Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Ushul Fiqh (Lanjutan)


PENGERTIAN DAN SYARAT PENGGUNAAN TA’WIL

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK II:

RAIHAN ADAM (2210102028)


MUHAMMAD ARIF (2210102022)

DOSEN PENGAMPU :
Dr.ARZAM.M,Ag

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KERINCI


JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH
TAHUN AJARAN 2023 M/1445 H
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang
limbah dan manfaatnya untuk masyarakat.

Makalah ilmiah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai
pihak sehingga dapat memperlancar pembautan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah
ini.

Terlepas dari semua itu, kami meyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah
ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakat ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Sungai Penuh, 09 SEPTEMBER 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI
Kata pengantar……………………………..…………………….…………………………..ii
Daftar isi…………………………………………………………....…………………………iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………….....1
A. Latar Belakang………………………………………………………………………...1

B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………..1

C. Tujuan Penelitian………………………………………………………………………2

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………......…...3

A. Pengertian Ta’wil…………………………...…………………………………………3

1. Pengertian ta’wil alquran secara Bahasa……………………….………………3

2. Pengertian Ta’wil al-Qur’anSecara Istilah…………………….………………5

B. Syarat Penggunaan Ta’wil……………………………………………………………...6

1. Memiliki Ilmu untuk Men-Ta’wil………………………………………………...6

2. Lafadz yang akan di ta’wilkan Harus Memiliki Kriteria penta’wilan……………..6

3. Ta’wil Harus Didasarkan Hadits Shahih………………………………………….7

4. Tidak Bertentangan dengan Nash Qath’iy………………………………………..7

5. Arti dari Penta’wilan Nash Harus Lebih Kuat dari Arti Lahiriah……………...…7

6. Penggunaan ta’wil dalam pemahaman hadits…………………………………....8

7. Contoh penggunaan ta’wil dalam pemahaman hadits……………………………8

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………….10


A. Kesimpulan……………………………………………………………………….......10

B. Saran………………………………………………………………………………….10

Daftar Pustaka………………………………………………………………………………...11

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemahaman terhadap teks-teks yang kompleks, seperti teks sastra, agama, atau
filosofis, seringkali melibatkan upaya untuk mengungkap makna yang mendalam dan
simbolis yang tidak selalu terlihat pada permukaan teks. Salah satu alat yang telah
digunakan oleh para sarjana, pemikir, dan ahli teks sepanjang sejarah adalah "ta'wil".

Ta'wil adalah proses interpretasi yang mendalam yang dapat mengungkapkan


makna yang lebih dalam dalam teks-teks yang memiliki lapisan makna yang kompleks.
Pentingnya topik ini berkaitan dengan fakta bahwa teks-teks seperti Al-Quran, karya sastra
klasik, dan teks-teks filosofis seringkali mengandung makna yang bersifat metaforis,
simbolik, atau bermakna ganda. Pemahaman yang mendalam terhadap teks-teks ini
menjadi penting dalam konteks agama, sastra, dan pemikiran filosofis. Selain itu,
penggunaan ta'wil juga dapat digunakan dalam konteks lain seperti sastra, seni, atau
bahkan analisis sosial dan politik untuk mengungkap makna yang lebih dalam dalam
pesan-pesan yang disampaikan.Selama berabad-abad, para ahli dan pemikir dari berbagai
tradisi intelektual telah menggunakan ta'wil sebagai alat untuk menjelajahi teks-teks suci,
mengurai makna filosofis dalam karya sastra, dan mendekonstruksi konsep-konsep
kompleks dalam pemikiran filosofis. Dalam konteks modern, konsep ta'wil juga dapat
berhubungan dengan metode interpretasi dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk sastra
bandingan, studi budaya, dan analisis teks media.

Oleh karena itu, memahami pengertian ta'wil dan syarat-syarat yang terkait
dengannya akan membantu kita menggali makna yang lebih dalam dalam berbagai jenis
teks dan merangsang diskusi intelektual yang mendalam. Makalah ini akan menguraikan
pengertian ta'wil, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam penggunaannya, serta
relevansinya dalam konteks akademik dan budaya saat ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi pokok pembahasan dalam
makalah ini yaitu, sebagai berikut :
1. Apa yang di maksud dengan Ta’wil dan apa pengertian dari Ta’wil?
2. Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan ta'wil dengan benar?

1
C. Tujuan penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan pembahasan
dalam makalah ini yaitu, sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan memahami apa itu ta’wil dan pengertian dari ta’wil
2. Untuk mengetahui dan memahami apa saja syarat-syarat penggunaan ta’wil

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TA’WIL
1. Pengertian ta’wil alquran secara bahasa
Bahasa kata ta’wil berasal dari kata ala-yaulu-aulan yang berarti kembali ke
asal. Ada yang berpendapat ta’wil berasal dari kata iyalah yang berarti
mengatur, seorang mu’awwil (penakwil) seakan-akan sedang mengatur
perkataan dan meletakkan makna yang sesuai dengan tempatnya.1

Secara lughat kata ta’wil dapat berarti sebagai berikut: Ar-ruju’:


kembali/mengem-balikan yakni mengembalikan makna pada proporsi yang
sesungguhnya, Al-sharf: memalingkan yakni memalingkan suatu lafal yang
mempunyai sifat khusus dari makna lahir kepada makna batin lafal itu sendiri
karena ada ketepatan atau kecocokan dan keserasian dengan maksud yang dituju
dan al-siyasah: mensiasati yakni bahwa lafal-lafal atau kalimat-kalimat tertentu
yang mempunyai sifat khusus memerlukan “siasat” yang tepat untuk menemukan
makna yang dimaksud, untuk itu diperlukan ilmu yang luas dan mendalam.2
Menurut Ibnu Manzhur mendefinisikan ta’wil secara bahasa ruju’(kembali).
Jadi seolah-olah mu’awwil mengembalikan ayat kepada makna yang
dikandungnya.3
Lafal ta’wil terulang sebanyak 16 kali yaitu lafal ta’wil terulang dalam
QS.Yusuf [12]:6,21,24,36,37,45,100,101. Dalam QS.Al-Kahfi[18]:78. Dalam QS.
An-Nisa [4]:59. Dalam QS.Al-Isra[17]:35. Dalam QS.Ali Imran[3]: 7 (disebutkan
dua kali lafal ta’wil). Dalam QS.Al-A’raf [7]:537(disebutkan dua kali lafal ta’wil)
dan dalam QS.Yunus[10]:39. Berikut ini beberapa pengertian Al-Quran terhadap
makna lafal ta’wil yang terdapat dalam beberapa Surah di atas:

1
Syarjaya, H.E. Syibli, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam,Jakarta: Rajawali Press,2008.
2
Noor Aisyah, AL-MANBA,Jurnal Ilmiah Keislaman dan Kemasyrakatan STAI Al-Ma’arif BuntokVol.VIII-
No.1Januari-Juni2023
3
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Ilmu al-Qur’andan Tafsir, Semarang: Pustaka Rizki Setia,
2009. hlm,124

3
a. Lafal ta’wil berarti penjelasan dan penentuan, bahwa penjelasan
ayat-ayat tersebut hanyalah Allah yang mengetahui-Nya terdapat dalam
ayat berikut ini:

‫ش َبهَ مِ ْنهُ ٱ ْبتِغَا ٓ َء ٱ ْل ِفتْنَ ِة َوٱ ْبتِغَا ٓ َء تَأ ْ ِوي ِل ِهۦ‬


َ َٰ َ‫فَأ َ َّما ٱلَّذِينَ فِى قُلُو ِب ِه ْم زَ ْي ٌغ فَ َيت َّ ِب ُعونَ َما ت‬

Artinya:...Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada


kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-
cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya
melainkan Allah…(QS. Ali-Imran [3]: 7).

b. Lafal ta’wil yang bermakna akibat terakhir dari sesuatu terdapat dalam ayat
berikut ini:

َ‫الخِ ِۗ ِر َٰذلِك‬
َٰ ْ ‫اّٰلل َوا ْليَ ْو ِم‬
ِ ‫الرسُ ْو ِل ا ِْن كُ ْنت ُ ْم تُؤْ مِ نُ ْونَ بِ ه‬ ِ ‫ش ْيءٍ فَ ُرد ُّْوهُ اِلَى ه‬
َّ ‫ّٰللا َو‬ َ ‫فَا ِْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِ ْي‬
‫س ُن تَأ ْ ِوي ًْل‬
َ ْ‫َخي ٌْر َّواَح‬

Artinya:...Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka


kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan
lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa [4]: 59).

c. Lafal ta’wil yang berarti penterjemahan sesuatu yang simbolik seperti


yang dilakukan Nabi Yusuf ketika menceritakan kembali mimpinya
terdapat dalam ayat berikut ini:

‫ط َعا ٌم ت ُ ْرزَ َٰقن ِٓه ا َِّل نَبَّأْتُكُ َما ِبتَأ ْ ِو ْيلِه قَ ْب َل اَ ْن يَّأ ْ ِت َيكُ َما‬
َ ‫ِۗقَا َل َل َيأ ْ ِت ْيكُ َما‬

Artinya: Yusuf berkata: Tidak disampaikan kepada kamu berdua makanan


yang akan diberikan kepadamu melainkan aku telah dapat
menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai
kepadamu...(QS. Yusuf [12]: 37)

4
d. Lafal ta’wil yang berarti penuturan hasil akhir atau hasil yang terjadi
sesudahnya yaitu penjelasan mengenai apa yang diperbuat Khidhr kepada
Nabi Musa a.s. terdapat dalam ayat berikut ini:

َّ ‫ساُن َِبئُكَ ِبتَأ ْ ِو ْي ِل َما لَ ْم تَ ْستَطِ ْع‬


َ ‫علَ ْي ِه‬
‫صب ًْرا‬ َ َ‫قَا َل َٰهذَا ف َِراقُ َب ْينِ ْي َو َب ْين َِۚك‬

Artinya: Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; Aku
akan memberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan
yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.(QS. Al-Kahfi [18]:
78)4

Dari beberapa penggunaan al-Qur’anterhadap lafal ta’wil di atas,


maka tampak bahwa pengertian ta’wil berkisar pada hasil akhir,
penerjemahan secara simbolik dan penjelasan serta penuturan kembali
terhadap sesuatu.

2. Pengertian Ta’wil al-Qur’anSecara Istilah

Menurut Said al-Jurjany mengemukakan kata ta’wil secara istilah dapat


diartikan memalingkan suatu lafal dari makna yang lahirnya terhadap makna
yang dikandungnya, apabila makna alternatif yang dipandangnya sesuai dengan
ketentuan al-Qur’an dan As-Sunnah.5

Jadi menta’wilkan ayat-ayat al-Qur’anberarti ‘membelokan’ atau


‘memalingkan’ lafal-lafal atau ayat-ayat al-Qur’andari maknanya yang tersurat
kepada yang tersirat dengan maksud mencari makna yang sesuai dengan
ketentuan al-Qur’andan As-Sunnah Rasulullah saw. di dalam al-Qur’anbanyak
dijumpai lafal-lafal yang memiliki makna tersurat yang dalam pemahamanya
bila tidak menggunakan ‘siasat’ untuk menentukan makna yang sejalan dengan
ketentuan nash yang qath’i, maka akan terjadi kekeliruan dalam memahami
isi al-Qur’an.Sasaran ta’wiladalah menyangkut ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat
yang mempunyai sejumlah kemungkinan makna yang terkandung di dalamnya
atau ayat-ayat yang tidak terang maknanya). Untuk lebih memperjelas mengenai

4
Syarjaya, H.E. Syibli, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam,Jakarta: Rajawali Press,2008., hlm 15-18
5
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Ilmu al-Qur’andan Tafsir, Semarang: Pustaka Rizki Setia,
2009. hlm 155

5
pengertian ta’wil, maka penulis akan memberikan contoh salah satu ayat al-
Qur’anyang bersifat mutasyabihat seperti yang terdapat dalam ayat berikut ini:

…‫ّٰللا فَ ْوقَ اَ ْي ِد ْي ِه ْم‬


ِ ‫… َۚ َيدُ ه‬

Artinya:...Tangan Allah di atas tangan mereka...( QS. Al-Fath [48] 10).

Kata yadun di atas tidak dapat diartikan secara bahasa sesuai dengan kaidah
bahasa Arab yaitu tangan, akan tetapi kata yadun lebih layak diartikan sebagai
kekuasaan Allah.6

B. SYARAT PENGGUNAAN TA’WIL

Terdapat beberapa syarat-syarat ta’wil yaitu:

1. Memiliki Ilmu untuk Men-Ta’wil


Dalam men-ta’wil suatu lafadz dalil seorang yang men-ta’wil sudah
memiliki keahlian dalam bidang penta’wilan. Serta dibutuhkannya dalam
penguasaan berbagai ilmu-ilmu syara’ (agama), seperti ilmu fiqh, ilmu hadits, dan
ushul fiqh. Sehingga memungkinkan untuk mengkompromikan dua dalil yang
saling bertentangan dengan men-ta’wil-kannya.
2. Lafadz yang akan di ta’wilkan Harus Memiliki Kriteria penta’wilan
Lafadz yang di ta’wil harus diwajibkan untuk memiliki sebuah kriteria
lafadz yang hanya boleh di ta’wil dan hal tersebut masih berada di dalam kajiannya,
seperti:
a. Sesuai dengan tatanan dalam ilmu Bahasa Arab,
b. Harus mencapai dengan ketentuan-ketentuan syara’ yang sudah ada
dan istilah yang sudah ada di dalamnya. Lafadz tersebut dapat
ditakwilkan dan secara lahiriyah lafadz tersebut juga memiliki
makna lazim dan makna yang tidak lazim.

Dengan melalui takwil bahasa, maka akan bisa menghasilkan lafadz


yang bisa di ta’wil dan harus mencakup dari beberapa arti. Jadi lafadz ta‟wil harus

6 Nasir, A.Sahilun, Ilmu Tafsir al-Qur’an,Surabaya: al-Ikhlas, 1987. Hlm 17

6
sesuai denga kriteria lafadz agar dalam penta’wilan itu sesuai dengan
pengkajiannya

3. Ta’wil Harus Didasarkan Hadits Shahih

Ta’wil haruslah didasarkan pada hadis-hadis yang shahih dimana


statusnya bisa benar-benar bisa menguatkan terhadap hasil dari pen-ta’wilannya
tersebut.

4. Tidak Bertentangan dengan Nash Qath’iy

Ta’wil tidak diperbolehkan untuk bertentangan dengan nash qath’iy,


karena hal ini menyebabkan nash qath’iy masuk dalam bagian tata urutan syari’ah
yang secara umum. Jika memang hal itu tidak demikian, maka dalam hal itu ta’wil
tidak akan dianggap sah karena ta’wil itu merupakan salah satu cara berijtihad yang
bisa berkualitas zhanniy, sedangkan zhanniy sendiri tidak akan kuat untuk
melawan yang qath’iy.

5. Arti dari Penta’wilan Nash Harus Lebih Kuat dari Arti Lahiriah
Arti dari penta’wilan nash itu harus lebih kuat dari arti lahiriah dengan
menghasilkan bukti yang bisa dikuatkan oleh beberapa dalil. Karena bila didapati
dalil yang mendukungnya lemah, maka dalil tersebut tidak dapat mendukung
pemalingan makna dan tidak dapat diamalkan. Bahkan ta’wil dapat dikatakan
meragukan ketika dalil tersebut mempunyai kekuatan yang sama berdasarkan
dilalah lafadznya dengan makna yang lazim.

Lebih jelasnya untuk mengetahui arti dari pentakwilan nash dimana


yang bisa dianggap lebih kuat dari arti lafzhiahnya, sehingga dapat
dilakukan dengan melalui beberapa cara:
a). Arti yang diperoleh dengan melalui cara ibaratun-nash
b). Arti yang diperoleh dengan melalui cara isyaratun-nash
c). Arti yang diperoleh dengan melalui cara zalalatun-nash
d.) Arti yang diperoleh dengan melalui cara iqtidla’
Jika terkadang masih tetap terjadi masalah diantara dengan keempat cara
tersebut, maka yang didahulukan yaitu menggunakan dengan cara ibaratun-nash
dari isyaratun-nash, dari keduanya didahulukan dari zalalatun-nash dan dengan itu
baru melalui cara iqtidla’.

7
6. Penggunaan ta’wil dalam pemahaman hadits
Langkah awal dalam melakukan ta’wil adalah menemukan qarinah
(indikasi) yang mengharuskan seseorang menarik makna lain diluar makna aslinya.
Seperti kata kucing besar ditakwilkan dengan harimau, ini dapat diterima karena
kedua kata tersebut berkaitan, dimana kucing besar adalah makna majazi dari
harimau. Tetapi kucing besar apa bila ditakwilkan dengan gajah maka ini tidak
dapat diterima karena tidak terkait sama sekali.

7. Contoh penggunaan ta’wil dalam pemahaman hadits

Contoh pertama:

‫ط لَهُ فِي ِر ْزقِ ِه‬ َ ‫سلَّ َم قَا َل َم ْن أَ َحبَّ أَ ْن يُ ْب‬


َ ‫س‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّٰللا‬ ِ َّ ‫ع ْن أَن َِس ب ِْن َمالِكٍ أَ َّن َرسُو َل‬
َ ‫ّٰللا‬ َ
ِ َ‫سأ َ لَهُ فِي أَثَ ِر ِه فَ ْلي‬
ُ‫صلْ َرحِ َمه‬ َ ‫َويُ ْن‬

Artinya: Dari Anas bin Malik r.a bahwa saya mendengar Rasulullah
SAW bersabda, siapa yang ingin di lapangkan rizkinya dan
dipanjangkan umurnya hendaklah dia bersilaturrahim. (H.R.Bukhori dan
Muslim)7

‫الرحِ ِم َم َحبَّةٌ فِى‬


َّ َ‫صلَة‬
ِ ‫ إِ َّن‬: ‫ عن النبي صلى هللا عليه وسلم قال‬،‫عن أبي هريرة رضي هللا عنه‬
‫سأَة ٌ فِى اْألَثَر‬
َ ‫ثراة ٌ فِى ا ْل َما ِل َو َم ْن‬
َ ‫اْأل َ ْه ِل َو َم‬

Artinya: Dari Abu Hurairah r.a dari Nabi SAW bersabda: sesungguhnya
shilaturrahim itu mendatangkan rasa cinta pada keluarga dan menamba
harta dan memperpanjang usia. (H.R.Tirmidzi)8

Sebagian ulama sulit memahami kalimat ‫ َويُ ْن َسأ َ لَهُ فِي أَثَ ِر ِه‬dan ‫َو َم ْن َسأَة ٌ فِى‬
‫ اْألَثَر‬dengan makna diakhirkan ajalnya. Qarinahnya adalah bila dipahami dengan
makna ashlinya maka akan bertentangan dengan ayat al Quran yang menjelaskan
ajal tidak dapat dimajukan atau ditunda (QS Al A’raf :34).

َ‫عةً َّو َل َي ْستَ ْق ِد ُم ْون‬ َ َ‫َو ِلكُ ِل ا ُ َّم ٍة اَ َج َۚ ٌل فَ ِاذَا َج ۤا َء اَ َجلُ ُه ْم َل َي ْستَأْخِ ُر ْون‬
َ ‫سا‬

7 Al Maktabah Asy Syamilah, Shahih Bukhari, Bab man ahabba al bashatha fi ar rizq,juz7, hal 228.
8
Al Maktabah Asy Syamilah, Sunan at Turmudzi, Bab ta‟lim an nasab,juz7 hal 247

8
Artinya: “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu. Maka apabila telah datang
waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan
tidak dapat (pula) memajukannya. (Q.S. Al-A’raf:34).

Oleh karena itu kalimat ini harus dipalingkan dari makna


aslinya, tentunya makna lain yang akan dipakai harus terkait dengan makna
aslinya. Dari kitab syarahhadits didapati para ulama memberkan takwilsebagai
berikut:

a. Makna kalimat “meng-akhir-kan ajal” dalam hadits dipahami dengan


penambahan keberkatan umur dan taufiq untuk taat kepada Allah.
Artinya dengan umurnya yang ada bisa melahirkan produktifitas amal
yang luar biasa.

b. Makna kalimat itu juga bisa dipahami makna kekal namanya dalam
keharuman, sepertinya dia belum mati karena masih dikenang di
dalam ingatan masyarakat.9

9
Maizuddin. (2008). Metodologi Pemahaman Hadits. Padang, Hayfa Press. cet 1, hal 97

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam makalah ini, kita telah menjelajahi pengertian dan syarat penggunaan
ta'wil sebagai alat penting dalam interpretasi teks-teks yang kompleks. Hasil
penelusuran ini menggambarkan pentingnya ta'wil dalam pemahaman teks-teks yang
mungkin memiliki lapisan makna yang lebih dalam, simbolik, atau bermakna ganda.
Dalam penggunaan ta'wil, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar proses
interpretasi ini dapat dilakukan dengan benar dan efektif. Pengetahuan yang mendalam
tentang konteks, bahasa, dan budaya teks yang akan diinterpretasikan adalah kunci.
Selain itu, metode yang tepat, etika yang baik, dan konsistensi dengan nilai-nilai
mendasar teks juga diperlukan. Konteks, baik historis maupun budaya, juga memainkan
peran penting dalam proses ta'wil. Terakhir, konsultasi dengan sesama ahli dan pemikir
seringkali diperlukan untuk memastikan interpretasi yang lebih tepat dan komprehensif.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus menjelajahi dan menghormati konsep
ta'wil dalam upaya kita untuk memahami warisan intelektual dan budaya kita yang
kaya.

B. Saran

Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini,


akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis perbaiki.
Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Karena itu kritik dan saran
yang membangun dari para pembaca sangat diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk
ke depannya. Sehingga bisa terus menghasilkan penelitian dan karya tulis yang
bermanfaat bagi banyak orang.

10
Daftar Pustaka

Syarjaya, H.E. Syibli, Tafsir Ayat-Ayat Ahkam,Jakarta: Rajawali Press,2008.

Noor Aisyah, AL-MANBA,Jurnal Ilmiah Keislaman dan Kemasyrakatan STAI Al-Ma’arif


BuntokVol.VIII-No.1Januari-Juni2023

Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Ilmu al-Qur’andan Tafsir, Semarang:


Pustaka Rizki Setia, 2009.

Nasir, A.Sahilun, Ilmu Tafsir al-Qur’an,Surabaya: al-Ikhlas, 1987.

Al Maktabah Asy Syamilah, Shahih Bukhari, Bab man ahabba al bashatha fi ar-rizq.

Al Maktabah Asy Syamilah, Sunan at Turmudzi, Bab ta‟lim an nasab.

Maizuddin. (2008). Metodologi Pemahaman Hadits. Padang, Hayfa Press. cet 1,

11

Anda mungkin juga menyukai