Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH SEJARAH INDONESIA

KELOMPOK III
Disusun oleh:
1. Aura Khanaya
2. Viera Tri Agustine
3. Rafika Edelweis Tambunan
4. Krisna Pangestu Yekti
5. Naufal Alghani

TA 2022/2023
MAN 2 KOTA JAMBI
PRRI / PERMESTA

(Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) terjadi setelah


Belanda mengakui kedaulatan NKRI pada tahun 1957.
Gerakan yang disebut juga Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) ini
berawal dari kekecewaan angkatan militer daerah terhadap pusat
khususnya di wilayah Sumatra dan Sulawesi.
Bentrokan PRRI/Permesta awalnya sebatas kekecewaan atas
minimnya kesejahteraan dan ketidakadilan yang dirasakan warga
sipil dan militer di daerah tersebut.

Latar Belakang Pemberontakan PRRI

Dalam buku sejarah Demi Kehormatan Negara yang disusun oleh


Hasiyati (2020), pertentangan pemerintah pusat dan sejumlah
daerah berpangkal pada persoalan alokasi dana pembangunan yang
tidak merata dan tuntutan otonomi daerah.
Situasi sudah memanas sejak terjadi pengurangan divisi pada brigade
di angkatan darat yang menyisakan Resimen Infanteri 4 TT I BB. Para
perwira dan tokoh militer di daerah kecewa dan merasa terhina akan
hal tersebut setelah berjuang mempertaruhkan jiwa raga untuk bela
negara.

Ketidakpuasan tersebut terjadi di sejumlah wilayah Sumatra dan


Sulawesi, serta diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan
masyarakat yang sangat rendah kala itu. Hal ini menjadi pemicu
kemunculan dewan perjuangan daerah pada Desember 1956 hingga
Februari 1957.

Dalam buku Prajurit-Prajurit di Kiri Jalan (2011) karya Petrik


Matanasi, PRRI/Permesta lahir di Padang, Sumatra Barat pada 15
Februari 1958. Di sisi lain, Permesta sudah terbentuk pada 2 Maret
1957 di Makassar, Sulawesi Selatan namun pusat Permesta ada di
Manado, Sulawesi Utara.

Tujuan dan Tokoh Pemberontakan PRRI/Permesta


Puncak pemberontakan PRRI/Permesta ditandai dengan persetujuan
dari Letnan Kolonel Achmad Husein terkait berdirinya PRRI dan
pembentukan kabinet dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai
Perdana Menteri. Proklamasi berdirinya PRRI disambut meriah di
Indonesia bagian Timur.
Sementara itu, Letnan Kolonel D.J Somba, Komandan Daerah Militer
Sulawesi Utara dan Tengah memutus hubungan dengan Pemerintah
Pusat dan mendukung PRRI. Dari ketidakpuasan tersebut, terjadi
pembentukan dewan perjuangan yaitu:
1. Dewan Banteng yang dipimpin Letkol Ahmad Husein di wilayah
Sumatera Barat
2. Dewan Gajah yang dipimpin Kolonel Maludin Simbolon di
wilaya Sumatera Utara
3. Dewan Garuda yang dipimpin Letkol Barlian di wilayah
Sumatera Selatan
4. Dewan Manguni yang dipimpin Kolonel Ventje Sumual di
Sulawesi.
Adapun tujuan dari pembentukan dewan-dewan tersebut ialah
menyatukan kepentingan sehingga muncul 3 tuntutan utama dari
PRRI/Permesta kepada pemerintah pusat, yaitu:

Meminta pembubaran Kabinet Djuanda


Pembentukan pemerintahan sementara oleh Moh Hatta dan Sultan
Hamengkubuwono IX hingga pemilihan umum berikutnya
dilaksanakan Sukarno kembali ke posisi konstitusionalnya

Terkait masalah otonomi daerah, PRRI menuntut pemerintah


bertindak adil dan merata untuk alokasi dana pembangunan daerah

Dampak dan Akhir dari Pemberontakan PRRI


Aksi PRRI/Permesta dianggap sebagai bentuk pemberontakan oleh
pemerintah pusat yang kemudian segera membentuk operasi
penumpasan. Pemerintah membentuk operasi gabungan dari
Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan
Perang RI (APRI) untuk menyelesaikan pemberontakan
PRRI/Permesta.
Operasi penyelesaiaan diantaranya yaitu, Operasi Tegas yang
dipimpin Letkol Kaharudin Nasution. Lalu Operasi 17 Agustus yang
dipimpin Kolonel Ahmad Yani, Operasi Saptamarga yang dipimpin
Jatikusumo dan Operasi Sadar yang dipimpin oleh Letkol Ibnu
Sutowo.
Tentara APRI melakukan berbagai macam tindak kekerasan untuk
menumpas gerakan PRRI. Ribuan orang ditangkap paksa akibat
keterlibatan atau dicurigai sebagai simpatisan PRRI/Permesta.
Gerakan ini menimbulkan berbagai dampak negatif diantaranya
yaitu:

- Memakan korban jiwa hingga 22.174 jiwa, 4.360 luka, dan


8.072 orang tawanan
- Kondisi ekonomi terganggu dan muncul inflasi deflasi
- Terjadi perpecahan antara hubungan persaudaraan di daerah
- Kurangnya bahan makanan
- Pimpinan NKRI menyadari akan ancaman konflik perbedaan di
berbagai wilayah
- Saat terjadi kerusuhan, sejumlah SMP, SMA, hingga universitas
terpaksa ditutup sementara karena hampir semua dosen dan
mahasiswa terlibat PRRI

Di tahun 1961 Presiden Sukarno memberi kesempatan pada anggota


pemberontakan PRRI/Permesta untuk berdamai dan diberikan
amnesti yang tertuang dalam Surat Keputusan Presiden No. 322
Tahun 1961.
PERSOALAN NEGARA FEDERAL / BFO

Latar Belakang
Berdirinya BFO atau Majelis Permusyawaratan Federal ini didasari
oleh adanya pembentukan negeri federasi di Indonesia.
Pejabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Mook, berencana
membentuk negara federasi di Indonesia yang mengharuskan dirinya
mengubah ketatanegaraan di Indonesia.

Namun rencana untuk mengubah ketatanegaraan ini mengalami


kendala karena di Indonesia telah berdiri Republik Indonesia.
Van Mook kemudian mengawali rencana pembentukan negara
federal melalui sebuah konferensi yang digunakan untuk
menyebarluaskan federalisme di Indonesia.
Tetapi rencana Van Mook kembali gagal karena hal tersebut
bertentangan dengan keinginan Belanda yang juga ingin RI masuk
dalam persemakmuran di bawah Belanda.
Van Mook menggelar konferensi di Malino pada 15 Juli sampai 25 Juli
1946 dan menghasilkan keputusan bahwa peserta konferensi
menyetujui pengubahan ketatanegaraan di Indonesia menjadi
federasi.

Setelah Konferensi Malino, Van Mook juga mengadakan konferensi


Pangkal Pinang dan Denpasar.
Konferensi tersebut menjadi pemicu awal pembentukan negara
federal di Indonesia, yaitu Negara Indonesia Timur, sebagai negara
bagian yang pertama berdiri.
Fungsi
Fungsi dibentuknya BFO oleh Van Mook yaitu untuk mengelola
Republik Indonesia Serikat (RIS) selama Revolusi Nasional Indonesia
(1945-1949).

Komite ini bertanggung jawab untuk membentuk pemerintahan


sementara pada tahun 1948 dan digunakan sebagai bentuk
perwakilan negara-negara bagian yang sudah menjadi negara sendiri
di atas binaan Belanda.

Anggota
Sejak BFO berdiri, sudah terdapat tokoh-tokoh yang dominan dalam
setiap rapat. Mereka adalah:
• Tengku Bahriun dari 7 Juli 1943 sampai 13 Januari 1949 (Ketua)
• Sultan Hamid II dari 13 Januari 1949 sampai 17 Agustus 1950
(Ketua)
•Anak Agung Gde Agung (Negara Indonesia Timur)
•R.T. Adil Puradireja (Pasundan)
• Hamid II (Borneo Barat)
•T. Mansoer (Sumatera Timur)
Anak Agung Gde Agung dan Adil Puradireja bertugas untuk
mendekatkan BFO dengan RI, sedangkan Sultan Hamid II dan T.
Mansoer berusaha agar BFO tetap mengikuti rencana yang dibuat
Belanda.

Anda mungkin juga menyukai