PENDAHULUAN
1
A. Hanafi, Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ), (Jakarta: Pustaka al
Husna, 1981)pdf, 9.
2
Mannan Buchori, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006)pdf, 7.
3
A. Hanafi, Orientalisme..., 9.
4
Mannan Buchori, Menyingkap Tabir Orientalisme…, 1.
5
Ibid.,5
Barat. Tidak hanya pada karya ilmiah, melainkan kepada beragam corak seni, sastra,
maupun hasil tulisan –tulisan penelitian yang dilakukan oleh orang barat.
Edward Said sendiri menyatakan bahwa orientalisme sebagai bentuk
penggambaran tentang tradisi timur, baik dilakukan oleh para akademisi maupun oleh para
seniman. Dalam hal ini, Said menyatakan “Anyone who teaches, writes about, or
researches the Orient and this applies wheter the person is an anthropologist,
sociologist, historian, or philologist eithe in its specisfic or its general aspects, is an
Orientalist, and what he or she says does is Orientalism”6 (setiap orang yang mengajar,
menulis atau sebagai peneliti tentang ketimuran , hal ini berlaku pada setiap orang
baik sebagai seorang antropolog, sosiolog, sejarawan atau pengkaji masalah filologi
dari aspek umum atau sepesifik merupakan seorang orientalis, dan siapapun orangnya,
apa yang dilakukan oleh pria maupun wanita tersebut dinamakan sebagai orientalis).
Dalam melakukan kajian terhadap dunia timur, kajian para orientalis
cenderung dihinggapi subyektivitas, yaitu tidak terlepas dari fanatik agama atau fanatik
rasial.7 Sehingga emosional dan latar belakang sangat menentukan kajian yang telah
dilakukan. Baik itu dalam bentuk penelitian, sastra ataupun sejarah.8 Oleh karena itu
pembahasan –pembahasan mereka penuh kekeliruan dan bahkan kebohongan-kebohongan
yang disengaja, dimana para pembacanya harus berhati hati. Bahkan banyak persoalan-
persoalan bahasa dan kesusasteraan serta sejarah yang disalahgunakan dari kebenaran.
Dalam pembahasan-pembahasan di Encyclopedia of Islam kesalahan-kesalahan mereka
lebih menonjol lagi ,terutama dalam hal -hal yang berhubungan dengan soal -soal
keagamaan murni.9
Penelitian merupakan salah satu usaha dalam menyingkapkan makna.
Penyingkapan makna dari realitas, berbeda dengan realitas itu sendiri. Realitas
bersifat netral, sedangkan penyingkapannya tergantung pada subyek atau sang
penafsir, termasuk dalam hal pengetahuan yang dimiliki sang penafsir. Sebagaimana
6
http://www.wmich.edu./dialogues/texts/orientalism.htm , diakses pada tanggal 8 November 2009
7
A. Hanafi, Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama, ( Quran dan Hadits ), (Jakarta: Pustaka al
Husna, 1981)pdf, 18
8
http://en.wikipedia.org/wiki/Orientalism, diakses pada tanggal 8 Mei 2009
9
A. Hanafi, Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama, ( Quran dan Hadits )...,18
yang dikatakan Inden bahwa pengetahuan turut mengkonstruksi realitas dan tidak
bersifat alamiah ( dalam pengertian ada dengan sendirinya dan diberi ) , tetapi dalam
banyak hal ,dikonstruksi. Penyingkapan makna dari realitas dinyatakan bahwa
penafsiran tidaklah lepas dari dunia sang penafsir (interpreut). Sang penafsir pun
tidak dapat membersihkan diri dari kecenderungan berfikir, emosi, atau perasaan tertentu
untuk melihat teks. Semua realitas adalah obyek penafsiran, termasuk dunia ketimuran.
Sebagaimana bisa kita lihat dalam beberapa contoh kajian orientalis yang diliputi
kecenderungan subyektifitas emosional yang tinggi ketika mengkaji Islam. 10 Diantaranya
perkataan Yoseph Schot (murid Goldzehir seorang orientalist berkebangsaan Hongaria)
yang menandaskan bahwa syariat Islam itu tidak berbeda dengan tradisi jahiliah. Ini
jelas tuduhan batil yang telah mempengaruhi banyak penulis lain.
Di antara kebohongan dan kesesatan Schot lainnya adalah anggapannya bahwa
pemikiran bangsa Yunani lebih utama dan lebih maju daripada pemikiran Islam. 11 Juga
pernyataan seorang orientalis bernama Sadrasky yang mengatakan bahwa cerita-cerita
atau sejarah dan berita-berita yang dikemukaan dalam Al Qur`an atau kitab-kitab tafsir itu
mengacu pada karya-karya Yahudi, Taurat, dan Injil. Atau pengingkaran yang dilakukan
orientalis lainnya bernama Bertlaw terhadap buku-buku kimia berbahasa Latin yang
mencantumkan nama Jabir bin Hayyan sebagai kitab yang berasal dari kitab berbahasa
Arab. Juga beberapa ensiklopedia dan kamus-kamus yang dibuat para orientalis yang
mana hasil karya mereka diliputi subyektifitas berupa jiwa yang penuh dendam terhadap
Islam, seperti Dairat Al –Ma`arif Al Islamiyyah, atau Al –Munjid fi Al Lughah wa Al -ulum
wa Al –Adab, atau Al –Mausu` at Al-`Arabiyyah Al –Muyassarah.12
10
Ronald Inden,`` Orientalist constructions of India``,hlm.444-445 ( lihat di Richard King, Agama
Orientalisme dan Poskolonialisme(terj.),(Yogyakarta: Qalam,1999)pdf, 177
11
Mannan Buchori, Menyingkap Tabir Orientalisme, (Jakarta: Amzah, 2006)pdf, 26-27
12
Ibid, 26
B. Metodologi Penelitian Orientalis
Secara spesifik, metode yang dipakai untuk setiap prosedur pada prinsipnya
tiga, yaitu metode filologi, sejarah, dan filsafat.13
Metode filologi mencakup penelitian nilai naskah, penelitian bentuk karya
tulis dan penelitian terhadap sumber karya. Ketiga pendekatan ini’ dianggap sebagai
prasyarat yang harus diselesaikan dulu sebelum memulai kajian lebih jauh. Langkah
kongkretnya dengan mengumpulkan sumber rujukan asal, terutama naskah tulisan
tangan alias manuskrip dalam berbagai versi, meneliti otentisitasnya, menilai
otoritasnya, dan membuat edisi kritisnya. Bersamaan dengan itu dikaji pula sejarah
dan riwayat naskah termaksud, untuk mengungkapkan proses redaksi dan transmisi
yang dilaluinya, apalagi jika naskah yang ada diduga berasal dari transkipsi kuliah
atau catatan ,seorang murid, bukan ditulis Iangsung oleh pengarangnya. Yang di
cari dan disoroti adalah kemungkinan terjadinya berbagai kesalahan dalam proses
penyalinan berupa pengubahan, penambahan atau penyisipan pengabaian dan
sebagainya. Kemudian diteliti pula karya-karya apa saja yang kemungkinan telah
digunakan oleh sang pengarang sebagai sumber inspirasi dan rujukan dalam
mengembangkan gagasan pemikiran dan tulisannya. Hasil pendekatan semacam ini
dapat dilihat misalnya dalam karya Henrik S. Nyberg, Richard . McCarthy, Hellmut
Ritter dll.14
Metode kedua disebut juga kritik sejarah (historical criticism). Pendekatan
ini bertujuan memilih berita, cerita atau laporan mana yang benar dan mana yang
palsu, membedakan antara sejarah dan legenda,‘antara fiksi dan fakta, antara mitos
dan realitas, memilah antara yang konon terjadi dan yang sebenarnya terjadi
13
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Depok: Gema Insani, 2008), 55
14
Ibid, 56
berkenaan riwayat hidup atau karir sang tokoh atau mengenai karya yang
disandarkan kepadanya. Indikatornya bisa jadi kontradiksi satu sumber dengan
sumber lainnya, variasi dan inkonsistensi berbagai versi meskipun berasal dari
sumber yang sama, kejanggalan gaya bahasa ataupun keganjalan ungkapan yang
digunakan, dan lain sebagai nya. Metode ini bertolak dan kembali pada anggapan
bahwa apa yang selama ini diyakini orang sebagai fakta sejarah ke banyak orang
dan sebenarnya berasal dari cerita khayalan dan dongeng purbakala yang lama
kelamaan setelah melalui proses panjang dan dilupakan orang disformasi dan
dimodifikasi, kemudian disampaikan kepada kita sebagai fakta.15
Adapun pendekatan filsafat lebih menekankan aspek kesinambungan
perdebatan tentang berbagai tema dalam konteks sejarah pemikiran manusia. yang
diperhatikan dalam pendekatan ini ialah isi dan sistem pemikiran seorang tokoh
serta sumbangannya bagi kemajuan dan perkembangan bidang yang digelutinya.
Peneliti akan menganalisis argumentasi yang digunakan dan menilai validitasnya,
mencari adakah inovasi hujjah atau solusi baru untuk problem-problem yang
menjadi sumber kontroversi, serta hubungannya dengan pemikiran tokoh tokoh
sebelum dan sesudahnya. Contohnya seperti yang dilakukan oleh Hans Daiber,
Michael Marmura, Oliver Leaman, dll.16
C. Perbandingan Tradisi Penelitian Dalam Masyarakat Muslim dan Non-Muslim
Perkara yang melatarbelakangi studi-studi kajian orieintalis adalah untuk
menciptakan konflik dan perpecahan dikalangan umat Islam agar mudah dikuasai
berdasarkan prinsip devide et impera. Maka tidak mengherankan kalau objek kajian
yang paling diminati oleh para orientalis adalah soal munculnya sekte-sekte
sempalan dalam Islam dengan terbitnya karya-karya para orientalis yang
bermaksud dan berhasil mengedepankan aliran-aliran sempalan yang sudah
15
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Depok: Gema Insani, 2008), 56-57
16
Ibid, 57
diabaikan dan dilupakan orang, mengetengahkan pemikiran-pemikiran sesat yang
semula tersisih dan terpinggirkan, dan mengangkat ke permukaan sekte-sekte
menyimpang yang selama ini tertekan. Ada satu pesan yang ingin mereka
sampaikan, bahwasanya ajaran Islam itu tidak monolitik. Banyak terdapat
perbedaan dan perselisihan di kalangan umat Islam, sehingga sejak awal sejarahnya
memang sudah terpecah-belah. Para orientalis tidak hanya menyoroti hal ini, tetapi
juga membesar-besarkan persoalan yang tidak prinsipil. Sebagaimana diakui sendiri
oleh Montgomery Watt, misalnya, dalam mengkaji sejarah pemikiran Islam.
17
Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Depok: Gema Insani, 2008), 50-51
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari keterangan diatas dapat memberikan gambaran betapa gigih dan seriusnya para
orientalis barat mengkaji ilmu Kalamdan tokoh-tokohnya dari berbagai sudut dan dengan
berbagai pendekatan. Apa yang mereka lakukan dan mereka hasilkan merupakan tantangan
ilmiah bagi cendikiawan muslim, agar berusaha melakukan hal yang sama, menghasilkan
karya-karya serupa, menunjukkan kekeliruan, dan meluruskan kesalahan.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran. Depok: Gema Insani, 2008.
Hanafi, A. Orientalisme Ditinjau Menurut Kacamata Agama ( Quran dan Hadits ).Jakarta: Pustaka
al Husna, 1981.