Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

AL-QAWAID USHULIYAH
Disusun untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Hamdi Pranata, M.Ud

Oleh Kelompok 13:


1. Heldamayu Inrona Putri (12130121325)
2. Tiara Aryun Firanti (12130124101)
3. Nafiza Ullaini (12130122024)

KELAS A

JURUSAN AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr . Wb.
Puji syukur krhadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, serta
hidayahnya kepada kita, sehingga kami bisa menyelesaikan pembuatan makalah yang
berjudul “AL-QAWAID USHULIYAH” tepat pada waktunya.
Pembuatan makalah ini merupakan tugas kelompok, yang mana pembuatan makalah
ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul Fiqih dan bertujuan untuk menambah
wawasan pengetahuan mengenai al-qawaid al-ushuliyah.
Kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak, khususnya kepada Bapak Hamdi
Pranata, M.Ud selaku dosen pembimbing yang telah mengarahkan kepada kami untuk
membuat makalah ini, yang bertujuan untuk menambah daya kreativitas mahasiswa serta
untuk mengajarkan kepada mahasiwa untuk lebih berfikir dan belajar dengan sungguh-
sungguh.
Selanjutnya, kami memohon maaf yang sebesar-besarnya, karena didalam penulisan
makalah ini masih banyak terdapat kesalahan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan
keritik dan saran dari pembaca maupun pendengar. Atas keritikan dan sarannya kami
ucapkan terima kasih.

Pekanbaru, 14 September 2021


Penulis
....................
Kelompok 13

i
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................1
C. Tujuan Penelitian...........................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Qawaid Ushuliyyah................................................2
B. Macam-Macam Al-Qawaid Ushuliyyah........................................2
C. Obyek Kajian Al-Qawaid Al-Ushuliyyah......................................4
D. Metode-Metode Al-Qawaid Al-Ushuliyyah..................................5
E. Perbedaan Al-Qawaid Al-Ushuliyyah dengan
Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah...............................................................7
F. Urgensi Al-Qawaid Al-Ushuliyyah................................................8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan....................................................................................9
B. Kritik/Saran....................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-qawaid (kaidah ushuliyah) adalah kaidah yang berkaitan dengan bahasa.


Kaidah ushulliyah ini juga merupakan kaidah yang sangat penting , karena kaidah
ushuliyah merupakan media/ alat untuk menggali kandungan makna dan hukum yang
tertuang dalam nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga dengan kaidah ushuliyah ini,
merupakan modal utama dalam memperoduk fiqih. Tanpa kaidah ushuliyah,
pengamalan hukum islam cenderung belum punya semuanya.

Karena pentingnya hal tersebut, sehingga merupakan suatu kebutuhan bagi kita
semua khususnya mahasiswa yang akan meneruskan perjuangan pendahulu-pendahulu
kita dalam membela dan menegakkan islam untuk mempelajari hal ini. Karena banyak
dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa itu al-
qawaid al-ushuliyah.Oleh karena itu penting bagi seorang mujtahid maupun calon
mujtahid untuk menggali sebuah hukum dengan mempelajari al-qawaid al-ushuliyah
ini.

B.Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Al-Qawaid Al-Ushulliyah?


2. Apa sajakah macam-macam Al-Qawaid Al-Ushuliyah itu?
3. Apa perbedaan Al-Qawaid Ushuliyah dengan Al-Qawaid Fiqhiyyah?

C.Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui apa pengertian kaidah ushuliyah


2. Untuk mengetahui macam-macam Al-Qawaid Ushuliyyah
3. Untuk mengetahui perbedaan Al-Qawaid Ushuliyyah dengan Al-Qawaid
Fiqhiyyah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Al-Qawaid Al-Ushuliyah


Al qawa'id al ushuliyyah berasal dari bahasa Arab yang merupakan kombinasi
dari kata al-qawa'id dan al ushuliyyah. Al qawa'id adalah bentuk jamak dari kata
qa'idah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenali dengan kata "kaidah" yang secara
etimologi memiliki arti dasar, azas, atau fondasi. Sedangkan Al-ushuliyyah berasal dari
kata al-ashl, jamaknya al-ushul yang ditambah dengan ya' nisbah (ya' yang berperan
untuk membangsakan atau menerangkan).

Secara terminologis banyak pengertian Qowa'id atau aturan dari beberapa pakar
ushul salah satunya:

‫ حكم كلي ينطبق علي جميع جزئياته‬:‫القواعد‬

Hasbi ash Shidqi mencuplik arti dari aturan yang disampaikan oleh Prof.
Mustafa sebagai Zarqa dalam bukunya al Fiqh Fi Tsaubhil Jadid:

‫ حكم اغلب ي ينطبق علي معظم جزئياته‬:‫القاعدة‬

Dengan begitu makna dari “Kaidah Ushulyyah” adalah hukum kulli yang bisa
dijadikan dasar hukum untuk juz’i yang diambil dari landasan kulli yakni Al-Qur’an
dan as-Sunnah. Oleh sebab itu aturan Ushuliyyah dapat disebutkan istinbathiyyah atau
aturan lughawiyyah. Pemakaian aturan ushuliyyah cuma dipakai sebagai langkah untuk
mendapatkan bukti hukum dan hasil hukum. Misalkan penentuan hukum amr, nahi dan
lain-lain serta penerimaan atau penggalian dalil dhanniyyah seperti qiyas, istishab,
istishan dan sebagainya.

B. Macam-Macam Al-Qawaid Al-Ushuliyah


a. Amr dan Nahi
Amar adalah tuntutan melakukan pekerjaan dari orang yang derajatnya lebih
tinggi kepada orang yang derajatnya lebih rendah. Nahi adalah tuntutan untuk
meninggalkan perbuatan dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada yang rendah.

b. ‘Am (umum) dan Khas (khusus)


‘Am adalah lafal yang menujukan pengertian umum yang mencakup satuan-
satuan ( afrad) yang ada dalam lafal itu tanpa pembatasan jumlah tertentu. Menurut
jumhur ulama, ‘am dibangun dari khas. Oleh karena itu khas lebih kuat dari ‘am. Maka

2
‘am dapat digugurkan ketika ditemukan khas. Sedangka khas tidak dapat digugurkan
dengan adanya ‘am.

c. Muntlaq dan Muqoyyad


Mutlaq adalah suatu lafadz tertentu yang tidak terikat oleh batasan lafadz yang
mengurangi keumumannya. Muqayyad adalah lafadz tetentu yang dibataasi oleh batasan
lafadz lain yang mengurangi keumumannya.

d. Mantuq (yang tersurat) dan Mafhum (yang tersirat)


Mantuq adalah lafal yang kandungan hukumnya tersurat di dalam apa yang
diucakan. Mafhum adalah lafal yang kandungan hukumnya ada dibalik arti mantuq.
Mafhum terbagi menjadi dua :
1. Mafhum Muwafaqoh
Mafhum muwafaqoh yaitu menetapkan hukum dari maknanya yang
sejalan atau sepadan dengan makna yang tersurat. Contoh: Khomar itu haram
maka semua yang memabukan hukumnya haram. Mafhum Muwafaqoh terbagi 2 :
Pertama: Fahwal Khitab yaitu apabila yang tersirat lebih utama dari yang tersurat.
Contoh: Jangan mendekati zina. (Mafhum muwafaqoh fahwal khitab nya adalah
mendekati zina saja diharamkan, apalagi melakukannya). Kedua: Lahnul Khitab,
yaitu apabila yang tidak diucapkan (tersirat) sama hukumnya dengan yang
diucapkan (tersurat). Contoh: memakan harta anak yatim haram. (Mafhum
muwafaqoh lahnul khitab nya contoh dengan membakar, atau merusaknya maka
juga haram).
2. Mafhum Mukhalafah
Mafhum mukhalafah adalah menetapkan hukum kebalikan dari hukum
mantuqnya. Mafhum Mukhalafah terbagi tiga: Pertama: Mafhum dengan sifat.
Contoh: hadits zakat kambing, maka mafhum mukhalafahnya adalah binatang
yang dikandangin, diberi makan tidak wajib zakat. Kedua: Mafhum dengan
ghoyah. Contoh: 2:187. Mafhum Mukhalafahnya apabila fajar datang, maka
hentikan makan dan minum, atinya puasa dimuali. Ketiga: Mafhum dengan
syarat. Contoh: 65:6. Mafhum mukhalafahnya dalah jika istri yang ditalak tidak
hamil, maka mantan suami tidak harus memberi nafkah.

e. Mujmal dan Mubayyan


Mujmal adalah lafal yang mencakup kemungkinan segala keadaan dan hukum
yang terkandung di dalam lafal tersebut. Ia bersifat global dan menyeluruh sehinga
membingungkan dan tidak dapat diketahui secara jelas maksudnya tanpa adanya
mubayyan (penjelas).
Abdul Wahab Khalaf mendefinisikan Mujmal adalah lafadz yang sighotnya
tidak menunjukan apa yang dimaksud (tidak jelas). Dan Mubayyan adalah lafadz yang
sighotnya jelas menunjukan apa yang dimaksud.

3
f. Muradif (sinonim) dan Musytarak (homonim)
Murodif adalah dua kata atau lebih, satu arti. Contohnya : Qur’an adalah
mukjizat, baik dari sudut lafazd maupun maknanya , karena itu tidak diperbolehkan
mengubahnya. Bagi Mālikiah menyatakan bahwa takbir shalat tidak diperbolehkan
kecuali “Allahu Akbar”, sedang Imam Syāfi’i hanya memperbolehkan “Allahu Akbar”
atau “Allahul Akbar” sedangkan Abu Hanifah memperbolekan semua lafaz yang
semisal dengannya, “ Allahul A’dham” “Allahul Ajal” dsb.
Lafadz musytarak adalah satu lafadz yang mempunyai dua arti atau lebih dengan
kegunaan yang banyak yang dapat menunjukkan artinya secara gantian. Artinya lafadz
itu bisa menunjukkan arti ini dan itu. Seperti lafadz a’in , menurut bahasa bisa berarti
mata, sumber mata air, dan mata-mata.

g. Zahir dan Takwil


Zahir adalah lafal yang menunjukan arti secara langsung dari nas itu sendiri,
tanpa memerlukan qarinah (penyerta) lain yang dating dari luar untuk memahami
maksudnmya. Oleh karenanya lafad zahir tidak memungkinkan adanya takhshis, takwil,
dan naskh.
Takwil adalah memalingkan arti zahir kepada makna lain yang memungkinkan
berdasarkan dalil / bukti.

h. Nasakh dalam Nas


Naskh adalah membatalkan pelaksanaan hukum dengan hukum yang datang
kemudian.

C. Obyek Kajian Al-Qawaid Al-Ushuliyyah


Fiqh dan Ushul Fiqh adalah dua ilmu yang memiliki jalinan sangat erat.
Keterikatan itu terlebih jika dilihat dari posisinya satu sama lain. Ushul fiqh adalah asl
(pokok), sedangkan fiqh berposisi sebagai far' (cabang). Oleh karena itu, ulama ushul
pastilah orang yang faqih, dan demikian juga kebalikannya. Bila tidak begitu, tidak
mungkin rasanya seorang mujtahid sanggup mengeruk hukum dari suatu dalil kalau dia
tidak menguasai fiqh.
Di lain sisi, fiqh dan ushul fiqh adalah dua ilmu yang berbeda dan mandiri.
Masing-masing berdiri sendiri dan mempunyai obyek kajian, dasar pijakan, dan tujuan
mempelajarinya. Karena itu, sebagai suatu hal yang rasional kalau qawa'id kedua ilmu
itu berbeda. Obyek ushul fiqh adalah dalil-dalil fiqh yang memiliki sifat global, hukum-
hukum (fiqh), dan yang terkait langsung dengannya. Dengan begitu, kaidah ushuliyyah
dipakai sebagai jalan untuk mendapatkan dalil hukum dan hasil hukumnya. Sedang
obyek ilmu fiqh adalah tindakan-tindakan orang mukallaf dan tiap tindakan yang terkait
dengan hukum syara' praktis. Berdasar pada hal tersebut, al qawa'id al ushuliyyah
(kaidah-kaidah ushul fiqh) berbeda dengan al qawa'id al fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh).

4
D. Metode-Metode Al-Qawaid Al-Ushuliyyah
Adapun metode-metode Al-Qawa'id Al Ushuliyyah adalah sebagai berikut.

A. Mutakallimin

Metode mutakallimin adalah metode yang dilaksanakan oleh para ulama ushul
fiqh dari sekte mutakallimin yang karakter al-Syafi'i, Malik bin Anas, Ahmad bin
Hambal dan para penganut madzhab nya. Ciri-ciri utamanya lebih fokus pada
pengkajian hukum atas ayat-ayat Alquran dan Sunnah, sebagai implementasi dari ide
dasar jika yang syar'i hanyalah Allah dan Rasul-Nya. Metode itu dilaksanakan dengan
skema berpikir deduktif. Mereka mengeruk arti logis dari nash atau asumsi berdasarkan
logika logis dan nash. Selanjutnya dari arti proposisi diambil kaidah yang rasional dan
umum berdasar pada penalaran logis. Oleh sebab itu dalam melahirkan kaidah dalil
ushuliyyah dalam nalar (manthiq) dipandang sebagai bagian dasar dari ilmu ushul fiqh
seperti; pengetahuan, logika (nadhar) dan dilalah lafal mengenai arti, pengertian istilah
dan demonstrasi (burhan).
Misalkan dalam Al-quran ada nash yang lafalnya bershigat amar (perintah)
seperti perintah untuk melakukan shalat. Selanjutnya sebuah pertanyaan muncul; "Apa
hukum melaksanakan shalat?". Haruskah itu dikerjakan (wajib), atau dianjurkan
(sunnah)? Untuk menjawab itu, maka ulama harus sanggup memastikan hukum yang
terkandung di dalam perintah shalat yang kalimatnya bershigat amar. Metode deduktif
secara simpel bisa diterangkan sebagai berikut ini:
• Pernyataan I: Shalat diperintahkan oleh Allah SWT kepada manusia
• Pernyataan II: Allah memandang sholat sebagai suatu hal yang begitu penting sebab
merupakan rukun agama, salah satu dari lima bangunan Islam, sebagai amal pertama
yang dihitung, dan lain lain.
• Pernyataan III: Hamba akan dihina bila tidak mengikuti perintah-Nya, dan itu
dipandang seperti ketidaktaatan. Sama seperti yang difirmankan Allah SWT dalam
Surah An-Nur ayat 63.

‫فتنه تصيبهم فليحذر الذين يخالفون عن امره ان‬

• Pernyataan IV: Suatu tindakan akan disiksa jika dia hilang, d mendapatkan pahala jika
dilaksanakan adalah wajib dalamfikih atau hukum taklif.
• Pernyataan V: Dengan begitu bisa disimpulkan jika shalat yang syah itu wajib.
• Pernyataan VI: Terdapatnya doa karena ada ayat-ayat yang shigat amr. Selama sebuah
lafal dapat dimengerti sesungguhnya, jadi tidak perlu diarahkan ke arti majazi.

Apabila hukum sholat itu wajib dan terdapatnya shalat sebab adanya nash
dengan lafal bershigat amr, maka bisa diambil kesimpulan jika asal-muasal perintah
(amr) ialah memperlihatkan kewajiban. Dari penguraian pernyataan di atas bisa dibuat
suatu aturan:

5
‫األصل في األمر للوجوب‬

Sesudah peraturan diatas maka para ulama memutuskannya sebagai ijma’.


Ketentuan ini mungkin berlaku pada umumnya untuk kebanyakan furu’, namun sama
seperti yang kita kenali kalau salah satu kekurangan dalam metode deduktif ini tidak
memperhitungkan furu’, kadang tidak berlaku disejumlah furu’. Karena itu dalam
metode mutakallimin bermacam kaidah bahasa hukum yang lahir selanjutnya jadi dasar
usaha melahirkan bermacam kaida lain yang merupkan turunan dari kaidah itu hingga
bisa dipakai dalam bermacaam furu’. Turunan dapat benar-benar bergantung pada
bagaimana seorang mujtahid bisa mendalami nash dan kekuatan kecerdasannya.

B. Metode Ahnaf

Metode Ahnaf dipakai oleh aliran Hanafi yang dipelopori oleh Imam Abu
Hanifah. Dalam metode ini, aliran Hanafiyah memakai lajur istiqra' (induksi) pada
pendapat beberapa imam sebelumnya dan mengumpulkan makna-makna dan batasan
yang mereka pakai, selanjutnya menyimpulkannya. Mereka tidak memutuskan
ketentuan amaliyah sebagai cabang baru dari ketentuan itu, yakni hukum yang sudah
diputuskan oleh imam, tapi cuma memperkokoh. Salah satu contoh aturan ushuliyyah
yang diyakini oleh Hanafiyah adalah aturan mengenai amr dan perintah untuk meningga
yang sebaliknya didapat istiqra' (induktif) sebagai berikut ini:

• Pernyataan A I : Manusia diperintah untuk beriman,


• Pernyataan A II : Manusia dilarang untuk tidak percaya,
• Pernyataan A III : Iman kontradiksi dari tidak percaya,
• Pernyataan B I : Kejujuran diperintahkan,
• Pernyataan B II : Dilarang berbohong,
• Pernyataan B III : Kejujuran kontradiksi dari dusta.

Ringkasan dari pernyataan di atas, kalau tiap perintah untuk melaksanakan suatu hal
memiliki arti melarang yang kebalikannya. Selanjutnya lahirlah ketentuan:

‫ان األمر بالشيء نهى عن ضد‬

C. Metode Campuran / Metode Konvergensi

Metode pencampuran yang umum disebutkan dengan metode konvergensi atau


tariqat al jam'an adalah metode penyatuan di antara metode mutakallimin dan metode
hanafiyah, yakni dengan memerhatikan kaidah ushuliyyah dan menyampaikan dalil-
dalil mengenai kaidah itu. Perhatikan penerapannya pada permasalahan fiqh far'iyyah
dan kaitannya dengan aturan.

6
Metode konvergensi adalah metode yang dipakai oleh banyak ulama
kontemporer khususnya dalam memperdebatkan hukum di mana mereka memakai
kaidah ushul yangada dan mengambil ringkasan umum (induksi) dari bermacam furu'-
furu'. Salah satu contohnya ialah ketentuan yang dicetuskan oleh Imam al Khathabiy,
yakni:

‫األمر الثبت لمعلوم ال يترك باألمر المظلوم‬

"Perintah yang ditetapkan oleh sesuatu yang diketahui tidak bisa ditinggal dengan
perintah dzanni".

Kaidah ini memiliki sifat deduktif, didapat dengan menimbang kaidah kalau
dalam lafal yang final atau terang tak perlu mencari arti lain selama masih bisa
disimpulkan sesuai dengan teks. Adapun induksi didapat dari:
• Pernyataan I : Kepercayaan yg tdki bisa dikalahkan oleh kebimbangan,
• Pernyataan II: Lafal dhahir lebih kuat daripada lafal dzanni.

Dari ke-2 ketentuan di atas kelihatan jika suatu hal yang pasti lebih kuat
dibanding yang samar. Jadi kesimpulan dari ke-2 ketentuan di atas yakni bahwa
perintah berdasarkan suatu hal yang diketahui tidak bisa ditinggal dengan perintah yang
dzanni.

E. Perbedaan Al-Qawaid Al-Ushuliyyah dengan Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah


Perbedaan antara kaidah ushuliyah dan kaidah-kaidah fiqhiyah adalah :
1. Kaidah-kaidah ushuliyah adalah timbangan dan parameter untuk melaksanakan
istinbath al-ahkam secara betul. Dengan ushul fiqh digali hukum-hukum dari dalil-
dalilnya, seperti hukum dari kata perintah (al amr) ialah wajib, kalimat larangan
memperlihatkan haram.
2. Kaidah ushul fiqh mencakup semua sisi, sedang kaidah fiqih cuma memiliki sifat
aglabiyah (pada umumnya), hingga begitu banyak pengecualiannya.
3. Kaidah ushul fiqh adalah langkah untuk menggali hukum syara' yang praktis,
sedangkan kaidah fiqih ialah kelompok hukum-hukum yang sama yang kembali pada
satu hukum yang serupa.
4. Kaidah-kaidah ushuliyah muncul saat sebelum furu'. Sedangkan kaidah fiqih ada
sesudah furu'.

Kaidah-kaidah ushuliyah menerangkan persoalan-persoalan yang terdapat di


dalam bermacam jenis dalil yang detil yang memungkinkan dikeluarkannya hukum dari
dalil-dalil itu. Sedangkan kaidah fiqih menerangkan permasalahan fiqih yang terhimpun
di dalam kaidah tadi.

7
F. Urgensi Al-Qawaid Al-Ushuliyyah
Tujuan mempelajari qawa'id al ushuliyyah pada intinya sama dengan tujuan
mempelajari ushul fiqh. Tujuan itu adalah membuka jalan agar bisa mengetahui hukum-
hukum syariat dan mengetahui cara-cara istinbath serta istidlal hukum. Dengan begitu,
kaidah ushuliyyah mengulas mengenai kaidah-kaidah saat melakukan istinbath,
menggariskan jalan yang perlu dilakukan dalam menggali hukum dan menjelaskan
tahapan tahapan dalil serta kondisi yang mengikuti sebuah dalil. Kaidah ushuliyyah
sebagai gambaran umum yang umumnya meliputi metode istinbath dari sudut
pemaknaannya, baik dari kajian bahasa, skema atau tata bahasanya. Oleh sebab itu,
semua metode istinbath harus berdasar pada prinsip-prinsip yang sudah tercantum pada
kaidah yang sudah diputuskan dan disetujui bersama.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kaidah Ushuliyyah adalah hukum kulli yang bisa dijadikan dasar hukum untuk
juz’i yang diambil dari landasan kulli yakni Al-Qur’an dan as-Sunnah. Tujuan Al-
Qawaid Al-Ushuliyyah adalah membuka jalan agar bisa mengetahui hukum-hukum
syariat dan mengetahui cara-cara istinbath serta istidlal hukum. Kaidah ushuliyyah
sebagai gambaran umum yang umumnya meliputi metode istinbath dari sudut
pemaknaannya, baik dari kajian bahasa, skema atau tata bahasanya. Kaidah-kaidah
ushuliyah adalah timbangan dan parameter untuk melaksanakan istinbath al-ahkam
secara betul. Dengan ushul fiqh digali hukum-hukum dari dalil-dalilnya, seperti hukum
dari kata perintah (al amr) ialah wajib, kalimat larangan memperlihatkan haram.
Kaidah-kaidah ushuliyah muncul saat sebelum furu'.

B.Keritik/Saran
Bagi pendengar maupun pembaca, pembuatan makalah ini bertujuan untuk
menambah wawasan tentang pengertian al-qawaid al-ushuliyah dan macam-macam al-
qawaid al-ushuliyah. Namun, pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kesalahan,
baik didalam penulisan maupun pemjelasannya. Makalah ini juga tidak lengkap, oleh
karena itu, bagi pendengar maupun pembacanya diharapkan untuk mencari buku-buku
lain untuk dapat dipelajari. Karena makalah yang kami buat ini tidak lengkap
penjelasannya. Jadi, belum layak umtuk dijadikan buku panduan. Kami juga
mengharpkan keritikan dari dosen pengampu atau teman-teman lain mengenai makalah
yang kami buat. Atas keritikannya, kami ucapkan terima kasih.

9
DAFTAR PUSTAKA

Fadal, Muh Kurdi. 2008. Kaidah-kaidah fiqih. Jakarta Barat: Artha Rivera
Anwar, Syahrul. 2010. Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih.Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia
Djazuli. 2010. Kaidah-kaidah fiqih. Jakarta: Kencana
Khalaf. Abdul Wahab.2004. Ilmu Ushul Fiqih. Cairo: Al-Haramain
Sinaga, Ali Imron dan Nurhayati. 2018. Fiqh & Ushul Fiqh. Jakarta: Prenada Media
Hamzawi, M Adib. 2016. Qawa'id Ushuliyyyah & Qawa'id Fiqhiyyah (Melacak
Konstruksi Metodologi Istinbath al-Ahkam). Inovativ. 2(2), 97-99.

10

Anda mungkin juga menyukai