Anda di halaman 1dari 15

Mata Kuliah Dosen Pengampu

Tafsir dan Hadits Tarbawi Prof. Dr. H. Munzir Hitami, M. A.

Macam-Macam Tafsir

Disusun Oleh :
Kelompok 2
Cia Amalia Mirza (12110120364)

Lokal :
PGAI SD G /Semester 3

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-
Nya penulis telah dapat menyelesaikan makalah Tafsir dan Hadist Tarbawi mengenai
“MACAM-MACAM TAFSIR”. Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah
Tafsir dan Hadist Tarbawi.

Dalam penulisan laporan ini penulis merasa masih banyak kekurangan-


kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan
yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis
harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.

Dan atas terselesaikannya penyusunan makalah ini, tidak lupa penulis ucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak dosen pembimbing Prof. Dr. H. Munzir Hitami, M. A. Selaku dosen mata
kuliah Tafsir dan Hadist Tarbawi yang telah membimbing dan mendidik penulis
sehingga penulis menjadi mahasiswa yang berilmu.

Semoga materi ini dapat bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi
pihak yang membutuhkan, khususnya bagi penulis sehingga tujuan yang diharapkan
dapat tercapai, Aamiin.

Pekanbaru, 23 September 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................................iii
BAB I.................................................................................................................................1
A. Latar belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................1
C. Tujuan.......................................................................................................................1
BAB II ..............................................................................................................................3
A. Pengertian dan bentuk-bentuk Tafsir bi al-Ma’tsur............................................3
B. Pengertian dan bentuk-bentuk Tafsir bi al-Ra’yi................................................ 5
C. Pengertian dan bentuk-bentuk Tafsir bi al-Isyari................................................7
BAB III ...........................................................................................................................11
A. Kesimpulan.............................................................................................................11
B. Saran ......................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Pembuatan makalah ini dilatar belakangi karena dalam mata kuliah
Tafsir dan Hadits Tarbawi penulis ditempatkan pada kelompok 2 oleh kosma
yang ditugaskan oleh Dosen Pengampu. Berdasarkan silabus yang diberikan
oleh Dosen, judul kelompok 2 yang akan dibahas yakni “Macam-Macam
Tafsir”. Oleh karena itu, penulis menyusun makalah ini untuk memenuhi tugas
Tafsir dan Hadits Tarbawi.
Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Al-Qur’an
juga menjadi penjelasan (bayyinat). Dari petunjuk tersebut sehingga kemudian
mampu menjadi pembeda antara yang baik dan yang buruk. Disinilah manusia
mendapatkan petunjuk dari Al-Qr’an. Manusia akan mengerjakan yang baik dan
meninggalkan yang buruk atas dasar pertimbangannya terhadap Al-Qur’an
tersebut. Maka untuk mengetahui dan memahami betapa dalam isi kandungan
Al-Qur’an diperlukan tafsir.
Penafsiran terhadap Al-Qur’an mempunyai peranan yang sangat besar
dan penting bagi kemajuan dan perkembangan umat Islam. Oleh karena itu,
sangat besar perhatian para ulama untuk memahami dan menggali makna yang
terkandung dalam kitab suci ini. Sehingga lahirlah bermacam-macam tafsir
dengan corak dan metode penafsiran yang beraneka ragam pula.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjabaran latar belakang diatas, maka penulisan makalah
ini memiliki rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian dan bentuk-bentuk Tafsir bi al-Ma’tsur?
2. Apa pengertian dan bentuk-bentuk Tafsir bi al-Ra’yi?
3. Apa pengertian dan bentuk-bentuk Tafsir bi al-Isyari?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan dari penjebaran pada rumusan masalah diatas, maka tujuan
penulisan makalah ini adalah:

iv
1. Untuk mengetahui pengertian dan bentuk-bentuk Tafsir bi al-Ma’tsur
2. Untuk mengetahui pengertian dan bentuk-bentuk Tafsir bi al-Ra’yi
3. Untuk mengetahui pengertian dan bentuk-bentuk Tafsir bi al-Isyari

v
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Tafsir bi al-Riwayah/bi al-Ma’tsur

Kata al-Ma’tsur berasal dari kata atsara-ya’tsiru/ ya’tsuru-atsran- wa-


atsaratan yang secara etimologi yang berarti menyebutkan atau mengutip (naqala) dan
memuliakan atau menghormati (akrama). Al-Atsar juga berarti sunnah, hadis, jejak,
bekas, pengaruh, dan kesan. Jadi kata al-ma’tsur, al-naql/al-manqul/, dan al-riwayah
pada hakiakatnya mengacu pada makna yng sama yaitu mengikuti atau mengalihkan
sesuatu yang ssudah ada dari orang lain atau masa lalu sehingga tinggal mewarisi dan
meneruskan apa adanya.1

Sejalan dengan pengertian harfiah kata al-ma’tsur dan lain-lain diatas, ialah


penafsiran al-Quran yang dilakukan dengan cara menafsirkan Al-Quran dengan Al-
Quran, menafsirkan ayat Al-Quran dengan al-Sunnah al-nabaiyyah dan/ atau
menafsirkan ayat Al-Quran dengan kalam (pendapat) sahabat, bahkan tabi’in menurut
sebgian ulama. Menurut Ali al-Shabuni, memformulasikan tafsir bi al-riwayah ialah
tafsir yang terdapat dalam Al-Quran atau al-Sunnah atau pendapat sahabat, dalam
rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah SWT. Tentang penafsiran Al-Quran
berdasar al-Sunnah al-Nabawiyah.2

Dari definisi diatas bisa dikemukakan bahwa tafsir bi al-riwayah dapat


dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu:

a) Tafsir Al-Quran dengan AlQuran

Dalam hal ini ada beberapa bentuk dalam menafsirkan ayat dengan ayat, yaitu
menafsirkan ayat yang satu dengan ayat yang lain dalam surat yang sama, dan
menafsirkan ayat yang satu dengan ayat yang lain dalam surat yang berbeda. Contohnya
penafsiran pada Surat Al-Fatihah.
َ ْ َ ْ ُ ‫الص َرامْل‬
)6(‫ست ِقيم‬
ّ ‫ِا ْهد َن َا‬
ِ ِ
1
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 332.
2
Ali Al-Shabuni, dalam Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 332.

vi
)7( ِ ْ‫ص َرطَ الَّ ِذ ْينَ اَ ْن َع ْمتَ َعلَ ْي ِه ْم َغي ِْر ْال َم ْغضُو‬
َ‫ب َعلَ ْي ِه ْم َوالَ الضَّا لِّ ْين‬ ِ

Artinya: Tunjukkanlah kami jalan yang lurus (6) Yaitu jalan orang-orang yang telah
engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan
bukan (pula jalan) mereka yang sesat (7). (QS. Al Fatihah: 6-7).
Dalam Surat Al-Fatihah ayat 6 yang maknanya kurang jelas, sehingga ayat
selanjutnya (ayat 7) menafsirkan ayat 6 itu.
b) Tafsir Al-Quran dengan al-Sunnah al-Nabawiyyah
Yang dimaksud dengan tafsir al-Sunnah Nabawiyyah ialah menafsirkan Al-
Quran dengan hadis Nabi Muhammad Saw. 3Diantara contohnya ialah Nabi saw.
ِ ‫ ۡٱل َم ۡغضُو‬dan َ‫ ٱلضَّٓالِّين‬masing-masing dengan orang Yahudi dan orang-
Menafsirkan kata ‫ب‬
orang Nasrani dalam firman Allah :
( َ‫ٓالِّين‬ll‫ٱلض‬
َّ ِ ‫ص ٰ َرطَ ٱلَّ ِذينَ َأ ۡن َعمۡ تَ َعلَ ۡي ِهمۡ غ َۡي ِر ۡٱل َم ۡغضُو‬
‫ب َعلَ ۡي ِهمۡ َواَل‬ ِ )٦( ‫ص ٰ َرطَ ۡٱل ُم ۡستَقِي َم‬ ۡ
ِّ ‫ٱه ِدنَا ٱل‬
٧
Artinya: Tunjukilah kami jalan yang lurus (6) (yaitu) Jalan orang-orang yang telah
Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan
(pula jalan) mereka yang sesat (7) (QS. Al-Fatihah 6-7)
c) Tafsir Al-Quran dengan Pendapat Sahabat
Tafsir Al-Quran dengan pendapat sahabat , oleh sebagian ulama’ digolongkan ke
dalam kelompok tafsir bi al-riwayah. Al Hakim misalnya dalam bukunya al-Mustadrak,
mengatakan bahwa tafsir sahabat yang menyasikan proses turunnya wahyu Al-Quran
layak di posisikan sebagai hadis marfu’ maksudnya disetarakan dengan haadis nabi.
Namun demikian, ada pula ulama yang membatasi bahwa tafsir sahabat itu bias
digolongkan ke dalam kelompok tafsir bi al-riwayah manakala yang diambil dari
mereka adalah hal-hal yang berkenaan dengan ilmu-ilmu sima’I semisal asbabun nuzul
dan kisah yang tidak ada kaitnnya dengan ijtihad. Jadi pada hakikatnya pendapat
sahabat masuk ke dalam kategori Tafsir al-riwayah.4
Berbeda dengan pendapat sahabat yang ditempatkan ke dalam tafsir bi al-
riwayah, pengelompokan tafsir dengan pendapat tabi’in ke dalam tafsir bi al-riwayah
3
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 342.
4
Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm.41.

vii
banyak digugat para ahli tafsir. Salah satunya penolakan dari al-Zarqani untuk tidak
memasukkan pendapat tabi’in ke tafsir al-ma;tsur adalah didorong keinginannya untuk
menyelamatkan tafsir al-ma’tsur dari pemikiran-pemikiran israilliyyat yang dapat
menyesatkan umat karena isinya lebih banyak dongeng, kufarat, khayal, dan sebagainya
dari pada kebenaran.5

B. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Tafsir bi al-Dirayah/ bi al-Ra’yi


Kata dirayah berakar pada kata dara-yadri-daryan-wadiryatan yang artinya
mengerti, mengetahui, dan memahami. Kata dirayah merupakan sinonim dari ra’yun
yang berarti melihat, mengerti, menyangka, mengira atau menduga. Kata al ra’yi secara
etimologis berarti keyakinan, qiyas dan Ijtihad. Jadi, tafsir bi al ra’yi adalah penafsiran
yang dilakukan dengan cara Ijtihad. Yakni rasio yang dijadikan titik tolak penafsiran
setelah mufasir terlebih dahulu memahami bahasa Arab dan aspek-aspek dilalah
(pembuktian) dan mufassir juga menggunakan syair-syair arab jahili sebagai
pendukung, di samping memperhatikan asbab al-nuzul, nasikh dan mansukh, qira’at dan
lain-lain. Adapu al-ra’yu secara semantik berarti keyakinan, pengaturan dan akal. Al-
ra’yi juga identik dengan ijtihad. Berdasarkan pengertian semantik tersebut, para pakar
ilmu tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra’yi adalah
menyingkap isi kandungan al-Qur’an dengan ijtihad yang dilakukan oleh akal. Corak ini
dinamakan juga dengan al-Tafsir bi al-Ijtihadi, yaitu penafsiran yang menggunakan
ijtihad. Karena penafsiran seperti ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir.
Perbedaan-perbedaan antara satu mufassir dengan mufassir lain lebih mungkin terjadi,
dibandingkan al- Tafsir bi al-ma’tsur.
Sedangkan yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra’yi ialah penafsiran Al-Quran
yang dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa
Arab dari berbagai aspeknya serta mengenali lafal-lafal bahasa Arab dan segi-segi
arfumentasinya yang dibantu dengan menggunakan syair-syair jahili serta
mempertimbangkan asbabun nuzul dan lain lain sarana yang dibutuhkan mufassir.6

5
 Nashruddin Baidan, Rekontruksi Ilmu Tafsir (Surakarta: STAIN Press, 1999), hlm.40
6
Muhammad Amin Suma, Ulumul Quran (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 351.

viii
Diantara sahabat yang termasuk kelompok mufassir bi ra’yi adalah : Abu Bakar
Shiddiq, Umar ibn Al khattab, Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib dan Abdullah ibn
Mas’ud. Secara formal corak ini telah melembaga sebagai madrasah al tafsir bi ar ra’y
masa itu yang ditangani langsung oleh Abdullah ibn Abbas. Di antara penyebab
kemunculan corak tafsir bi al-ra’y adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang
diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna
metode penafsiran dan pakar-pakar di bidangnnya masing-masing. Pada akhirnya, karya
tafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang
dikuasainya. Itulah salah satu faktor yang membuat tafsir dalam bentuk al-ra’y dengan
metode analitis, dapat melahirkan corak penafsiran yang beragam, seperti fikh, falsafi,
sufi.
Tafsir bi al-Dirayah/ bi al-Ra’yi dibedakan menjadi dua bentuk yaitu:
1) Ar-Ra’yu al-Mahmudah
Ar-Ra’yu al-Mahmudah (penafsiran dengan akal yang diperbolehkan) dengan
beberapa syarat diantaranya:
 Sesuai dengan tujuan al-Syar’i (Allah Swt.)
 Jauh atau terhindar dari kesalahan dan kesesatan
    Dibangun atas dasar kaidah-kaidah kebahasaan (bahasa Arab) yang tepat dengan
mempraktikkan gaya bahasa (usulubnya) dan memahami nash-nash Al-Quran
 Tidak mengabaikan (memperhatikan) kaidah-kaidah penafsiran yang sangat penting
seperti memperhatikan asbabun nuxul, munasabah dan lain lain sarana yang
dibutuhkan mufassir
Contoh Tafsir Ar-Ra’yu Mahmudah:
َ َ َ َۡ ۡ ََۡ َ َ َ َ َ َۡ ۡ ََۡ ََ
)٨(  ‫ال ذ َّر ٖة ش ّٗرا َي َر ُ ۥه‬‫ومن يعمل ِمثق‬  )٧ ( ‫ال ذ َّر ٍة خ ۡي ٗرا َي َر ُهۥ‬‫فمن يعمل ِمثق‬
Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia
akan melihat (balasan)nya (7) Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar
dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula (8) (QS.Az-Zalzalah:7-8)
Contoh tafsir mahmud ialah penafsiran kata Dzarrah dalam surat al-Zalzalah:7-
8, dengan benda terkecil, misalnya atom, newton dan energi yang ulama’-ulama’ klasik
ditafsirkan dengan biji sawi, biji gandum, dll. 

ix
2) Tafsir Madzmum ( Tafsir yang tercela)
Ciri-ciri penafsiran ini adalah sebagai berikut:
 Mufassirnya tidak mempunyai keilmuan yang memadai (bodoh)
 Tidak didasarkan pada kaidah-kaidah keilmuan
 Menafsirkan Al-Quran dengan semata-mata mengandalkan kecenderungan hawa
nafsu
 Mengabaikan aturan aturan bahasa Arab dan aturan syariah yang menyebabkan
penafsirannya menjadi rusak, sesat dan menyesatkan
Contoh penafsiran Tafsir Madzmum ( Tafsir yang tercela):
Ada oknum juru kampanye (jurkam) yang menerjemahkan kata syajarah dengan
pohon beringin, dengan maksud mendiskriditkan Partai Golongan Karya supaya tidak
dipilih.
ٰ ۡ ‫َوقُ ۡلنَا ٰيَٓـَٔا َد ُم‬
ُ ‫ٱس ُك ۡن َأنتَ َو َز ۡوجُكَ ۡٱل َجنَّةَ َو ُكاَل ِم ۡنهَا َر َغدًا َح ۡي‬
 )٣٥( َ‫ث ِش ۡئتُ َما َواَل ت َۡق َربَا ٰهَ ِذ ِه ٱل َّش َج َرةَ فَتَ ُكونَا ِمنَ ٱلظَّلِ ِمين‬
Artinya: Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini,
dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana saja yang kamu
sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-
orang yang zalim (QS. Al-Baqarah:35)
Kata syajarah pada surat al-Baqarah ayat 35 diatas sama sekali tidak ada
hubungannya dengan pohon beringin karena yang dimaksudkan dengan pohon disini
adalah pohan yang oleh para ulam’ tafsir disebut-sebut dengan pohon khuldi yang
Adam a.s dilarang mendekatinya dialam surga sebelum Adam dan Istrinya diusir ke
muka bumi. Sedangkan pohon beringin pada Partai Golkar dipahami dengan
pengayoman dan keteduhan.
C. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Tafsir Bi Al-Isyarah
Kata al-isyarah adalah sinonim (muradif) dengan kata al-dalil yang berarti tanda,
petunjuk, indikasi, isyarat, signal, perintah, panggilan, nasihat, dan saran. Sedang yang
dimaksud dengan tafsir bi al-isyarah atau tafsir al-isyari adalah menakwilkan Al-Quran
dengan mengesampingkan (makna) lahiriahnya karena ada isyarat (indikator)
tersembunyi yang hanya bisa disimak oleh orang-orang yang memiliki ilmu suluk dan

x
tasawwuf. Tetapi besar kemungkinan pula memadukan antara makna isyarat yang
bersifat rahasia itu dengan makna lahir sekaligus.7
Menurut al-Jahizh bahwa ’isyarat dan lafal adalah dua hal yang saling
bergandeng, isyarat banyak menolong lafal (dalam memahminya),dan tafsiran
(terjemahan) lafal yang bagus bila mengindahkan isyratnya, banyak isyarat yang
menggantikan lafal, dan tidak perlu untuk dituliskan.
Menurut Imam al-Zarqani tafsir isyarah ialah : “Sebuah upaya pentakwilan al-
Qur’an berbeda dengan zhahirnya tentang isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya
tampak bagi ahli suluk dan ahli tasawuf serta memungkinkan adanya penggabungan
antara makna yang tersembunyi dan makna yang tampak (zhahir).”
Menurut Imam ‘Ali al-Shabuni iysarah ialah : “Mentakwilkan al-Qur’an berbeda
dengan zhahirnya tentang isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya tampak bagi orang
yang memiliki ilmu laduni atau orang-orang yang arif billah seperti para ahli suluk dan
bermujahadah dengan menundukkan nafsunya sehingga mereka memperoleh cahaya
Allah yang menyinari serta menembus rahasia al-Qur’an al-‘Adzim. Atau mereka yang
telah digoresi pikirannya dengan sebagian makna yang dalam melalui ilham ilahi atu
futuh rabbani yang memungkinkan baginya untuk memadukan dengan yang zhahir,
yakni makna ayat-ayat yang dimaksud.
Tafsir Isyari menurut Imam Ghazali adalah usaha mentakwilkan ayat-ayat
Alquran bukan dengan makna zahirnya malainkan dengan suara hati nurani, setelah
sebelumnya menafsirkan makna zahir dari ayat yang dimaksud.
Ibnu Abbas berkata: Sesungguhnya Al Qur’an itu mengandung banyak ancaman
dan janji, meliputi yang lahir dan bathin. Tidak pernah terkuras keajaibannya, dan tak
terjangkau puncaknya. Barangsiapa yang memasukinya dengan hati-hati akan selamat.
Namun barangsiapa yang memasukinya dengan ceroboh, akan jatuh dan tersesat. Ia
memuat beberapa khabar dan perumpamaan, tentang halal dan haram, nasikh dan
mansukh, muhkam dan mutasyabih, zhahir dan batin. Zhahirnya adalah bacaan, sedang
bathinnya adalah takwil. Tanyakan ia pada ulama, jangan bertanya kepada orang bodoh.
Tafsir bi al-isyarah umum juga disebut juga dengan tafsir al-shufiyah dan tafsir
al-batiniyyah. Namun demikian, terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama-

7
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an, (jakarta : rajawali pers, 2013), hlm.370.

xi
ulama tafsir tentang penyamaan tafsir al-isyari dengan tafsir al-bathini. Sebagian
berpendapat bahwa tafsir bi al-isyarah pada dasarnya identik benar dengan tafsir al-
bathini yang keduanya lebih mengutamakan makna-makna Al-Qur’an yang tersirat dari
pada makna-makna yang tersurat.
Sebagian ulama lain tidak sepakat untuk menyamakan tafsir al-isyari/al-tashawwufi
dengan tafsir al-bathini. Alasannya, karena yang pertama ( tafsir al-shufiyah ), sama
sekali tidak menolak kehadiran makna lahir Al-Qur’an. Malahan sebaliknya mereka
memperdalam makna makna lahir Al-Qur’an itu demikian rupa seraya mereka
berargumentasi bahwa satu hal penting yang mau tidak mau harus diperhitungkan ialah
bahwa orang yang mengkelaim dirinya dapat memahami rahasia Al-Qur’an tanpa
menghiraukan makna lahir Al-Qur’an, berarti sama dengan orang yang mengaku telah
masuk ke ruangan sebuah rumah (gedung) sebelum membuka pintu lebih dahulu.
Adapun para penganut aliran tafsir al-batiniyyah pada umumnya menolak makna lahir
Al-Quran. Alasannya, menurut mereka, pada dasarnya makna lahir Al-Quran itu
bukanlah makna yang dikenhendaki oleh Al-Quran itu sendiri, sebab yang dikehendaki
adalah di luar makna lahir dan karenanya harus beralih kepada makna bathin.8
Berdasarkan isi dan substansinya tafsir bi al-‘isyari dapat dibedakan menjadi dua
macam: tafsir bi al-‘isyari al-maqbul dan tafsir bi al-‘isyari al-mardud. Dikatakan
sebagai tafsir bi al-‘isyari al-maqbul atau al-masyru’ bila memiliki lima syarat yaitu:
1. Tidak menafikan makna lahir dan makna-makna yang terkandung dalam redaksi
ayat al-Qur’an.
2. Mufassirnya tidak mengklaim bahwa satu-satunya penafsiran yang benar tanpa
mempertimbangkan makna tersurat.
3. Tidak menggunakan takwil yang jauh menyimpang lagi lemah penakwilanya.
4. Tidak bertentangan dengan dalil syari’at dan argumentasi aqli.
5. Serta adanya pendukung dalil-dalil syari’at yang memperkuat penafsirannya.
Sebaliknya, dikatakan tafsir al-‘isyari al-mardud bila gaya penafsirannya menyalahi
salah satu dari syarat-syarat penerimaan tafsir al-‘isyari di atas.9 Ada beberapa contoh
kitab tafsir yang menggunakan penafsiran bi al-‘isyari, antara lain :

8
Ibid, hlm.372.
9
Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2011), hlm. 89.

xii
 Garaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan karya an-Naisaburi (w. 728 H/1328 M).
 Ara’is al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an susunan Muhammad asy-Syairazi.
 Tafsir wa Isyarat al-Qur’an karya Muhyi al-Din Ibnu ‘Arabi (w. 560-638
H/1165-1240 M)

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

xiii
Tafsir bi al-Riwayah ialah penafsiran al-Quran yang dilakukan dengan cara
menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, menafsirkan ayat Al-Quran dengan al-Sunnah
al-nabaiyyah dan/ atau menafsirkan ayat Al-Quran dengan kalam (pendapat) sahabat,
bahkan tabi’in menurut sebgian ulama. Dalam Tafsiran ini terbagi menjadi tiga yaitu
nenafsirkan ayat Al-Quran dengan Al-Quran, dan apabila tidak menjumpai dalam Al-
Quran maka dapat dengan al-Sunnah dan pendapat Sahabat. 
Tafsir bi al-Ra’yi ialah tafsir yang dilakuka mufassir dengan menggunakn akal
pikiran (pemikiran). Dalam tafsir ini terdapat dua kategori yaitu tafsir yang terpuji
(mahmud) dan tafsir yang tercela (madzmum). Tafsir yang terpuji itu apabila memiliki
ciri-ciri yang tidak bertentangan dengan tujuan Syari, Dibangun atas dasar-dasar kaidah
bahasa Arab, dan memperhatikan asb nuzul, munasabah, dll atau sarana yang
dibutuhkan oleh mufassir. Sedangkan Tafsir bi ak-Ra’y yang tercela (madzmum),
apabila mufassirnya tidak mempunyai keilmuan yang memadai, dan tidak didasarkan
pada kaidah-kaidah keilmuan, dan lebih mementingkan hawa nafsu.
Tafsir al-isyari adalah menakwilkan Al-Quran dengan mengesampingkan
(makna) lahiriahnya karena ada isyarat (indikator) tersembunyi yang hanya bisa disimak
oleh orang-orang yang memiliki ilmu suluk dan tasawwuf. Tetapi besar kemungkinan
pula memadukan antara makna isyarat yang bersifat rahasia itu dengan makna ahir
sekaligus. Tafsir bi al-‘isyari dapat dibedakan menjadi dua macam: tafsir bi al-‘isyari al-
maqbul dan tafsir bi al-‘isyari al-mardud.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, kami selaku penulis tentunya menyadari jika
makalah diatas masih terdapat banyak kesalahan dan masih jauh dari kata sempurna.
Untuk kedepannya kami akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada
kritik dan saran dari para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

xiv
Amin Suma, Muhammad. 2014. Ulumul Quran. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.

Ali Ash-Shabuniy, Muhammad. At-Tibyan fi Ulum al-Qur’an. (Cet. I; Alim al-


Kutub: Makkah al-Mukarramah, 1985). Di Akses
dari http://www.salafyoon.net/ Diakses pada 23 September2017

Baidan, Nashruddin. 1999. Rekontruksi Ilmu Tafsir. Surakarta: STAIN Press.

Baidan, Nashruddin. 2002. Metode Penafsiran Al-Quran.Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Izzan Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung: Tafakur, 2011.

Suma Muhammad Amin, Ulumul Qur’an, (jakarta : rajawali pers, 2013.

xv

Anda mungkin juga menyukai