Anda di halaman 1dari 23

INTENSI BERWIRAUSAHA

( Dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah Kewirausahaan)


Dosen Pengampu : Helma Maraliza, S.E.I M.E.Sy

Disusun Oleh :
Kelompok 4 (Kelas F)

1. Jayana Rifaldi P.P (2121030219)

2. Roy Andre DA Costa Adsa (2121030207)

3. Yuki Syifa Amanda (2121030213)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG TAHUN AJARAN 1444 H / 2022 M
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T karena telah memberi kesempatan kepada saya
untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya saya dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul "Intensi Berwirausaha" pentingnya disusun
guna memenuhi tugas ibu Helma Maraliza S.E.I M.E.Sy saya berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan khususnya bagi saya dan umumnya bagi
para pembaca.
Saya mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada ibu Helma
Maraliza S.E.I M.E.Sy tugas yang telah diberikan ini dapat menambah
pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni saya, saya juga
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu proses
penyusunan makalah ini. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya terima
demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bandar Lampung, 17 oktober 2022

Kelompok 4
i
DAFTAR ISI

JUDUL

KATA PENGANTAR......................................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1

1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................2
1.3 Tujuan Masalah...........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................3

2.1 Intensi Berwirausaha...................................................................................................3

2.2 Daya Lenting.............................................................................................................11

2.3 Coping Stress.............................................................................................................14

BAB III PENUTUP........................................................................................................18

3.1 Kesimpulan…............................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kewirausahaan (entrepreneurship) adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang
dijadikan dasar, kiat, dan sumber daya untuk mencari peluang menujusukses.
Sesuatu yang baru dan berbeda adalah nilai tambah barang dan jasa yang menjadi
sumber keuanggulan untuk dijadikan peluang. Jadi, kewirausahaan merupakan
suatu kemampuan dalam menciptakan nilai tambah di pasar melalui proses
pengelolaan sumber daya dengan cara-cara baru dan berbeda.
Di Indonesia, kewirausahaan dipelajari baru terbatas pada beberapa sekolah atau
perguruan tinggi tertentu saja. Sejalan dengan perkembangan dan tantangan
seperti adanya krisis ekonomi, pemahaman kewirausahaan baik melalui
pendidikan formal maupun pelatihan-pelatihan di segala lapisan masyarakat
kewirausahaan menjadi berkembang.

Orang yang melakukan kegiatan kewirausahaan disebut wirausahawan. Muncul


pertanyaan mengapa seorang wirausahawan (entrepreneur) mempunyai cara
berpikir yang berbeda dari manusia pada umumnya. Mereka mempunyai motivasi,
panggilan jiwa, persepsi dan emosi yang sangat terkait dengan nilai nilai, sikap
dan perilaku sebagai manusia unggul. Pada makalah ini dijelaskan tentang
pengertian, hakekat, ciri-ciri dan karakteristik dan peran kewirausahaan dalam
perekonomian nasional.1

1
https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-kewirausahaan

1
1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan intensi berwirausaha ?

2. Apa yang dimaksud dengan daya lenting ?

3. Apa yang dimaksud dengan coping stress?

1.3 TUJUAN MASALAH

1. Untuk mengetahui pengertian intensi berwirausaha

2. Untuk mengetahui pengertian daya lenting

3. untuk mengetahi pengertian coping stress

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Intensi Berwirausaha


a. Pengertian Intensi Berwirausaha
Intensi berwirausaha adalah keinginan untuk menjadi wirausaha serta
bersedia untuk memulai langkah mewujudkan bisnis (Hisrich, Peters, & Shepherd,
2008). Hal tersebut dengan kata lain dapat disimpulkan intensi berwirausaha
merupakan adanya keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi wirausaha dan
bersedia untuk memulai langkah-langkah tertentu agar dapat mewujudkan
keinginan tersebut, misalnya melakukan perencanaan dan lain sebagainya. Selain
itu Intensi berwirausaha didefinisikan sebagai kesediaan seseorang dalam
melakukan aktivitas kewirausahaan, atau dengan kata lain menjadi wirausaha
(Nguyen, 2017). Intensi berwirausaha menjelasakan tentang kesiapan seseorang
dalam menjalani aktivitas kewirausahaan. Hal ini memberikan kata kunci penting
bahwa intensi berwirausaha meruapakan kesediaan seseorang untuk menjadi
wirausaha.

Kecenderungan untuk berwirausaha juga dapat diartikan sebagai kerja keras,


keberanian serta tanggung jawab dalam menjalankan kegiatan bisnis. Menurut
Anggraeni & Harnanik (2015) intensi berwirausaha adalah ketertarikan dan
keinginan serta kesediaan individu untuk bekerja keras dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya tanpa takut dengan resiko yang akan terjadi. Intensi
berwirausaha ini membuat orang giat mencari dan memanfaatkan peluang yang
ada agar potensi yang dimiliki menjadi optimal. Selain itu berani menghadapi
resiko yang sudah dipertimbangkan juga memiliki peran penting dalam menjalan
kegiatan kewirausahaan.

Berdasarkan pengertian dari penelitian sebelumnya kemudian peneliti


mendefinisikan intensi berwirausaha adalah niat seseorang untuk menjadi seorang
wirausaha dan kesediaan menjalani kegiatan kewirausahaan atau memulai bisnis.

3
Individu yang memiliki intensi berwirausaha adalah individu yang memiliki
rencana untuk menjadi wirausaha serta siap dan bersedia untuk menyiapkan
langkah untuk mewujudkan bisnis tersebut.2

b. Indikator Intensi Berwirausaha


Indikator intensi berwirausaha dalam penelitian ini berdasarkan pengertian
dari oleh beberapa peneliti sebelumnya (Hisrich, Peters, & Shepherd, 2008;
Anggraeni & Harnanik, 2015; Nguyen, 2017). Indikator intensi berwirausaha
disusun berdasarkan niat seseorang untuk menjadi seorang wirausaha dan
kesediaan menjalani kegiatan kewirausahaan atau memulai bisnis. Individu yang
memiliki intensi berwirausaha adalah individu yang memiliki rencana untuk
menjadi wirausaha serta siap dan bersedia untuk menyiapkan langkah untuk
mewujudkan bisnis tersebut, yang berisi : Bersedia menjadi wirausaha. Kesediaan
untuk menjadi wirausaha disini adalah harapan seseorang untuk menjadi
wirausaha serta kesediaan untuk berusaha dan memulai bisnis (Hisrich, Peters, &
Shepherd, 2008). Harapan seseorang untuk menjadi wirausaha ditandai adanya
niat untuk menekuni bisnis di bidang tertentu (Nguyen, 2017). Menurut Nguyen
(2017), individu juga memiliki harapan yang besar akan keinginanya menjadi
seorang wirausaha.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa individu memiliki suatu cita-cita


atau impian untuk menjadi wirausaha. Kemudian kesediaan untuk mempersiapkan
bisnis, yaitu individu memiliki kebulatan tekad untuk berusaha agar keinginanya
menjadi wirausaha dapat terwujud. Individu mempunyai keberanian dan
kemantapan untuk memualai berwirausaha serta siap akan rintangan, tantangan
maupun ketidak pastian yang akan dihadapi dalam berwirausaha. Menurut
Anggraeni & Harnanik (2015) intensi berwirausaha adalah ketertarikan dan
keinginan serta kesediaan individu untuk bekerja keras dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya tanpa takut dengan resiko yang akan terjadi. Berani
menghadapi resiko yang sudah dipertimbangkan adalah hal penting yang harus
dimiliki wirausaha agar bisnisnya dapat terwujud.

2
Muhammad Anang Firmansyah kewirausahaan (dasar konsep) surabaya qiara media 2019
hal.60

4
Berdasarkan uraian tersebut peneliti menyimpulkan bahwa intensi
berwirausaha adalah kecenderungan seseorang untuk mewujudkan diri menjadi
wirausaha dan upaya untuk menjalankan kegiatan bisnis. Seseorang yang
memiliki intensi berwirausaha akan memiliki : niat atau rencana untuk menjadi
wirausaha, kesediaan seseorang menekuni bisnis dibidang tertentu, mempunyai
tekad yang kuat untuk mewujudkan bisnis, memilih wirausaha sebagai profesi
atau karir pekerjaan, keberanian dalam memulai bisnis atau dengan kata lain tidak
takut gagal, kesiapan meghadapi tantangan dalam berwirausaha, kesiapan
menghadapi ketidakpastian dalam berwirausaha, kesediaan untuk membuat
prencanaan dalam berwirausaha, kecenderungan seseorang untuk memusatkan
perhatian untuk mewujudkan bisnis atau menjadi wirausaha.

c. Faktor-faktor Intensi Berwirausaha

Menurut beberapa ahli (Dragnic, 2014; Kabir, Haque, & Sarwwar,


2017) intensi berwirausaha dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu faktor
internal dan faktor eksternal :

1. Faktor Internal
Faktor Internal yaitu segala suatu yang berhubungan dengan diri
seseorang tersebut yang berasal dari dalam dirinya. Beberapa faktor
internal yang sudah terbukti pada penelitian terdahulu terhadap intensi
berwirausaha adalah faktor personality trait seperti autonomy atau
autority yaitu kekuasaan atas diri sendiri (Tontowi, 2016), perbedaan
gender (Karimi, Biemans, Lans, Chizari, & Mulder, 2013); Faktor sikap
pribadi (personal attitude), kontrol perilaku yang dirasakan (Ambad &
Damit, 2016), keinginan dalam diri untuk belajar tentang kewirausahaan
(Barral, Ribeiro, & Canevar, 2018), Perceived desirability dan perceived
feasibility (Guerrero, Rialp, & Urbano, 2008; Hisrich, Peters, & Shepherd,
2008 ; Liñán, Rodríguez-Cohard, & Rueda-Cantuche, 2011).

Sikap dalam Theory of Plan Behavior (TPB) juga merupakan faktor


internal dari intensi berwirausaha. Unsur-unsur sikap dalam teory of

5
planned behavior yang berpengaruh terhadap intensi berwirausaha
diantaranya adalah autonomy (kemandirian), economic, challenge, self
realization, dan perceived confidence, security & workload, avoid
responsibility, dan social career (Gurbuz & Aykol, 2008; Tjahjono &
Ardi, 2010; Azwar, 2013). Selain yang disebutkan oleh Ajsen dalam teori
TPB, menurut David (2017) ada faktor lain seperti Perceived desirability,
perceived feasibility dan propensity to act dalam Entrepreneurial Event
Model (EEM). Perceived desirability dan perceived feasibility merupakan
faktor utama yang dapat mempengaruhi intensi berwirausaha seseorang
(Indarti & Kristiansen, 2003).

2. Faktor Eksternal

Faktor Eksternal yaitu segala suatu yang berada diluar individu berupa
unsur dari linkungan sekitar dan kondisi kontekstual (Rismanandi & Yoto,
2015). Menurut Rismadi & Yoto (2015) faktor yang bersal dari luar individu
diantaranya dapat berupa : latar belakang keluarga, lingkungan sosial dan
kondisi perekonomian negara. Selain itu kondisi kontekstual ini mencakup
dukungan akademik (berupa pendidikan pendidikan kewirausahaan dan
pengalaman kewirausahaan), dukungan sosial seperti : teman, keluarga, guru
pembimbing wirausaha dan sebagainya yang berpengaruh terhadap intensi
berwirausaha mahasiswa. Berdasarkan penelitian sebelumnya faktor ekternal
yang berpengaruh terhadap intensi berwirausaha adalah ekspetasi pendapatan,
lingkungan keluarga dan pendidikan kewirausahaan (Suarjana & Wahyuni,
2017), perceived relational support yaitu dukungan relasional yang dirasakan
(Ambad & Damit, 2016), Pendidikan keterampilan kewirausahaan dan
pengetahuan yang merubah mindset dari mencari pekerjaan menjadi membuat
lapangan pekerjaan (Kabir, Haque, & Sarwwar, 2017).

Berdasarkan teori planned behavior milik Ajzen (2005), intensi memiliki


tiga faktor penentu dasar yaitu individu dalam alam, pengaruh sosial, dan
masalah kontrol. Faktor penentu adanya intensi yang pertama adalah sikap
individu terhadap perilaku atau keyakinan perilaku. Penentu kedua adalah

6
persepsi seseorang dalam tekanan sosial tentang apa yang harus dilakukan
dan tidak dilakukan, hal tersebut berhubungan dengan norma subjektif.
Ketiga adalah selfefficacy dalam melakukan hal yang menarik, hal ini disebut
sebagai kontrol perilaku. Teori ini mengasumsikan keyakinan perilaku, norma
subjektif dan kontrol perilaku merupakan bentuk munculnya sebuah intensi.
Berikut adalah representatif gambaran mengenai terbentuknya intensi seperti
yang telah dijelaskan. Intensi (atau bisa disebut juga sebagai niat) merupakan
faktor motivasional yang mendorong terjadinya perilaku. Intensi
berwirausaha menandakan seberapa kuat individu akan mencoba
mewujudkan perilaku berwirausaha Orang yang memiliki intensi
berwirausaha akan mengarahkan perhatian, pengalaman, dan perilakunya
terhadap kegiatan berwirausaha (Bird, 1988). Intensi berwirausaha telah
terbukti menjadi penanda terkuat seseorang menjadi wirausahawan atau tidak.
Dalam bentuk yang paling sederhana, intensi berwirausaha menentukan
perilaku berwirausaha, dan apakah seseorang memiliki intensi berwirausaha
atau tidak, ditentukan oleh beberapa faktor (Khuong & An, 2016). Bandura
(Wijaya, 2007) menyatakan bahwa intensi merupakan suatu kebulatan tekad
untuk melakukan aktivitas tertentu atau menghasilkan suatu keadaan tertentu
di masa depan. Sehingga intensi dapat diartikan sebagai bentuk dari keinginan
untuk melakukan sesuatu pada diri individu. Ajzen (Abrorry & Sukamto,
2013) mendefinisikan intensi sebagai bentuk dari indikasi kesiapan individu
dalam menampilkan perilaku dan dipertimbangkan sebagai bentuk perilaku
yang telah dilakukan oleh individu. Bentuk kesiapan pada individu dapat
dilihat dari intensi yang dimiliki individu tersebut, ketika kesiapan individu
tinggi hal tersebut dapat diindikasikan bahwa intensi yang dimiliki juga
tinggi. Intensi 61 mengindikasikan seberapa kuat keinginan individu untuk
melakukan sesuatu, seberapa banyak usaha yang direncanakan dalam
menghadapi tekanan. Theory of planned behavior yang dikembangkan oleh
Fishbein & Ajzen (2010) banyak digunakan untuk menjelaskan bagaimana
terbentuknya intensi berwirausaha :

Seseorang akan menjadi wirausahawan jika memiliki intensi (niat) dan didukung
dengan keterampilan dan perilaku. Faktor keterampilan misalnya melalui

7
matakuliah yang diperoleh dari bangku perkuliahan atau kursus, dan lingkungan
misalnya ketersediaan kesempatan untuk melakukan kegiatan berwirausaha.
Kemunculan niat berwirausaha sendiri ditentukan oleh tiga hal, yaitu sikap
individu terhadap kegiatan kewirausahaan (apakah individu menilai kegiatan
berwirausaha sebagai kegiatan yang baik/menguntungkan), norma yang ada di
sekitar individu tentang kegiatan berwirausaha (apakah ada orang-orang di
sekitar individu yang menjadi wirausahawan, atau apakah orang yagn ada di
sekitar individu mendukung kegiatan berwirausaha), dan keyakinan individu
tentang kemampuan dirinya menjadi seorang wirausaha. Dengan kata lain
seseorang akan memiliki niat berwirausaha jika ia memandang kegiatan
berwirausaha itu sebagai sesuatu yang baik dan menguntungkan. Selain itu,
keluarga/orang terdekatnya juga ada yang 6menjadi wirausahawan yang
berhasil, atau kalau pun tidak ada keluarga atau orang terdekat mendukung
kegiatan berwirausaha tersebut. Selain itu ia juga harus yakin bahwa ia mampu
menjadi seorang wirausahawan. Jika ketiga hal tersebut terpenuhi, maka niat
kuat sebagai wirausahawan akan muncul. Jika diteruskan, niat tersebut akan
terwujud dengan dukungan keterampilan dan lingkungan (kesempatan berupa
modal, tempat, alat, dsb).
Selain ketiga faktor yang mempengaruhi secara langsung tersebut, Theory of
Planned Behavior juga menyebutkan bahwa ada faktor lain yang secara tidak
langsung mempengaruhi niat berwirausaha, yaitu latarbelakang seseorang yang
mencakup latar belakang individu (seperti kepribadian, mood, emosi, nilai-nilai
yang dimiliki, stereotype, sikap secara umum, kesediaan mengambil resiko, dan
pengalaman), sosial (termasuk pendidikan, usia, jenis kelamin, penghasilan,
agama, ras, etnis, budaya), dan akses terhadap informasi (akses terhadap
pengetahuan, media, maupun ada atau tidaknya intervensi dari luar).

8
9
d. Faktor Penentu Intensi Berwirausaha
Menurut Fisbein dan Ajzen ( Wijaya, 2007) intensi adalah fungsi dari tiga
determinan dasar, yaitu:
1. Keyakinan perilaku, mengacu pada sejauh mana individu memegang
penilaian pribadi positif atau negatif tentang menjadi seorang pengusaha.
Ini mencakup tidak hanya afektif (saya suka itu , itu menarik) , tetapi juga
pertimbangan evaluatif (itu memiliki kelebihan). Misalnya individu lebih
menilai dirinya sebagai individu yang mampu untuk mencapai sebuah
tujuan usaha, sehingga dapat dikatakan individu tersebut memiliki nilai
pribadi yang positif.
2. Keyakinan normatif, yaitu keyakinan individu akan norma, orang
sekitarnya dan motivasi individu untuk mengikuti norma tersebut. Hal
tersebut akan berpengaruh terhadap persepsi individu bahwa referensi
orang lain yang menyetujui akan mempengaruhi keputusan untuk
berwirausaha atau tidak. Misalnya ketika keluarga memberikan dukungan
positif terhadap usaha yang akan dibuat oleh individu tersebut sehingga
secara tidak langsung akan memberikan keyakinan untuk memulai sebuah
usaha baru.
3. Kontrol perilaku, yang merupakan dasar bagi pembentukan kontrol
perilaku yang dipersepsikan. Kontrol perilaku yang dipersepsi merupakan
persepi terhadap kekuatan faktor-faktor yang mempermudah atau
mempersulit. Persepsi ini yang akan mengendalikan perilaku individu
tersebut. Misalnya individu yang mempersepsikan sendiri kemudahan
atau kesulitan untuk menjadi seorang pengusaha.

10
Adapun teori lain yang menyatakan faktor yang mempengaruhi intensi
kewirausahaan (Wijaya, 2007) adalah :
a. Lingkungan keluarga Orang tua akan memberikan corak budaya,
suasana rumah, pandangan hidup dan pola sosialisasi yang akan
menentukan sikap dan perilaku. Orang tua yang berwirausaha
biasanya akan mendorong kemandirian, berprestasi, dan bertanggung
jawab.
b. Pendidikan Menurut Hisrich dan Peters (Wijaya, 2007) mengatakan
bahwa pendidikan penting bagi wirausaha, tidak hanya gelar, namun
pendidikan mampu meberikan peranan dalam mengatasi
masalahmasalah dalam bisnis.
c. Nilai personal Nilai personal dibentuk oleh motivasi dan optimisme
individu. Seperti penelitian yang telah dilakukan oleh Indarti dan
Kristiansen (Wijaya,2007) bahwa tingkat intensi berwirausaha
dipengaruhi tinggi rendahnya kapasitas motivasi, pengendalian diri,
dan optimisme.
d. Usia Roe (Wijaya, 2007) mengatakan bahwa minat terhadap pekerjaan
mengalami perubahan sejalan dengan usia namun menjadi relatif
stabil pada post abdolence.3
e. Jenis kelamin Manson dan Hog (Wijaya, 2007) mengemukakan
bahwa kebanyakan wanita menganggap pekerjaan bukanlah hal yang

3
https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/16145/05.2%20bab%202.pdf?sequence=
7&isAllowed=y

11
penting. Karena wanita masih dihadapkan pada tuntutan tradisional
untuk menjadi istri dan ibu rumah tangga.

2.2 Daya Lenting


a. Pengertian Daya Lenting (Resiliensi)
Ada ungkapan yang seringkali disampaikan terkait aktivitas berwirausaha, yaitu
“seorang wirausahawan harus siap rugi dan siap kalah”. Ungkapan tersebut
dimaksudkan bahwa tidak selalu mudah untuk menjadi seorang wirausahawan,
dibutuhkan niat yang besar dan komitmen yang kuat dalam menekuni usahanya.
Ketika seseorang tidak siap dengan kerugian dan kesulitan yang dihadapi maka ia
cenderung akan berhenti dan beralih pada pekerjaan yang lain. Faktanya, banyak
wirausahawan yang sukses karena kerugian-kerugian yang dialami sebelumnya.
Ambil contoh Bob Sadino pengusaha terkenal di bidang pangan dan peternakan
yang memulai usaha persewaan mobil yang dikemudikan sendiri, atau Susi
Pudjiastuti pengusaha sukses dalam bidang perikanan yang memulai usaha
sebagai pedagang pakaian dan bedcover. Kemampuan individu untuk bangkit dari
kegagalan disebut sebagai daya resiliensi.

Menurut Reivich dan Shatté (2002) resiliensi adalah kemampuan untuk


beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Mereka berpendapat Resiliensi
dibangun dari tujuh kemampuan yang berbeda dan hampir tidak ada satupun
individu yang secara keseluruhan memiliki kemampuan tersebut dengan baik.
Tujuh kemampuan tersebut adalah, optimisme, empati, analisis penyebab
masalah, self efficacy, dan peningkatan aspek positif.

1. Regulasi Emosi
Ada anggapan orang yang resilien itu tangguh dan tidak menunjukkan emosinya.
Dari penampilan mungkin berwajah datar, terutama ketika menghadapi kesulitan.
Hal ini tidaklah tepat. Orang yang resilien biasanya mengalami berbagai bentuk
emosi, mulai kebahagiaan, takut, marah, dan sedih. Orang yang resilien
memahami apa yang mereka rasakan dan merasa nyaman untuk berbagi apa yang
mereka rasakan itu pada orang lain yang mereka percayai dan hargai. Ketika

12
melalui masa-masa sulit, orang yang resilien akan merasakan berbagai bentuk
emosi dan mampu mengenali serta mengelola emosinya dengan baik. Dengan
demikian mereka bisa mengatasi tantangan dengan lebih efektif.

2. Pengendalian Impuls
Individu yang resilien dapat mengontrol tindakan, perilaku, dan emosi dengan
cara yang realistis. Dalam berwirausaha, ada banyak ketidakpastian yang dihadapi
oleh individu, sedangkan tuntutan untuk segera mengambil keputusan sangat
besar. Terkadang dalam menghadapi kondisi tersebut individu dapat bertindak
dengan cara berlebihan atau merugikan dirinya sendiri. Individu yang resilien
dapat menghadapi ketidakpastian itu dengan baik, sehingga ia tidak terjebak
dalam pembuatan keputusan yang impulsif. Dengan kata lain, mereka dapat
berpikir matang sebelum melakukan tindakan untuk memenuhi dorongan tertentu.

3. Gaya Berpikir Optimis dan Realistis


Optimis dan realistis juga merupakan karakteristik individu yang resilien. Orang
yang optimis ditandai dengan lebih bahagia, sehat, produktif, memiliki hubungan
yang sehat dengan orang lain, lebih sukses, pengambil keputusan yang baik, dan
cenderung tidak mengalami depresi. Terkadang ada orang yang terlalu optimis
sehingga beranggapan dapat membangun bisnis dalam waktu yang singkat.
Optimisme yang tidak realistis tersebut justru akan menjerumuskan individu ke
dalam keterpurukan ketika usahanya mengalami kegagalan.

4. Proses berpikir fleksibel


Individu yang dapat berpikir fleksibel dapat melihat permasalahan dari berbagai
perspektif. Dengan demikian ketika menghadapi permasalahan individu dapat
menemukan dan mencoba berbagai alternatif solusi. Hal ini tentunya sangat
diperlukan dalam berwirausaha mengingat proses membangun bisnis yang kuat
tidak selalu mudah, sehingga individu perlu memiliki berbagai rencana ketika
menghadapi suatu kegagalan.

13
5. Self-Efficacy
Keyakinan bahwa diri sendiri memiliki kemampuan untuk menyelesaikan suatu
pekerjaan adalah modal untuk menjadi resilien. Keyakinan tersebut dapat
menjadikan individu menjadi orang yang efektif dalam melaksanakan pekerjaan.
Individu tidak hanya menunggu orang lain mengambil keputusan untuk dirinya,
melainkan dengan percaya diri menentukan sendiri apa yang ingin dilakukan dan
merasa mampu untuk melakukannya.

6. Empati
Dalam membangun suatu bisnis, individu tidak dapat lepas dari bantuan orang
lain. Untuk itu ia akan selalu terkoneksi dengan orang lain. Untuk dapat
terkoneksi individu harus mampu melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain,
meskipun ia tidak menyetujuinya. Empati merupakan perekat dari suatu
hubungan, dan komponen penting dalam membangun hubungan sosial yang kuat.
Hubungan sosial yang kuat dapat membantu seorang wirausahawan dalam
mengatasi kesulitan saat membangun bisnisnya.

7. Reaching Out
Reaching out adalah tingkat di mana seseorang dapat memberi tahu dan meminta
dukungan pada orang lain bila diperlukan. Ini termasuk kemampuan
mendelegasikan pekerjaan dan wewenang, serta mengambil risiko yang
diperhitungkan. Reaching out juga melibatkan menstimulasi keingintahuan secara
keseluruhan tentang banyak bidang kehidupan. Jika individu memiliki
keingintahuan yang besar terhadap berbagai bidang kehidupannya, tentu ia akan
membantu mempererat hubungan dengan orang lain. Ia juga akan lebih bersedia
untuk menghadapi tantangan baru sambil belajar dari pengalaman.4

4
Muhammad Anang Firmansyah kewirausahaan (dasar konsep) surabaya qiara media 2019
hal.63-65

14
2.3 Coping Stress

Coping Merupakan Suatu Proses Yang Dilakukan Setiap Waktu Dalam


Lingkungan Keluarga, Lingkungan Kerja, Sekolah Maupun Masyarakat. Coping
Digunakan Seseorang Untuk Mengatasi Stress Dan Hambatan–Hambatan Yang
Dialami. Dalam Kamus Psikologi (Chaplin, 2002), Coping Behavior Diartikan
Sebagai Sembarang Perbuatan, Dalam Mana Individu Melakukan Interaksi
Dengan Lingkungan Sekitarnya, Dengan Tujuan Menyelesaikan Sesuatu (Tugas
Atau Masalah).

Lazarus Dan Folkman (Dalam Sarafino, 1997) Mengartikan Coping Adalah


Suatu Proses Dimana Individu Mencoba Untuk Mengatur Kesenjangan Persepsi
Antara Tuntutan Situasi Yang Menekan Dengan Kemampuan Mereka Dalam
Memenuhi Tuntutan Tersebut. Sedangkan (Dalam Smet 1994) Lazarus Dan
Folkman Mendefinisikan Coping Sebagai Sesuatu Proses Dimana Individu
Mencoba Untuk Mengelola Jarak Yang Ada Antara Tuntutan-Tuntutan, Baik Itu
Tuntutan Yang Berasal Dari Individu Maupun Yang Berasal Dari Lingkungan
Dengan Sumber-Sumber Daya Yang Mereka Gunakan Dalam Menghadapi Stress.

Rasmun Mengatakan Bahwa Coping Adalah Dimana Seseorang Yang


Mengalami Stres Atau Ketegangan Psikologik Dalam Menghadapi Masalah
Kehidupan Sehari-Hari Yang Memerlukan Kemampuan Pribadi Maupun
Dukungan Dari Lingkungan, Agar Dapat Mengurangi Stres Yang Dihadapinya.
Dengan Kata Lain, Coping Adalah Proses Yang Dilalui Oleh Individu Dalam
Menyelesaikan Situasi Stressful. Coping Tersebut Adalah Merupakan Respon
Individu Terhadap Situasi Yang Mengancam Dirinya Baik Fisik Maupun
Psikologik. (Rasmun, 2004).

Cohen Dan Lazarus (Dalam Holahan & Moos, 1987) Mendefinisikan Coping
Stress Secara Umum Sebagai Segala Usaha Yang Digunakan Untuk Mengatasi
Stres. Keadaan Yang Sangat Stres, Dapat Berkurang Ketika Seseorang Dapat
Dengan Sukses Menyelesaikan Masalah Tersebut. Coping Stress Melibatkan
Pengaturan Keadaan Yang Sulit, Melakukan Usaha Untuk Menyelesaikan

15
Masalah Kehidupan, Dengan Menemukan Cara Untuk Mereduksi Dan Menguasai
Stress (Santrock, 2003). Coping Stress Memiliki Hubungan Dengan Health-Risk
Behaviors (Schwarzer & Schwarzer, 2005).

Sebagian Ahli Mengatakan Bahwa Perilaku Coping Stress Diarahkan Untuk


Memperbaiki Atau Menguasai Masalah, Namun Perilaku Ini Juga Dapat Hanya
Sekadar Membantu Individu Tersebut Mengubah Persepsinya Terhadap
Ketidaksesuaian, Mentolerir Atau Menerima Kerugian, Melarikan Diri, Atau
Menghindari Situasi (Lazarus & Folkman; Moos & Schaefer, Dalam Sarafino,
2002). Jadi Dari Pengertian Diatas Dapat Disimpulkan Bahwa Coping Adalah
Segala Usaha Individu Untuk Mengatur Tuntutan Lingkungan Dan Segala
Konflik Yang Muncul, Mengurangi Ketidaksesuaian/Kesenjangan Persepsi
Antara Tuntutan Situasi Baik Yang Berasal Dari Individu Maupun Lingkungan
Dengan Sumber Daya Yang Mereka Gunakan Dalam Menghadapi Stress.5

Berdasarkan Beberapa Pengertian Diatas Coping Stress Merupakan Suatu


Bentuk Upaya Yang Dilakukan Individu Untuk Mengatasi Dan
Meminimalisasikan Situasi Yang Penuh Akan Tekanan (Stress) Baik Secara
Kognitif Maupun Dengan Perilaku. Stress merupakan permasalahan yang dialami
oleh banyak orang dari berbagai profesi, terutama wirausahawan. Hal ini
dikarenakan para wirausahawan senantiasa menghadapi situasi yang tidak pasti
dan cepat berubah. Ditambah lagi dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat
membuat wirausahawan berhadapan dengan dua dunia, dunia nyata dan dunia
maya, yang terus bergulir dengan cepat. Sedikit saja tertinggal informasi, maka
bisnis yang dijalankan dapat terancam. Kesendirian (loneliness) yang dialami
akibat tenggelam dalam aktivitas bisnis juga menjadi salah satu penyebab stress
yang dialami wirausahawan (Vasumathi, dkk, 2003). Belum lagi jika mengalami
konflik dengan pelanggan atau pesaing bisnis. Penelitian menyebutkan bahwa
beberapa hal yang menyebabkan stress pada wirausahawan adalah tuntutan untuk
memiliki keterampilan bisnis, harapan yang tinggi dari orang lain, dan
tanggungjawab (Ahmad & Xavier, 2010).

5
https://jobseeker.id/post/view/10002-pengertian-coping-stress.html

16
Penelitian lain mengatakan bahwa bentuk stress wirausahawan berbeda dengan
yang dialami manajer. Wirausahawan dalam aktivitas bisnisnya mengalami
ambiguitas peran ayng sangat besar daripada manajer. Di sisi lain, manajer
mengalami konflik peran yang lebihbesar. Namun demikian manajer dapat
meninggalkan tekanan pekerjaannya di kantor, sedangkan wirausahawan tidak.
Manajer cenderung memiliki kepuasan kerja yagn lebih besar dibanding
wirausahawan. Wirausahawan mengalami lebih banyak masalah kesehatan dan
kepuasan kerja yang lebih rendah daripada manajer (Buttner, 1992).

Namun demikian, stress tidak selalu seburuk yang dikenal masyarakat umum.
Ketika stress mendorong manusia untuk bergerak maju dan memicu produktivitas,
maka stress tersebut menguntungkan, yang dikenal sebagai eustress. Namun jika
stress membuat orang tidak dapat berfungsi dengan baik dalam kehidupannya,
maka stress tersebut tidak menguntungkan, yang disebut sebagai distress. Tingkat
distress yang tinggi dapat dilihat dari gejala fisiologis (sulit tidur atau tidur tidak
teratur, sakit kepala, gangguan pencernaan, tekanan darah tinggi, dsb), emosional
(mudah tersinggung, cemas, suasana hati yang mudah berubah, sedih, dsb),
intelektual (mudah lupa, penurunan konsentrasi, sering melamun, dsb), dan
interpersonal (mudah curiga pada orang lain, mudah mengingkari janji, agresif
pada orang lain, dsb) (Waitz dkk, 1983).

Cara yang dilakukan individu untuk mengurangi stress disebut coping stress
(Lazarus & Folkman, 1984). Ada dua bentuk coping stress yang biasa dilakukan,
yaitu problem-focussed dan emotion-focussed coping. Problem focussed coping
dilakukan dengan cara mengatur atau mengubah hal-hal yang menyebabkan
distress, sedangkan emotion focussed coping dilakukan dengan mengatur reaksi
emosional yang muncul ketika masalah terjadi. Jadi, ketika mengalami stress,
terkadang orang menguranginya dengan cara mencoba menyelesaikan masalah
yang membuat stress tersebut. Ketika masalah tersebut tidak dapat diselesaikan,
maka cara yang dilakukan adalah dengan mengelola emosi yang muncul akibat
stress, misalnya dengan melakukan relaksasi, melupakan masalah dan lebih
memfokuskan perhatian pada hal lain, menyangkal bahwa masalah telah terjadi,

17
atau mencari dukungan dari orang lain. Beberapa ahli mengatakan strategi
problem focussed coping lebih efektif dalam menurunkan tingkat stress dibanding
emotion focussed coping. Namun ahli lain mengatakan kedua strategi tersebut
akan efektif jika dikombinasikan. Ketika seorang wirausahawan mengalami
masalah dalam bisnisnya, maka yang ia lakukan terlebih dahulu adalah mencoba
menyelesaikan masalah tersebut. Jika permasalahan tersebut sulit diselesaikan
atau ada di luar kendali wirausahawan, maka yang digunakan adalah strategi
kedua, yaitu mengelola emosi negatif yang muncul.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa seorang wirausahawan harus


mengetahui kondisi psikologisnya sendiri, dalam hal ini tingkat stress yang ia
alami. Ketika ia mengalami distress, ia perlu mengetahui masalah apa yang
membuatnya stress, kemudian segera berusaha untuk mengatasinya. Jika usahanya
tidak berhasil, maka ia perlu mencari cara yang sesuai bagi dirinya untuk
mengelola emosi negatif yang ia rasakan akibat masalah tersebut, seperti
memperbanyak melakukan meditasi melalui ritual ibadah, atau meluangkan waktu
untuk kegiatan yang menyenangkan bagi dirinya sendiri.6

6
Muhammad Anang Firmansyah kewirausahaan (dasar konsep) surabaya qiara media 2019
hal.66-67

18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Intensi berwirausaha adalah keinginan untuk menjadi wirausaha serta bersedia


untuk memulai langkah mewujudkan bisnis (Hisrich, Peters, & Shepherd, 2008).
Hal tersebut dengan kata lain dapat disimpulkan intensi berwirausaha merupakan
adanya keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi wirausaha dan bersedia
untuk memulai langkah-langkah tertentu agar dapat mewujudkan keinginan
tersebut, misalnya melakukan perencanaan dan lain sebagainya.

Menurut Reivich dan Shatté (2002) daya lenting atau resiliensi adalah
kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit.

Coping Stress Merupakan Suatu Bentuk Upaya Yang Dilakukan Individu Untuk
Mengatasi Dan Meminimalisasikan Situasi Yang Penuh Akan Tekanan (Stress)
Baik Secara Kognitif Maupun Dengan Perilaku.

19
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Anang Firmansyah kewirausahaan (dasar konsep) surabaya qiara


media 2019

https://www.gramedia.com/literasi/pengertian-kewirausahaan/ (diakses
pada tanggal
04 oktober 2022 pada pukul 17:20)

https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/16145/05.2%20bab%202.pdf
?sequence=7&isAllowed=y (diakses tanggal 04 oktober 2022 pukul
16:05)

https://jobseeker.id/post/view/10002-pengertian-coping-stress.html (diakses
pada tanggal 04 oktober 2022 pukul 19;00)

20

Anda mungkin juga menyukai