mendengar Soekarno membacakan dekret 1959.

Pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan dekret yang menyatakan bahwa Indonesia sekarang akan
kembali ke UUD 1945 yang asli. Sistem demokrasi parlementer akan berakhir dan Soekarno sekarang
adalah Kepala Pemerintahan dan sekaligus Kepala Negara. Nasution diangkat menjadi Menteri
Pertahanan dan Keamanan di Kabinet Soekarno, sambil terus memegang posisi sebagai Kepala Staf
Angkatan Darat.
Era Demokrasi Terpimpin

Korupsi di Angkatan Darat

Nasution bersama Kontingen Garuda, pasukan perdamaian untuk PBB

Sejak 1956, Nasution telah berusaha untuk membasmi korupsi di Angkatan Darat, tetapi kembali
berlakunya UUD 1945 tampaknya telah memperbaharui tekadnya dalam hal ini. Dia percaya bahwa
tentara harus memberi contoh untuk seluruh masyarakat. Tidak lama setelah keputusan Soekarno,
Nasution mengirim Brigadir Jenderal Sungkono untuk menyelidiki transaksi keuangan dari Kodam
IV/Diponegoro dan panglimanya, Kolonel Soeharto.

Temuan Sungkono mengungkapkan bahwa selama menjadi pangdam, Soeharto telah mendirikan
yayasan untuk membantu masyarakat setempat. Namun, yayasan tersebut didanai melalui pungutan
wajib (bukan sumbangan sukarela) dari industri produksi dan layanan. Soeharto juga terlibat
dalam barter ilegal. Dia telah membarter gula dengan beras dari Thailand.

Nasution ingin mengambil tindakan terhadap Soeharto dan mengusirnya dari militer. Namun, Wakil
Kepala Staf Angkatan Darat, Gatot Soebroto mengintervensi.[20] Gatot telah menjadikan Soeharto berada
di bawah sayapnya ketika dia menjadi Pangdam IV/Diponegoro dan telah melihat bakat dari Soeharto.
Gatot meminta Nasution untuk tidak mengusir Soeharto karena bakat Soeharto bisa dikembangkan
lebih lanjut. Nasution mendengarkan saran Gatot. Keputusannya adalah untuk mencopot Soeharto dari
jabatannya dan menghukumnya dengan mengirimnya ke Sekolah Staf dan Komando Angkatan
Darat (Seskoad).

Irian Barat

A.H. Nasution dalam buku Jalesveva Jayamahe, 1960

Selama perjuangan kemerdekaan, Soekarno selalu menganggap Irian Barat juga termasuk sebagai


Indonesia. Ketika Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia, Irian Barat terus menjadi koloni
Belanda. Soekarno tidak menyerah dan terus mendorong Irian Barat harus dimasukkan sebagai bagian
dari Indonesia melalui PBB dan melalui Konferensi Asia–Afrika, di mana negara-negara yang hadir
berjanji untuk mendukung klaim Indonesia. Belanda tetap terus bersikeras. Pada tahun 1960, Soekarno
sudah kehabisan kesabaran. Pada bulan Juli, dia bertemu dengan penasihat utamanya, termasuk
Nasution, dan disepakati bahwa Indonesia akan mengejar kebijakan konfrontasi melawan Belanda pada
masalah Irian Barat.

Sebagai bagian dari persiapan untuk operasi ini, Nasution berpaling ke Soeharto, yang telah
menyelesaikan kursus Seskoad pada bulan November 1960. Soeharto, sekarang seorang brigadir
jenderal, ditugaskan oleh Nasution untuk membuat unit kekuatan strategis yang akan siaga, siap ketika
dipanggil untuk melakukan tindakan setiap saat. Soeharto ditempatkan bertugas di gugus tugas ini dan
pada bulan Maret 1961, Cadangan Umum Angkatan Darat (Caduad) dibentuk, dengan Soeharto diangkat
sebagai panglimanya.[21] Caduad pada tahun 1963 berubah nama menjadi Komando Cadangan Strategis
Angkatan Darat (Kostrad).

Pada awal 1962, Nasution dan Yani adalah komandan keseluruhan yang disebut dengan
operasi Pembebasan Irian Barat, dengan Soeharto yang ditempatkan di Indonesia timur sebagai
komandan lapangan.

Rivalitas dengan PKI

Pada saat ini, Soekarno mulai melihat PKI sebagai sekutu politik utamanya, bukan tentara lagi. Meskipun
dia telah menetapkan Indonesia nonblok selama Perang Dingin, pernyataan bahwa PRRI diberi bantuan
oleh Amerika Serikat, menyebabkan Soekarno mengadopsi sikap anti-Amerika. Dalam hal ini, dia
memiliki PKI sebagai sekutu alami. Bagi PKI, bersekutu dengan Soekarno hanya akan menambah
momentum politik sebagai pengaruh mereka terus tumbuh dalam politik Indonesia.

Nasution mewaspadai pengaruh PKI atas Soekarno dan pada gilirannya, Soekarno menyadari bahwa
Nasution tidak senang tentang pengaruh PKI dan mengambil langkah untuk melemahkan kekuasaannya.
Pada bulan Juli 1962, Soekarno mereorganisasi struktur ABRI. Status kepala cabang Angkatan Bersenjata
sekarang akan ditingkatkan dari kepala staf menjadi panglima. Sebagai panglima, kepala cabang
angkatan bersenjata akan memiliki kekuatan lebih dan hanya akan menjawab untuk Soekarno
sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Yang membantu Soekarno sebagai Panglima Tertinggi ABRI adalah
kepala staf ABRI. Soekarno menunjuk Nasution untuk posisi kepala staf ABRI [22] dan
menunjuk Yani sebagai panglima angkatan darat. Dengan melakukan ini, Soekarno menurunkan
kekuatan Nasution, sebagai kepala staf ABRI dia hanya bertanggung jawab untuk hal-hal administratif
saja dan dia tanpa pasukan.

Sekarang dalam posisi tak berdaya, Nasution mulai memikirkan cara lain untuk menghentikan
momentum PKI. Saat yang tepat datang pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara (MPRS) pada Mei 1963. Nasution, Partai Nasional Indonesia (PNI) serta anggota TNI
yang hadir mengajukan mosi bahwa Soekarno ditunjuk sebagai presiden seumur hidup.[23] Alasan di balik
ini adalah bahwa dengan ditunjuknya Soekarno sebagai presiden seumur hidup, menjadikan tidak akan
adanya pemilu, dan tanpa pemilu, PKI tidak akan bisa mendapatkan berkuasa tidak peduli berapa
banyak partai tumbuh. Akhirnya, Soekarno menjadi presiden seumur hidup.

Perbedaan dengan Yani[sunting | sunting sumber]

Nasution segera mulai mengembangkan sikap permusuhan terhadap Yani. Keduanya, baik Nasution dan
Yani sama-sama anti-komunis, tetapi sikap mereka terhadap Soekarno berbeda. Nasution mengkritik
Soekarno yang dianggap mendukung PKI, sementara Yani, seorang loyalis Soekarno, mengambil sikap
yang lebih lembut. Nasution mengkritik sikap lembut Yani dan hubungan antara keduanya memburuk.
Untuk membuat keadaan menjadi lebih buruk, Yani mulai menggantikan komandan daerah yang dekat
dengan Nasution dengan mereka yang dekat dengan dirinya.

Pada 13 Januari 1965, sebuah delegasi dari pejabat yang mewakili Nasution dan Yani bertemu dalam
upaya untuk mendamaikan perbedaan antara dua jenderal itu. Pertemuan itu gagal mengusahakan Yani
untuk menjauhkan diri dari Soekarno, tetapi delegasi sepakat untuk mengadakan seminar di mana
mereka bisa berbicara tentang iklim politik saat ini dan peran tentara dalam politik.

Sebuah dokumen beredar di Jakarta. Dijuluki Dokumen Gilchrist, dokumen itu adalah surat yang
mengaku datang dari Duta Besar Britania Raya Andrew Gilchrist, dan menyebutkan "teman-teman
tentara lokal kami". Kecurigaan pun langsung dilemparkan pada tentara yang ingin memulai kudeta.
Meskipun Yani dengan cepat menyangkal tuduhan itu, PKI mulai menjalankan kampanye, mengklaim
bahwa Dewan Jenderal yang berencana menggulingkan presiden. Sebagai perwira paling senior di
Angkatan Darat, Nasution dan Yani terlibat untuk menjadi bagian dari Dewan ini.

G30S dan Transisi ke Orde Baru[sunting | sunting sumber]

Percobaan penculikan[sunting | sunting sumber]

Nasution yang kakinya terluka sedang membahas situasi di markas Kostrad pada malam tanggal 1
Oktober 1965

Artikel utama:  Gerakan 30 September


Pada pagi hari 1 Oktober 1965, pasukan yang menyebut diri mereka Gerakan 30 September (G30S)
mencoba untuk menculik tujuh perwira Angkatan Darat anti-komunis termasuk Nasution. [24] Letnan Doel
Arief yang memimpin pasukan untuk menangkap Nasution, dan timnya yang terdiri dari empat truk dan
dua mobil militer berjalan menyusuri Jalan Teuku Umar yang sepi pada pukul 4:00 pagi. Rumah Nasution
di No 40, rumah sederhana dengan satu lantai. Penjaga rumah di pos jaga di luar rumah melihat
kendaraan yang datang, tetapi setelah melihat orang-orang itu tentara dia tidak curiga dan tidak
menelepon atasannya. Sersan Iskaq, yang bertanggung jawab menjaga rumah saat itu. Sersan itu berada
di ruang jaga di ruang depan bersama dengan setengah lusin tentara, beberapa di antaranya sedang
tidur. Seorang penjaga sedang tidur di taman depan dan satu lagi sedang bertugas di bagian belakang
rumah. Dalam sebuah pondok yang terpisah, dua ajudan Nasution sedang tidur, seorang letnan muda
bernama Pierre Tendean, dan ajun komisaris polisi Hamdan Mansjur.[25]

Sebelum alarm menyala, pasukan Letnan Arief telah melompat pagar dan menguasai para penjaga yang
mengantuk di pos jaga dan ruang jaga. Lainnya masuk dari seluruh sisi rumah dan menutupinya dari
belakang. Sekitar lima belas tentara masuk ke rumah. Nasution dan istrinya terganggu oleh nyamuk dan
terjaga. Mereka tidak mendengar para penjaga yang telah dikuasai tetapi Nyonya Nasution mendengar
pintu dibuka paksa. Dia bangkit dari tempat tidur untuk memeriksa dan membuka pintu kamar tidur, dia
melihat tentara Cakrabirawa (pengawal presiden) dengan senjata siap menembak. Dia menutup pintu
dan berteriak memberitahu suaminya. Nasution ingin melihatnya dan ketika dia membuka pintu, tentara
menembak ke arahnya. Dia melemparkan dirinya ke lantai dan istrinya membanting dan mengunci
pintu. Orang-orang di sisi lain mulai menghancurkan pintu bawah dan melepaskan tembakan-tembakan
ke kamar tidur. Nyonya Nasution mendorong suaminya keluar melalui pintu lain dan menyusuri koridor
ke pintu samping rumah. Nasution berlari ke halaman rumahnya menuju dinding yang memisahkan
halamannya dengan Kedutaan Besar Irak. Dia ditemukan oleh tentara yang kemudian menembaknya
tetapi meleset. Memanjat dinding, Nasution mengalami patah pergelangan kaki saat dia jatuh ke
halaman Kedutaan Irak untuk bersembunyi, sehingga dia tidak dikejar. [26]

Seluruh penghuni rumah terbangun dan ketakutan oleh penembakan itu. Ibu dan adik Nasution,
Mardiah, juga tinggal di rumah dan berlari ke kamar tidur Nasution. Mardiah membawa putri Nasution
yang berusia lima tahun, Irma, dari tempat tidurnya, memeluk erat anak itu dalam pelukannya, dan
mencoba lari ke tempat aman. Saat dia berlari, seorang kopral dari penjaga istana melepaskan
tembakan ke arahnya melalui pintu. Irma tertembak dan menerima tiga peluru di punggungnya. Dia
meninggal lima hari kemudian di rumah sakit. [26] Putri sulung Nasution, Janti yang berusia 13 tahun, dan
perawatnya Alfiah sudah lari ke rumah pondok ajudan Nasution dan bersembunyi di bawah tempat
tidur.[26]

Tendean mengambil senjatanya dan lari dari rumah, tetapi dia tertangkap dalam beberapa langkah.
Dalam kegelapan, ia membuat kesalahan dan sudah berada di bawah todongan senjata. [27] Setelah
mendorong suaminya keluar rumah, Nyonya Nasution lari ke dalam dan membawa putrinya yang
terluka. Saat dia menelepon dokter, pasukan Cakrabirawa menuntutnya agar memberitahu mereka di
mana keberadaan suaminya. Kabarnya dia melakukan percakapan singkat sambil marah-marah dengan
Arief dan mengatakan kepadanya bahwa Nasution sedang keluar kota selama beberapa hari ini.
[28]
 Pasukan itu pun pergi dari rumah Nasution dan membawa Tendean pergi dengan mereka. Nyonya
Nasution membawa putrinya yang terluka ke rumah sakit pusat angkatan darat. Komandan garnisun
Jakarta, Mayor Jenderal Umar Wirahadikusumah, bergegas ke rumah Nasution.[28]
Karel Satsuit Tubun, seorang penjaga di rumah Wakil Perdana Menteri Indonesia, Johannes
Leimena yang juga merupakan tetangga Nasution, mendengar keributan dan berjalan ke rumah
Nasution. Dalam kebingungan penjaga itu ditembak dan dibunuh. Pembunuhan penjaga itu tidak
direncanakan.[28]

Nasution terus bersembunyi di halaman tetangganya sampai pukul 06:00 ketika dia kembali ke
rumahnya dalam keadaan patah pergelangan kaki. Nasution kemudian meminta ajudan untuk
membawanya ke Departemen Pertahanan dan Keamanan karena dia pikir itu akan lebih aman di sana.
Nasution kemudian mengirim pesan kepada Soeharto di markas Kostrad, mengatakan kepadanya bahwa
ia masih hidup dan aman. Setelah mengetahui bahwa Soeharto mengambil alih komando tentara,
Nasution kemudian memerintahkan dia untuk mengambil langkah-langkah seperti mencari tahu
keberadaan presiden, menghubungi panglima angkatan laut R.E. Martadinata, komandan korps
marinir R. Hartono serta kepala kepolisian Soetjipto Joedodihardjo, dan mengamankan Jakarta dengan
menutup semua jalan yang mengarah ke sana. [29] Angkatan udara tidak termasuk karena Panglima Omar
Dhani dicurigai sebagai simpatisan G30S. Soeharto segera mengintegrasikan perintah tersebut ke dalam
rencananya untuk mengamankan kota.

Sekitar pukul 14:00, setelah Gerakan 30 September mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi,


Nasution mengirim perintah lain untuk Soeharto, Martadinata dan Joedodihardjo. Dalam rangka itu,
Nasution mengatakan bahwa dia yakin Soekarno telah diculik dan dibawa ke markas G30S di Halim.
Karena itu dia memerintahkan ABRI untuk membebaskan presiden, memulihkan keamanan Jakarta, dan
yang paling penting, menunjuk Soeharto sebagai kepala operasi. [30] Sama seperti Soeharto yang mulai
bekerja, tetapi pesan datang dari Soekarno di Halim. Soekarno telah memutuskan untuk menunjuk
Mayjen Pranoto Reksosamodra – loyalis Soekarno – untuk mengisi posisi Panglima Angkatan Darat dan
sekarang ingin Pranoto untuk datang menemuinya. Soeharto tidak mengizinkan Pranoto pergi tetapi dia
tahu bahwa Soekarno tidak akan menyerah untuk mencoba memanggil Pranoto. Untuk memperkuat
posisi tawar, Soeharto meminta Nasution untuk datang ke Markas Kostrad.

Nasution tiba di markas Kostrad sekitar pukul 6 sore, Soeharto mulai mengerahkan pasukan Sarwo Edhie
Wibowo untuk mengamankan Jakarta dari Gerakan 30 September. Di sana, Nasution akhirnya
menerima pertolongan pertama untuk pergelangan kakinya yang patah. Setelah Jakarta aman,
Martadinata datang ke markas Kostrad dengan salinan Keputusan Presiden yang menunjuk Pranoto.
Setelah melihat keputusan tersebut, Soeharto mengundang Martadinata dan Nasution ke ruangan untuk
membahas situasi.

Nasution meminta Martadinata bagaimana caranya presiden datang untuk menunjuk Pranoto.
Martadinata menjawab bahwa pada sore hari dia, Joedodihardjo, dan Dhani telah menghadiri
pertemuan dengan Soekarno di Halim untuk memutuskan siapa yang harus menjadi Panglima Angkatan
Darat setelah Yani tewas. Pertemuan telah memutuskan bahwa Pranoto harus menjadi Panglima
Angkatan Darat. Nasution mengatakan bahwa penunjukan Soekarno tidak dapat diterima karena
penunjukan datang ketika Soeharto telah memulai operasi. [31] Nasution dan Soeharto kemudian
mengundang Pranoto dan meyakinkannya untuk menunda menerima pengangkatannya sebagai
Panglima Angkatan Darat sampai setelah Soeharto selesai menumpas percobaan kudeta.

Dengan pasukan Sarwo Edhie, Jakarta dengan cepat berhasil diamankan. Soeharto kemudian
mengalihkan perhatiannya ke Halim dan mulai membuat persiapan untuk menyerang pangkalan udara.
Untuk membantunya, Nasution memerintahkan angkatan laut dan polisi untuk membantu Soeharto
dalam menumpas Gerakan 30 September. Untuk angkatan udara, Nasution mengeluarkan perintah
mengatakan bahwa mereka tidak akan dihukum atas pembangkangan jika mereka menolak untuk
mematuhi perintah Dhani. Pada pukul 06:00 tanggal 2 Oktober, Halim berhasil diambil alih dan Gerakan
30 September secara resmi dikalahkan.

Kehilangan kesempatan[sunting | sunting sumber]

Meskipun Soeharto telah menjadi tokoh kunci pada 1 Oktober, banyak perwira Angkatan Darat lainnya
masih berpaling ke Nasution untuk kepemimpinan dan mengharapkannya untuk mengambil kontrol
yang lebih menentukan situasi. Namun, Nasution tampak ragu-ragu dan perlahan tetapi pasti dukungan
mulai menjauh darinya. Mungkin alasan ini adalah karena dia masih berduka atas putrinya, Ade Irma,
yang meninggal pada tanggal 6 Oktober.

Dalam beberapa minggu pertama setelah G30S, Nasution-lah yang terus-menerus melobi Soekarno
untuk menunjuk Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat. Soekarno, yang setelah 1 Oktober tetap
menginginkan Pranoto sebagai pimpinan angkatan darat, awalnya menjadikan Soeharto sebagai
Panglima Kopkamtib, tetapi dengan lobi terus-menerus yang dilakukan Nasution, Soekarno akhirnya
dibujuk dan pada tanggal 14 Oktober 1965, ditunjuklah Soeharto sebagai Panglima Angkatan Darat.

Sebuah peluang emas datang ke Nasution pada bulan Desember 1965 ketika ada pembicaraan tentang
penunjukkan dirinya sebagai wakil presiden untuk membantu Soekarno dalam masa ketidakpastian.
[32]
 Nasution tidak memanfaatkan ini dan memilih untuk tidak melakukan apa-apa. Soeharto mengambil
inisiatif pada awal 1966 dengan mengeluarkan pernyataan yang mengatakan bahwa tidak ada
kebutuhan untuk mengisi kursi wakil presiden yang kosong. Pada 24 Februari 1966, Nasution tidak lagi
menjabat sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan dalam perombakan kabinet. Posisi Kepala Staf
ABRI juga dihapuskan.

Pada tahap ini, harapan bahwa Nasution akan melakukan sesuatu sekarang telah hilang, para perwira
militer dan gerakan mahasiswa berada di belakang Soeharto. Namun demikian, dia terus menjadi tokoh
yang dihormati, banyak perwira militer megunjunginya pada hari-hari menjelang
penandatanganan Supersemar, dokumen penyerahan kewenangan dari Soekarno ke Soeharto. Bahkan,
ketika Soeharto hendak pergi Markas Kostrad untuk menunggu pengiriman Supersemar, dia menelepon
Nasution dan meminta restunya. Istri Nasution memberi restu atas nama Nasution, yang tidak hadir.

Indra politik Nasution tampaknya telah kembali setelah Soeharto menerima Supersemar. Itu mungkin
karena dia yang pertama kali menyadari bahwa Supersemar tidak hanya memberikan kekuasaan darurat
kepada Soeharto tetapi juga memberinya kontrol eksekutif. Pada 12 Maret 1966, setelah Soeharto
melarang keberadaan PKI, Nasution menyarankan kepada Soeharto bahwa dia membentuk kabinet
darurat.[33] Soeharto, masih hati-hati tentang apa yang dia bisa atau tidak bisa lakukan dengan kekuatan
barunya, karena pembentukan kabinet adalah tanggung jawab presiden. Nasution mendorong Soeharto
dan berjanji untuk memberikan dukungan penuh, tetapi Soeharto tidak menanggapi dan percakapan
berakhir tiba-tiba.

Ketua MPRS
Nasution memberi selamat kepada Jenderal Soeharto atas pengangkatannya sebagai acting presiden, 12
Maret 1967

Dengan kekuatan barunya, Soeharto mulai membersihkan pemerintahan dari pengaruh komunis.
Setelah penangkapan 15 menteri kabinet pada 18 Maret 1966, Soeharto mengincar MPRS, mencopot
anggota yang dianggap simpatisan komunis dan menggantinya dengan anggota yang lebih bersimpati
pada tujuan militer. Selama pembersihan, MPRS juga kehilangan ketuanya, Chaerul Saleh, dan ada
kebutuhan untuk mengisi posisi yang kosong. Nasution adalah pilihan yang sangat populer karena
semua fraksi di MPRS menominasikan dia untuk posisi Ketua MPRS. Namun, Nasution menunggu sampai
Soeharto menyatakan dukungan untuk pencalonannya sebelum menerima nominasi.

Pada 20 Juni 1966, Sidang Umum MPRS dimulai. Nasution menetapkan Supersemar sebagai agenda
pertama yang akan dibahas dalam daftar dengan berjalan ke aula pertemuan dengan dokumen yang
sebenarnya. Keesokan harinya, pada 21 Juni MPRS meratifikasi Supersemar, sehingga ilegal bagi
Soekarno untuk menariknya kembali. Pada 22 Juni, Soekarno menyampaikan pidato
berjudul Nawaksara (Sembilan butir) di depan sidang. Nasution dan anggota MPRS lainnya merasa
kecewa. Soekarno tidak menyebutkan apa-apa tentang G30S. Sebaliknya, Soekarno tampaknya
memberikan penjelasan tentang pengangkatannya sebagai presiden seumur hidup, rencana kerjanya
sebagai presiden, dan bagaimana Konstitusi bekerja dalam praktik. MPRS menolak untuk meratifikasi
pidato ini.

Selama dua minggu ke depan, Nasution sibuk memimpin Sidang Umum MPRS. Di bawah
kepemimpinannya, MPRS mengambil langkah-langkah seperti melarang paham Marxisme-Leninisme,
mencabut keputusan Soekarno sebagai presiden seumur hidup, dan memerintahkan pemilihan legislatif
yang akan diselenggarakan pada bulan Juli 1968. Sidang Umum MPRS juga meningkatkan kekuasaan
Soeharto dengan secara resmi memerintahkannya untuk merumuskan kabinet baru. Sebuah keputusan
juga disahkan yang menyatakan bahwa jika presiden tidak mampu melaksanakan tugasnya, dia kini akan
digantikan oleh pemegang Supersemar, bukan wakil presiden.

Tahun 1966 pun berlalu, Soekarno semakin defensif dan popularitasnya di kalangan rakyat Indonesia
semakin menurun. Soeharto, yang tahu bahwa kemenangan politiknya sudah dekat, turun untuk
memainkan peran orang Jawa yang sopan dengan terus-menerus memberikan kata-kata meyakinkan
kepada Soekarno dan membelanya dari tuntutan para demonstran. Jenderal lainnya seperti Nasution
tidak penuh belas kasihan, Nasution menyatakan bahwa Soekarno harus bertanggung jawab atas situasi
buruk yang melanda pemerintahan dan masyarakat Indonesia pada saat itu. Nasution juga menyerukan
agar Soekarno dibawa ke pengadilan.

Pada 10 Januari 1967, Nasution dan MPRS bersidang lagi dan Soekarno menyerahkan laporannya (dia
tidak menyampaikan hal itu secara pribadi sebagai pidato) yang diharapkan bisa mengatasi masalah
G30S. Diberi judul "Pelengkap Nawaksara", laporan itu berbicara tentang desakan Soekarno menyebut
G30S dengan Gerakan 1 Oktober (Gestok). Pada G30S, Soekarno mengatakan bahwa PKI membuat
kesalahan besar pada pagi hari 1 Oktober, tetapi juga menambahkan bahwa hal ini disebabkan oleh
kecerdikan pihak neokolonialis. Soekarno juga menambahkan bahwa jika dia akan disalahkan atas G30S,
Menteri Pertahanan dan Keamanan pada saat itu (Nasution) juga harus disalahkan karena tidak melihat
G30S datang dan menghentikannya sebelum terjadi. [34] Laporan sekali lagi ditolak oleh MPRS.
Pada bulan Februari 1967, DPR-GR menyerukan Sidang Istimewa MPRS pada bulan Maret untuk
mengganti Soekarno dengan Soeharto. Soekarno tampaknya pasrah akan nasibnya, akhirnya pada 12
Maret 1967 Soekarno secara resmi dicabut mandatnya sebagai Presiden oleh MPRS. Nasution kemudian
menyumpah Soeharto ke tampuk kekuasaan sebagai pejabat presiden. Setahun kemudian pada 27
Maret 1968, Nasution memimpin pemilihan dan pelantikan Soeharto sebagai Presiden penuh.

wafat :
Nasution sendiri meninggal pada 6 September 2000 di Jakarta setelah menderita stroke dan
kemudian koma.[42][43] Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.[44]

Anda mungkin juga menyukai