Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sumber hukum umat islam yaitu al Quran dan as Sunnah, karena kedua merupakan
pedoman bagi seluruh umat islam yang banyak menjelaskan tentang dunia dan akhirat,
menerangkan kepada seluruh manusia perbuatan baik dan buruk yang harus dilakukan
dan yang harus ditinggalkan. Tentunya didalam nash tersebut terdapat lafadz yang harus
kita ketahui maknanya secara dzahir dan tab’i, ataupun secara tersirat dan tersurat.
Berikut ini makalah kami yang akan menjelaskan tentang dilalah lafadz (petunjuk
lafadz). Dilalah merupakan petunjuk yang menerangkan suatu lafadz secara asli maupun
tab’i.
B. Rumusan Masalah
1. Sebutkan macam-macam dilalah versi hanafiyah dengan pengertiannya!
2. Sebutkan pengertian mantuq dan mafhum!
C. Tujuan
1. Mengetahui macam-macam dilalah versi hanafiyah dengan pengertiannya.
2. Mengetahui pengertian mantuq dan mafhum.

BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian dilalah Nash:
Dilalah adalah petunjuk atau isyarat yang menunjukkan makna atau konotasi tertentu
pada lafadh. Makna atau konotasi tertentu pada lafadh yang bisa dipahami dari petunjuk atau
isyarat lafadh.1

A. Dilalah menurut ulama hanafiyah

Terbagi menjadi 2:

1. Dilalah lafdziyah
Terbagi kedalam empat macam tingkatan kekuatannya, yaitu:
a. Dalalah ibarat lafadz (nash)
‫عبارة النص وهواللفظ ومعناها دللة اللفظ على المعنى مقصودا أصليا او غير اصليا‬
‘’ Dalalah ibarat lafadz, maknanya petunjuk lafadz kepada makna yang
dimaksudkan, baik maksud itu, asli atau tidak’’
Menurut Abu Zahrah adalah:
‫وهي المعنى المفهوم من اللفظ سواءا كان نصا أو ظاهرا‬

‘’ Makna yang dapat dipahami dari apa yang disebut dalam lafadz, baik dalam
bentuk nash ataupun dhahir’’
Sedangkan penulis kitab At- Tahrir mendifinisikan dengan :
(‫اي اللفظ )على المعنى( حال كونه مقصودا أصليا ولو لزاما وهو المعتبر عند هم في النص او غير )دللته‬
‫اصلي‬

‘’Penunjukan lafadz atas makna dalam keadaan sesuai dengan yang dimaksud
secara asli meskipun dalam bentuk lazim (lafadz jenis ini yang diperhitungkan
oleh ulama ushul dalam nash) atau bukan dalam bentuk asli’’.
Dalalah ibarat nash ialah petunjuk lafadz kepada suatu arti yang mudah
dipahami baik dimaksudkan untuk arti asli maupun arti tab’i (arti lain yang cukup
jelas atau mudah dipahami dari lafadz tersebut). Dikatakan demikian karena pada
arti lafadz tersebut kepada arti yang dhahir.
Atau dalam ungkapan lain, bahwa dilalah ibarat nash adalah dilalah sighat
terhadap makna yang segera dapat dipahami darinya, yang dimaksudkan dari
susunannya, baik makna tersebut dikehendaki dari susunannya secara asli ataupun
dikehendaki secara pengikutan. Contohnya firman Allah Swt:

‫بءء َ لسءككءممءء َ ءمءسنءء َال ن ءسسءءاَ ءءء‬ ‫ء‬ ‫ء‬ ‫ء‬


‫سوإءءمنءء َ خءمفءتكءممءء َ أسءلل ءء َتكءمقءسءطكءوُا َ ءفءء َا لمءيسءتسءءاَ سمءىىءء َ فءسءاَ نمءكءكحءوُا َ سمءءاَ َ طءسءاَ س‬
‫ء‬ ‫ء‬ ‫ء‬
‫عء َ فسءءإءمنءء َ خءمفءتكءممءء َ أسءلل ءء َتس ءمعءدءلكءوُا َ فس ءسوُا حءسدءةءء َ أسءموءء َ سمءءاَ َ سمءلسءسكء م‬
‫تء‬ ‫ثءء َ سوكربءسءاَ س‬
‫ َ سمءثم ء س ىن ءء َ سوثءكسلء ء س‬
1
Hafidh Abdurahman, Ushul Fiqih (Bogor: Al Azhar Press, 2003), hlm 273
‫ء‬
‫ن ءء َ أسءلل ءء َتس ءعكءءوُلكءوُا‬ ‫ َ أسءميسءءاَ نكءككءممء َ ىسذ ءلء س‬
‫كءء َ أسءمدء سى‬
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut
tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak
yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.” (Q.S an-Nisa: 3)
Ibarat ini disusun untuk membatasi bilangan dalam nikah adalah empat saja,
tidak boleh lebih. Hal ini disebut dengan maksud yang asli.2
Contoh yang lain adalah firman Allah Swt yang berbunyi:
……َ‫…سوأسءسح ءللءء َال ءل ءهكءء َا لمءبْس ءمي ءسعءء َ سوسح ءلرسمءء َال نربءسءا‬
Artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”(Q.S al-
Baqarah: 275)
Dalalah ibarat an Nash diatas menunjukkan dua arti yaitu arti asli dan arti
tab’i.
Arti asli bahwa jual beli tidak sama dengan riba. Arti ini dikatakan sebagai arti
asli, karena mula mula dimaksudkan dengan susunan lafadz nash tersebut adalah
untuk menolak pendapat (anggapan) bahwa jual beli sama dengan riba.
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya dalam ayat itu. Yakni:
‫ا ءل ءءذءءي سنءء َ يسءأمءكك ءلءكءوُسنءء َال نربءسءاَ َ سلءء َيس ءكقءءوُكمءءوُسنءء َ إءءلل ءء َسك ءسمءءاَ َيس ءكقءءوُكمءء َا ءل ءءذءءيِ َيس ءتسءسخ ءبْءل ءطكءهكءء َال لشء ءمي ءطءسءاَ كنءء َ ءم ءسن ء‬

‫كءء َ بءءأسءنلء ءكه ءممءء َ قءسءاَ لكءوُا َ إءءلنءسءءاَ َا لمءبْس ءمي ءكعءء َ ءم ءثمءكلءء َال نربءسءاَ َ سوأسءسح ءللءء َال ءل ءهكءء َا لمءبْس ءمي ءسعءء َ سوسح ءلرسم ء‬ ‫ء‬
‫سء ء َ ىسذء ءل ء س‬
‫ا لمءسمء ن‬
َ‫ال نربءسءا‬
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (Q.S al-Baqaah: 275)
Arti ini disebut dengan arti tab’i, karena merupakan arti lain dari ayat tersebut
yang dipahami dengan dalalah ibarat an Nash.
b. Isyarat Nash
‫إشارة النص وهي دللة على ما لم يقصد له اللفظ أصل‬

2
Ali as Shabuni, Kamus al-Quran Quranic Explorer, (shahih, 2016) hlm. 106-107
“petunjuk lafadz kepada yang tidak dimaksud oleh lafadz untuknya”(yang
ditunjuki oleh lafadz, bukan dengan ibaratnya, tetapi petunjuk itu datang sebagai
natijah dari ibarat ini).
Contohnya firman Allah Swt:
‫وعءلسءءى َا لمءم ءوُلءكءوُءدءء َ لسءهءء َ ءرمزقك ءه ءلنءء َ وكءءس ءوُتك ءه ءلنءء َ بءءءاَ لمءم ءع ءرو ء‬
‫فء‬ ‫س مك‬ ‫ك ك س مس ك‬ ‫سم‬ ‫سس‬
Artinya: “Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma'ruf.” (Q.S al Baqarah: 233)
Ayat ini menunjukkan bahwa yang menanggung nafkah ibu yang menyusui
anaknya adalah ayah si anak. Ini disebut dengan ibarat nash.3
c. Dalalatun Nash ( Dalalatud Dalalah)
‫دللة النص وهي دللة على ثبوت حكم ما ذكر لما سكت عنه لفهم المناط بمجرد فهم اللغة‬
"Petunjuk nash bahwa hukum yang diterangkan nash diterapkan juga kepada
pekerjaan yang tidak diterangkan, karena ada persesuaian illat anatara keduanya."
Contohnya firman Allah SWT:

‫ك ا لل كك بر رر‬
‫إك ين ا هل رو كبا لل روا لك رد لي كن إك لح رسا ننا إك نم ا ير لب لل رغ نن كع لن رد ر‬ ‫ك أر نل تر لع بل لدوا إك نل‬ ‫رو قر ر‬
‫ض ىى رر بَب ر‬
‫ف رو رل تر لن هر لر هل رما رو قل لل لر هل رما قر لو نل رك كري نما‬ ‫لر هل رما أل ف‬ ‫أر رح لد هل رما أر لو كك رل هل رما فر رل تر قل لل‬
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah
selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-
baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur
lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan
ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Q.S al- Isra’: 23)

Ibarat perkataan ini, mencegah orang mengucapkan yang menyakiti hati orang
tua, sebab larangan ini dapat dipahami dari kata ‘’ menyakiti hati ’’. maka ibarat I I
menunjukkan kepada dilarang memukulnya.

d. Dalalah Iqtidho’ an Nash

‫اقتضاء وهو دللة اللفظ على مسكوت يتوقف صدق الكلم عليه‬

Yaitu petunjuk lafadz kepada yang disebut yang diperlukan untuk sahnya
pembicaraan adalah lafadz kepada sesuatu urusan yang dengan kita taqdirinya,
barulah lurus makna yang dimaksud.
Contohnya hadist Nabi yang berbunyi:
‫رفع عن أمتي الخطأ و النسيان وما استكرهوا عليه‬
3
Ibid hlm 108
Diangkat dari ummatku, kekhilafan dan kelupaan dan yang mereka dipaksakan
mengerjakanya.4
2. Dalalah Ghoiru Lafdziyah, dilalah ini bisa disebut dilalah sukut
ulama ushul hanafiyah membagi dalalah yang bukan ditunjukkan oleh lafadz,
kepada empat bagian. Semua dalah ini disebut penjelasan yang dapat difahamkan
dengan mudah, dan semuanya bersifat ‘’sukut’’ (petunjuk yang dipahamkan dari
berdiam) dan dihubungkan dengan perkataan (dalalah yang ditunjukkan oleh lafadz)
dalam memfaedahkan hukum.

a. ‫أن يلزم عن مذكور مسكوت عنه‬


‘’lazim (harus ada) dari hukum yang disebutkan, suatu hukum bagi yang tidak
disebutkan ( maskut’ anhu)’’
Bila dalam suatu lafadz disebutkan hokum secara tersurat, maka dibalik yang
tersurat itu dapat dijetahui pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafadz
tersebut. Kelaziman itu Dapat diketahui dari ungkapan lafadz tersebut. Contohnya
firman Allah SWT:
‫سءء َءمءل ءءاَ َتس ءسرسكءء َ إءءمنءء َسكءءاَ سنءء َ لسءهكءء َ سولسءدد ء َ فسءءإ ءمنءء َ سلمء ء‬ ‫ءد ء‬ ‫ء ء ء‬
‫سولسءءبس ءسوُيمءهءء َ ل ءكك ءنلءء َ سوا ح ءدءء َ م ءمن ءكه ءسمءءاَ َال سسء ءكد ء ك‬

‫يسءككءمنءء َ لسءهكءء َ سولسءددءء َ سوسوءرثسءهكءء َ أءسءبس ءسوُا هكءء َ فسءءلكء ءنمء ءءهءء َال ثسء ءلكء ك‬
‫ثء‬
Artinya: “Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang
yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
maka ibunya mendapat sepertiga.”(Q.S an-Nisa: 11)
Ibarat nash dari ayat ini adalah ahli waris hanya dua orang ibu bapak, maka
ibu menerima sepertiga. Meskipun dalam ayat ini tidak disebutkan hak ayah,
namun dari ungkapan ayat ini, dapat difahami bahwa hak ayah adalah sisa dari
sepertiga, yaitu dua pertiga.
b. ‫دللة حال الساكت الذي كانت وظيفته البيان مطلقا‬
‘’Dalalah (petunjuk) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk
memberi penjelasan’’
Seseorang yang diberi tugas untuk memberikan penjelasan atas sesuatu namun
ia dalam keadaan tertentu diam saja memberikan petunjuk atas sesuatu.
Begitupula seseorang yang diberi tugas untuk melarang sesuatu perbuatan tapi
suatu ketika ia menyaksikan perbuatan dilarang itu dilakukan orang lain, namun ia
diam saja. Diamnya itu memberi petinjuk atas suatu hukum. Dalam hal ini adalah
izin untuk melakukan perbuatan itu. Sebab kalua perbuatan itu dilarang, tentu ia
4
Ibid 109
tidak akan tinggal diam waktu melihat perbuatan tersebut. Karena ia bertugas
memberikan penjelasan atau larangan perbuatan itu yang salah. Keadaan diamnya
itu memberikan izin untuk berbuat.5
c. ‫اعتبار سكوت الساكت دللة كالنطق لدفع التغرير‬
‘’ memandang diam orang diam itu satu petunjuk, sama dengan tuturanya untuk
menolak pendayaan’’
Ada definisi lain menyebutkan:
(‫بيان الضرورة)لدفع التغرير( )اعتباره‬
“menganggap bayan ad Dharurah untuk menolak penipuan”
Contohnya, seorang wali (orang yang melindungi anak dibawah umur) bersikap
diam pada saat orang yang berada dibawah perwaliannya melakukan tindakan
yang bertalian dengan hartanya, seperti jual beli. Orang yang berada di
perwaliannya itu baru sah tindakannya bila secara jelas diizinkan oleh walinya,
tidak hanya diam semata. Namun karena jual beli itu sudah berlangsung dan kalau
tidak mendapat persetujuan dari walinya, tentu tindakan itu tidak dianggap sah
yang akan merugikan pihak lain. Dalam rangka menghindari kerugian bagi pihak
lain, maka meskipun wali itu hanya diam, tetapi sudah dapat dianggap berbicara
(mengizinkan).
d. ‫دللة المسكوت على تعيين معدود تعوري حذفة ضرورة طول الكلم بذكره‬
“Dalalah diam terhadap penentuan bilangan yang biasa dibuang (tidak disebut
dalam pembicaraan).”
Contoh dalam hal ini biasanya muncul dalam penebutan angka-angka atau
bilangan. Dalam bahasa Arab bila seseorang berkata: ‫( مائة وصاع من ارزا‬seratus dan
satu kantong beras). Dalam pemakaian Bahasa Arab yang lengkap mestinya
diucapkan dengan ucapan: ‫مائة صاع و صاع‬yang kalau kita terjemahkan menjadi:
“seratus gantang dan satu gantang” untuk maksud bilangan serratus satu gantang.
Namun telah terbiasa membuang kata “gantang” yang pertama dalam rangka
menghindarkan panjangnya ucapan.6

B. Mantuq dan Mafhum

Pengertian Mantuq dan Mafhum


Mantuq (‫ )المنطق‬artinya adalah, yang diucapkan, yang tersurat atau teks, dan lain-lain.
Mantuq dalam istilah ilmu ushul fiqih adalah:

‫ما دل عليه اللفظ في محل النطق‬


"Sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz sesuai dengan teks ucapan itu.”

5
Ibid 110
6
Ibid 111
Al-Mafhum (‫ )المفهوم‬artinya adalah, yang di faham, dan yang tersirat Mafhum yang
dimaksudkan adalah istilah ushul fiqih adalah:

‫ما دل عليه اللفظ ل في محل النطق‬


"Sesuatu yang ditunjuk oleh lafaz di luar teks ucapan itu.”

Jadi yang dinamakan lafaz adalah cetusan dari makna-makna. Terkadang maksud
dari suatu lafaz sesuai dengan yang terucap atau yang tersurat secara jelas, yang demikian
dinamakan "Mantuq", Dan terkadang yang dimaksudkan oleh suatu lafaz, bukanlah yang
terucap atau yang tersurat, tetapi yang dimaksudkannya adalah yang tersirat, yang
demikian dinamakan "Mafhum”.
Sebagai contoh firman Allah yang berbunyi:

‫فس سلءء َتس ءكق ءملءء َ سلءكءسمءءاَ َ أكء ف‬


‫فء ء‬
“Janganlah kamu berkata "ah" terhadap kedua ibu dan bapak.” (Q.S al-Isra': 23)

Tidak boleh mengucapkan "ah" dalam ayat tersebut di namakan mantuq, yakni
sesuai dengan lafaz ayat atau teks ayat, adapun tentang tidak bolehnnya memukul ibu
bapak adalah hasil pemahaman dan larangan mengucapkan "ah" di ayat tersebut, yang
demikian dinamakan mafhum.7

7
Basiq jalil, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: PT. Kharisma Putra, 2010) hal.99
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari berbagai penjabaran di atas, kiranya dapat diambil kesimpulan bahwa jalan yang
digunakan oleh Imam Hanafi dalam mengambil petunjuk suatu nash, dibagi menjadi dua
cara: yang pertama yaitu menggunakan Dalalah Lafdhiyah yang kemudian dirinci
menjadi empat, antara lain: Dalalah ‘Ibarah, Dalalah ‘Isyarat, Dalalatun Nash, dan
Dalalatul ‘Iqtidha. Sedangkan cara yang kedua yaitu menggunakan Dalalah Ghairu
Lafdhiyah. Itu semua bertujuan untuk memahami makna ataupun kandungan dari ayat Al-
Qur’an, kemudian hasil dalalah nash tersebut menjadi dalil hukum yang wajib diamalkan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Hafidz. 2003. Ushul Fiqih. Bogor: Al Azhar Press.


As Shabuni, Ali. 2016. Kamus al-Quran Quranic Explorer. shahih.
Jalil, Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: PT. Kharisma Putra.

Anda mungkin juga menyukai