Gerakan yang disebut juga Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta) ini berawal dari kekecewaan angkatan
militer daerah terhadap pusat khususnya di wilayah Sumatra dan Sulawesi.
Bentrokan PRRI/Permesta awalnya sebatas kekecewaan atas minimnya kesejahteraan dan ketidakadilan
yang dirasakan warga sipil dan militer di daerah tersebut.
Persoalan tersebut melebar pada tuntutan otonomi daerah hingga berujung penumpasan yang
merenggut korban puluhan ribu jiwa.Dalam buku sejarah Demi Kehormatan Negara yang disusun oleh
Hasiyati (2020), pertentangan pemerintah pusat dan sejumlah daerah berpangkal pada persoalan alokasi
dana pembangunan yang tidak merata dan tuntutan otonomi daerah.
Situasi sudah memanas sejak terjadi pengurangan divisi pada brigade di angkatan darat yang menyisakan
Resimen Infanteri 4 TT I BB. Para perwira dan tokoh militer di daerah kecewa dan merasa terhina akan
hal tersebut setelah berjuang mempertaruhkan jiwa raga untuk bela negara.
Ketidakpuasan tersebut terjadi di sejumlah wilayah Sumatra dan Sulawesi, serta diperparah dengan
tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah kala itu. Hal ini menjadi pemicu
kemunculan dewan perjuangan daerah pada Desember 1956 hingga Februari 1957.
Dalam buku Prajurit-Prajurit di Kiri Jalan (2011) karya Petrik Matanasi, PRRI/Permesta lahir di Padang,
Sumatra Barat pada 15 Februari 1958. Di sisi lain, Permesta sudah terbentuk pada 2 Maret 1957 di
Makassar, Sulawesi Selatan namun pusat Permesta ada di Manado, Sulawesi Utara.
Sementara itu, Letnan Kolonel D.J Somba, Komandan Daerah Militer Sulawesi Utara dan Tengah
memutus hubungan dengan Pemerintah Pusat dan mendukung PRRI. Dari ketidakpuasan tersebut,
terjadi pembentukan dewan perjuangan yaitu:
1. Dewan Banteng yang dipimpin Letkol Ahmad Husein di wilayah Sumatera Barat
2. Dewan Gajah yang dipimpin Kolonel Maludin Simbolon di wilaya Sumatera Utara
Operasi penyelesaiaan diantaranya yaitu, Operasi Tegas yang dipimpin Letkol Kaharudin Nasution. Lalu
Operasi 17 Agustus yang dipimpin Kolonel Ahmad Yani, Operasi Saptamarga yang dipimpin Jatikusumo
dan Operasi Sadar yang dipimpin oleh Letkol Ibnu Sutowo.
Tentara APRI melakukan berbagai macam tindak kekerasan untuk menumpas gerakan PRRI. Ribuan orang
ditangkap paksa akibat keterlibatan atau dicurigai sebagai simpatisan PRRI/Permesta. Gerakan ini
menimbulkan berbagai dampak negatif diantaranya yaitu:
- Memakan korban jiwa hingga 22.174 jiwa, 4.360 luka, dan 8.072 orang tawanan
- Saat terjadi kerusuhan, sejumlah SMP, SMA, hingga universitas terpaksa ditutup sementara karena
hampir semua dosen dan mahasiswa terlibat PRRI
Di tahun 1961 Presiden Sukarno memberi kesempatan pada anggota pemberontakan PRRI/Permesta
untuk berdamai dan diberikan amnesti yang tertuang dalam Surat Keputusan Presiden No. 322 Tahun
1961.