Anda di halaman 1dari 9

BAB II

ADABUL BAHTSI WAL MUNADHARAH DALAM


PANDANGAN MU’TAZILAH

A. Sejarah Aliran Mu’tazilah


Aliran Mu’tazilah lahir setelah zaman para sahabat nabi. Benihnya mulai
nampak kira-kira dua abad setelah hijrahnya nabi ke Madinah. Di sepanjang
sejarahnya Mu’tazilah adalah kaum rasionalis. Mereka percaya bahwa arbiter bagi
segala yang diwahyukan mesti akal teoritis.1
Di zaman kita ini muncul sebuah sekte yang para penganutnya
berpendapat bahwa pelaku dosa besar adalah kafir dan berada di luar atau keluar
dari Islam. Namun, ada lagi kelompok lain tampil memberikan harapan
keselamatan bagi pelaku dosa besar itu. Mereka berpendapat bahwa dosa besar
tersebut tidak akan melebur akidah, tidak mengakibatkan mukmin menjadi kafir.
Bahkan, menurut meraka, amal sama sekali bukan bagian dari iman dan mereka
berpendapat lagi bahwa sebagaimana shalat pun tidak ada gunanya bagi yang
kafir, maka demikian pula dosa tidak akan mampu melebur keimanan seorang
mukmin.2
Adapun dosa besar yang dilakukannya itu tidak bisa diputuskan oleh
umat Islam lain di bumi ini, tetapi diserahkan kepada pembuat dosa besar itu
sendiri. Kalau ia bertaubat, dalam arti taubat yang sebenarnya, dosa besar tersebut
akan diampuni Tuhan dan ia masuk surga. Tetapi kalau ia tidak mau bertaubat,
dan mati sebelum sempat bertaubat dengan sebenar-benarnya, dosa besarnya tidak
terhapus dan ia masuk neraka untuk selama-lamanya. Hanya hukuman yang
diterimanya lebih ringan dari hukuman yang diberikan Tuhan kepada orang kafir.
Ajaran ini kemudian dikenal dengan nama al-manzilah bain al-manzilatain, posisi
di antara dua posisi mukmin dan kafir baik di dunia maupun di akhirat kelak.3
Peristiwa inilah yang menimbulkan lahirnya Mu’tazilah yang pada
mulanya lahir sebagai reaksi terhadap paham-paham teologi yang dikemukakan

1 M.M. Sharif, Aliran-aliran Filsafat Islam, Terj. Karsidi Diningrat, (Bandung: Penerbit Nuansa
Cendekia. Cet. I, 2004, 9.

2 Ibid., 10.

3 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, (Jakarta: Mizan. Cet. IV, 1996), 128.

2
2
oleh golongan Khawarij dan Murjiah. Nama Mu’tazilah yang diberikan kepada
mereka berasal dari kata i’tazala yang berarti mengasingkan diri. Menurut suatu
teori, nama itu diberikan atas dasar ucapan Hasan al-Bashri, setelah melihat
Washil memisahkan diri. Hasan al-Bashri diriwayatkan memberi komentar
berikut: i’tazala anna (ia mengasingkan diri dari kami). Orang-orang yang
mengasingkan diri disebut Mu’tazilah. “mengasingkan diri” bisa berarti
mengasingkan diri dari majelis kuliah Hasan al-Bashri, atau mengasingkan diri
dari pendapat Murjiah dan pendapat Khawarij.4
Ibnu Munabbih mengatakan bahwa julukan al-Mu’tazilah tidak banyak
terdengagr setelah wafatnya imam Hasan al-Bashri. Menurutnya, ketika Hasan al-
Bashri wafat, Qatadah menggantikannya dan meneruskan kegiatannya. Amru
Ubaid dan para pengikutnya tidak mau menyertai Qatadah; karena itu, mereka
dinamai al-Mu’tazilah. Singkatnya, kata i’tizal berarti memisahkan diri dan
Mu’taziliyah adalah orang-orang yang dalam sebagian keyakinannya secara
diametrik bertentangan dengan keyakinan yang sudah dimufakati bersama oleh
para teolog masa itu atau oleh ahlu as-Sunnah. Pemimpin mereka semua adalah
Washil bin Atho’ yang dilahirkan tahun 80 H/699 M di Madinah dan wafat tahun
131 H/780 M.5
Orang-orang Mu’tazilah sendiri meskipun mereka menyebut diri ahlu al-
tauhid wa ahlu al-adl, tidak menolak nama Mu’tazilah itu. Bahkan, dari ucapan-
ucapan pemuka Mu’tazilah dapat ditarik kesimpulan bahwa mereka sendirilah
yang menimbulkan nama itu. Menurut al-Qadhi Abdul Jabbar, seorang pemuka
Mu’tazilah yang buku-bukunya banyak ditemui kembali pada abad kedua puluh
Masehi. Ini, di dalam teologi terdapat kata i’tazala yang mengandung arti
mengasingkan diri dari yang salah dan tidak benar dan dengan demikian kata
Mu’tazilah mengandung arti pujian. Dan menurut keterangan Mu’tazilah lain,
Ibnu al-Murtadha, nama Mu’tazilah itu bukan diberikan oleh orang lain, tetapi
orang-orang Mu’tazilah sendirilah yang menciptakan nama itu.6
Di Indonesia aliran Mu’tazilah belum begitu dikenal dan tidak disukai
karena, sebagaimana tersebut di atas, dianggap mempunyai pendapat-pendapat

4 Ibid., 128.

5 M.M. Sharif, Aliran-aliran Filsafat Islam..., 10-11.

6 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran..., 129.


3
yang menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Pemuka-pemuka
Mu’tazilah dalam pemikiran keagamaan mereka banyak mempergunakan rasio.
Mereka memang percaya pada kekuatan akal yang dianugerahkan Tuhan kepada
manusia. Dalam penafsiran teologi mereka banyak memakai pemikiran rasional.
Begitu tinggi kekuatan yang mereka berikan kepada akal, sehingga timbul
anggapan di kalangan sebagian umat Islam bahwa mereka lebih mengutamakan
rasio dari pada wahyu. Anggapan ini selanjutnya membawa kepada tuduhan
bahwa kaum Mu’tazilah adalah golongan Islam yang tersesat dan tergelincir dari
jalan yang lurus dan benar. Bahkan, tidak sedikit orang Islam yang menganggap
mereka tidak percaya kepada wahyu dan dengan demikian telah menjadi kafir dan
bukan Islam lagi.7
Pembina aliran Mu’tazilah ini adalah Washil bin Atho’. Sebagaimana
telah dikatakan oleh al-Mas’udi, Washil bin Atho’ adalah Syeikh al-Mu’tazilah wa
Qadimuha, yaitu kepala Mu’tazilah yang tertua. Kemunculan al-Mu’tazilah
pertama kalinya pada masa dinasti Umayyah berada di ambang kehancurannya,
yakni di masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul
Malik. Dan ketika dinasti Umayyah jatuh ke tangan dinasti Abbasiyah, golongan
Mu’tazilah mendapatkan tempat yang amat baik di dalam pemerintahan. Bahkan
di masa pemerintahan al-Makmun, teologi Mu’tazilah secara resmi dijadikan
ideologi bangsa.8

B. Adabul Bahtsi wal Munadharah Menurut Aliran Mu’tazilah


Menurut Abu Zahrah, dalam menetapkan akidah, Mu’tazilah berpegang
pada premis-premis logika, kecuali dalam masalah-masalah yang tidak dapat
dijangkau akal. Mereka mempercayai kemampuan dan kekuatan akal. Setiap
masalah yang timbul mereka hadapkan kepada akal. Yang dapat diterima akal,
mereka terima, dan yang tidak dapat diterima akal, maka mereka tolak.9

7 Ibid., 129.

8 Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletakan Dasar Teologi Rasional dalam Islam, (Jakarta: Penerbit
Erlangga, Cet. I, 2005), 9.

9 Mawardy Hatta, “Aliran Mu’tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,” Jurnal Ilmiah
Ilmu Ushuluddin, Vol. 12, No. 1, Januari 2013, 94.
4
Mu’tazilah banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat Yunani dan logika
dalam menemukan landasan-landasan paham mereka. Penyebabnya ada dua,
yaitu:
1. Mereka menemukan di dalam filsafat Yunani keserasian dengan
kecenderungan pikiran mereka. Kemudian mereka jadikan sebagai metode
berpikir yang membuat mereka lebih lancar dan kuat dalam berargumentasi.
2. Ketika para filosof dan pihak lain berusaha meruntuhkan dasar-dasar
ajaran Islam dengan argumentasi-argumentasi logis, Mu’tazilah dengan gigih
menolak mereka dengan menggunakan metode diskusi dan debat mereka.10
Kaum Mu’tazilah memang banyak mempelajari filsafat untuk dijadikan
senjata mengalahkan serangan para filosof dan pihak lainnya. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa kaum Mu’tazilah adalah filosof-filosof Islam.11
Dalam menemukan pemikiran akidahnya, Mu’tazilah menggunakan
metode logika murni dengan tetap berusaha agar tidak menyimpang dari nas-nas
Alquran. Jika kelihatan adanya pertentangan antara paham mereka dan nas
Alquran yang mereka baca, maka nas itu mereka takwilkan sehingga tidak
bertentangan dengan paham mereka sekaligus tidak bertentangan dengan makna
Alquran.12
Di dalam sejarah pemikiran Islam, kaum Mu’tazilah merupakan
golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan
bersifat filosofis dibanding aliran-aliran teologi lainnya. Hal ini sebagaimana
dikatakan di atas karena mereka banyak dipengaruhi filsafat dan logika. Dalam
membahas dan memecahkan masalah-masalah teologi, mereka lebih banyak
menggunakan kemampuan akal. Karenanya, maka teologi yang mereka
kembangkan lebih bercorak rasional dan liberal. Mereka pun dinamakan juga
dengan sebutan “kaum rasionalis Islam.”13
Aliran Mu’tazilah memang tidak diragukan lagi sebagai aliran yang
paling rasional dan mendukung prinsip kehendak bebas (free-will) dalam sejarah
Islam. Tokoh-tokoh ternama penyokong aliran ini antara lain: Washil bin Atho’
(meninggal tahun 748), Amr bin Ubaid (meninggal tahun 761), Abu al-Hudhail al-
10 Ibid., 94.

11 Ibid., 94.

12 Ibid., 94-95.

13 Ibid., 95.
5
Allaf (meninggal tahun 840), Ibrahim bin Sayyar al-Nazzam (meninggal tahun
846), Muammar bin Khayyat Abbad (meninggal tahun 842), Bishr bin Al
Mu’tamir (meninggal tahun 825), Amr bin Bahr al-Jahiz (meninggal tahun 869),
Abu Ali al-Jubbai (meninggal tahun 849), Qadi’ Abdul Jabar (meninggal tahun
1023), Zamakhsyari (meninggal tahun 1144), dan al-Maturidi (meninggal tahun
945). Para cendekiawan ini juga menjadi beberapa tokoh penting dalam aliran
kalamiyah dan berusaha memahami, menjelaskan, dan mendukung keyakinan dan
perintah Islam berdasarkan akal, logika, dan argumentasi rasional. Eliacik
menggambarkan aliran ini sebagai “dinamika pemikiran utama” dalam sejarah
pemikiran Islam karena banyak kalam (filsafat teologis), fikih (hukum), politik,
dan tafsir (interpretasi Alquran) yang mengacu pada pemikiran yang dihasilkan
oleh tokoh-tokoh Mu’tazilah.14
Aliran yang banyak dikritisi oleh beberapa tokoh aliran fatalisme
konservatif ini berpendapat bahwa Allah (Tuhan) adalah Alim (maha mengetahui
dan maha bijaksana) dan Adil (maha adil). Karena itulah perbuatan salah,
penindasan, dan kekejaman tidak pantas disematkan kepada-Nya, karena Dia
memerintahkan manusia untuk bersikap adil dan melarang manusia dari perbuatan
yang menindas sesama, sehingga tentu tidak masuk akal jika Tuhan bertindak
sebaliknya. Oleh karena itu, pilihan antara kebaikan dan keburukan, beriman atau
tidak mengimani, kepatuhan atau pembangkangan, dan sebagainya adalah
tindakan manusia itu sendiri. Manusialah yang memilih atau menentukan
tindakannya sendiri, dan takdir pun tidak berlaku. Tanggung jawab memerlukan
kemampuan untuk bertindak secara mandiri dan manusia harus menentukan
pilihannya. Ibnu Hazm dan Washil bin Atho’ berpendapat, “Jika kita berpendapat
bahwa manusia bertindak sesuai takdir yang telah ditentukan, maka seluruh
fondasi moral dan hukum agama akan runtuh.”15
Aliran lain yang terkait erat dengan aliran Mu’tazilah adalah aliran Ra’y
atau yang lebih dikenal di dunia literatur Islam dengan nama Ahl al-Ra’y. Ini
adalah aliran yang menggunakan alur pemikiran rasionalis. Bisa dibilang bahwa
Mu’tazilah dan Ahl al-Ra’y adalah saudara kembar, namun Mu’tazilah adalah

14 Nouh El Harmouzi dan Linda Whetstone, Islam dan Kebebasan: Argumen Islam untuk
Masyarakat Bebas, Terj. Suryo Waskito, (Indonesia: SuaraKebebasan.org, Cet. -. 2015), 49-50.

15 Ibid., 50.
6
kelompok rasionalis di bidang filsafat agama (teologi), sedangkan Ahl al-Ra’y
adalah kelompok rasionalis di bidang hukum.16
Berikut ini adalah beberapa pendapat yang diadopsi atau terinspirasi oleh
perintis aliran al-Ra’y:
1. Saya menggunakan akal (rasio) untuk berijtihad (memutuskan suatu
perkara).
2. Hal ini bertentangan dengan Alquran.
3. Jika Nabi Muhammad SAW masih hidup, tentu ia akan menggunakan cara
ini.
4. Zaman telah berubah.
5. Kondisi tersebut sudah berubah.
6. Nabi atau Alquran dihadirkan ke dunia untuk tujuan tertentu.
7. Makna tersurat bukanlah seperti yang kita lihat.
8. Karena penyebabnya sama, maka keputusannya juga harus sama (qiyas,
silogisme).
9. Kebaikan bersama memerlukan hal ini (maslahat al-mursalah).
10. Cara ini lebih bermanfaat.
11.Aktivitas ini lebih logis dan rasional (istihsan).
12. Karena tidak dilarang secara tersurat, maka hal itu diperbolehkan
(istihsab).
13. Hadis ini (tradisi keagamaan atau ucapan Nabi) bertentangan
dengan Alquran (kritik terhadap teks).
14. Periwayatnya tidak tepercaya (kritik terhadap hadis).
15. Hal ini bertentangan dengan praktik yang sudah jamak dilakukan.17
Penganut aliran Ahl al-Ra’y berpendapat bahwa akal, atau pendapat
rasional (Ra’y), merupakan sumber pengambilan keputusan yang penting dan
lebih bisa diandalkan dari pada Hadis yang lemah. Hadis yang lemah atau tidak
sahih tidak dapat digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Penganut
aliran ini, terutama sang pendirinya, Abu Hanifa, sangat kreatif dalam membuat
alat bantu baru demi memperoleh solusi atas masalah sosial dan ekonomi sehari-
hari yang dihadapi oleh umat Islam. Aliran ini berpendapat bahwa, setelah
Alquran dan al-Sunnah (Hadis yang sahih), umat Islam dapat mengambil
keputusan menggunakan qiyas (silogisme), istihsan, istishab, kebaikan bersama,
serta adat dan tradisi yang berlaku di masyarakat. Abu Hanifa juga memutuskan
bahwa perempuan dewasa yang sudah cukup matang bisa menikah tanpa

16 Ibid., 51.

17 Ibid., 51-52.
7
persetujuan orang tuanya, bahwa Alquran dapat diterjemahkan ke bahasa lain, dan
Alquran diciptakan.18

C. Keterlibatan Mu’tazilah dalam Perdebatan dan dengan Kelompok


Lawan
Menurut keyakinan Mu’tazilah, Allah tidak akan dapat dilihat di akhirat.
Mu’tazilah berpendapat bahwa melihat Allah itu mustahil tanpa tempat dan arah.
Dikarenakan Allah tidak bertempat dan tidak berarah, maka melihat-Nya tidaklah
mungkin baik di dunia maupun di akhirat.19
Mengenai melihat Tuhan, Asy’ariyah, demi rekonsiliasi, lagi-lagi
menganut posisi tengah-tengah, yakni antara pandangan anthropomofis yang
dianut Dhahiriyah dan aliran lainnya di satu pihak dengan paham yang dianut
Mu’tazilah dan para filosof di pihak lain. Kaum muslimin ultra-ortodoks dan
Dhahiriyah pada khususnya, berpendapat bahwa Allah itu mungkin dilihat dan
orang yang saleh tentu akan melihat-Nya sebagai balasan utama atas perbuatan
atau amal baik mereka.20
Aliran Thahawiyah berkesimpulan bahwa (1) di dunia ini Allah tidak
dapat dilihat; dan tidak seorangpun di dunia ini telah atau akan pernah melihat-
Nya kecuali nabi Muhammad yang menurut sebagian dari mereka melihat Tuhan
di malam Mi’raj, (2) Allah akan dapat dilihat oleh orang-orang saleh di surga.21
Seperti Mu’tazilah, al-Maturidi menentang keras bahwa
anthropomorfisme, dan ayat-ayat Alquran yang mengandung tasybih dan tasjim
diinterpretasikannya secara metaforis. Namun, mengenai akan dilihatnya Tuhan
oleh orang-orang beriman di surga, al-Maturidi sependapat dengan kaum ortodoks
dan dia menegaskan bahwa ayat-ayat Alquran dan hadis nabi mengenai hal ini
harus dipahami secara harfiah. Dengan pola pikir skolastik dia mengemukakan
bahwa kata dan makna ayat serta hadis ini menunjukkan bahwa kita jangan
memahaminya secara alegoris dan menafsirkan bahwa melihat Tuhan artinya
“melihat tanda-tanda dan ganjaran-Nya atau mengetahui-Nya dengan hati.”
Melihat-Nya dengan hati sudah lumrah bagi yang beriman dan juga bagi orang
18 Ibid., 52.

19 M.M. Sharif, Aliran-aliran Filsafat Islam..., 15.

20 Ibid., 77.

21 Ibid., 141.
8
kafir dan di akhirat nanti dan bahkan bisa juga terjadi di dunia ini. Melihat Tuhan
di akhirat tidaklah mustahil dan melihat-Nya itu tidak mesti dibuktikan dengan
melihat jasmani-Nya. Sebagian orang sudah tersesat, mungkin juga karena mereka
belum pernah melihat sesuatu yang bahkan bukan tubuh dan aksigen, mereka
menyamakan melihat Allah di surga dengan melihat benda materil di dunia ini.
Jadi, kaum mujassimah (kaum korporealis) tidak benar tatkala berkata bahwa Dia
tidak dapat dilihat, sebab Dia bukan tubuh.22
Dalam pembahasan lain, kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Alquran
yang dalam istilah teologi disebut dengan kalam Allah, bukan qadim atau kekal,
akan tetapi hadis dalam artian baru dan diciptakan Tuhan. Al-Nazzam
memberikan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan kalam atau sabda
Tuhan. Kalam adalah suara yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar.
Suara bersifat baru bukan bersifat kekal dan adalah ciptaan Tuhan. Inilah yang
dimaksud kaum Mu’tazilah dengan Alquran adalah diciptakan dan bukan kekal
(qadim).23
Pada masa dinasti Abbasiyah, sebenarnya faham yang berkembang
tentang Alquran adalah bahwa Alquran itu adalah qadim dan yang qadim itu
adalah sifat Allah SWT dan tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Sedangkan
Mu’tazilah berpendapat bahwa jika demikian maka yang qadim itu lebih dari satu
dan ini bertentangan dengan ajaran tauhid yaitu mengesakan Tuhan. Dan ini
merupakan suatu hal yang serius bagi mereka, sehingga mereka menyatakan
bahwa siapa yang menyatakan bahwa Alquran itu adalah qadim, maka dia adalah
syirik, dan dosa syirik tidak diampuni Allah SWT.24
Keyakinan Mu’tazilah ini mendapat sokongan dari khalifah al-Makmun,
sebagai penguasa saat itu. Beliau menyatakan bahwa faham Alquran adalah
makhluk ini adalah masalah tauhid yang bersangkutan dengan akidah, sehingga
beliau merasa sebagai khalifah harus mengingatkan dan mengembalikan
rakyatnya untuk mengikuti faham Mu’tazilah yang dianutnya tersebut. Dan
caranya adalah dengan melakukan Mihnah. Pertama-tamanya yang beliau lakukan

22 Ibid., 119-120.

23 Ahmad Zaeny, “Signifikansi Ajaran Mu’tazilah terhadap Eksistensi Filsafat di Dunia Islam,”
Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 9, No. 1, Juni 2015, 108.

24 Ibid., 108.
9
adalah mengumumkan kepada seluruh umat muslim tentang faham bahwa
Alquran itu adalah makhluk dan mengumumkannya secara resmi, barulah Mihnah
dilaksanakan. Kemudian beliau mulai melakukan Mihnah atau pengujian kepada
para hakim, saksi, ahli fikih, dan ahli hadis serta para tokoh masyarakat lainnya.25
Dengan maksud bahwa mereka adalah para tokoh yang dihormati dan
dipercayai oleh masyarakat, sehingga penyebaran faham Mu’tazilah tersebut dapat
dengan mudah terlaksana dan tersebar. Dan selain hal tersebut, al-Makmun
menginginkan agar para pejabatnya yang duduk dalam kursi pemerintahannya
tidak berfaham syirik, yaitu menduakan Tuhan dalam pandangan Mu’tazilah yang
dianutnya tersebut. Kemudian al-Makmun mulai mengadakan Mihnah ke
wilayah-wilayah lainnya dengan melakukannya secara langsung maupun dengan
mengirim surat. Salah satunya adalah surat kepada gubernur Irak Ishak Ibnu
Ibrahim, agar melaksanakan Mihnah. Dan apabila ada yang membangkang, maka
ia akan diturunkan dari jabatannya bahkan dihukum.26
Walaupun demikian, banyak dari mereka yang menentang faham
Mu’tazilah bahwa Alquran adalah makhluk. Salah satunya adalah Ahmad Ibnu
Hambal, salah seorang intelektual (ahli fikih) terkemuka Baghdad, yang memiliki
pengaruh yang cukup besar. Ia tetap teguh berpendapat bahwa Alquran itu adalah
qadim. Hal ini kemudian dilaporkan oleh Ishak kepada al-Makmun. Al-Makmun
sangat marah dan mengancam akan memberikan hukuman mati bagi yang
menentangnya. Ahmad Ibnu Hambal dan Muhammad Ibnu Nuh (salah seorang
penentangnya juga) dikirim kepada al-Makmun untuk menerima hukuman, akan
tetapi baru separuh perjalanan al-Makmun meninggal dunia, sehingga mereka pun
terbebaskan.27

25 Ibid., 108-109.

26 Ibid., 109.

27 Ibid., 109.

Anda mungkin juga menyukai