Anda di halaman 1dari 19

PEMAHAMAN TENTANG PENGKADERAN DAN FOLLOW UP UNTUK

CALON KADER PMII SALATIGA

SALAM PERGERAKAN 3X!!!!!

“Barang siapa yang ingin menindas potensi diri orang lain berarti dia ingin menjadi Tuhan, padahal
tiada Tuhan selain ALLAH SWT. Kita menerima siapapun orangnya dan dari manapun asalnya asalkan
bisa menjadi saudara bagi sesamanya” ( Petikan Syahadat Pembebasan )

SELAMAT DATANG DI GARIS PERLAWANAN SAHABAT/i…..!!!

Proses pengkaderan dan follow up di dalam mengkader mahasiswa baru di PMII Salatiga harus di
mulai dengan pemahaman kita selaku Koordinator fasilitator dan fasilitator di sektor MATERI
MAPABA DAN PKD. Kita juga harus mengerti akan pentingnya berbagai permasalahan dan isu-isu
yang terjadi di pemerintahan dulu dan sekarang untuk menghidupkan dan mengembalikan PMII ke jiwa
nya yaitu intelektual dan kritis.

Kita juga harus tahu bahwa Ruh PMII terletak di setiap Rayon (Divisi Pengkaderan) masing-
masing, karena di dalam Rayon akan melahirkan atau mencetak kader yang peduli terhadap realitas
sosial, baik persoalan pemerintahan maupun kondisi masyarakat itu sendiri dan bertanggung jawab atas
pengawalan dalam pembangunan bangsa ( kritis ) dan mengamalkan ilmu pengetahuannya untuk rakyat
( intelektual ) serta mau berjuang untuk Bangsa, Agama, dan Negara.

Calon kader PMII harus mengetahui materi-materi yang sudah disampaikan oleh pemateri dan
fasilitator masing-masing kelompok. Calon kader PMII juga harus memahami materi wajib, yaitu :

1. Andir ( Analisi Diri )


Target untuk memahami materi :
 Terbentuknya kader yang mampu beradaptasi dengan dirinya sendiri
 Terbentuknya kader yang mampu beradaptasi dengan realita social
 Terbentuknya loyalitas dan militansi dari seorang kader PMII

2. Nilai-Nilai Dasar PMII dan KeOrganisasian PMII


Target untuk memahami materi :
 Peserta memahami akar historis PMII

1
 Peserta mampu memahami gerakan PMII
 Peserta mampu menganalisa sejarah perkembangan PMII

3. Ansos ( Analisi Sosial )


Target untuk memahami materi :
 Terbentuknya nalar kritis
 Terciptanya pisau analisis social
 Terciptanya kemampuan menganalisis realita social

4. Gender dan Feminisme ( KORPRI )


Target untuk memahami materi :
 Kader memiliki sensitifitas Gender
 kader memahami realita ketertindasan perempuan dalam system social
 kader memahami manifestasi ketidak adilan gender dalam system social
 kader memahami gerakan feminisme dan pengaruhnya bagi gerakan social
 kader memahami perspektif teori gender
 kader memiliki kesadaran untuk mengorganisir perempuan yang tertindas karena korban
kekerasan

Selain materi-materi wajib, calon kader atau kader PMII selayaknya mengetahui 3 landasan
pokok PMII, yaitu :

1. Landasan filosofis PMII adalah Nilai Dasar Pergerakan ( NDP ) yang di dalamnya terkandung
Tauhid, Hubungan dengan Allah ( Hablun Minallah ), Hubungan dengan sesama manusia ( Hablun
Min Nass ), dan Hubungan dengan Alam sekitar ( Hablun Minal Alam ).
2. Landasan berfikir PMII adalah ASWAJA ( Ahlussunnah Wal Jama’ah ) yang didalamnya ada
Tasamuh (Toleran), Tawazun (keseimbangan), Tawassuth (moderat), Ta’addul (keadilan) yang
dijadikan sebagai Manhajul fikr (metodologi berfikir) dan sebagai instrument perubahan.
3. Landasan Paradigma PMII menggunakan Paradigma Kritis Transformatif (PKT) yang
dijadikan sebagai perangkat analisa perubahan sebagai cita-citanya perubahan pada semua bidang.

Perjuangan dan kebenaran memang tidak bisa dianggap suatu hal yang nyata, yang semua orang
mampu mengerti dan mau melakukannya. Dua hal tersebut mengandung nilai sangat tinggi dimana
Perjuangan mengandung nilai pengabdian dan Kebenaran mengandung nilai yang sulit untuk dilakukan
pada zaman sekarang ini. Apakah kita masih belum merasakan bahwa kita sebenarnya sudah kehilangan

2
Ruh dan kita juga sudah kekeringan wacana, kehilangan jiwa kritis, dan malas untuk melakukan
pergerakan!!!!!!!! Bukankah kita salah satu dari Jutaan Kader PMII yang sudah mengikuti prosesi sakral
“pembaiatan” ?? kita harus bangkit dan bergerak kembali sesuai jalan yang sudah ada dan MEMBELA
RAKYAT!!!

Visi dan Misi besar PMII harus tetap kita kawal yang nantinya akan menuju terbebasnya massa
rakyat pekerja dan terciptanya tatanan masyarakat yang adil dan makmur sepenuhnya.

KUTUNGGU SAHABAT/i, DI GARIS PERLAWANAN… !!!

“ aku cuma butuh segelas kopi dan sebungkus rokok untuk sekedar berbicara soal perjuangan, namun
aku perlu ribuan gelas kopi dan jutaan bungkus rokok untuk terus melakukan perjuangan dan mendalami
ilmu pengetahuan!!!”

3
GAMBARAN MATERI UNTUK PELATIHAN KADER DASAR PERGERAKAN
MAHASISWA ISLAM INDONESIA KOTA SALATIGA

PKD PMII KOTA SALATIGA

“Perjuangan dan Pengorbanan yang telah kami lakukan untuk pembebasan rakyat kami dari belenggu
kolonialisme telah berlangsung dari generasi ke generasi selama berabad-abad

Tetapi Perjuangan itu belum selesai…!!!” ( Ir. Soekarno )

LANDASAN ADANYA PELAKSAAN PELATIHAN KADER DASAR

2016

Di dalam pemikiran di setiap masyarakat Indonesia menganggap Bangsa Indonesia adalah


Bangsa yang besar dan kaya akan sumber daya alam nya, mempunyai wilayah yang sangat amat luas,
kaya akan kebudayaan yang dimiliki. Dengan kekayaan alamnya yang sangat melimpah, seharusnya
Bangsa Indonesia menjadi Bangsa Digdaya di muka Bumi ini.

Namun dalam realitanya, tak seindah teori yang tercetak di dalam buku-buku. Bangsa ini tetap
menjadi bangsa medioker ditengah arus utama globalisasi. Para kaum Liberalisme dan Kapitalisme lanjut
terus menerus membombardir negeri ini dengan seribu satu macam cara. Ekonomi negeri kian merosot
menjadi bukti bahwa bangsa ini mengalami keterpurukan.

Bangsa ini mengalami krisis multidimensional yang melanda seluruh raykatnya dan memang
belum bisa teratasi. Satu permasalahan muncul yang belum selesai, muncul lagi permasalahan di sektor
yang berbeda. Entah itu di bidang agama, politik, budaya, sosial, pendidikan, dan lain-lain. Semua
permasalahan-permasalahan seperti ini pada prinsip nya adalah tanggung jawab lapisan masyarakat, akan
tetapi di sebuah ruang bebas ini pemerintah sebagai wakil rakyat selama ini belum mampu mengatasi
problem yang ada. Adalah tanggung jawab kita semua untuk secara komunal, bergandeng tangan, dan
berusaha membawa perubahan ke arah yang lebih baik.

Di tahun ini, kran pasar bebas telah terbuka lebar. Neo-liberalisme, kapitalisme lanjut,
radikalisme dan segala pernak-perniknya yang akan terus menghantui eksistensi negeri ini. Untuk
mewaspadai dan langkah antisipatif yang harus kita lakukan adalah harus menjaga keutuhan eksistensi
NKRI, melestarikan budaya local, dan terwujudnya negeri yang adil, makmur, dan sejahtera. Sebagai

4
kaum muda pergerakan sudah seharusnya kita menjadi insan Ulul Albab. Intelektual muda pergerakan
adalah insani yang memiliki wawasan global, namun tetap menjaga tradisi-tradisi lokal.

Oleh karena itu, maka PMII melalui PKD ini bermaksud mendidik dan mengarahkan para kader
menuju terbentuknya generasi yang berfikir kritis, bertindak efektif dan transformatif serta bersikap tegas,
dan berkarakter bangsa Indonesia. Dengan kegiatan pelatihan dasar kader (PKD) diharapkan dapat
mencetak kader bangsa yang mampu menjadikan ASWAJA sebagai “manhajul fikr” dalam menentukan
arus perubahan di seluruh elemen kehidupan, serta dapat memberikan bukti nyata perubahan ke arah yang
lebih baik.

GAMBARAN PENJELASAN TENTANG MATERI

Ada empat materi wajib yang harus dipahami oleh peserta MAPABA & PKD, empat materi wajib
tersebut adalah ;

ANALISA DIRI

Secara umum ingin mengungkapkan latar belakang ideology, social, budaya, keagamaan, dan
kondisi psikologis peserta. Sedangkan secara khusus ingin mengungkapkan harapan, kekhawatiran, dan
juga motivasi peserta untuk menjadi bagian dari PMII.

Analisa diri memandang bahwa manusia bukanlah makhluk kosong yang bisa diisi dan didoktrin
untuk menjadi pengabdi bagi manusia lain, akan tetapi analisa diri menganggap manusia adalah makhluk
yang mempunyai hati nurani dan pikiran yang harus diungkapkan dan dikembangkan sebagai upaya
menunjukkan serta mempertahankan eksistensinya. Dalam proses mempertahankan eksistensi tersebut,
seorang kader PMII harus mampu melakukan personal branding terhadap dirinya sendiri. Bermula dari
kebiasaan kader yang nantinya akan membentuk citra diri kader dan bermuara pada penentuan harga diri
seorang kader PMII.

Pada hakikatnya Allah SWT menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dan
merdeka dibandingkan dengan makhluk yang lain. Manusia memiliki cipta, rasa, dan karsa untuk berfikir
secara mandiri dalam rangka merubah kontruksi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak. Manusia
mempunyai kebebasan penuh atas dirinya sendiri untuk memilih apa yang ia kehendaki. Kemerdekaan
manusia ketika dibenturkan dengan problematika kehidupan yang meniscayakan adanya pola interaksi
dengan manusia yang lain dalam suatu komunitas, terkadang manusia merasa terpasung dan terasingkan

5
oleh eksistensi dirinya ( Eksistensialisme Jean Paul Sartre ), sehingga dalam proses perjalanan hidup
manusia terkadang lupa akan dirinya, lupa akan tugasnya, lupa akan tanggung jawabnya, terasingkan dari
dunianya, dan akhirnya yang terjadi adalah segala proses yang berlangsung bukan layaknya sebagai
manusia yang sempurna dan merdeka. Tetapi yang terjadi adalah proses dehumanisasi (tidak
memanusiakan manusia ). Proses dehumanisasi ini terjadi disebabkan karena sempitnya ruang gerak,
waktu, dan pemahaman akan dirinya untuk mengekspresikan nilai-nilai cipta, rasa, dan karsa. Hal ini juga
disebabkan adanya intervensi manusia atau makhluk lain yang menindas dan hegemonic.

Menurut Paulo Friere, ada 3 klasifikasi yang bisa bagaimana menemukan pemahaman tentang
Analisa Diri :

1. Personalisme
Personalisme bukanlah suatu sistem politik atau bahkan suatu filsafat yang lengkap. Personalisme
adalah suatu perspektif, cara pandang terhadap dunia yang optimis dan seruan untuk bertindak.
Seperti: sejarah mempunyai arti, selain perang ada bencana lain, sejarah telah mendorong ke
arah perbaikan dan pembebasan umat manusia, teknologi dan ilmu pengetahuan adalah
perkembangan-perkembangan yang sangat menggembirakan dalam gerak sejarah menuju
kemajuan, dan manusia mempunyai misi yang mulia yakni menjadi agen bagi
pembebasannya sendiri.
2. Eksistensialisme
Aliran ini dimotori oleh J.P. Sarter, Jaspers, Marcel, Heidegger, Camus, Burber, dan tokoh
lain yang masuk dalam klasifikasi pemikiran eksistensialisme. Penekanan kaum eksistensialisme
dalam ajarannya bertumpu pada pemenuhan dimensi pembebasan dalam diri manusia yang
bisa bertindak atas realitas sekaligus membentuk system kehidupannya secara mandiri tanpa
hegemoni.
3. Fenomenologis
Konsientisasi menegaskan bahwa manusia sebagai makhluk yang berkesadaran, ia ada di dalam
dan bersama dunia. Implikasinya, ia harus hidup sendiri bersama dengan manusia lain dan
realitas yang melingkupinya. Bagi Freire, konsientisasi inilah yang akan membawa manusia
ke gerbang pencerahan dalam menggali dan menganalisis realitas.

Pemahaman seperti ini akan memiliki dampak pemikiran bagaimana saya, siapa saya,dan apa
yang saya lakukan sekarang atau yang akan datang. Setiap manusia harus siap memimpin dan dipimpin,
selain modal leader berangkat dari watak dan karakter bawaan, namun karakter pemimpin dan didikan
dibentuk melalui sebuah pelatihan dan serius dan displin. Maka disinilah peran analisa diri dipertaruhkan

6
sebagai ladang pengungkapan nilai-nilai kemanusiaan dalam diri manusia yang selama ini terpasung dan
terasingkan. Karena analisa diri, kita sebagai manusia akan kembali menemukan eksistensi kita sebagai
manusia yang merdeka dari segala bentuk penindasan system yang membelenggu dan sering kali tanpa
kita sadari.

Dengan analisa diri, calon kader PMII harus mampu mengekspresikan dirinya dan jujur dengan
keadaan serta senantiasa membuka diri terhadap fenomena-fenomena yang ada diluar dirinya, karena
dengan kejujuran dan keterbukaan segalanya akan menjadi indah dan harmonis.

ANALISIS SOSIAL

Analisi sosial menurut KBBI adalah penyelidikan terhadap suatu masalah, secara umum analisis
sosial adalah sebuah upaya untuk mendapatkan gambaran yang lebih lengkap tentang situasi sosial,
hubungan structural, cultural dan historis sehingga memungkinkan menangkap dan memahami realitas
yang dihadapi. Dengan kata lain analisis sosial adalah merupakan upaya kita untuk menempatkan suatu
masalah tertentu dalam konteks realita sosial yang lebih luas yang mencakup konsep waktu ( sejarah ),
konteks struktur ( ekonomi, sosial, politik, budaya, konteks nilai, dan konteks tingkat atau aras lokasi ).

Mengapa analisis sosial diperlukan?


Analisis sosial diperlukan untuk :
A. Identifikasi dan pemahaman masalah secara lebih seksama, melihat akar masalah, dan ranting
masalah.
B. Mendalami potensi (kekuatan-kelemahan-peluang-tantangan) yang ada dalam komunitas atau
organisasi.
C. Membangun ukuran dengan lebih baik untuk kelompok yang dirugikan.
D. Membangun prediksi berupa tindakan-tindakan sebagai upaya untuk mengubah.

Apa prinsip analisis sosial?


A. Analisis sosial bukan suatu bentuk pemecahan masalah akan tetapi diagnosis yang bisa dijadikan
acuan yang lengkap dalam pengambilan keputusan atau tindakan sebagai pemecahan yang tepat.
B. Analisis sosial tidak netral (analisis sosial selalu berangkat dari komitmen).

Siapa pelaku analisis sosial?


A. Analisis sosial bukan milik kelompok tertentu.

7
B. Analisis sosial dapat dilakukan oleh siapapun
C. Analisis sosial akan mempunyai makna yang dalam jika dilakukan oleh mereka yang “terlibat
langsung” sehingga dimungkinkan terjadi proses transformatif kesadaran.
Dimana posisi analisis sosial?
Analisis sosial memiliki bobot untuk mengubah (mendorong proses perubahan). Jika demikian,
analisis sosial merupakan salah satu simpul dalam siklus kerja transformasi. Dalam studi ilmu-ilmu sosial,
untuk menganalisis kondisi sosial maka kita harus berpijak dalam empat paradigma (cara pandang) yang
didasarkan pada perbedaan anggapan metateori tentang sifat dasar ilmu sosial dan sifat dasar dari
masyarakat. Empat paradigma tersebut yang dibangun atas pandangan-pandangan yang berbeda mengenai
dunia sosial satu dengan yang lain adalah fungsionalis, fenomenologis/Interpretatif, humanis radikal dan
strukturalis radikal.
Untuk menuju pilihan yang tepat metode seperti apa yang layak diambil, maka kita harus berangkat
dari perdebatan asumsi dasar tentang ontologis, epistemologis, kecenderungan dasar manusia (human
nature) dan metodelogi.
Asumsi ontologis atau perdebatan ontologis berawal dari pertanyaan “apa”. Jadi asumsi ontologis
ini adalah apakah kenyataan diteliti sebagai sesuatu di luar yang mempengaruhi/merusak didalam
seseorang ataukah kenyataan itu justru hasil dari kesadaran seseorang. Perdebatan mengenai ontologism
menghasilkan aliran nominalisme dan realisme :
1. Nominalisme :
a. Asumsinya realitas yang ada diluar manusia hanyalah sekedar penamaan, konsep atau label
yang digunakan menjelaskan realitas sosial.
b. Penamaan hanyalah rekaan saja untuk menjelaskan, member pengertian dan memahami
realitas.
2. Realisme :
a. Realitas ada mendahului keberadaan dan kesadaran seseorang terhadapnya.
b. Realitas sosial ada di luar seseorang, merupakan kenyataan yang berwujud, dapat diserap, dan
merupakan tatanan nisbi yang tetap.

Debat Epistemologis berawal dari pertanyaan “bagaimana”. Jadi bagaimana seseorang mulai
memahami dunia sosial dan mengkomunikasikannya sebagai pengetahuan kepada orang lain. Debat
epistemologis melahirkan perpecahan tajam antara orang-orang eksakta dengan orang sosial. Perdebatan
ini membawa kita pada aliran positivis dan anti-positivis :

1. Positivisme :

8
a. Semua pengetahuan harus terbukti lewat rasa kepastian, pengamatan sistematis yang terjamin
secara intersubyektif.
b. Kepastian metodis sama pentingnya dengan rasa kepastian , kesahihan pengetahuan ilmiah
dijamin oleh kesatuan metode.
c. Menolak perbedaan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam.
d. Pernyataan-pernyataan yang tidak bisa diverifikasikan secara empiris, sebagai non-sense.
e. Berusaha menyatukan semua cabang ilmu pengetahuan menjadi satu bahasa universal.
f. Ilmu-ilmu sosial bertugas mencari hukum-hukum yang mengatur masyarakat dan digunakan
sebagai cara untuk memperbaiki masyarakat.
2. Anti-positivis :
a. Realitas sosial adalah nisbi, hanya dapat dipahami dari sudut pandang per orang yang terlibat
dalam peristiwa sosial tertentu.
b. Seseorang hanya dapat mengerti dari sisi dalam, bukan dari luar realitas sosial.
c. Ilmu sosial itu bersifat subyektif dan menolak ilmu pengetahuan bisa menjadi ilmu apa saja.

Debat Hakekat manusia (human nature) membawa kita kepada satu upaya penyadaran diri. Debat
ini sudah berlangsung cukup lama dan tua dilingkungan umat islam, yakni antara kaum determinis
(Qodariyah) yang beranggapan bahwa manusia adalah ditentukan oleh keadaan sekitar dimana ia berada.
dan kaum volunteris (Jabariyah) yang beranggapan manusia adalah sepenuhnya pencipta dan berkemauan
bebas. Kedua anggapan inilah yang merupakan unsure paling utama dan hakiki dalam teori sosial.

Debat metodelogis merupakan satu muara ketika orang yang memperdebatkan di atas akhirnya
semua akan mengarah kepada perbedaan metodelogis. Adapun metodelogis melahirkan dua aliran besar,
yaitu :

1. Ideografis adalah seseorang hanya dapat memahami kenyataan sosial melalui pencapaian
pengetahuan langsung dari pelaku atau yang terlibat.
2. Nomothetis adalah mementingkan adanya seperangkat teknik dan tata cara sistematis dalam
penelitiasn.
Dari semua asumsi dan perdebatan diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa teori sosial terbagi
menjadi dua aliran besar, yaitu :
1. Positivistic yang menggunakan onotologis realis, epistemologisnya positivis, pandangan sifat
manusia nya deterministic dan metodeloginya nomotetik.
2. Idialisme jerman, sebaliknya onotologisnya nominalis, epistimologisnya anti positivis, pandangan
sifat manusia nya volunteristik dan metodeloginya idiografis.

9
Empat Paradigma Teori Sosial

Para pengamat ilmusosial memnentukan cara baru dalam menganalisis empat paradigma (dengan
tetap memasukkan unsur-unsur penting yang diatas), empat paradima itu adalah :

1. Paradigma Fungsionalis
Paradigma inilah yang paling banyak di anut di dunia mereka condong kepada pendekatan realis,
psitivis, determinitis, dan nomotetis.
2. Paradigma Interpretatif
Penganut paradigma ini cenderung menganut sosiologis keteraturan, yaitu ilmu sosial yang
mengutamakan kesatuan dan kerapatan pendekatannya cenderung nominalis, anti positivis, dan
ideografis.
3. Humanis Radikal
Paradigma yang dianut oleh orang-orang yang berminat mengembangkan ilmu sosial yang
didalamnya terdapat perubahan radikal dari pandangan subyektivis pendekatan yang kemudian
dipakai adalah nominalis.
4. Struktural Radikal
Penganut paham ini berupaya memperjuangkan sosilog perubahan radikal juga, yaitu perubahan
yang mendasar dengan mengabaikan semua tatanan sosial yang membelenggu perkembangan diri
manusia oleh karena pandangan ini bersifat utopis dan hanya memandang lurus ke depan.

Hubungan Kesadaran Manusia Dengan Ansos

a. Kesadaran Magis
Menyadari dan memahami bahwa kehidupa sosial adalah hasil dari kekuatan supra di luar kekuatan
manusia.
b. Kesadaran Naif
Kehidupan sosial adalah hasil dari karakter dan kualitas manusianya itu sendiri.
c. Kesadaran Kritis
Kehidupan Sosial adalah akibat dari system dan struktur yang mendominasi masyarakat. Dan
hubungan antar waktu (historis), antar elemen, dan antar wilayah.

10
PENDIDIKAN KRITIS

Abstrak
Althuser memposisikan pendidikan sebagai suatu instrument yang paling efektif dalam kekuasaan
Negara melalui transformasi ideology yang diinginkan. Dalam istilah apparatus ideology Negara,
Althuser dengan gambling member penjelasan kepada kita bahwa pendidikan itu bukan hanya soal
pembelajaran, akan tetapi pendidikan memiliki relasi kuasa yang jarang di sentuh bagaimana mekanisme
relasi kuasa itu dijalankan. Seorang filosof bernama Plato (427-347), pernah mengatakan bahwa
pendidikan adalah tugas suci dan panggilan yang harus dilaksanakan oleh Negara, dan oleh sebab itu
tidak boleh dilalaikan begitu saja.
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 4 juga telah disebutkan bahwa anggaran
penyelenggaraan pendidikan Nasional minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Penyelenggaraan Pendidikan Nasional
sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah, baik pusat ataupun daerah. Idealnya, penyelenggaraan
pendidikan nasional seharusnya mengacu kepada apa yang telah ditetapkan dalam konstitusi di atas, tetapi
pada kenyataannya Negara telah “berselingkuh” dengan para pemodal (system pasar) yang akan tambah
memperburuk system guna untuk menjalankan konstitusi atau UUD 1945 tentang pendidikan.

Ideologi Pendidikan

Henry Giroux dan Arovowitz (1985) menggolongkan ideology pendidikan menjadi 3 kelompok,
yaitu :

a. Ideologi Konservatif
Dalam pandangan ideology konservatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan takdir Tuhan
serta merupakan bagian dari kesimbangan alam. Menurut faham ini, perubahan sosial merupakan
hal yang tidak perlu diperjuangkan.
Dalam perkembangannya, faham ini kemudian menitiktekankan permasalahan pada manusia
sebagai pelakunya. Ideology ini beranggapan bahwa mereka miskin, buta huruf, dan menderita
mengalami hal tersebut semata-mata karena kesalahan mereka sendiri. Karena kenyataannya di
luar mereka terdapat orang-orang yang bisa bekerja keras dan mendapatkan hal yang mereka
inginkan. Kaum konservatif selalu menjunjung tinggi harmoni serta menghindari konflik.
b. Ideology Liberal
Ideology pendidikan ini berkeyakinan bahwa dalam masyarakat bahwa dalam masyarakat terjadi
banyak masalah termasuk dalam bidang pendidikan. Meskipun demikian, ideology ini
beranggapan bahwa masalah pendidikan tidak ada sangkutpautnya dengan persoalan politik dan

11
ekonomi masyarakat. Dalam pandangan ideology ini, pendidikanlah yang harus bisa
menyesuaikan diri dengan perubahan arah politik dan perkembangan dunia perekonomian.
Ideology liberal ini lahir dari cita-cita individualism barat, bangsa barat menggambarkan manusia
ideal itu adalah rasionalis liberal. Pada dasarnya, manusia mempunyai potensi tingkatan yang
sama dalam intelektual, baik dalam tatanan alam maupun tatanan sosial yang ditangkap dengan
akal.
c. Ideology Kritis Radikal
Bagi penganut paham ideology kritis radikal, pendidikan merupakan sebuah arena perjuangan
politik. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan dalam pandangan ideology
ini digunakan untuk menyebarkan paham politik tertentu. Secara otomatis pendidikan mempunyai
tujuan sesuai dengan politik yang mempengaruhi.
Jika dalam pandangan kaum konservatif, pendidikan digunakan untuk menjaga kelanggengan
setatus quo, sedangkan bagi kaum liberal pendidikan diarahkan untuk perubahan secara moderat,
maka ideology kritis radikal menginginkan dunia pendidikan digunakan untuk mewujudkan
perubahan structural secara fundamental, baik dalam ekonomi, gender, dan politik.
Paham ini juga memberikan ruang untuk berfikir secara bebas sehingga menuntut manusia
bersikap kritis terhadap keadaan system atau kebijakan yang dirasa bisa menindas. Oleh karena
itu, paham kritis radikal menerapkan visi pada pendidikan sebagai kritik terhadap system yang
dominan.

Apa itu Pendidikan Kritis?

Pendidikan kritis pada dasarnya merupakan salah satu paham dalam pendidikan yang
mengutamakan pemberdayaan dan pembebasan. Perdebatan mengenai peran pendidikan di lingkungan
teoritis dan praktisi pendidikan kritis, tidak berbeda dengan penganut gerakan sosial untuk keadilan dan
penganut teori kritik lainnya. Mereka memiliki tradisi kritis terhadap system kapitalisme dan mencita-
citakan perubahan sosial menuju masyarakat yang adil dan demokratis.

Hakikat pendidikan adalah proses produksi kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran
kelas, kesadaran gender, ataupun kesadaran lainnya. Dengan kata lain, pendidikan adalah proses
pembebasan manusia artinya manusia dalam system dan struktur sosial yang ada, pada dasarnya adalah
proses dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender maupun karena hegemoni dan dominasi
budaya lainnya.

Sedangkan visi pendidikan terhadap system yang dominan adalah sebagai pemihakan rakyat kecil
dan tertindas untuk menciptakan kembali system baru dan harus lebih adil. Pendidikan harus mampu

12
menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi
sosial. Dengan kata lain, tugas pendidikan adalah memanusiakan manusia yang telah mengalami proses
dehumanisasi yang dikarenakan dari system dan struktur yang sudah jelas tidak adil. Untuk selanjutnya,
agenda pendidikan adalah untuk menyadarkan manusia-manusia yang tertindas agar mampu membaca
secara cerdas tentang fenomena-fenomena di sekitar dirinya. Dengan kemampuan membaca realitas yang
bertujuan untuk menemukan realsi-relasi permasalahannya, manusia akan tersadarkan dari belenggu
penindasan itu. Bahwa kemiskinan yang terjadi selama ini bukanlah atas dasar suratan takdir, akan tetapi
akibat dominasi peran dari pihak-pihak tertentu yang mempunyai kekuasaan dan berandil besar dalam
menjerat hidupnya.

Pijakan dasar tradisi pendidikan adalah pemikiran dan paradigma yang secara ideologis melakukan
kritik terhadap system dan struktur sosial, ekonomi dan politik yang tidak adil. Bagi penganut pendidikan
kritis, ketidakadilan kelas, diskriminasi gender, serta berbagai bentuk ketidakadilan sosial lainnya seperti
hegemoni cultural dan politik serta dominasi melalui diskursus pengetahuan yang ada di masyarakat, akan
terlefleksi dalam proses pendidikan. Refleksi ini harus menjadi “cermin” kondisi sosial dalam dunia
pendidikan.

Lantas Apa Yang Akan Kita Lakukan Sebagai Mahasiswa?

Mahasiswa adalah masyarakat terpelajar yang adil sejak dalam fikiran. Jika tidak demikian,
mahasiswa hanyalah penyakit yang mengagung-agungkan keteraturan dan hanya mengartikan
aktivitasnya sebagai sesuatu yang mekanistik. Mahasiswa yang demikian tidak memiliki acuan yang
mengarahkan tindakannya dan mensituasikan kesadaran kritisnya. Realita tentang persoalan masyarakkat
adalah konsumsi harian yang mustinya harus dilakukan. Jadi secara tidak langsung, mahasiswa telah
memiliki modal awal yang cukup untuk membuktikan bahwa ketimpangan itu nyata, dihubungkannya
dengan realitas yang membelenggu itu musti dimatikan dan teori yang dipelajari mendapat tempat yang
layak sebagai alat analisa.

Bahasa yang diusung oleh Paulo Freire tentang language of possibility akan membukakan mata kita
tentang tidak ada sesuatu yang tidak mungkin untuk dilakukan. Penindasan dan ketinmpangan adalah
mungkin bisa dilenyapkan. Dalam ranah yang lebih praktis, system pendidikan yang baik adalah jika
didalamnya terdapat penyakit-penyakit yang musti kita kuak. Kebijakan pendidikan tidak selamanya
memberikan kebebasan dan ketentraman yang sering digembor-gemborkan birokrat bisa jadi, kebijakan
yang dirumuskan merupakan bentuk penindasan baru. Pada akhirnya, mahasiswa memiliki peran penting
dan harus menjaga segala bahasa kemungkinan agar kekritisannya selalu terjaga.

13
Pada ranah yang lebih kongkrit, kurikulum pendidikan, model-model pembelajaran, dan segala
bentuk praktik pendidikan menjadi santapan diskusi yang cukup gurih dan perlu tertawakan bahwa di
dalam setiap praktik pendidikan tidak ada yang mapan dan tetap. Kompleksitasnya perlu kita lihat dengan
nalar kritis. Dan dengannya, mahasiswa mampu melakukan perubahan transformative dan memiliki
budaya kritis yang menggetarkan setiap birokrat yang bertindak menindas.

“Selamat, karena anda berada di posisi penentang segala bentuk ketimpangan dan penindasan”

PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF

Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam
bukunya “The Struktur Of Scientific Revolusion“ Thomas Khun tidak mendefinisikan secara jelas
pengertian paradigma. Namun Khun mengklasifikasikan dalam tiga pengertian paradigma :

1. Paradigma Metafisik : Paradigma yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian
ilmuan.
2. Paradigma Sosiologi : Paradigma yang mengacu pada suatu kebiasaan social masyarakat atau
penemuan teori yang diterima secara umum.
3. Paradigma Konstrak : Paradigma sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam
lingkup tertentu, misalnya paradigma pembangunan, paradigma perkembangan dll.
Dari ketiga pengklasifikasi diatas, Khun merumuskan Paradigma itu sbagai “ pandangan mendasar
dari suatu ilmu yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari ( a fundamental image a discipline has of
its subject matter ).
Kritis, menurut kamus ilmiah popular kritis adalah tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau
memberikan penelitian secara mendalam. Sehingga teori kritis adalah teori yang berusaha melakukan
analisa secara tajam dan teliti terhadap realitas. Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan
sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan karl marx. Ciri khas dari teori kritik
masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran karl marx, tapi juga
sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahwa meninggalkan beberapa tema pokok marx dan
menghadapi masalah masyarakat industry maju secara baru dan kreatif.
Teori kritis berangkat dari empat sumber kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant,
Hegel, Karl Marx, dan Sigmund Freud.
1. Kritik dalam perngertian Kantian.

14
Immanuel Kant melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif
sehingga akan membentuk paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan
analissinya pada epistemologis, tradisi filsafat yang bergulat pada persoalan “isi” pengetahuan.
Kritik dalam pengertian pemikiran Kanttian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan
klaim pengetahuan tanpa prasangka.
2. Kritik dalam pengertian Hegelian
Kritik dalam makna Hegelian merupakan kritik terhadap pemikiran kritis Kantian. Menurut
Hegel, Kant berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk menguji validitas suatu teori.
Menurut Hegel pengertiabn kritis merupakan refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan
panjang menuju ruh absolute. Hegel memandang teori kritis sebagai proses totalitas berfikir.
Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan
pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada.
3. Kritik dalam pengertian Marxian.
Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang berjalan dengan kepala, ini adalah terbalik. Dialektika
Hegelian dipandang terlalu idealis, yang memandang bahwa yang berdialektika adalah pikiran.
Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah kekuatan-kekuatan material dalam
masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi masyarakat). Sehingga
teori kritis bagi Marx sebagai usaha mengemansipasikan diri dari penindasan dan elienasi yang
dihasilkan oleh penguasa di dalam masyarakat.
4. Kritik dalam pengertian Freudin.
Madzah Frankfrut menerima Sigmun Freud karena analisis Freudin mampu memberikan basis
psikologi masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan
masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis psikoanalisanya, artinya
bahwa orang bisa melakukan sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga
manusia melakukan perubahan dalam dirinya. Kritik dalam pengertian Freudin adalah refleksi
atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran.

Berdasarkan empat pengertian kritis di atas, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar
konteplasi pasif prinsip-prinsip obyektif realitas, melainkan bersifat emansipatoris, sedangkan teori yang
emansipatoris harus memenuhi tiga syarat :

1. Bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya.
2. Berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat.
3. Tidak memisahkan teori dan praksi. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk
mendapatkan hasil yang obyektif.

15
Paradigma Kritis : Sebuah Sintesis Perkembangan Paradigma Sosial

William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenalkan adanya tiga jenis utama paradigma :

1. Order Paradigm (Paradigma Keteraturan)


Inti dari paradigma keteraturan ini adalah bahwa masyarakat dipandang sebagai system sosial yang
terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatukan dalam
keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur sosial adalah fungsional
terhadap struktur lainya. Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya, merupakan hal yang
wajar karena fungsional terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori Strukturalisme
Fungsional.
Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan : “ setiap kekuasaan senantiasa ada perlawanan”

2. Conflict Paradigm (Paradigma Konflik)


Secara konseptual, paradigma konflik menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan
kenyataan, bahwa :
 Setiap unsure-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang
menjadi prinsip penggerak perubahan.
 Perubahan tidak selalu gradual, namun juga revolusioner.
 Dalam jangka panjang, system sosial harus mengalami konflik sosial dalam lingkar setan yang
tak berujung pangkal.

Kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik. Konflik
dipandang sebagai inhern dalam setiap komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Konflik
menjadi instrument perubahan.

3. Plural Paradigm (Paradigma Plural)


Dari kontras/perbedaan antara paradigma keteratural dan paradigma konflik tersebut melahirkan
upaya membangun sintesis keduanya dan selanjutnya melahirkan paradigma plural. Paradigma plural
memandang manusia sebagai sosok yang independent, bebas dan memiliki otoritas serta otonomi untuk
melakukan pemaknaan dan menafsirkan realitas sosial yang ada disekitarnya.

Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic
pertumbuhan teori sosiologi, telah lahir Paradigma Kritis setelah dilakukan kolaborasi antara paradigma
pluralis dan paradigma konflik.

16
Apabila disimpulkan apa yang disebut dengan paradigma kritis adalah paradigma yang dalam
melakukan tafsir sosial atau membaca terhadap realitas masyarakat yang bertumpu pada :
a. Analisis Structural
b. Analisis Ekonomi
c. Analisis Kritis
d. Psikoanalisis yang akan membongkar kesadaran palsu di masyarakat
e. Analisis kesejarahan

Dalam perspektif Transformatif dianut epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang


tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah,
entah kaum miskin kota, buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak yang dilakukan secara bersama-
sama.

Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain :

1. Transformasi dari Elitisme ke Populisme


Dalam model transformasi ini digunakan model pendekatan, bahwa Mahasiswa dalam melakukan
gerakan sosial harus setia dan konsisten mengangkat isu-isu kerakyatan, semisal isu advokasi
buruh, advokasi petani, pendampingan terhadapan masyarakat yang digusur akibat adanya proyek
pemerintahan yang sering berselingkuh dengan kekuatan pasar (kaum kapitalis). Fenomena yang
terjadi masih banyak mahasiswa yang memprioritaskan untuk mengangkat isu elite, menlangit
dan jauh dari apa yang dikehendaki rakyat, bahkan kadang bersifat sangat Utopis. Oleh karena itu
, kita sebagai kaum intelektual terdidik, jangan sampai tercerabut dari akar sejarah kita sendiri.
Karakter gerakan mahasiswa saat ini haruslah lebih condong pada gerakan yang bersifat
horizontal.
2. Tranformasi dari Negara ke Masyarakat
Model transformasi kedua adalah transformasi dari Negara ke Masyarakat. Kalau kemudian kita
lacak basis teoritiknya adalah kritik yang dilakukan oleh Kal Marx terhadap G.W.F Hegel. Hegel
memaknai Negara sebagai penjelmaan roh absolute yang harus ditaati kebenarannya dalam
memberikan kebijakan terhadap rakyatnya. Makna transformatif ini akan sesuai jika gerakan
mahasiswa bersama-sama rakyat bahu-membahu untuk terlibat secara langsung atas perubahan
yang terjadi di setiap bangsa atau Negara.
3. Transformasi dari struktur ke culture
Bentuk transformasi ketiga adalah transformasi struktur ke culture, yang mana hal ini akan bisa
terwujud jika di dalam setiap mengambil keputusan berupa kebijakan-kebijakan ini tidak

17
sepenuhnya bersifat sentralistik seperti yang dilakukan pada desentralistik. Jadi, aspirasi dari
bawah harus dijadikan bahan pertimbangan pemerintah dalam mengambil keputusan, hal ini
penting karena rakyatlah yang paling mengerti akan kebutuhan dan yang paling sering
bersinggungan dengan kerasnya benturan sosial di lapangan.
4. Transformasi dari individu ke massa
Model transformasi selanjutnya adalah transformasi dari individu ke massa. Dalam disiplin ilmu
sosiologi disebutkan bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang sangat membutuhkan kehadiran
makhluk lainnya. Bentuk-bentuk komunalitas ini sebenarnya sudah di cita-citakan oleh para
Foundhing Fathers kita tentang adanya hidup bergotong-royong. Rasa egoism dan individualism
haruslah dibuang jauh-jauh dari sifat manusia. Salah satu jargon yang pernah dikatakan oleh Tan
Malaka (Sang Nasionalis Kiri) adalaha adanya aksi massa. Hal ini tentunya setiap perubahan
meniscayakan adanya power atau kekuatan rakyat dalam menyatukan program perjuangan
menuju perubahan sosial dalam bidang apapun (ipoleksosbudhankam).

Mengapa PMII memilih paradigma kritis transformatif??

“Berfikir Kritis & Bertindak Transformatif” itulah Jargon PMII dalam setiap membaca tafsir
social yang sedang terjadi dalam konteks apapun. Dan ada beberapa alasan yang menyebabkan PMII
harus memiliki Paradigma Kritis Transformatif sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan
pemikiran serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa terhadap realitas social. Paradigma
Kritis Transformatif (PKT) yang diterapkan di PMII, terlihat bahwa PKT sepenuhnya merupakan proses
pemikira manusia, dengan demikian dia adalah sekuler.
Kenyataan ini yang membuat PMII dilematis, karena akan mendapat tunduhan sekuler jika pola
pikir tersebut diperlukan. Untuk menghindari dari tudingan tersebut, maka diperlukan adanya reformulasi
penerapan PKT dalam tubuh warga pergerakan. PKT juga bisa menjadi pisau analisis yang menjadi cirri
khas ditubuh PMII sendiri, karena di dalam pemahaman PKT tidak diajarakan untuk berfikir radikal
(keras) dan juga tidak diajarkan untuk berfikir secara liberal (bebas).
PKT berupaya menegakkan harkat martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk
dominasi dn penindasan, membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonic. Semua
ini adalah pokok-pokok pemikiran yang terkandung dalam Islam, oleh karenanya pokok-pokok pemikiran
inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di kalangan kader PMII.

18
GENDER DAN FEMINISME

Pada prinsipnya perbedaan gender bukanlah persoalan, yang menjadi persoalan adalah adanya
perbedaan gender yang dijadikan legistimasi munculnya ketidakadilan gender dalam masyarakat. Konsep
penting yang harus dipahami dalam rangka membahas masalah materi ini adalah membedakan antara
konsep jenis kelamin dan kontruksi social. Pemahaman terhadap perbedaan antara konsep sex dan gender
sangat diperlukan untuk menganalisis dan memahami persoalan-persoalan mengenai ketidakadilan sosial
yang menimpa kaum perempuan maupun laki-laki. Hal ini disebabkan karena adanya kaitan antara
perbedaan gender (gender difference) dan ketidakadilan gender (gender inequlities) dengan struktur
keadilan masyarakat secara lebih luas.

Berikut ini beberapa definisi gender :


 Jhon M. Echolas dan Hasan Shadily dalam kamus Inggris-Indonesia, kata gender berasal dari
bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin.
 Di dalam Women Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah konsep cultural yang
berupaya membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional
antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.
 Hilany M. Lips dalam bukunya yang terkenal Sex and Gender an Introduction mengatakan gender
sebagai harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan ( Culture expectation for women dan
men ).

Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa perbedaan sex dan gender. Sex merupakan
alat kelamin biologis (phisikal genital) atau jenis kelamin berdasarkan anatomio biologis yang tidak bisa
dipertukarkan dan dirubah kecuali dengan operasi. Sedangkan Gender adalah alat kelamin budaya
(Culture Genital) atau sebuah konsep yang digunakan untuk menidentifikasi perbedaan laki-laki dan
perempuan yang dilihat dari segi sosial dan budayanya.

19

Anda mungkin juga menyukai