Anda di halaman 1dari 6

TEMA ISTI’ARAH

KELOMPOK 04 BALAGHAH

DISUSUN :

1. Afifah Syawalia Arifin (221320086)


2. Butsainah Fairuz haya ki (221320100)
3. Dawam Mulahdori (221320081)
4. Elsa Sopia Azzahra (221320091)
5. Muhammad Izza Muhtafidz (221320080)

A.    Pengertian Isti’arah
Isti’arah (‫ )اِ ْستِ َعا َرة‬menurut bahasa berarti meminta pinjaman. Sedangkan dalam istilah ilmu
balaghah, isti’arah adalah:
ً ‫ فَعالقتها المشابهةُ دائما‬،‫طرفَ ْي ِه‬
َ ‫تَ ْشبيهٌ ُح ِذفَ أ َح ُد‬ ‫هي‬
َ
Isti‘arah adalah tasybih yang dibuang salah satu tharafnya, maka ‘alaqah pada isti’arah adalah
musyabahah (unsur kesamaan) selamanya.

Dalam isti’arah terdapat peminjaman makna suatu kata dari makna aslinya (makna hakiki)
kepada makna baru (makna majazi). Seperti (‫ )َأ َسد‬yang makna aslinya singa dipakai untuk
makna  seorang yang memiliki sifat pemberani.

Contoh:
ُ ‫َرَأي‬
ِ ْ‫فِي السُّو‬ ‫بَحْ رًا‬ ‫ْت‬
‫ق‬
Artinya: saya melihat “laut” itu di pasar.
Kata (‫ رًا‬Tْ‫ )بَح‬pada contoh di atas tidak dimaknai sebagai hakikat melainkan merujuk pada
seseorang yang pemurah.
Untuk diingat bahwa isti‘arah merupakan bagian dari al-majaz. Kesamaannya dengan majaz
mursal dan majaz aqli terletak pada keharusan adanya qarinah (redaksi kalimat) yang
mencegah suatu kata dari makna aslinya. Adapun perbedaannya terletak pada ‘alaqah, di
mana pada majaz mursal dan majaz aqli, ‘alaqah (hubungan) antara makna asli dan makna
baru adalah ghair musyabahah (tidak ada unsur kesamaan). Sedangkan pada isti‘arah,
hubungan antara makna asli dan makna baru adalah musyabahah (adanya unsur kesamaan).

B.    Rukun-rukun Isti’arah
Suatu kalimat dinamakan isti’arah jika terpenuhi tiga unsur berikut:

1.     Musta’ar minhu (‫) ُم ْستَ َعار ِم ْنه‬, yaitu kata yang dipinjam darinya atau musyabbah bih.
2.     Musta’ar lahu (‫) ُم ْستَ َعار لَه‬, yaitu kata yang dipinjam untuknya atau musyabbah.
3.     Musta’ar (‫) ُم ْستَ َعار‬, yaitu sifat yang dipinjamkan.
Pada contoh yang pertama yang menjadi musta’ar minhu adalah kata (‫)بَحْ رًا‬, yang menjadi
musta’ar lahunya (‫ َك ِريْم‬ ‫ ) َرجُل‬dan yang menjadi musta’arnya adalah (‫)ال َك َرم‬.

C.     Pembagian Isti’arah

Dari segi qarinahnya, isti’arah dibagi menjadi tashrihiyyah dan makniyyah.

1. Isti’arah Tashrihiyyah
‫ص َّر َح فيها بلَف ِظ المشبَّه ب ِه‬
ُ ‫هي ما‬

Isti’arah tashrihiyyah adalah isti’arah yang disiratkan dengan musyabbah bih.


Contoh:
‫فِي ْالفَصْ ِل‬ ‫َأ َسدًا‬ ‫ْت‬
ُ ‫ َرَأي‬ 
Artinya: Saya melihat “singa” di kelas.

‫د‬Tِ ‫يز ْال َح ِمي‬


ِ ‫ص َرا ِط ْال َع ِز‬
ِ ‫بِِإ ْذ ِن َربِّ ِه ْم ِإلَى‬ ‫ور‬ ُّ   َ‫اس ِمن‬
ِ ‫الظلُ َما‬
ِ ُّ‫الن‬ ‫ِإلَى‬ ‫ت‬ َ ‫الر ِكتَابٌ َأ ْنز َْلنَاهُ ِإلَ ْي‬
َ َّ‫ك لِتُ ْخ ِر َج الن‬

Artinya: “Alif, Lam Ra. (Ini adalah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan
mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.” (QS. Ibrahim
[14]: 1)

Pada contoh di atas, seorang yang pemberani ( ‫ ُش َجاع‬ ‫ )رجُل‬diserupakan dengan (‫( )أسدا‬singa),
karena sama-sama memiliki sifat keberanian. Pada contoh kedua diserupakan lafaz (‫ضاَل لَة‬
َّ ‫)ال‬
artinya kesesatan dengan (‫ )الظلمات‬artinya kegelapan dan lafaz (‫ )الِهدَايَة‬artinya petunjuk dengan
(‫ )النور‬artinya cahaya.
2.    Isti’arah Makniyyah
‫هي ما ُح ِذفَ فيها الم َشبَّهُ ب ِه و ُر ِمزَ لهُ بشيء ِم ْن لوازمه‬
Isti’arah makniyyah adalah kalimat yang musyabbah bihnya dibuang lalu disiratkan dengan
sesuatu dari salah satu sifatnya.
Contoh:
ِ َ‫الشاعر بِق‬ ‫َغ َّر َد‬
‫ص ْيدَة‬
Artinya: Penyair itu berkicau (bernyanyi).
‫ال َّرْأسُ َش ْيبًا َولَ ْم َأ ُك ْن بِ ُدعَاِئكَ َربِّ َشقِيًّا‬ ‫ َوا ْشتَ َع َل‬ ‫ظ ُم ِمنِّي‬
ْ ‫ال َربِّ ِإنِّي َوهَنَ ْال َع‬
َ َ‫ق‬
Artinya: “Ia Berkata "Ya Tuhanku, Sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah
ditumbuhi uban, dan Aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, Ya Tuhanku.”
(QS. Maryam [19]: 4).

Pada contoh pertama, penyair diserupakan dengan burung karena sama-sama bernyanyi yang
disiratkan dengan kata (َ‫ ) َغ َّرد‬yang artinya berkicau. Sedangkan pada contoh kedua kata uban
disamakan dengan api yang sama-sama menyala dan disiratkan dengan kata (‫)ا ْشتَ َع َل‬.

Dari segi kata pembentuknya, isti’arah dibagi menjadi ashliyyah dan taba’iyyah.

 Isti’arah Ashliyyah
ْ ‫ِإذا كان اللفظُ الذي َج َر‬
‫ت فيه اسما ً جامدًا‬
Isti’arah ashliyyah adalah apabila lafaz yang tempat berlangsungnya al-isti‘arah itu terbentuk
dari isim jamid. Isti’arah ashliyyah qarinahnya tashrihiyyah.

2.     Isti’arah Taba’iyyah
‫ت فيه ُم ْشتَقًّا َأوْ فِعْال‬
ْ ‫ِإذا كانَ اللفظُ الذي َج َر‬
Isti’arah taba’iyyah adalah lafaz yang tempat berlangsungnya al-isti‘arah itu terbentuk dari
isim musytaq atau fi’il. Isti’arah taba’iyyah qarinahnya makniyyah.

Dari segi tanda, isti’arah dibagi menjadi murasysyahah, mujarradah, dan muthlaqah.
 Murasysyahah
‫ما ُذ ِك َر معها ُمالئم المشبَّ ِه ب ِه‬
Yaitu isti’arah yang disebutkan tanda musyabbah bihnya.

Contoh:
ْ ‫ضاَل لَةَ بِ ْالهُدَى فَ َما َربِ َح‬
Tَ ‫ت تِ َجا َرتُهُ ْم َو َما َكانُوا ُم ْهتَ ِد‬
‫ين‬ َ ‫ُأولَِئ‬
َّ ‫ال‬ ‫ا ْشتَ َر ُوا‬  َ‫ك الَّ ِذين‬
Artinya: “Mereka itulah orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah
beruntung perniagaan mereka dan tidaklah mereka mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah:
16).

Yang menjadi isti’arah adalah kata (‫ )ا ْشتَ َر ُوا‬yang berarti membeli dan yang dimaksudkan
ْ ‫ )فَ َما َربِ َح‬yang artinya tidak mendapat untung.
memilih. Kata tersebut ditandai dengan kata (‫ت‬

 Mujarradah
‫ما ذ ِك َر معها ُمالئ ُم المشبَّ ِه‬
Yaitu isti’arah yang disebutkan tanda musyabbahnya.

Contoh:
ْ ‫ض‬
‫فال يُضي ُء لها نَجْ ٌم وال قَ َم ُر‬ ... ‫من ُك ِّل نا ِحيَ ٍة‬ ‫ت‬ َ ‫ َم ِر‬ ‫ولَ ْيلَ ٍة‬
Artinya: dan malam yang sakit dari segala penjuru, maka bintang juga bulan tidak
meneranginya.
ْ ‫ض‬
Kata (‫ت‬ َ ‫ ) َم ِر‬yang berarti sakit merupakan penyerupaan dari (‫ )ظلم‬yang berarti gelap. Kata (
‫ )ظلم‬sebagai musyabbah diisyaratkan dengan kalimat (‫يُضي ُء‬ ‫ )فال‬yang berarti tidak menerangi.

3.     Muthlaqah
‫ت المشبَّ ِه به أو المشبَّه‬ ْ ‫ت‬
ِ ‫من ُمالئما‬ ْ َ‫ما خَ ل‬
Yaitu isti’arah yang tidak ada tanda musyabbah bih atau musyabbahnya.
Contoh:
ِ ‫ ْال َماء َح َم ْلنَا ُك ْم فِي ْال َج‬ ‫طَغَى‬ ‫ِإنَّا لَ َّما‬
‫اريَ ِة‬
Artinya: “Sesungguhnya Kami, tatkala air telah naik (sampai ke gunung) Kami bawa (nenek
moyang) kamu, ke dalam bahtera.” (QS. Al-Haqqah: 11).
Kata (‫ )طَغَى‬bermakna (َ‫ ) َزاد‬dan setelahnya tidak ada tanda yang menjelaskan keduanya.

Penggunaan isti’ârah dalam al-Qur’an berbeda dengan penggunaan isti’ârah dalam syair-syair
Arab. Dalam al-Qur’an, isti’ârah bukan hanya sekedar proses peminjaman kata seperti
lazimnya digunakan dalam syair Arab, tetapi juga meminjam persamaan kata yang dapat
dicerna secara nalar atau berdasarkan kemiripan akal, Sehingga prinsip peminjaman dalam al-
Qur’an tujuannya yaitu untuk menarik perhatian para pendengar dan pembaca al-Qur’an.

Di dalam al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang dinilai mengandung isti’ârah. Dalam
kitab yang berjudul Kitâb al-Badî Ibnu Mu’taz menyebutkan bahwa terdapat enam ayat yang
dianggap isti’ârah, Ibnu Qutaibah menyebutkan bahwa terdapat 84 ayat yang dianggap
sebagai isti’ârah, sedangkan al-Askari menyebutkan ada 46 ayat, Dari keseluruhan karya
yang membahas isti’ârah dalam al-Qur’an, karya yang memuat paling banyak adalah karya
yang ditulis oleh al-Syarif al-Radi, yaitu terdapat lebih dari seratus kasus isti’ârah.

Isti’ârah (metafora) adalah salah satu seni pengungkapan makna dalam bentuk gambaran
imajinatif yang dikemukakan pada sebagian ayat-ayat al-Qur’an. al-Isti’ârah adalah bagian
dari al-majâz al-lughawy yang „alâqah-nya musyabbahah (penyerupaan). Menurut Arkoun,
al-Qur’an banyak menggunakan gaya bahasa isti’ârah, walaupun sering dibicarakan dan
ditulis, tetap saja kurang dipahami. Para ulama berbeda pendapat mengenai adanya majâz
(isti’ârah) dalam al-Qur‟an. Kelompok tertentu berpendapat tidak adanya majâz dalam al-
Qur’an. Pemikiran tersebut didasari oleh pengetahuan bahwa majâz adalah satu bentuk
kedustaan, sementara al-Qur’an itu bersih dari hal demikian. Sementara kelompok lain
berpendapat adanya majâz dalam al-Qur’an. mereka membantah kerancuan dan tidak
menganggap majâz sebagai satu bentuk kedustaan. Mereka menganggap majâz sebagai salah
satu unsur keindahan. Mereka menyatakan: “Andaikan majâz itu lenyap dari al-Qur‟an maka
lenyaplah separuh keindahannya. Para Ulama sepakat bahwa majâz itu lebih mengena pada
sasaran daripada makna tekstual.”

Dalam menafsirkan teks al-Qur’an, pendekatan sastra merupakan pendekatan yang amat
lazim dilakukan oleh seorang mufassir. Sepanjang sejarah peradaban umat Islam telah
menunjukkan bahwa pendekatan sastra telah dilakukan sejak masa Sahabat yang diwakili
oleh Ibnu Abbas. Benih-benih penafsiran dengan pendekatan sastra sebenarnya telah dimulai
pada masa Rasulullah SAW. Pemikiran ini berdasarkan atas beberapa data yang
menunjukkan bahwa Rasulullah telah memberikan beberapa interpretasi yang erat kaitannya
dengan terminologi disiplin sastra Arab yang berkembang belakangan.

 Contoh Penggunaan Isti’arah dalam Al-Qur’an

Ada beberapa ayat yang menggunakan majaz isti’arah dalam ungkapannya. Beberapa di


antaranya adalah apa yang terdapat pada firman Allah QS. Ibrahim [14]: 1 berikut,

ِ ُّ‫ت ِإلَى الن‬


…‫ور‬ ُّ َ‫اس ِمن‬
ِ ‫الظلُ َما‬ َ ‫… ِكتَابٌ َأ ْنزَ ْلنَاهُ ِإلَ ْي‬
َ َّ‫ك لِتُ ْخ ِر َج الن‬

“…(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia
dari kegelapan kepada cahaya terang benderang…”

Pada ayat di atas Allah ‘meminjam’ kata al-zhulumat (kegelapan) dan al-nur (cahaya) untuk


mewakili makna kesesatan dan keimanan. Hal ini bisa dipahami karena jika dibaca secara
tekstual, bagaimana mungkin sebuah kitab bisa mengeluarkan manusia dari kegelapan
menuju Cahaya Sedangkan buku tidak bisa menghasilkan cahaya. Ini
adalah qarinah (indikasi) bahwa makna yang diinginkan pada ayat ini adalah makna majas
bukan makna hakiki.

Maka sebagaimana disebutkan oleh al-Zuhaili dalam al-Tafsir al-Munir (7/217) bahwa ayat


ini memiliki kandungan balagah, yakni majas isti’arah. Maksudnya, kitab (Al-Qur’an) itu
membimbing manusia agar keluar dari gelapnya kesesatan dan kekufuran menuju cahaya
petunjuk serta keimanan.

Di sini kata al-nur dan al-zhulumat dipakai untuk menggantikan kata iman dan kekufuran.


Sehingga dua kata ini disebut sebagai musta’ar minhu atau musyabbah bih. Kata al-
nur dipadankan dengan petunjuk dan keimanan, karena petunjuk dan keimanan itu seakan-
akan memberikan cahaya bagi umat manusia, sehingga mampu melihat dunia dan mampu
memilah mana yang baik dan mana yang benar.

Anda mungkin juga menyukai