Anda di halaman 1dari 15

Studi Al-Qur’an dan Hadist

QATH’IY DAN DZANNI


KELOMPOK 8:
Imanullah Nur Amalia (15660021)
Ties’a Waladatin Noor (16660029)

Kelas A
Menurut bahasa secara
PENGERTIAN etimologi Qath’i bermakna yang
definitive (Pasti).
QATH’IY
Dari istilahnya, Menurut Abdul
Wahab Khallaf, qath’iy ialah
lafadz-lafadz yang menunjukkan
kepada makna yang bisa
difahami secara jelas, tidak ada
kemungkinan menerima takwil
(tafsir),dan tidak ada tempat
bagi pemahaman arti selain itu
Dalil-dalil qath’i dapat dipahami begitu saja dan
penolakan terhadapnya berarti bentuk kekufuran.
Misalnya, masalah akidah, seperti keyakinan terhadap
surga dan neraka, serta yaumul hisab, adalah
masalah-masalah agama yang tidak dapat dibantah
lagi kepastiannya sehingga kita tidak punya alasan
untuk tidak meyakininya.
Menurut bahasa secara
PENGERTIAN etimologi Zhanni bermakna yang
DZANNI spekulatif (perbedaan makna).
Dari istilahnya, Menurut Abdul
Wahhab Khallaf zhanni ialah
lafadz yang menunjukkan atas
makna yang memungkinkan
untuk ditakwilkan atau
dipalingkan dari makna asalnya
(lughawi) kepada makna yang
lain.
Aspek – aspek qath’iy dan dzanni dalam
Al – Qur’an

Lafal qath’iy dan dzanni dari segi penggunaannya dapat digolongkan kepada
hakikat dan majaz. Sementara itu, dari segi untuk kejelasan arti suatu lafal yang
dipakai kadangkala digunakan takwil.
 Hakikat adalah suatu lafal yang dipakai menurut
asalnya untuk maksud tertentu. Tegasnya lafal itu
dipakai oleh perumus bahasa memang untuk itu.
Dari segi penggunaannya
Misalnya, kata “kursi” yang secara asalnya dipakai
untuk menunjukkan tempat tertentu yang memiliki
sandaran dan kaki. Meskipun demikian, kata kursi
sering pula dipakai untuk pengertian “kekuasaan”.
Namun, tujuan semula kata “kursi” bukan untuk itu,
tetapi sebagai “tempat duduk”.
 Dilihat dari penggunaannya hakikat dapat berupa
hakikat lughowiyat, hakikat syar’iyyah, hakikat
‘urfiyah khassah dan ‘urfiyah ammah. Misalnya
Hakikat lafal “sholat” yang terdapat dalam berbagai ayat
al-Qur’an sebagaimana dimaksud syari’ dan
kemudian dipopulerkan ahli fiqh berarti ibadah
khusus yang meliputi perkataan dan perbuatan.
Penggunaan lafal sholat dengan makna ini disebut
hakikat syar’iyyah (Amir, 1997: 27).
 Secara istilah majaz adalah suatu lafal yang
digunakan bukan berdasarkan makna asalnya
Dari segi penggunaannya disebabkan ada hubungan antara makna asal
dengan makna diinginkan. (Hasyimi, 1988:291).
Misalnya, kata “kursi” dalam contoh di atas
dipinjam untuk arti “kekuasaan”, padahal semula
kata kursi dipakai untuk “tempat duduk”. Antara
“kekuasaan” dan “tempat duduk” memang
mempunyai kaitan erat. Biasanya kekuasaan
dijalankan dari “kursi” (tempat duduk) dan selalu
disimbolkan dengan kursi singasana.
 Dalam pandangan sejumlah ulama, majaz terbagi
kepada majaz lughawi, majaz mursal dan majaz
Majaz aqli. Misalnya, penggunaan majaz mursal dapat
diamati dalam firman Allah berikut: sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim
secara zalim, sebenarnya mereka itu memakan api
ke dalam perutnya dan mereka akan masuk ke
dalam api yang menyala-nyala (neraka) (QS.4:10).
Dari segi untuk kejelasan
arti  Dalam mendefinikan takwil secara istilah ada
sejumlah pendapat ulama, tetapi maksudnya
saling berdekatan dan saling mendukung.
Muhammad Abu Zahrah mendefinisikan takwil
adalah mengeluarkan lafal dari lahir maknanya
kepada makna lain yang ada kemungkinan untuk
itu (Zahrah, 1953:135).
 Dari definisi takwil di atas dapat ditarik kesimpulan

Takwil
bahwa takwil ialah: memalingkan lafal dari arti
lahir kepada arti lain yang mungkin dijangkau oleh
dalil.
Mengetahui ayat-ayat qath’iy dan dzanni

Untuk mengetahui ayat-ayat qath’iy dan dzanni dapat diketahui dengan mengetahui ciri-
cirinya
 Qath’iy memiliki ciri-ciri, yaitu: Pertama, nashnya jelas dan makna yang dikandungnya
tegas dan hanya memiliki satu makna, tidak bisa mengandung isytiraqul makna (banyak
makna) dan juga hanya memiliki satu penafsiran, tidak terbuka untuk penafsiran lain.
Kedua, mencakup ketentuan-ketentuan al-Qur’an mengenai rukun-rukun Islam seperti
shalat, puasa, zakat, haji dan juga bagian-bagian tertentu dalam kewarisan dan hukum-
hukum yang telah ditetapkan secara permanen.
 Dzanni memiliki ciri-ciri, yaitu: Pertama, nash itu mengandung makna ganda (isytiraqul
makna), dan juga terbuka bagi penafsiran dan penakwilan (ijtihad).
Contoh ayat-ayat qath’iy

1. QS. An-Nisa’ : 11
‫ح َد ًة َفلَهَا‬ َ ‫ن ثُلُ َثا مَا تَ َرا‬
ْ َ‫ك َواِن َكان‬
ِ ‫ت وا‬ َّ ‫ن َفلَ ُه‬ ُ َ ‫سا ًء َف ْو‬
ِ ‫ق ا ْث َن َت ْي‬ َّ ‫ن َفاِن ُك‬
َ ِ‫ن ن‬ ُ ِ ‫لح‬
ِ ‫َظ اآل ْن َثيَ ْي‬ ُ ‫لذ َك ِر ِم ْث‬ ْ ‫م هللاُ فِى أَ ْول ِد ُك‬
َّ ِ‫م ل‬ ُ ‫ص‬
ُ ‫يك‬ ِ ‫ُيو‬
ُ ‫ص‬
‫ف‬ ْ ِ‫الن‬
Artinya : “ Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu yaitu, bagian seorang anak lelaki sama dengan dua bagian anak
perempuan dan jika anak itu semuannya perempuan lebih dari dua orang,
maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan; dan jika anak
perempuan itu seorang saja maka ia memperoleh separuh harta”. ( Q.S. An
Nisa’ : 11 ).
Menurut ulama’ ushul fiqh ayat diatas mengandung hukum yang qath’i dan tidak bisa
dipahami dengan pengertian lain.
Contoh ayat-ayat qath’iy

2. QS. An-Nur : 2
‫ح ٍد ِم ْن ُهمَا ِم ْائَ ًة ج َْل َد ٍة‬ َّ ‫اجلِ ُدوا ُك‬
ِ ‫ل وَا‬ ْ ‫ال َّزانِي َُة وَال َّزنِى َف‬
Artinya : “ Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
orang dari keduannya seratus kali dera”. (Q.S An Nur : 2)
Kata “seratus kali” tidak mengandung kemungkinan ta’wil atau pemahaman lain.
Dengan demikian ayat ini bersifat qath’i al-dalalah maksudnya bahwa had zina itu seratus
kali dera, tidak lebih, dan tidak kurang.
Contoh ayat-ayat Dzanni

1. Q.S. Al Maidah : 38
َ ‫هللا وَهللاُ َع ِز ْي ُز‬
‫حكِ ْيم‬ ِ َ‫سبَا نَكاَال ً ِمن‬ ْ ‫ار َق ُة َف‬
َ ‫اقطَ ُعوا أ ْي ِدي َُهمَا‬
َ ‫جزَا َء بِمَا َك‬ َّ
ِ ‫الس‬ ‫َو‬
Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan”. (Q.S. Al
Maidah : 38).
Kata tangan dalam ayat ini mengandung kemungkinan yang dimaksudkan adalah
tangan kanan atau kiri, disamping juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya
sampai pergelangan saja atau sampai siku.
Penjelasan untuk yang dimaksud tangan ini ditentukan dalam hadits Rasulullah saw.
kekuatan hukum kata-kata yang seperti ini menurut para ulama’ usul fiqh bersifat zhanni
(relatif benar) oleh sebab itu para mujtahid boleh memilih pengertian yang terkuat menurut
pandangannya serta yang didukung oleh dalil lain.
Contoh ayat-ayat Dzanni

2. Q.S. Al Maidah : 3
ُ ‫م ْيت‬
‫َة وَال َّد ُم‬ ُ ‫َت َعلَ ْي ُك‬
َ ‫م ال‬ ْ ‫ح ِرم‬
ُ
Artinya : “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah”. (Q.S. Al-Maidah : 3).
Lafadz Al-Maitatu di dalam ayat tersebut ‘Am, yang mempunyai kemungkinan
mengharamkan setiap bangkai atau keharaman itu dikecualikan selain bangkai binatang
laut/air. karenanya nash yang dimaksud ganda atau lafadz ‘Am mutlak dan yang seperti
itu maka disebut zhanni dalalahnya. hal ini disebabkan karena lafadz tersebut mempunyai
suatu arti tetapi juga mungkin berarti lain.
ayat ini dijelaskan pada hadist: Dari Ibnu Umar –radiyallahu ‘anhuma- dia berkata,
Rasulullah –shallallahu ‘alahi wa sallam- bersabda, “Dihalalkan bagi kami dua bangkai
dan dua darah. Dua bangkai yaitu belalang dan ikan. Adapun dua darah yaitu ati dan
limpa” Dikeluarkan oleh Ahmad, Ibnu Majah
Hikmah konsep qath’iy dan dzanni dalam
ayat-ayat Al-Qur’an

Penerapan konsep qat’i dan zanni dalam masyarakat Islam sangat kondisional, sesuai
dengan kebutuhan masyarakat pada masa itu. Konsep qat’i dan zanni merupakan hasil
pemikiran ulama tentang al-Qur’an dan hadis. Karena sifatnya pemikiran Islam, maka selalu
berusaha menerjemahkan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan tuntutan kemajuan, terutama
bila ditinjau dari kemaslahatan umat.
Kesimpulam

 Dari uraian pembahasan yang sederhana ini, telah tampak jelas bahwa Islam adalah
agama yang memiliki keluasan dan keluwesan hukum syar’i, dan tidak mengalami
kekakuan, kesempitan dalam ruang dan waktu.
 Dalil yang zhanni merupakan karunia rahmat Allah swt gunamembuka peluang bagi
manusia untuk mengerahkan segala kemampuan nalarnya memecahkan pernik-pernik
persoalan keutamaan yang sangat beragam setiap zaman, agar terwujud hal yang paling
baik (ashlah) bagi umat, yang paling layak dan pantas dengan zaman dan kondisinya,
dengan selalu memperhatikan tujuan (maqasid) syari’ah yang umum serta memedomani
jiwanya dan nash-nash yang muhkamat.
 Untuk itu ijtihad merupakan instrument penggalian hukum Islam yang memiliki peran yang
sangat penting ditelaah dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam rangka
mencari ridha Allah swt.

Anda mungkin juga menyukai