Anda di halaman 1dari 4

CICERO, FILSUF & NEGARAWAN SEJATI

Marcus Tullius Cicero lebih dikenal sebagai seorang Filsuf dan Negarawan ketimbang seorang Pengacara. Hal itu tak terlepas pada kecintaannya akan kebijaksanaan-kebijaksanaan filsafat Yunani kuno baik pra sokratik maupun post sokratik. Cicero adalah salah satu pemikir legendaris di bidang politik pada jaman klasik. Namun, kebesaran namanya masih dibawah bayang-bayang para pemikir politik lainnya dari dunia Yunani seperti Aristoteles, Plato. Dua Filsuf paling diminati sepanjang jaman. Kendati demikian, tak masalah jika pemikiran-pemikirannya diangkat lagi, tentu saja direlevansikan dengan situasi politik di jaman post-modernitas kini. Cicero lahir di Roma sekitar tahun 106 SM. Sejak kecil sudah dididik, diarahkan pada hal-hal yang bersifat klasik dan suatu ketika siap berkarier dalam bidang hukum. Karena minatnya pada sastra yang sangat tinggi, ia rela meninggalkan kota kelahirannya menuju Athena, dan Rhodes. Di kota inilah ia mendalami filsafat dan retorika, termasuk ajaran para stoisisme. Setelah kembali ke Roma, ia menikah dan berkarier dalam bidang politik praktis. Karier politiknya pun cepat menanjak. Ia sempat menjabat sebagai anggota senat. Tragisnya, Cicero mati terbunuh oleh pemberontakan militer yang berusaha mengjungkalkan kekuasaan Caesar. Ia mati demi kaisar. Setia demi kaisar dan Negara yang dicintainya. Kepala dan tangannya pun dijadikan sebagai tontonan publik.

Secuil Pemikiran Cicero Buku Cicero yang terkenal adalah Commenwealth. Bukunya ini punya kemiripan dengan bukunya Plato yang berjudul Republic. Isinya berbentuk dialog antara para sahabatnya. Topik utamanya berkaitan dengan tema-tema politik dan keadilan. Dalam

bukunya ini, ada lima ajaran utama Cicero tentang kehidupan politik dalam sebuah Negara. Pertama, Cicero mengkonfrontasikan pertanyaan kewajiban para Filsuf dalam Negara. Kedua, membahas tentang sifat persemakmuran (commenwealth). Baginya, commenwealth adalah sebuah urusan rakyat. Manusia adalah makhluk sosial alami, dan membentuk masyarakat politik. Ketiga, diskusi tentang hukum alam. Menurut Cicero, hukum alam adalah konvensi-konvensi relative yang hanya melayani kepentingan mereka yang berkuasa. Keempat, pembelaan keadilan sebagai sebuah atribut universal dari akal dan dapat diakses oleh semua makhluk rasional. Hal ini bertujuan untuk menentang keputusan-keputusan para pemimpin politik, dan perang yang terjadi atas nama Negara. Kelima, mendiskusikan ciri-ciri penguasa yang baik. Moral baik dan sifat praktis penguasa menjadi kekuatan yang dapat memberi motivasi. Pemikiran-pemikiran Cicero yang hidup kini. Pemikiran-pemikiran Cicero sungguh hidup kini. Ideal-ideal politiknya menjadi referensi bagi para Filsuf politik, para penguasa pasca Cicero. Yang paling menarik dari ajarannya adalah Pertama, berkaitan dengan peran para Filsuf di dalam Negara. Ini berkaitan dengan ajarannya di bagian pertama. Jika Plato menganggap Filsuf cukup sebagai bayang-bayang kota saja, dan merenungkan bentuk-bentuk pemerintahan terbaik, Cicero justru sebaliknya. Cicero, sang ahli hukum ini menegaskan akan pentingnya kebijaksanaan para Filsuf di dalam Negara. Karena itu pula para Filsuf harus ikut serta dalam kehidupan politik dalam Negara. Filsuf tidak cukup hanya sebagai pemikir, perenung di luar kota, tetapi ikut andil dalam melayani Negara. Kedua Filsuf ini berbicara secara tegas tentang peranan Filsuf yang seharusnya. Namun keduanya mempunyai kebijaksanaan yang berbeda. Plato terlalu idealis, perenung, cenderung pasif pada Negara, sedangkan Cicero lebih praktis. Ia menginginkan Filsuf terlibat dalam kehidupan politik. Kebijaksanaan-kebijaksanaan seorang Filsuf penting bagi Negara.

Di jaman modern, Immanuel Kant mungkin salah satu pengikut setia Cicero dalam hal peran Filsuf dalam Negara. Mirip dengan Cicero, Kant juga menginginkan Filsuf ikut terlibat dalam kehidupan politik, namun hanya sebagai corrector. Artinya seorang Filsuf menjadi pengendali seorang pemimpin yang menyimpang, melanggar aturan, atau bertindak sewenang-wenang demi keuntungan pribadi. Kedua, Relevansinya untuk dunia kini: Untuk Negara-negara modern, yang menjadi pengendali, corrector penguasa adalah rakyat banyak. Media masa juga ikut ambil andil. Lembaga legislatif mungkin saja ambil andil, namun tidak terlalu signifikan jika dibandingkan dengan rakyat. Kekuasaan yang besar dari rakyat tak terlepas dari sistem demokrasi yang bersifat kerakyatan. Namun, pada jaman orde baru sampai jaman reformasi ini, yang bertindak sebagai corrector terhadap penguasa justru para aktivis, yang bernaung di berbagai lembaga-lembaga LSM. Para pengamat politik dari dunia akademis juga ikut ambil bagian. Sementara, corrector dari rakyat tidak begitu menonjol. Mungkin karena masalah kemiskinan, pendidikan sehingga memosisikan rakyat seolah-olah terasing dari dunia politik. Jika mengacu dari pendapat Cicero, menurut saya para pengkritik setia pemerintahan yang ada dalam diri para aktivis HAM, para pengamat politik dari dunia akademis, dan berbagai kelompok lainnya, sejatinya telah memerankan tugas sebagai seorang Filsuf. Dalam arti menjadi corrector, pengendali penguasa. Walaupun mereka bukan filsuf, namun telah menjalankan tugas sebagai seorang Filsuf, di luar struktur pemerintahan. Ketiga, Cicero memberi koreksi, berperan sebagai filsuf, namun ia juga ikut menjadi bagian dari kehidupan politik. Ia menjadi pengacara, diplomat terkenal. Kehidupannya ini pun dapat menjadi referensi untuk kehidupan kini. Bahwa seorang pemikir, pengkritik berbagai kebijakan pemerintahan, sejatinya bukanya hanya mengetahui, dan berbicara tentang kekurangan pemerintahan, melainkan ikut berpartisipasi memperbaiki, dan membangun kembali pemerintahan. Itulah filsuf sejati bagi Cicero. Keempat, kematian Cicero demi sebuah kesetiaan adalah penting. Gagalnya para penguasa dalam memimpin dan menyejahterakan rakyat banyak erat

hubungannya dengan masalah kesetiaan. Para penguasa di jaman kini perlu membaca buku-buku Cicero yang berbicara banyak tentang masalah kesetiaan. Mungkin itu bisa menjadi masukkan dalam memimpin rakyat banyak. Kesetiaan adalah salah satu tangga keberhasilan sebuah pemerintahan. Kelima, masalah keadilan. Keadilan bagi semua adalah keadilan idaman Cicero. Keadilan bersifat universal, dan tak terbatas pada kelompok, golongan, suku, agama. Ia menyangkut kehidupan pada umumnya. Karena itu, pemimpin yang adil adalah pemimpin yang menghargai kemanusiaan. Bahan Bacaan : Losco, Joseph & Williams, Leonard, Political Theory classic and contemporary readings, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005, Volume I Losco, Joseph & Williams, Leonard, Political Theory classic and contemporary readings, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005,Volume 2 Budi Hardiman, Fransiskus, Filsafat Modern, Jakarta: PT. Gramedia Utama, 2007. Bertens, K, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1975. A.S, Hikam, Muhammad, Politik kewarganegaraan, Jakarta: Penerbit Erlangga, 1999.

Anda mungkin juga menyukai