Anda di halaman 1dari 8

A.

Pemberontakan PRRI\Permesta

1. Ketika tanggal 17 Agustus 1950 Presiden RIS Ir. Soekarno atas persetujuan parlemen RIS
mengumumkan pembubaran RIS,Sejak itu Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Apa ciri-ciri NKRI tahun 1950 ?
Jawab :
 Konstitusinya : UUDS 1950
 Demokrasi : Liberal
 Sistem pemerintahan : Parlementer

2. Lima tahun setelah kembali ke NKRI, dilaksanakan Pemilu, Siapa yang dipilih ?
Jawab :
untuk memilih anggota parlemen. Soekarmo dan Mohammad Hatta ditetapkan sebagai
presiden dan wakil presiden. Keduanya sejak tahun 1945 dijadikan dwitunggal yang
menyatukan seluruh wilayah Indonesia.

3. Usai Pemilu 1955 terjadi pergolakan di beberapa daerah yang dipelopori oleh para Perwira
TNI Angkatan Darat. Mereka tidak puas karena kedua hal. Mengapa ?
a. Pertama, pemerintah pusat tidak memperhatikan pembangunan daerah
sebagaimana tercermin dari pembagian keuangan yang sangat merugikan
kepentingan daerah.
b. Kedua, mereka sangat kecewa dengan kebijakan politik Presiden Soekarno yang
lebih menguntungkan Partai Komunis Indonesia (PKI).
4. Mengapa tidak puas dengan pusat ?
a. Perwira TNI-AD belum melupakan penghianatan yang dilakukan PKI terhadap
negara dalam pemberontakan Madiun tahun 1948.
5. Apa tuntutannya !
a. Mereka juga menuntut perubahan kebijakan ekonomi dan politik pemerintah,
yaitu memberikan otonomi kepada daerah dan tidak memberikan dukungan
kepada PKI.

6. Sejak awal, formatur kabinet hasil pemilu 1955 sepakat untuk tidak mengikutsertakan PKI
dalam pemerintahan yang akan datang, meskipun PKI meraih suara terbanyak
keempat.mengapa demikian ?
Jawab ; karena PKI sebelumnya telah melakukan pengkhianatan dengan peristiwa PKI
Madiun

7. Dengan dukungan PNI, Masyumi, NU dan beberapa partai kecil sebenarnya kabinet sudah
bisa terbentuk, tanpa melibatkan PKI. Namun kabinet tanpa PKI ditentang Presiden
Soekarno yang menghendaki kabinet berkaki empat., yakni PNI, Masyumi, NU, dan PKI.
Mengapa demikian ?
Jawab :
1. Di balik itu, Soekarno memiliki rencana besar untuk kepentingan politik luar
negrinya, yakni mendekatkan Indonesia dengan negar-negara komunis agar
dapat mengimbangi pengaruh Blok Barat di kawasan Asia Tenggara.
2. Seokarno kecewa dengn pihak barat karena berpihak kepada Belanda dalam
persengketaan Irian Barat antara Belanda dan Indonesia. Menurut hasil KMB,
seharusnya pihak Belanda menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia pada
tahun 1950.

8. Meski Soekarno bukan kepala pemerintahan, tetapi pengaruhnya sangat kuat dalam
mengarahkan kebijakan ekonomi,dan politik yang menguntungkan PKI tersebut.
Penentangan terhadap Presiden Soekarno dihasilkan melalui pertemuan reuni Divisi
Banteng pada tanggal 20-25 Nopember 1956 di kota Padang, Propinsi Sumatra tengah
(sekarang Sumatra Barat). Perta reuni lalu membentuk tim delegasi yang kemudian
menyampaikan hasil reuni kepada Perdana Mentri Ali Sastroamidjojo di Jakarta. Tim ini
terdiri atas Kolonel Dahlan Djambek, Abdul Halim, Dahlan Ibrahim, Sidi Bakarudin, dan
Ali Lubis. Mereka bertemu dengn Perdana Mentri Ali Sastroamidjojo pada tnggal 28
Nopember. Selanjutnya mereka juga bertemu dengan Wakil Presiden Drs. Mohammad
Hatta dan tokoh politik asal Sumatra Abdul Gani Pringgodigdo. Namun im delegasi gagal
menemui Presiden Soekarno.
Pertemuan Hatta dengan tim delegasi reuni Dewan Banteng semakin memperenggang
hubunganya dengan Soekarno. Keduanya mempunyai pandangan yang berbeda untuk
membangun Indonesia setelah Pemilu1955. Ahirnya pada tanggal 1 Desember 1956, Hatta
mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden. Pengunduran dirinya menghancuan simbol persatuan
dwitunggal Soekarno-Hatta sehingga menambah ketegangan hubungan pusat dan daerah. Pihak
daerah menuntut pemulihn dwitunggal. Karena tuntutan tidak dikabulkan, pada tanggal 20
Desember 1956 Ketua Dewan Banteng yang juga Komandan Resimen Infrantri 4 Letkol Achmad
Husein mengambil alih pemeirintahan Sumatra Tengah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo.
Alasan yang digunakan adalah gubernur dinilai gagal membangun wilayah Sumatra Tengah. Dua
hari kemudian Panglima Tentara dan Teritorium I (TT I) Kolonel Mauludin Simbolon menguasai
Sumatra Utara setelah mendirikan Dewan Gajah terlebih dahulu. Tindakan Simbolon ditentang
perwira TT I lainnya, lalu ia digulingkan oleh Kepala staf TT I Letkol Djamin Ginting. Sempat
terjadi pertempuran antara pasukan pendukung keduanya. Namun, pasukan Simbolon lebih
sedikit sehingga terdesak mundur memasuki wilayah kekuasaan Dewan Banteng.
Kekalahan Dewan Gajah tidak menyurutkan penguasa militer Sumatera Selatan untuk
membentuk Dewan Garuda pada tanggal 18 Februari 1957. Pimpinan Dewan Garuda adalah
Wakil Kepala Staf Tentara dan Teritorium II (TT II) Mayor Nawawi.Ia didukung penuh atasanya,
yakni Panglima TT II Letkol Barlian. Antara Dewan Garuda dan Dewan Banteng terjalin
kerjasama melalui Kepala Exploitasi Djawatan Kereta Api (DKA) daerah Sumatra Selatan Sidi
Bakarudin.
Upaya pemerintah untuk menyelesaikan pergolakan daerah di Sumarta mengalami
kegagal. Bahkan, Letkol Achmad Husein pada tanggal 15 Februari 1958 mengumumkan
pembentukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Sejafrudin
Prawiranegara sebagai perdana mentrinya. Tokoh Masyumi lainya yang turut terlibat adalah
Muhmammad Natsir. Disamping itu, pihak Dewan Banteng juga melibatkan tokoh Partai Sosialis
Indonesia (PSI) Soemitro Djojohadikusumo yang seorang ahli ekonomi. Pendirisn PRRI
mendapat dukungan secara diam-diam dari pemerintah Amerika Serikat dengan mengirimkan
bantuan keuangan dan persenjataan.

Untuk menumpas PRRI/Permesta, Pemerintah pusat langsung melancarkan operasi militer untuk
menumpas PRRI yang berpusat dikota Padang. Al :
1. Operasi Tergas dibawah Letkol Kaharudin Nasution. Sasaran mengamankan instalasi
minyak asing ( u7ntuk mencegah campur tangan asing )
2. Operasi 17 agustus pimpinan kol. Ahmad Yani. Untuk mengamankan daerah sumatra
barat.
3. Operasi Saptamarga dipimpin Brigjen Djatikusumo. Sasaran wilayah sumatra utara
4. Operasi Sadar pimpinan Letkol Ibnu Sutowo. Sasaran wilayah sumatra selatan

Operasi berlangsung lancar dan tidak mendapat perlawanan yang berarti. Pasukan pemerintah
pusat dengan mudah dapaet merebut kota Padang pada bulan Mei 1958.
Pembentukan PRRI mendapat dukungan Panglima Komando Daerah Militer Sulawesi
utara dan Tengah (KDMSUT) Kolonel D.J. Somba. Pada tanggal 17 Februari 1958 ia
memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat di Jakarta dan menyatakan wilayah
kekuasaanya sebagai bagian PRRI. Satu tahun sebelumnya, pada tanggal 2 Maret 1957 Panglima
TT VII Letkol Ventje Sumual mendeklarasikan Piagam Perjuangan Semesta (Permesta) di
Manado. Wilayah kekuasaanya meliputi Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.
Sejak awal Ventje menggabungkan gerakanya dengan Dewan Banteng, Dewan Gajah,
dan Dewan Garuda di Sumatra. Pengumuman Somba semakin mempertegas kerjasama beberapa
pimpinan daerah di Sumatra dan Sulawesi untuk menentang pemerintah pusat Jakarta beberapa
tokoh militer Sulawesi seperti Ventje, F. Warouw, dan Saleh Lahade diangkat sebagai mentri
dalam kabinet PRRI pimpinan Perdana Mentri Sjafruddin Prawira negara.
Operasi militer juga dilancarkan oleh pemerintah pusat untuk menghancurkan Permesta.
Terjadi pertempuran hebat yang dimenangkan oleh pasukan pemerintah pusat pada bulan Agustus
1958. Al :
1. Operasi Saptamarga I
2. Operasi Saptamarga II
3. Operasi Saptamarga III
4. Operasi Saptamarga IV
5. Operasi Mena I
6. Operasi Mena II.

E. Pemberontakan G30S/PKI

Pemberontakan PRRI-Permesta menambah keyakinan Presiden Soekarno bahwa pemerintah


Amerika serikat beserta sekutunya berusaha menggulingkannya. Terbukti dengan bantuan
mereka secara diam-diam kepada pihak PRRI-Permesta. Kenyataan ini semakin mendekatkan
Soekarno dengan para pemimpin Negara-negara komunis, seperti Uni Soviet, Cina, Vietnam
Utara, dan Korea Utara.
Kecenderungan politik luar negeri Presiden Soekarno tersebut sangat menguntungkan
PKI. Di dalam negeri terjadi persaingan antara PKI dengan partai-partai antikomunis, seperti
PNI, Masyumi, NU, PSI, Murba, IPKI, Partai Katolik, PSII, dan Perti. Pihak PKI memanfaatkan
keterlibatan beberapa tokoh Masyumi dan PSI dalam PRRI-Permesta untuk mengalahkannya
dengan cara mendesak Presiden Soekarno agar membubarkannya. Soekarno memenuhi desakan
PKI tersebut sehingga Masyumi dan PSI menjadi partai terlarang sejak tahun 1960. Pembubaran
berlanjut dengan serangkaian penangkapan terhadap para tokoh Masyumi dan PSI oleh
pemerintah.
Sementara, PNIdan NU mendapat tekanan Soekarno agar tidak lagi memusuhi PKI.
Keberhasilan ini membuat partai-partai lainnya semakin tidak berdaya menghadapi PKI,
mengingat PNI dan NU adalah dua partai besar yang banyak memiliki kursi di parlemen.
Meski PKI berhasil mengalahkan partai-partai yang menjadi lawan politiknya, tetapi PKI
tidak berhasil menguasai pemerintahan sepenuhnya karena ditentang oleh pimpinan TNI
Angkatan Darat (TNI-AD). Permusuhan keduanya dimulai sejak meletusnya pemberontakan PKI
di madiun pada tahun 1948. Pihak TNI-AD merasa ‘ditikam dari belakang’ oleh PKI karena telah
melemahkan kekuatan TNI-AD dalam menahan agresi militer pasukan Belanda.
Ketegangan hubungan antara PKI dan TNI-AD semakin meningkat setelah PKI
mengusulkan pembentukan kekuatan bersenjata baru yang dikenal sebagai Angkatan Kelima.
Selama ini kekuatan bersenjata terdiri dari empat angkatan perang, yaitu Angkatan Darat,
Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian. Di antara empat angkatan ini, yang
terbesar jumlah personilnya adalah Angkatan Darat. Karena PKI selalu gagal menguasai
kekuatan bersenjata, maka mereka mengusulkan pembentukan Angkatan Kelima yakni
mempersenjatai kaum buruh dan tani yang menjadi basis dukungan PKI.
Gagasan Angkatan Kelima bermula dari saran Perdana Menteri Cina Chou En-Lai ketika
melakukan kunjungan kenegaraan pada bulan April 1964. Kunjungannya dalam rangka memberi
dukungan kepada Soekarno untuk melanjutkan program konfrontasinya terhadap rencana
pemerintah Inggris membentuk Malaysia. Kebijakan konfrontasi ini akan mendorong pemerintah
Indonesia berperang melawan Inggris dan Sekutunya. Sebagai langkah persiapn, Chou En-Lai
mengusulkan kepada Soekarno agar mempersenjatai kaum buruh dan tani sehingga menambah
kekuatan bersenjata Indonesia. Soekarno menyetujuinya dan langsung mengkampanyekan
pembentukan Angkatan Kelima agar didukung oleh partai-partai politik. Pimpinan PKI memberi
dukungan penuh karena menguntungkannya. Jika Angkatan Kelima dibentuk, maka PKI dapat
menguasainya dan menjadikannya sebagai pasukan untuk menghadapi TNI-AD yang telah
menjadi penentang utama yang dapat menggagalkan rencana PKI menguasai Indonesia.
Menyadari hal ini, pimpinan TNI-AD menentang gagasan pembentukan Angkatan Keliama
tersebut.
Di samping soal Angkatan Kelima, ketegangan antara PKI dan TNI-AD juga terjadi
akibat usulan PKI untuk memberlakukan perimbangan kekuatan politik berdasarkan konsep
Nasakom (Nasionalis,Agama dan Komunis) dalam struktur organisasi TNI-AD. Bagi pemimpin
TNI-AD usulan ini membuat TNI-AD menjadi organisasi militer yang bersifat politis. Oleh
karenanya nasakomisasi TNI-AD ditolak oleh pimpinan TNI-AD.
Factor lain yang meningkatkan ketegangan TNI-AD dan PKI menyangkut kebijakan luar
negeri presiden Soekarno. Pihak PKI mendorong Soekarno agar memasukkan Indonesia ke dalam
jalinan kerja sama dengan Negara-negara Komunis. Sebaliknya, sebagian besar pimpinan TNI-
AD berusaha mencegahnya dan mempertahankan hubungan yang baik antara Indonesia dan
Negara-negara blok barat yang anti Komunis.

Isu Kudeta
Pada akhir tahun 1964 ketegangan hubungan antara PKI dengan TNI-AD dan partai-partai
anti komunis semakin meningkat. Untuk membendung PKI, pada tanggal 1 September 1964
partai Murba membentuk BPS (Badan Pendukung Soekarno). Tujuannya adalah membebaskan
Soekarno dari pengaruh PKI. Bulan Oktober 1964 pihak intelijen TnI-AD menemukan dokumen
rencana kudeta PKI. Dokumen ini dibuat pada akhir desember 1963 dan membuat garis besar
strategi PKI untuk merebut kekuasaan di Indonesia.
Pihak TNI-AD menyerahkan dokumen tersebut kepada wali perdana menteri III Chaerul
Saleh yang juga tokoh partai Murba. Chaerul Saleh merasa yakin dengan keaslian dokumen
tersebut sehingga menyampaikannya dalam rapat di Istana Bogor pada tanggal 12 Desember
1964. Rapat ini dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno yang baru saja kembali dari
kunjungan kenegaraannya ke luar negeri sepanjang bulan September dan Oktober 1964. Rapat
dihadiri oleh seluruh Menteri, Panglima empat Angkatan Bersenjata dan pimpinan partai-partai
politik. Jalannya rapat berlangsung tegang karena PKI menolak keaslian dokumen dan berbalik
menuduh Chaerul Saleh maupun pimpinan TNI-AD telah menyebarkan fitnah kepada PKI.
Rapat 12 Desember 1964 diakhiri dengan janji setia kepada presiden Soekarno oleh
seluruh peserta rapat. Kesepakatan ini dikenal sebagai Deklarasi Bogor. Hasil rapat
menguntungkan PKI karena Soekarno tidak mempercayai isu rencana Kudeta oleh PKI
sebagaimana termuat dalam dokumen tersebut. Pimpinan PKI lalu membalas tindakan Chaerul
saleh dengan cara melenyapkan partai Murba yang merupakan basis pendukungnya. Soekarno
terpengaruh oleh informasi dari pimpinan PKI bahwa partai Murba berencana melakukan Kudeta.
Langkah pertamanya adalah membentuk BPS untuk mencari dukungan massa yang lebih banyak.
Oleh karena itu Soekarno memerintahkan pembubaran Murba pada tanggal 1 Januari 1965.
Empat bulan kemudian muncul isu kudeta yang akan dilakukan dewan Jendral TNI-AD
dengan bantuan pemerintah Amerika Serikat dan Inggris. Isu ini berasal dari surat Duta Besar
Inggris untuk Indonesia Sir Andrew Gilchrist kepada Sekjen Kementrian luar negeri Inggris
bertanggal 24 Maret 1965. Surat ini dikirim seseorang pada tanggal 15 Mei 1965 kepada Dr.
Subandrio yang saat itu menjabat tiga jabatan penting, yaitu Wakil Perdana Menteri I, Menteri
Luar Negeri, dan Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI). Subandrio menyerahkannya kepada Kepala
Staf BPI Brigjen Pol Soetarto untuk diperiksa keasliannya. Setelah itu Soebandrio menyerahkan
surat Gilchrist itu kepada Presiden Soekarno pada tanggal 26 Mei 1965. Keesokan harinya
Soekarno mengumpulkan seluruh Panglima Angkatan Bersenjata di Istana Negara. Pimpinan
TNI-AD membantah isi surat Gilchrist yang mengesankan adanya kerjasama antara TNI-AD
dengan pihak asing untuk merebut kekuasaan dari Presiden Soekarno. Menurut pihak TNI-AD
surat Gilchrist itu palsu, meskipun kertas yang digunakannya adalah jenis kertas yang biasa
digunakan oleh kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Sebaliknya, pimpinan PKI dan BPI (Badan
Pusat Intelijen) sangat asli keaslian surat Gilchrist tersebut. Akibatnya terjadi ketegangan.
Presiden Soekarno sendiri ragu-ragu terhadap keaslian surat Gilchrist. Untuk itu Soekarno tidak
langsung menjatuhkan hukuman terhadap pimpinan TNI-AD yang dalam surat Gilchrist
disebutkan sedang merencanakan kudeta atas bantuan Inggris dan Amerika Serikat. Pertemuan
mendadak ini diakhiri pengucapan ikrar kesetiaan kepada Soekarno.
Hubungan antara pimpinan TNI-AD dan pimpinan PKI semakin tidak harmonis setelah
rapat 27 Mei 1965. Pihak intelijen TNI-AD mendapat informasi tentang rencana pembunuhan
terhadap pimpina TNI-AD oleh PKI. Namun informasi ini oleh pimpinan TNI-AD dianggap
hanya sebagai rumor. Empat bulan kemudian, pada tanggal 1 Oktober 1965 Radio Republik
Indonesia (RRI) tiba-tiba menyiarkan berita Gerakan 30 September (G30S) pimpinan Letkol
Untung yang mengaku telah menggagalkan rencana kudeta Dewan Jendral TNI-AD pada tanggal
5 Oktober 1965, bertepatan dengan peringatan hari ulang tahun ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia). Mereka telah membunuh sejumlah pimpinan TNI-AD seperti
Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani, Deputy II Mayjen R. Suprapto, deputy III
Mayjen Mas Tirtodarmo Haryono, Asisten I Mayjen Siswondo Parman, Asisten IV Brigjen
Donald Izacus Pandjaitan, Oditur Jendral Angkatan Darat Brigjen Soetojo Siswomihardjo.
Sebenarnya mereka juga merencanakan pembunuhan terhadap Menteri coordinator
Pertahanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jendral Abdul Haris Nasution yang mempunyai
pengaruh sangat kuat di lingkungan TNI-AD. Namun Nasutin berhasil meloloskan diri.
Berita RRI 1 Oktober 1965 tersebut langsung menjadi bahan pembicaraan nasional.
Benarkah TNI-AD melalui Dewan Jendral merencanakan kudeta sebagaimana dituduhkan oleh
pimpinan G30S? Agaknya pimpinan G30S sangat mempercayai kebenaran surat Gilchrist
tersebut. Sebaliknya, sebagian besar politisi dan pejabat militer menolak kebenaran surat
Gilchrist dan menilainya sebagai move politic (gerakan politik) PKI untuk menyingkirkan
pimpinan TNI-AD yang antikomunis karena menghalangi rencana PKI mengubah Negara
Indonesia menjadi Negara komunis terbesar ketiga setelah Uni Soviet dan RRC.
Berdasarkan urutan peristiwa, yakni dari surat Gilchrist hingga aksi pembunuhan para
petinggi TNI AD serta latar belakang pimpinan G30S yang pernah dibina oleh para tokoh
komunis, maka Panglima Kostrad Mayjen Soeharto dalam rapat mendadak di markasnya
menyimpulkan G30S dikendalikan oleh PKI. Oleh karena itu, Soeharto langsung memimpin
operasi penumpasan terhadap pasukan G30S. Dalam waktu 3 hari kekuatan militer G30S
dihancurkan dan sejumlah pimpinan utamanya ditangkap seperti Untung, Brigjrn Soepardjo,
Kolonel Abdul Latief, Letkol Udara Heru Atmojo, dan Mayor Udara Sujono.
Operasi penumpasan terhadap G30S yang dilakukan oleh Soeharto mendapat dukungan
dari para tokoh politik yang antikomunis. Sebagai realisasi bentuk dukungan, pada tanggal 8
Oktober 1965 diadakan aksi demonstrasi yang mengutuk PKI karena telah mengendalikan G30S
untuk membunuh pimpinan TNI-AD. Mereka menuntut agar Presiden Soekarno segera
membubarkan PKI sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Sebenarnya tuntutan ini serupa
dengan yang dilakukan PKI pada tahun 1960 agar Presiden Soekarno membubarkan Masyumi
dan PSI karena terlibat pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia) di
Sumatera.
Aksi demonstrasi tersebut berlangsung di Taman Suprapti, Jakarta Pusat, yang berdekatan
dengan rumah Letjen Ahmad Yani. Desakan agar Presiden Soekarno membubarkan PKI semakin
menguat setelah terbentuknya Front Pancasila pada tanggan 23 Oktober 1965. Front Pancasila
adalah gabungan partai maupun ormas, seperti NU, IPKI, Partai Katolik, Parkindo PSII, Perti,
PNI, Muhammadiyah, Soksi, dan Gasbiindo. Struktur organisasi Front Pancasila terdiri dari atas
Ketua Badan Pekerja, Sekretaris Badan Pekerja, dan para wakil partai dan ormas. Subchan Z.E
dari NU terpilih sebagai Ketua Badan Pekerja dan Harry Tjan Silalahi dari Partai katolik menjadi
Sekretaris Badan Pekerja. Ada sepuluh tokoh lainnya yang masuk struktur organisasi Front
Pancasila, yaitu KH Dr. Idham Chalid (NU), harsono Tjokroaminoto (PSII), Drs. Frans Seda
(Partai Katolik), Dr.A.M Tambunan (Parkindo), Ratu Aminah Hidayat (IPKI), Rusli Halil
(Perki), Osa Maliki (PNI), Marzuki Yatim (Muhammmadiyah), Drs. Suhardiman (SOKSI), dan
Agus Sudono (Gasbiindo).
Dua hari setelah pembentukan Front Pancasila, pada tanggal 25 Oktober 1965 para aktivis
mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Tujuannya untuk
menyatukan seluruh mahasiswa yang berdemonstrasi mengutuk aksi pembunuhan oleh G30S dan
menuntut pembubaran PKI karena menjadi dalang G30S. Gagasan pembentukan KAMI berasal
dari Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (sekarang Departemen Pendidikan
Nasional) Brigjen Dr. Syarif Thayeb. Para pengurus KAMI banyak yang berasal dari organisasi
ekstrakampus seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pergerakan Mahasiswa Katolik
Republik Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Gerakan
Mahasiswa sosialis (GEMSOS), dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).
Pusat kegiatan KAMI berda di kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat.
Namun, cabang-cabang KAMI segera berdiri di berbagai kampus kota provinsi. Usia KAMI
hanya empat bulan. Pada tanggal 26 Februari 1966, KAMI dibubarkan oleh Presiden Soekarno.
Meski berumur pendek, tetapi KAMI telah berhasil menghimpun kekuatan massa untuk
mendesak Presiden Soekarno agar membubarkan PKI karena mendalangi aksi G30S. Oleh karena
itu penyebutannya menjadi G30S/PKI, yang mengandung G30S didalangi PKI.
Demonstrasi KAMI yang terpenting adalah unjuk rasa pada tanggal 10 Januari 1966 di
Jakarta. Mereka mengajukan tiga tuntutan, yaitu pembubaran PKI, pergantian seluruh menteri
yang bersimpati atau menjadi bagian dari G30S/PKI, dan penurunan harga. Ketiga tuntutan ini
dikenal sebagai Tritura (tri = tiga tuntutan rakyat) dan diikuti oleh ribuan pengunjuk rasa.
Ada dua respon yang diberikan pemerintah, yaitu oleh Wakil Perdana Menteri
Pertama/Menteri Luar Negeri/Kepala Badan Pusat Intelijen Dr. Tritura, pada tanggal 17 Januari
1966 Soebandrio menuding aksi-aksi demonstrasi KAMI sebagai tindakan teror dan untuk itu dia
menganjurkan agar melawannya dengan aksi teror serupa. Anjurannya langsung meningkatkan
ketegangan sehingga sering terjadi konflik fisik terutama antara KAMI dan CGMI (Central
gerakan Mahasiswa Indonesia) yang berafiliasi kepada PKI. Ketegangan ini telah menciptakan
suasana yang tidak aman di Jakarta. Untuk meredakan ketegangan, pada tanggal 21 Februari
1966 Presiden Soekarno berusaha memenuhi salah satu tuntutan Tritura dengan melakukan
perombakan cabinet. Soekarno menamakan kabinet barunya sebagai Kabinet Dwikora yang
disempurnakan. Namun para Menteri yang diganti justru mereka yang termasuk anti G30S/PKI.
Oleh Karena itu KAMI menolaknya dan menamakannya Kabinet Gestapu (Gerakan September
30, nama lain dari G30S/PKI) atau kabinet Semen (Kabinet Seratus Menteri) karena berjumlah
102 Menteri.
Soekarno tidak menghiraukan keberatan KAMI. Pada tanggal 24 Februari 1966 diadakan
upacara pelantikan Kabinet Dwikora yang disempurnakan di Istana. Upacara pelantikan terlambat
dari jadwal karena KAMI melakukan aksi pengempesan ban-ban mobil para calon Menteri. Aksi
demonstrasi 24 Februari 1966 berkembang menjadi bentrokan fisik di depan istana antara
pengunjuk rasa dengan pasukan pengawal Presiden yaitu Resimen Cakrabirawa. Seorang
demonstran anggota KAMI yang bernama Arief Rahman Hakim meninggal dunia terkena
tembakan pasukan Cakrabirawa. Kematiannya semakin meningkatkan semangat menetang
Presiden Soekarno yang terkesan membela PKI karena tidak mau membubarkannya.
Aksi demonstrasi menuntut pembubaran PKI bukanlah monopoli KAMI. Beberapa
kesatuan aksi lainnya juga melakukannya, seperti KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia),
KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana
Indonesia), KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia), KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia),
dan KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia). Seluruh kesatuan aksi ini termasuk KAMI bersatu
dalam BKKA (Badan Koordinasi Kesatuan Aksi). Pada tanggal 31 Desember 1965 BKKA dan
Front Pancasila menandatangani naskah deklarasi kerjasama mendesak pemerintah untuk
melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Kedua organisasi ini
mendukung sepenuhnya aksi demonstrasi di depan istana menentang pelantikan Kabinet Dwikora
yang disempurnakan pada tanggal 24 februari 1966.
Meski ditentang, tetapi Soekarno tetap melantik Kabinet Dwikora yang disempurnakan.
Pada tanggal 11 Maret 1966 diadakan sidang kabinet pertama di Istana. Namun sidang kabinet
dipercepat karena laporan Komandan Resimen Cakrabirawa Brigjen Muhammad Sobur kepada
Presiden Soekarno tentang adanya pasukan yang tidak dikenal di sekitar Istana Merdeka.
Presiden Soekarno, Waperdam I Dr. Soebandrio, dan Waperdam III Chaerul Saleh langsung
meninggalkan Istana Merdeka menuju Istana Bogor, Jawa Barat dengan menggunakan
helikopter. Sidang Kabinet ditutup oleh Waperdam II Dr. Leimena yang segera menyusul ke
Istana Bogor.
Beberapa jam setelah keberangkatan Leimena ke Istana Bogor, Menteri urusan Veteran
dan Demobilisasi Mayjen basuki Rachmat, Menteri Perindustrian Brigjrn Muhammad Jusuf, dan
Panglima Kodam Jakarta. Brigjen Amir Machmud juga pergi ke Istana Bogor untuk menemui
Presiden Soekarno. Terjadi pembicaraan untuk mengembalikan keamanan di Ibukota Jakarta.
Pada hari itu juga Soekarno menerbitkan surat perintah kepada Menteri Panglima Angkatan Darat
Letjen Soeharto. Surat perintah inilah yang dikenal dengan Supersemar (Surat Perintah Sebelas
Maret). Keesokan harinya, tanggal 12 Maret 1966, Soeharto membubarkan PKI sesuai tuntutan
para demonstran. Para wakil rakyat di Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS)
mendukung tindakan Soeharto Pada tanggal 5 Juli 1966, MPRS mengeluarkan TAP No.
XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran PKI dan larangan menyebarkan paham
Komunis/Marxisme-Leninisme.
Penolakan Soekarno membubarkan PKI telah menyebabkan kejatuhannya melalui sidang
istimewa MPRS bulan Maret 1967. Pada tanggal 12 Maret 1967 pimpinan MPRS mengeluarkan
TAP No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintahan Negara dari presiden
Soekarno. Ia digantikan oleh Soeharto sebagai pejabat Presiden hingga Maret 1968. Pada tanggal
27 maret 1968, Soeharto diangkat oleh MPRS sebagai Presiden Republik Indonesia berdasarkan
TAP No. XLIV/MPRS/1968.

Kesimpulan :
1. Masa-masa awal kemerdekaan merupakan masa-masa sulit bangsa Indonesia. Kita banyak
mengalami gangguan keamanan baik yang datang dari luar wilayah Indonesia maupun
yang datang dari dalam wilayah Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan, Belanda
berusaha kembali untuk menjajah Indonesia. Mereka melakukan agresi militer secara
sepihak dan menyalahi perjanjian yang telah ditandatangani.
2. Sementara itu, gangguan keamanan yang berasal dalam negeri umumnya berupa ancaman
disintegrasi. Gangguan ini merupakan upaya pihak-pihak untuk memisahkan diri dari
Republik Indonesia yang sah. Selain itu, ada juga pihak-pihak yang ingin mengganti
haluan Negara menjadi Negara komunis.
3. Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada beberapa ancaman disintegrasi
yang mengganggu keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Pemberontakan PKI Madiun
1948 merupakan pemberontakan yang dilakukan PKI untuk mengubah haluan Negara
Indonesia menjadi Negara komunis. Pemberontakan DII/TII yang dipimpin S.M.
Kartosuwiryo bermaksud untuk mengubah Negara Indonesia menjadi Negara Islam
Indonesia. Kedua pemberontakan ini akhirnya segera diatasi. Para pemimpin pemberontak
ditangkap dan mendapat hukuman yang setimpal.
4. Pemberontakan lainnya seperti APRA, RMS, PRRI/Permesta merupakn bentuk
kekecewaan daerah terhadap kebijakan pemerintah pusat. Pemberontakan-pemberontakan
inipun akhirnya dapat diatasi. Peristiw G30S/PKI merupakan bentuk pemberontakan yang
paling berbahaya. Dengan peristiwa ini mewarnai berakhirnya rezim Orde Lama dan
munculnya rezim Orde Baru yang dipimpin Soeharto.

Anda mungkin juga menyukai