Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hakikatnya, pendidikan merupakan upaya mewariskan nilai, yang akan
menjadi penolong dan penuntun umat manusia dalam menjalani kehidupan
dan sekaligus untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia. Tanpa
pendidikan dapat dipastikan bahwa manusia sekarang tidak berbeda dengan
generasi manusia masa lampau. Karena itu, secara ekstrim dapat dikatakan
bahwa maju mundur atau baik buruknya peradaban suatu masyarakat atau
bangsa sangat ditentukan oleh bagaimana proses pendidikan yang dijalani
oleh masyarakat bangsa tersebut.1
J. Adler mengartikan pendidikan sebagai proses dimana semua kemauan
manusia (bakat dan kemampuan yang diperoleh) yang dapat dipengaruhi oleh
pembiasaan, disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik melalui
sarana yang secara artistik dibuat dan dipakai oleh siapapun untuk membantu
orang lain atau dirinya sendiri mencapai tujuan yang ditetapkan yaitu
kebiasaan yang baik2
Bila dilihat dari perspektif Pendidikan Islam, pendidikan dapat diartikan
sebagai upaya menjadikan manusia sebagai khalifatullah fi Ardh yang tetap
dalam keadaan menghambakan diri kepada Allah (‘Abdullah). Hal ini terlihat
pada definisi yang diberikan para ahli. Seperti Omar Muhammad al-Toumy
al-Syaebani, misalnya mengartikan pendidikan Islam sebagai usaha
mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya atau kehidupan
kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses
kependidikan, perubahan itu dilandasi dengan nilai-nilai Islam.
Dapat dipahami bahwa pendidikan Islam itu merupakan satu proses yang
tidak hanya menyangkut transfer ilmu, akan tetapi bagaimana menjadikan
manusia makhluk berakhlak dengan akhlak yang baik serta dari hasil
pendidikan itu dapat membantu kehidupan diri dan kemasyarakatannya
1
Harto, Kasinyo., Rekontruksi Pendidikan Islam, dalam Jurnal Pendidikan Islam Conciencia,
No. 2 Volume II, Desember 2002, hlm. 89
2
Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994. hal. 12

1
dengan berlandasan ajaran Islam. Faktor agama tampaknya memang tak
dapat dipisahkan dari hubungannya dengan perilaku manusia, baik secara
individu maupun secara kelompok. Manusia mempunyai kebutuhan
keagamaan yang instrinsik yang tidak dapat dijelaskan melalui sesuatu yang
mengatasinya dan yang diturunkan dari kekuatan-kekuatan supranatural.3
Pendidikan menurut Islam didasarkan pada asumsi bahwa manusia
dilahirkan dalam keadaan fitrah yaitu dengan membawa “potensi bawaan”
seperti potensi “keimanan”, potensi untuk memikul amanah dan tanggung
jawab, potensi kecerdasan, potensi fisik. Dengan potensi ini manusia mampu
berkembang secara aktif dan interaktif dengan lingkungannya dan dengan
bantuan orang lain atau pendidik secara sengaja agar menjadi manusia
muslim yang mampu menjadi khalifah dan mengabdi kepada Allah.
Upaya membangun pendidikan Islam berwawasan global bukan
persoalan mudah, karena pada waktu bersamaan pendidikan Islam harus
memiliki kewajiban untuk melestarikan, menamkan nilai-nilai ajaran Islam
dan dipihak lain berusaha untuk menanamkan karaktek budaya nasional
Indonesia dan budaya global. Tetapi, upaya untuk membangun pendidikan
Islam yang berwawasan global dapat dilaksanakan dengan langkah-langkah
yang terencana dan strategis.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara utuh konsepsi
tentang perkembangan pemikiran pendidikan Islam pada masa global yang
diwakili oleh Naguib al-Attas dan masa modern yang diwakili Hasan
Langgulung dengan menggunakan konsepsi ta’lim, tarbiyah dan ta’dib.
Naguib al-Attas menghendaki agar pendidikan Islam mampu menghasilkan
manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan universal dalam wawasan
dan otoritatif dalam ilmu pengetahuan, dengan kata lain manusia yang
mencerminkan pribadi Nabi Muhammad SAW.
Hasan Langgulung mengatakan bahwa pendidikan Islam pada akhirnya
harus mampu mengeluarkan dan membentuk manusia Muslim, kenal dengan
3
Wahab, Rohmalima., Pendidikan Islam dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, dalam
Jurnal Pendidikan Islam Conciencia, No. 2 Volume II, Desember 2002 hal. 110

2
agama dan Tuhannya, berakhlak al-Qur’an, tetapi juga mengeluarkan
manusia yang mengenal kehidupan, sanggup menikmati kehidupan yang
mulia, dalam masyarkaat yang bebas dan mulia, sanggup memberi dan
membina masyarakat itu, mendorong dan mengembangkan kehidupan disitu
melalui pekerjaan tertentu yang dikuasainya
Terlepas dari penjelasan di atas, makalah ini akan berbicara tentang
tahap-tahap perkembangan pemikiran pendidikan Islam, terutama pada masa
global dan modern dengan terlebih dahulu kita akan menjumpai klasifikasi
dari perkembangan pemikiran pendidikan Islam dari awal yang meliputi:
masa perkembangan awal yang terjadi pada Rasul dan Sahabat, kemudian
pada masa klasik dengan tokohnya Imam al-Ghazali dan Ikhwan al-Shafa,
dan terakhir sampai pada masa global dan modern. Pada masa global dan
modern ini akan diwakili dengan kehadiran dua tokoh pemikir pendidikan
Islam yaitu Syed Naguib al-Attas dan Hasan Langgulung yang akan kembali
merumuskan suatu konsep pendidikan Islam yang utuh.

B. Rumusan Masalah
Dari uraian pada latar belakang masalah di atas dapat disipulkan
rumusan masalah pada penulisan makalah ini, yaitu bagaimana
perkembangan pemikiran pendidikan Islam pada masa global yang diwakili
oleh Naguib al-Attas dan masa modern yang diwakili Hasan Langgulung?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menemukan jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan utama yang tersimpul dalam rumusan asalah. Lebih
rinci tujuan itu dapat diungkapkan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perkembangan pemikiran pendidikan Islam pada masa
global yang diwakili oleh Naguib al-Attas dan masa modern yang
diwakili Hasan Langgulung.
2. Untuk memperoleh gambaran yang lebih komprehensif tentang pemikiran
pedagogik apa saja yang diwacanakan Naguib al-Attas dan Hasan
Langgulung dan relevansinya untuk pendidikan Islam modern.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pemikiran Pendidikan Islam Syed Naguib al-Attas


1. Riwayat Hidup Syed Naguib al-Attas
Syed Muhammad Naguib al-Attas (selanjutnya akan digunakan
dengan sebutan Naguib al-Attas) lahir di Bogor Jawa Barat pada tanggal
5 September 1931. Ia adik kandung dari Prof. DR. Husein al-Attas,
seorang ilmuwan dan pakar psikologi di Universitas Malaya Kuala
Lumpur Malaysia. Ayahnya bernama Syed Ali bin Abdullah al-Attas,
sedangkan ibunya bernama Syarifah Raguan al-Idrus, keturunan kerabat
raja-raja Sunda Sukapura Jawa Barat.4 Sedangkan pihak ayah masih
tergolong bangsawan di Johor.5 dan masih berasal dari Arab yang
silsilahnya merupakan keturunan ulama dan ahli tasawuf yang terkenal
dari kalangan Sayyid
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa dalam sejarah kerajaan
Islam Nusantara atau Semenanjung Malaka, pada waktu itu merupakan
suatu hal yang biasa jika seorang ulama besar dari Timur Tengah
mempersunting anggota keluarga kerajaan dan Naguib al-Attas adalah
buah dari hasil pernikahan seperti itu. Latar belakang keluarga ini
mennjukkan bahwa Naguib al-Attas memang bukan datang dari
kelompok sosio-kultural biasa, akan tetapi dari kaum ningrat. Dalam
dirinya mengalir tidak saja darah biru namun semangat dan emosi
keagamaan yang luhur akan kesucian pribadi seperti yang diajarkan
dalam dunia tasawuf.6
Ketika berusia 5 tahun, Naguib al-Attas diajak orang tuanya migrasi
ke Malaysia. Di sini, Naguib al-Attas dimasukkan dalam pendidikan

4
Ismail SM., Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad Naguib al-Attas, dalam
Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999. ha. 271
5
Nizar, Samsul., Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta:
Ciputat Pers, 2002. hal.117
6
Rahman, Fazlur., Tahun Perkembangan Yang Mantap Bagi Islam, dalam Al-Hikmah, No. 7,
November-Desember 1997. hal.87

4
dasar Ngee Heng Primary School sampai usia 10 tahun. Melihat
perkembangan yang kurang menguntungkan yakni ketika Jepang
menguasai Malaysia, maka Naguib al-Attas dan keluarga pindah lagi ke
Indonesia. Di sini, Ia kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah
Urwah al-Wusqa, Sukabumi selama tahun 1942-1945. Di tempat ini,
Naguib al-Attas mulai mendalami dan mendapatkan pemahaman tradisi
Islam yang kuat, terutama tarekat. Hal bisa dipahami, karena pada saat itu
di Sukabumi telah berkembang perkumpulan Tareqat Naqsabadiyah.7
Ketika tinggal di Johor Baru, ia tinggal bersama dan dibawah
didikan saudara ayahnya Encik Ahmad, kemudian dengan ibu Azizah
hingga perang dunia kedua meletus. Pada tahun 1936-1941 ia belajar di
Ngee Neng English Primary School di Johor Baru. Pada tahun 1946
Naguib al-Attas melanjutkan pelajaran di Bukit Zahrah School dan
setersnya di English College Johor pada tahun 1946-1949. 8 Di dalam
lingkungan kaum ningrat ini, Naguib al-Attas mengenyam sistem
pendidikan modern.
Setelah menamatkan pendidikan dengan sistem modern di English
College, akhirnya Naguib al-Attas melanjutkan pendidikannya di dunia
militer. Pendidikan militernya dimulai di Laskar tentara gabungan
Malaysia-Inggris dengan pangkat perwira kadet. Kecemerlanganya dalam
dunia militer ini membuat ia terpilih untuk melanjutkan latihan dan studi
ilmu militer di Easton Hall Chester Inggris dan kemudian di Royal
Militery Academy Sandhurst Inggris pada tahun 1952-1955 dengan
pangkat terakhir Letnan. 9
Setelah menyelesaikan studinya pada Royal Militery Academy
Sandhurst Inggris tahun 1955, Naguib al-Attas melanjutkan studinya di
Departemen Social Sciences Studies di Universitas Malaya pada tahun
7
Nizar, Samsul., Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, Jakarta:
Ciputat Pers, 2002. hal.118
8
il SM., Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad Naguib al-Attas, dalam
Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999. ha. 271
9
Muzani, Saiful., Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naguib al-
Attas, dalam Al-Hikmah, No. 3, Juli-Oktober 1991. hal.91

5
1957-1959. Kemudian pada tahun 1960-1962 ia melanjutkan
pendidikannya di Mc Gill University Montreal Canada untuk kajian
keislaman (Islamic Studies) hingga memperoleh gelas MA dengan nilai
yang membanggakan dalam bidang teologi dan metafisika Islam
(Redaksi, 1987:15). Tidak lama kemudian, pada tahun 1963-1964 melalui
sponsor Sir Richard Winstert dan Sir Morimer Wheeler dari British
Academy ia mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi di School of
Oriental and African Studies, University of London, yang oleh banyak
kalangan dianggap sebagai pusat kaum orientalis.
Secara umum, pendidikan Naguib al-Attas bermula di Sukabumi-
Indonesia dan Johor-Malaysia. Setamat dari sana, ia masuk militer di
Inggris. Kemudian ia kuliah di Universitas Malaya (UM) di Singapura.
Untuk selanjutnya ia meneruskan studinya hingga memperoleh gelar MA
dan Ph.D masing-masing dari Mc Gill University, Montreal di Kanada
dan University of London di Inggris dengan fokus kajian pada teologi dan
metafisika Islam.
2. Pemikiran Pendidikan Syed Muhammad Naguib al-Attas Tentang
Pendidikan Islam
a. Pengertian Pendidikan Islam
Dalam bahasa Arab, terdapat tiga terminologi yang merujuk
kepada konsep pendidikan, yakni Ta’lim, Tarbiyah dan Ta’dib.
Naguib al-Attas memberikan pengertian kritis tentang penggunaan
ketiga istilah tersebut. Istilah Tarbiyah, menurut ia untuk
menggambarkan pendidikan Islam terlalu dipaksakan. Pengertian yang
terkandung di dalam istilah tersebut tidak mewakili hakikat dan proses
pendidikan Islam secara penuh. Karena itu, ia meyakini bahwa istilah
tersebut tidak tepat digunakan untuk mengartikan pendidikan Islam,
atas dasar paling sedikit tiga argumen.10

10
Al-Attas, Syed Muhammad Naguib., Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir
Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, (terj.) Haidar Baqir, Bandung: Mizan:,1992. hal.94

6
Pertama, bahwa dalam leksikon utama bahasa Arab, tidak
ditemukan penggunaan istilah tarbiyah yang dipahamidengan
pengertian Pendidikan yang khusus bagi manusia sesuai dengan
perspektif Islam. Menurut beberapa sumber sebagaimana yang dikutip
Naguib al-Attas. Ibnu Manzur mencatat bahwa akar kata dari istilah
tarbiyah adalah kata rabba ( ) dan rabba ( ).
Menurut Asma’i istilah-istilah tersebut memuat makna yang
sama. Mengenai maknanya, al-Jauhari menegaskan bahwa makna ini
mengacu kepada segala sesuatu yang tumbuh, seperti anak-anak,
tanaman dan sebagainya. Penerapan kata tarbiyah, dengan demikian
tidak terbatas pada manusia saja, melainkan meluas pada species-
specieslain seperti tanaman dan hewan. Medan semantiknya yang luas
ini menyebabkan istilah tarbiyah tidak tepat untuk mengartikan
pendidikan yangdalam konsep Islam hanya berlaku untuk manusia.
Dalam pernyataan Naguib al-Attas itu disebutkan bahwa dengan
istilah tarbiyah orang bisa mengacu kepada peternakan hewan dan
perkebunan. Padahal pendidikan dalam Islam adalah sesuatu yang
khusus untuk manusia.
Kedua, sebagaimana yang digunakan dalam al-Qur’an, arti istilah
tarbiyah tidak mencerminkan faktor-faktor esensial pengetahuan dan
intelektual yang pada dasarnya merupakan komponen-komponen inti
dalam pendidikan Islam yang sesungguhnya. Pengertian ini memang
tidak berjauhan dari pemakaiannya sebagaimana terdapat dalam Q.S.
Al-Isra’:24 berbunyi:
Artinya: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua
dengan penuh kesayangan dan ucapkalah: Wahai Tuhanku,
kasihanilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah
mendidik aku waktu kecil”11.
Naguib al-Attas mengartikan kata tarbiyah tersebut dengan
“membesarkanku”, sehingga ayat tersebut diartikannya: Apabila

11
Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Mahkota, 1989. hal.428

7
dianjurkan oleh Allah untuk menurunkan syap kerendahan hati karena
kasih sayang kepada orang tua kita dan berdoa. “Tuhanku! Ampunilah
mereka sebagaimana mereka telah membesarkanku diwaktu kecil”
Naguib al-Attas juga menyimpulkan bahwa tarbiyah merupakan usaha
membawa anak kepada kondisi yang lebih baik atas dasar rahmat atau
kasih sayang dan pemberian yang tidak melibatkan pengetahun dan
intelektual. Dua yang terakhir ini menurutnya merupakan inti dari
proses pendidikan.12
Ketiga, kalaupun istilah tarbiyah bisa diberikan pengertian yang
berkaitan dengan pengetahuan, maka konotasinya cenderung kepada
pemilikan pengetahuan bukan kepada proses penanamannya. Bagi
naguib al-Attas inti dari proses pendidikan yang sebenarnya adalah
“proses penanaman”, bukan kepada pemilikannya13.
Naguib al-Attas secara jelas mengemukakan ketidaksetujuannya
atas penggunaan istilah tarbiyah untuk menunjuk pendidikan Islam
seperti apa yang diutarakannya:
Tarbiyah dalam konotasinya yang sekarang menurut pendapat
saya merupakan istilah yang relatif baru yang bisa dikatakan telah
dibuat-buat oleh orang-orang yang mengaitkan dirinya dengan
pemikiran modernis. Istilah tersebut dimaksudkan untuk
mengungkapkan makna pendidikan tanpa memperhatikan sifatnya
yang sebenarnya…. Mereka yang membuat-buat istilah tarbiyah untuk
maksud pendidikan pada hakikatnya mencerminkan konsep Barat
tentang pendidikan. Mengingat istilah tarbiyah adalah suatu
terjemahan yang jelas dari istilah education menurut artian Barat.14
Kata education, yang berarti pendidikan (John M. Echols dan
Hasan Shadily, 1996:207) secara konseptual dikaitkan dengan kata-
kata lain educare yang menurut Naguib al-Attas berarti menghasilkan,
12
Al-Attas, Syed Muhammad Naguib., Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir
Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, (terj.) Haidar Baqir, Bandung: Mizan:,1992. hal.70
13
Al-Attas, Syed Muhammad Naguib., Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir
Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, (terj.) Haidar Baqir, Bandung: Mizan:,1992. hal.72
14
Ibid. hal.72

8
mengembangkan dari kepribadian yang tersembunyi atau potensial,
yang didalamnya proses menghasilkan dan mengembangkan mengacu
kepada segala sesuatu yang bersifat fisik atau material.15.
Merujuk kepada istilah tarbiyah, nampaknya istilah tersebut tidak
terbatas pada manusia, akan tetapi menyusup jauh dan dapat
diterapkan untuk berbagai spesies. Dengan demikian, istilah tarbiyah
dari segi semantik tidak mewadahi dan tidak tepat untuk menunjuk
arti pendidikan dalam Islam.
Naguib al-Attas menawarkan sebuah istilah yang dianggapnya
dapat menggambarkan pengertian pendidikan Islam dalam
keseluruhan esensinya yang fundamental. Dan nampaknya Naguib al-
Attas lebih cenderung menggunakan istilah ta’dib untuk konsep
pendidikan, bukan tarbiyah. Alasannya bahwa kata tarbiyah secara
semantik tidak khusus ditujukan untuk mendidik manusia, akan tetapi
dapat dipakai pada species lain, seperti mineral, tanaman dan hewan.
Selain itu tarbiyah berkonotasi material yang mengandung arti:
mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan,
memelihara, membuat, menjadika bertambah dalam pertumbuhan,
membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan
menjinakkan. Sementara ta’dib sasarannya jelas yakni khusus hanya
untuk manusia. 16
Dalam istilah ta’dib, pengetahuan lebih ditonjolkan daripada
kasih sayang. Dalam sturktur konseptualnya ta’dib sudagh mencakup
unsur-unsur pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan pengasuhan
yang baik (tarbiyah). Karenanya, tidak perlu lagi untuk mengacu
kepada konsep pendidikan dalam Islam sebagai tarbiyah, ta’lim dan
ta’dib sekaligus. Karena itu, ta’dib merupakan istilah yang paling tepat
dan cermat utnuk menunjukkan pendidikan dalam arti Islam. 17

15
Ibid. hal.64
16
Al-Attas, Syed Muhammad Naguib., Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir
Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, (terj.) Haidar Baqir, Bandung: Mizan:,1992. hal.67
17
Ibid. hal.74-75

9
Dari sini sudah digambarkan, nampaknya Naguib al-Attas melihat
ta’dib sebagai suatu sistem pendidikan Islam yang didalamnya terdiri
dari tiga sub sistem yaitu: pengetahuan (‘ilm), pengajaran (ta’lim) dan
pengasuhan yang baik (tarbiyah). Jadi tarbiyah dalam konsep Naguib
al-Attas merupakan satu dari sub sistem yang berasal dari ta’dib.
Secara bahasa, kata ta’dib merupakan bentuk masdar dari kata
addaba ( ). Yang berarti memberi adab, mendidik. Sementara Az-
Zajjaj sebagaimana yang dikutip Naguib al-Attas, mengartikannya
sebagai cara Tuhan mengajar Nabi-Nya. Sedangkan Naguib al-Attas
18
sendiri memberi makna ta’dib dengan pendidikan. Pendidikan,
lanjutnya, adalah meresapkan dan menanamkan adab pada diri
manusia, ini adalah ta’dib. 19
Dari sini secarfa sederhana dapat diketahui bahwa apa yang
dimaksudkan denagn ta’din dalam terminologi Naguib al-Attas adalah
suatu upaya peresapan dan penanaman adab pada diri manusia dalam
proses pendidikan. Disamping itu, adab merupakan suatu muatan atau
kandungan yang harus ditanamkan dalam proses pendidikan Islam.
Selanjutnya, Naguib al-Attas mengingatkan akan munculnya
beberapa akibat serius sebagai konsekuensi logis yang timbul dari
dampak tidak dipakainya konsep ta’dib sebagai proses pendidikan,
yaitu:
1. Kebingungan dan kesalahan dalam pengetahuan
2. Hilangnya adab di dalam pergaulan
3. Bangkitnya pemimpin-pemimpin yang tidak memenuhi syarat
kepemimpinan yang absah dalam umat Islam, yang tidak memiliki
standar moral, intelektual dan spritual yang tinggi, yang dibutuhkan
bagi kepemimpinan. 20

18
Ibid. hal.69
19
Al-Attas, Syed Muhammad Naguib., Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir
Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, (terj.) Haidar Baqir, Bandung: Mizan:,1992. hal.222
20
Ibid. hal.62

10
Dengan merujuk kepada konsep adab, Naguib al-Attas
mendefinisikan pendidikan dan prosesnya yang dalam hal ini ta’dib
adalah sebagai berikut:
Pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur
ditanamkan ke dalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari
segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga
hal ini membimbing ke arah pengenalan tempat Tuhan yang tepat di
dalam tatanan wujud dan keberadaan.
Beranjak dari definisi pendidikan dan prosesnya, dapat diambil
suatu kesimpulan bahwa pemikiran pendidikan Naguib al-Attas lebih
menekankan pada penanaman adab pada diri manusia di dalam proses
pendidikan. Penekanan pada penanaman adab dimaksudkan agar ilmu
yang diperoleh diamalkan secara baik dan tidak disalahgunakan.
Dalam hubungannya dengan definisi pendidikan Islam yang
dipaparkan oleh Naguib al-Attas diatas, nampaknya sejalan dengan
apa yang telah diawali oleh al-Ghazali. Al-Ghazali menekankan
betapa pentingnya masalah adab dalam pendidikan Islam, seperti apa
yang diutarakannya: “Seorang alim hendaknya menggeluti ilmu secara
terus menerus tapi juga mengamalkan ilmu yang dimilikinya”.
b. Tujuan Pendidikan Islam
Berbicara tentang tujuan pendidikan Islam, berarti berbicara
tentang nilai-nilai yang bercorak Islami. Dalam hal ini Naguib al-Attas
lebih menitikberatkan pada pembentukan aspek pribadi individu dari
pada masyarakat. Namun jika dicermati bahwa penitikberatan pada
diri pribadi individu tersebut, tidak berarti mengabaikan terbentuknya
suatu masyarakat yang ideal. Hal ini seperti apa yang diutarakannya:
“Karena masyarakat terdiri dari perseorangan-perseorangan maka
membuat setiap orang atau sebagian besar diantaranya menjadi orang-
orang baik berarti pula menghasilkan suatu masyarakat yang baik”.
Dengan demikian Naguib al-Attas meyakini bahwa masyarkaat
akan menjadi lebih baik apabila individunya baik. Hal ini merupakan

11
akibat logis dari pandangan dunianya yakni kebaikan dan kebenaran
yang bersumber dari Tuhan melimpah lebih dahulu melalui individu,
karena individu menempati posisi lebih tinggi dalam hirarki realitas
dibanding dengan masyarakat.
Dalam terminologi Naguib al-Attas, untuk menghasilkan manusia
yang baik agaknya perlu diawali dengan pembinaan diri pribadi
individu itu sendiri, karena dengan pembinaan diri pribadi individu
menjadi baik, maka secara otomatis akan menghasilkan masyarakat
yang baik. Naguib al-Attas menghendaki agar pendidikan Islam
mampu menghasilkan manusia paripurna, insan kamil yang bercirikan
universal dalam wawasan dan otoritatif dalam ilmu pengetahuan,
dengan kata lain manusia yang mencerminkan pribadi Nabi
Muhammad SAW.21.
c. Kurikulum Pendidikan Islam
Naguib al-Attas dalam hal ini tidak memberikan suatu definisi
tentang kurikulum seperti kebanyakan para ahli pendidikan lainnya.
Bagi Naguib al-Attas, rumusan kurikulum itu merupakan suatu hal
yang lebih mudah jika telah dipahami definisi dan bentuk pendidikan
dalam Islam. 22
Menurut Naguib al-Attas, dalam penyusunan kurikulum
pendidikan yang terlebih dahulu ditetapkan adalah ruang lingkup dan
kandungan ilmu pada tingkat universitas. Langkah ini perlu karena
dalam pemikirannya perwujudan yang paling tinggi dan sempurna
dalam sistem pendidikan Islam adala pada tingkat universitas, maka
formulasi kandungannya harus diutamakan. Dalam hal ini seperti apa
yang dikatakannya:
Ruang lingkup dan kandungan pada tingkat universitas harus
lebih dahulu dirumuskan sebelum bisa diproyeksikan ke dalam

21
Muzani, Saiful., Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naguib
al-Attas, dalam Al-Hikmah, No. 3, Juli-Oktober 1991. ha. 84
22
Al-Attas, Syed Muhammad Naguib., Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka Pikir
Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, (terj.) Haidar Baqir, Bandung: Mizan:,1992. hal. 19

12
tahapan-tahapan yng lebih sedikti secara berurutan ke tingkat-tingkat
yang lebih rendah, mengingat tingkat universitas mencerminkan
perumusan sistemasi yang paling lengkap dan paling tinggi, dan hanya
jika hal ini bisa dicapai barulah dia akan menjadi model bagi yang
berada dibawahnya23.
d. Visabilitas Pemikiran Syed Naguib al-Attas bagi Pendidikan Islam
Dewasa ini
Berdasarkan kondisi pendidikan Islam ini, sebagaimana yang
telah disekripsikan diatas. Maka pemikiran pendidikan Islam yang
ditawarkan oleh Naguib al-Attas nampaknya memiliki relevansi dan
signifikansi yang tinggi serta layak untuk dipertimbangkan sebagai
solusi alternatif untuk diaktualisasikan dalam dunia pendidikan Islam.
Karena pada dasarnya ia merupakan konsep pendidikan yang berusaha
untuk mengintegrasikan dikotomi ilmu pengertahuan dan menjaga
keseimbangan yang bercorak moral-religius.
Apabila ditelaah dengan cermat, bahwa pemikiran Naguib al-
Attas adalah lebih mengarah kepada pendidikan yang bercorak moral-
religius dengan tetap menjaga keseimbangan dan keterpaduan sistem.
Hal tersebut seperti tersirat dalam konsepnya tentang adab yang
menurutnya telah mencakup konsep ilmu dan amal. Ini dimaksudkan
bahwa setelah manusia dikenalkan kepada posisinya dalam tatanan
kosmik lewat proses pendidikan, amalan tersebut tentunya
berdasarkan etika dan ajaran agama. Dengan kata lain, bahwa
penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi harus dilandasi dengan
pertimbangan ajaran agama.
Hal ini merupakan indikator bahwa apa yang telah ditawarkan
oleh Naguib al-Attas nampaknya mengacu kepada aspek moral-
transendental (afektif) meskipun juga tidak mengabaikan aspek
sensual logis (kognitif) dan sensual empirik (psikomotorik). Ini
relevan dengan aspirasi pendidikan Islam, yakni aspirasi yang

23
Ibid. hal.18

13
bernafaskan moral dan agama. Karena dalam taksonomi pendidikan
Islam, dikenal adanya aspek moral-transendental, yaitu domain iman
disamping tiga domain: kognitif, afektif dan psikomotorik yang
dikembangkan oleh B.S. Bloom.24.
Domain Imam sangat diperlukan dalam pendidikan Islam, karena
ajaran Islam tidak hanya menyangkut hal-hal rasional saja, akan tetapi
juga menyangkut hal-hal yang supra-rasional, dimana akal manusia
tidak akan mampu menangkapnya kecuali didasari dengan iman yang
bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits. Domain iman merupakan titik
sentral yang hendak menentukan nilai yang dimiliki dan amal yang
dilakukan.
Dari uraian diatas, format pemikiran pendidikan yang ditawarkan
oleh Naguib al-Attas, beliau nampaknya berusaha untuk menampilkan
wajah pendidikan Islam sebagai suatu sistem pendidikan terpadu. Hal
tersebut dapat secara jelas dapat dilihat dari tujuan pendidikan yang
dirumuskannya, yakni tujuan akhir dari pendidikan Islam adalah untuk
mewujudkan manusia yang baik, yaitu manusia universal (insan
kamil).
B. Pemikiran Pendidikan Masa Hasan Langgulung
1. Riwayat Hidup Hasan Langgulung
Prof. DR. Hasan Langgulung lahir di Rappang Sulawesi Selatan.
Pendidikan Dasar dilaluinya di Rappang dan Makassar. Sekolah
Menengah Pertama dan Seklah Islam di Makassar pada tahun 1949-1952.
Ia menempuh studi di Islamic Studies dari fakultas Da al-Ulum, Cairo
University pada tahun 1962, gelar Diploma of Education diperolehnya
dari Ein Shams University, Cairo pada tahun 1963. Kemudian
mendapatkan gelar MA dalam bidang Psikologi dan Mental Hyegine pada
Ein Shams University, Cairo tahun 1967, selanjutnya ia memperoleh
gelar Diploma dalam bidang Sastra Arab Modern dari Institut of Higher
Arab Studies, Arab Leage, Cairo pada tahun 1964. Gelar PhD

24
Muhaimin. 1991. Konsep Pendidikan Islam. Malang: CV Romadloni. Ha. 72-73

14
diperolehnya dalam bidang Psikologi dari University of Georgia Amerika
Serikat pada tahun 1971.
Beliau pernah mengajar di University Kebangsaan Malaysia sebagai
Profesor senior selama beberapa tahun dan sekarang beliau mengajar di
University Islam Antar Bangsa Kuala Lumpur, Malaysia juga sebagai
Profesor Senior pada tahun 2002. Ia mendapat penghargaan Profesior
Agung (Royal Profesor) pada tahun 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia
oleh masyarakat akademik Dunia.25.
2. Pemikiran Pendidikan Islam Hasan Langgulung
Istilah Pendidikan Islam dalam pandangan Hasan Langgulung
digunakan sekurang-kurangnya untuk 8 (delapan) pengertian dan dalam
konteks yang berbeda yaitu:
a) Pendidikan Keagamaan (al-Tarbiyah al-Diniyah)
b) Pengajaran Agama (al-Ta’lim al-Islami)
c) Pengajaran Keagamaan (al-Ta’lim al Dinity)
d) Pendidikan Keislaman (al-Ta’lim al-Islami)
e) Pendidikan dalam Islam (al-Tarbiyah fi al-Islam)
f) Pendidikan di kalangan orang Islam (al-Tarbiyah Inda al-Muslimin)
g) Pendidikan orang-orang Islam (Tarbiyah al-Muslimin)
h) Pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah)
Untuk memahami betul-betul pengertian yang ditulis tentang apa
yang dimaksudkan pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah) menurut
Hasan Langgulung kita harus dapat menggabungkan istilah pendidikan
dalam Islam (al-Tarbiyah fi al-Islam) dan pendidikan di kalangan orang-
orang Islam (al-tarbiyah Inda al-Muslimin) dengan penegrtian yang
dimaksud adalah:
Kerangka pemikiran yang menangani berbagai masalah-masalah
pengajaran dan konsep-konsep pendidikan dalam asas-asas teoritisnya
dan media praktisnya seperti yang dinyatakan di dalam al-Qur’an dan

25
Langgulung, Hasan., Pendidikan Islam dalam Abad ke-21, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,
2003. hal.18

15
Sunnah sebagai dasar pokok, kemudian menerima sumbangan-
sumbangan pemikiran (al-Turath a-Fikr) yang telah dibawa pakar-pakar
dalam berbagai bidang seperti ulama-ulama fiqih, ulama-ulama hadits,
ulama-ulama falsafah dan ahli-ahli fikir Islam sepanjang sejarah. 26
3. Kurikulum Pendidikan Islam
Pendidikan akhlaq adalah pusat yang di sekelilingnya berputar
program dan kurikulum pendidikan Islam. Dapat kita ringkaskan tujuan
pokok pendidikan Islam dalam satu perkataan: Fadillah (sifat yang
utama). Filosof-filosof Islam sepakat bahwa Pendidikan Akhlaq adalah
jiwa pendidikan Islam. Sebab tujuan pertama dan termulia pendidikan
Islam adalah menghaluskan akhlaq dan mendidik jiwa.
Yang dimaksud akhlaq dan fadilah disini ialah bahwa manusia
berkelakuan dalam kehidupannya sesuai dengan kemanusiaannya, yaitu
kedudukan mulia yang diberikan kepadanya oleh Allah melebihi
makhluk-makhluk yang lain, ia diangkat sebagai khalifah. Dari itu maka
ilmu adalah jalan ke arah pendidikan akhlaq itu dan untuk sampai kepada
fadilah itu. Dengan syarat ia bukanlah ilmu teoritis tetapi ilmu praktis,
yaitu ia haruslah diterjemahkan ke dalam kenyataan yang hidup yang
merapkan ketinggian akhlaq bagi individu, perpaduan dan intedependen
bagi kumpulan, kemajuan peradaban yang terus menerus dimana
terlaksana kebaikan untuk individu dan kumpulan sekaligus.
Kurikulum dalam pendidikan islam bersifat fungsional, tujuannya
mengeluarkan dan membentuk manusia Muslim, kenal agama dan
Tuhannya, berakhlaq al-Qur’an, tetapi juga mengeluarkan manusia yang
mengenal kehidupan, sanggup menikmati kehidupan yang mulia, dalam
masyarakat bebas dan mulia, sanggup memberi dan membina masyarakat
itu, mendorong dan mengembangkan kehidupan di situ melalui pekerjaan
tertentu yang dikuasainya. (Hasan Langgulung, 1992; 117-118).
4. Pendekatan dalam Pendidikan Islam

26
Langgulung, Hasan., Pendidikan Islam dalam Abad ke-21, Jakarta: Pustaka al-Husna Baru,
2003.hal 78-79

16
Hasan Langgulung menyimpulkan tentang pendekatan dalam
pendidikan Islam yang terbagi ke dalam tiga pendekatan Hasan
Langgulung, 1992:71; Pendekatan Pertama mengganggap pendidikan
sebagai Pengembangan Potensi. Pendekatan kedua cenderung melihatnya
sebagai pewarisan budaya. Sedang Pendekatan ketiga menganggapnya
sebagai Interaksi antara potensi dan budaya. Dimana ketiga pendekatan
diatas tidak dapat berjalan sendiri-sendiri.
Kalau sifat-sifat Tuhan yang berjummlah 99 diaktualisasikan pada
diri dan perbuatan manusia niscaya ia merupakan potensi yang tak terkira
banyaknya. Ini menggambarkan bagaimana komplikasinya potensi yang
dimiliki manusia. Sehingga kalau ia diletakkan di sebuah lingkungan
tanpa sumber hidup sama sekali, ia tetap survive, karena potensi yang
dimilikinya itu. Sehingga potensi manusia sebagai karunia Tuhan itu
haruslah dikembangkan, sedang pengembangan potensi sesuai dengan
petunjuk Tuhan itulah yang disebut ibadah. Jadi, kalau tujuan kejadian
manusia adalah ibadah dalam pengertian pengembangan potensi-potensi,
maka akan bertemu dengan tujuan tertinggi (ultimate aim) pendidikan
Islam untuk mencipta manusia ‘abid (penyembah Allah).27.
Dalam kaitannya dengan Islam, interaksi antara potensi dan budaya
ini lebih menonjol sebab baik potensi yang berupa roh Allah yang disebut
fitrah, seperti dinyatakan dalam hadits yang artinya: “Setiap anak
dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya orang tuanya menyebabkan ia
menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR Bukhari), ataupun agama
yang diwahyukan kepada Rasul itu juga adalah fitrah, seperti firman
Allah yang artinya: “Fitrah Allah yang menciptakan manusia sesuai
dengannya”. (Q.S. 30:30).
Jadi, fitrah sebagai potensi yang melengkapi manusia semenjak
lahir dan fitrah sebagai din yang menjadi pondasi tegaknya peradaban
Islam. Pendeknya, fitrah dipandang dari dua sudut yang berlainan. Dari

27
Langgulung, Hasan., Pendidikan Islam Indonesia; Mencari Kepastian Historis, dalam Islam
Indonesia Menatap Masa Depan, Pengantar: Dawam Rahardjo, Jakarta: P3M, 1989. hal. 161

17
satu segi adalah potensi, dari segi lain ia adalah din. Yang satu adalah roh
Allah (Q.S. 15:29) sedang segi yang lain adalah perkataan (kalam) Allah.
Dalam sejarah pendidikan Islam, kita akan melihat bagaimana
pendekatan-pendekatan pendidikan ini beroperasi dengan
memperhitungkan aspek-aspek lingkungan dimana ia berada, tanpa
melupakan tujuan kejadian manusia.
5. Strategi Pendidikan Islam
Strategi pendidikan yang diusulkan oleh Hasan Langgulung 28 terdiri
dari tiga komponen utama, yaitu tuuan, dasar dan prioritas dalam
tindakan.
1) Tujuan
Ada dua pokok yang ingin dicapai oleh pendidikan Islam, yaitu;
pembentukan insan yang shaleh dan beriman kepada Allah dan
agama-Nya dan pembentukan masyarakat yang shaleh yang
mengikuti petunjuk agama Islam dalam segala urusannya.
a) Pembentukan Insan Shaleh
Yang dimaksudkan dengan insan shaleh adalah manusia
yang mendekati kesempurnaan. Yang dimaksud pembentukan
insan shaleh dan beriman kepada Allah tidaklah aku
menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka menyembah
kepada-Ku. (Q.S. 51:56) manusia yang penuh keimanan dan
takwa, berhubung dengan Allah memelihara dan menghadap
kepada-Nya dalam segala perbuatan yang dikerjakan dan segala
tingkah laku yang dilakukannya, segala fikiran yang tergores
dihatinya dan segala perasaan yang berdetak dijantungnya. Ia
juga bersifat benar, jujur, ikhlas memiliki rasa keindahan dan
memiliki keseimbangan;

28
Langgulung, Hasan., Strategi Pendidikan Islam Meningkatkan Kualitas Sumber Daya
Manusia, dalam Jurnal Pendidikan Islam Conciencia, No. 2 Volume II, Desember 2002. hal.74-
83

18
(1) Pada kepribadiannya: suatu aspek tidak melebihi yang lain.
Jasad, jiwa, akal dan roh semuanya bertumbuh dan
pertumbuhannya terpadu
(2) Ia memakmurkan dunia dan mengeluarkan hasilnya
(3) Insan shaleh dalam Islam terbuka kepada jagad raya,
merasakan bahwa ia sebagian yang tidak terpisah
daripadanya dan senantiasa mencari rahasia dan hikmahnya
(4) Ia bekerja karena kerja itu pada dasarnya adalah ibadah dan
kerjanya itu tidak hanya bertujuan mencari rizki
(5) Dalam ibadahnya kepada Allah, ia merasa berdikari, kuat
dan kukuh karena ia wujudnya bergantung kepada Allah
b) Pembentukan Masyarakat Shaleh
Pendidikan Islam pad atahap pembentukan masyarkaat adalah
pada perkara-perkara berikut:
(1) Menolong masyarakat membina hubungan-hubungan sosial
yang serasi, setia kawan, kerjasama, interindependen dan
seimbang
(2) Mengukuhkan hubungan di kalangan kaum Muslimin dan
menguatkan kesetiakawanan melalui penyantuan pemikiran,
sikap nilai-nilai. Ini semua bertujuan menciptakan ksesatuan
Islam
(3) Menolong masyarakat Islam mengembangkan diri dari segi
perekonomian
(4) Memberi sumbangan dalam perkembangan masyarakat
Islam. Yang dimaksud dengan perkembangan adalah
penyesuaian dengan tuntutan kehidupan modern dengan
memelihara identitas Islam karena Islam tidak bertentangan
dengan perkembangan dan pembaharuan Islam.
(5) Mengukuhkan identitas budaya Islam
Inilah tujuan-tujuan terpenting yang ingin dicapai oleh pendidikan
Islam. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, pendidikan Islam

19
haruslah bertolak dari berbagai dasar pokok yang dapat
disimpulkan sebagai berikut:
2) Dasar-dasar Pokok
Dasar-dasar pokok pendidikan di dunia Islam adalah ajaran Islam
itu sendiri, diantaranya:
a) Keutuhan (Syumuliyah)
b) Keterpaduan
(1) Patutlah pendidikan Islam dalam memperlakukan individu
bahwa ia memperhitungkan ciri-ciri kepribadiannnya:
jasad, jiwa, akan dan yang berkaitan secara organik,
berbaut satu sama lain sehingga bila terjadi perubahan
pada salah satu komponennya, maka akan berlaku
perubahan-perubahan pada komponen-komponen yang lalu
(2) Pendidikan Islam harus bertolak dari keterpaduan individu-
individu di masayrakat Islam dan dari keterpaduan negara-
negara Islam
c) Kesinambungan
(1) Patutlah sistem pendidikan Islam itu memberi peluang
belajar pada tiap tingkat umur, tingkat sekolah dan setiap
suasana
(2) Patutlah juga pendidikan itu selalu membaharui diri
d) Keaslian
(1) Pendidikan Islam haruslah mengambil komponen-
komponen, tujuan-tujuan, kandungan dan metode dalam
kurikulumnya dari peninggalan Islam sendiri sebelum ia
menyempurnakannya dengan unsur peradaban lain di
dunia ini
(2) Haruslah ia memberi prioritas kepada pendidikan
kerohanian yang diajarkan oleh Islam

20
(3) Pendidikan kerohanian Islam sejati menghendaki agar kita
menguasai bahasa Arab, yaitu bahasa al-Qur’an dan
Sunnah
(4) Keaslian ini menghendaki juga pengajaran sains dan seni
modern dalam suasana perkembangan dimana yang
menjadi pedoman adalah aqidah Islam
e) Bersifat ilmiah
f) Bersifat pratikal
g) Kesetiakawanan
h) Keterbukaan
3) Prioritas Dalam Tindakan
Bertolak dari tujuan-tujuan dan dasar-dasar pokok yang
telah dikemukakan, maka Hasan Langgulung memandang perlu
adanya prioritas dari segi yang harus diberikan oleh orang-orang
yang bertanggungjawab tentang pendidikan di dunia Islam.
Komponen itu adalah:
a) Berusaha menyerap semua anak-anak yang mencapai umur
sekolah dan membuat perancangan pendidikan dan ketrampilan
minimun untuk membolehkan mereka, bagi yang tidak dapat
melanjutkan pelajaran, memasuki kehidupan sehari-hari dengan
modal ketrampilan yang terhormat
b) Melaksanakan berbagai jalur perkembangan tahap pendidikan
dan membimbingnya ke arah yang fleksibel dan licin
c) Meninjau kembali kandungan dan kaedah pendidikan supaya
sesuai dengan semangat Islam dan ajaran-ajarannya, dan
berbaagai keperluan-keperluan ekonomi, teknik dan sosial
d) Mengukuhkan pendidikan agama dan akhlak dalam seluruh
tahap dan bentuk pendidikan, supaya generasi baru dapat
menghayati nilai-nilai Islam semenjak masa kecil
e) Kerjasama. Kerjasama adalah salah satu dari aspek utama yang
harus mendapat perhatian besar dikalangan penanggungjawab-

21
penanggungjawab pendidikan karena kesetiakawanan dan
kesepaduan di antara negara-negara Islam
Inilah inti prioritas yang sepatutnya dijalankan oleh penanggung
jawab pendidikan di tiap negara Islam untuk mencapai tujuan dari
pendidikan Islam, yaitu pembentukan insan shaleh dan masayrakat
yang shaleh.
C. Pendidikan Islam Menjelang Abad ke-21: Pandangan Islam Terhadap
Masalah Pendidikan dan Pembangunan
Kita percaya bahwa pandangan universal terhadap pendidikan dan
pembangunan seperti telah disebutkan diatas adalah sesuai dengan ajaran
Islam. Hanya perlu kita ingat bahwa pada pandangan itu ada suatu unsur
pokok dalam kehidupan individu dan masyarakat yang hiklang, unsur yang
tanpa dia tidak mungkin berlaku pertumbuhan di negara-negara terbelakang
dan di negara-negara Islam khusunya, yaitu dimensi kerohanian (spiritual).
Padangan Islam terhadap masalah ini terkandung dalam pandangan
universal terhadap manusia, sebab unsur yang kita ingin kita didik adalah
manusia yang dimuliakan oleh Allah di aats seluruh makhluk yang lain. (Q.S.
2:3o; Q.S. 38:26; Q.S. 17:70).
Pandangan Islam terhadap manusia bertolak dari prinsip tauhid kepada
Allah SWT yang memandang alam jagat sebagai suatu sistem terpadu berdiri
di atas keseimbangan antara roh dan badan agar manusia selamat dari
pertikaian, perselisihan dan pertentangan dan juga agar jangan muncul
pertentangan antara akal dan benda atau salah satunya mengatasi yang lain.
Dengan demikian, kehidupan di dunia lurus dengan segala nikmat, keindahan
dan keseimbangan yang ada padanya. Dengan itu juga manusia merasakan
kesatuan yang menyeluruh (syamil) dan terpadu dirinya sendiri yang akan
memberinya rasa percaya pada diri dan ketentraman dalam hati.
Dimensi rohani yang digambarkan oleh pendidikan Islam itu tak dapat
difahami sebagai semata-mata tenggelam dalam ibadah formal sampai-
sampai melupakan kewajiba-kewajiban keduniaan dan kewajiban masyarakat
terhadap anggota-anggotanya. Tetapi yang dimaksud adalah bahwa

22
pendidikan Islam itu harus diasaskan atas dasar pokok, yaitu bahwa manusia
itu adalah makhluk Allah dan diberi tugas untuk memikul amanah sedang
makhluk-makhluk lain tidak. Ia diperintah hidup di permukaan bumi sejalan
dengan ajaran Ilahi. Dari sini dapat disimpulkan bahwa proses terpenting yang
membentuk pandangan Islam terhadap pendidikan adalah:
Pertama, Generasi muda haruslah dididik menyembah Allah, ikut perintah-
Nya, menunaikan fardhu-fardhu ibadah ini, dan berpegang teguh terhadap segala
tuntutannya sepanjang hidupnya. Kedua, Generasi muda harud dididik hidup
dalam masyarakat yang sehat mengakui prinsip persaudaraan, kerjasama,
persamaan, partisipasi yang tegak di atas hak dan kewajiban dalam rangka
sistem jaminan sosial (takaful iftima’y) yang diakui oleh Islam. Ketiga, Generasi
muda harus dididik menggunakan akal. Sebab penggunaan akal merupakan
keharusan bagi inti ‘aqidah yang pada dasarnya adalah tantangan terhadap akal
tanpa paderi atau perantara. Penggunaan akal adalah dasar pokok bagi perintah
menjalankan syari’at dan memikul amanah, sebab perintah menjalankan syari’at
adalah berdasarkan pada kebebasan dan ikhtiar dengan petunjuk akan dan hati
nurani.
Keempat, Generasi baru haruslah dididik bersifat terbuka kepada orang lain
dan menjauhi sifat menyendiri dan tanpa berlebihan menonjolkan dirinya. Sebab
peradaban Islam tegal di atas dialog yang membina dan prinsip memberi dan
mengambil. Dengan itu ia dapat mencernakan pencapaian sains yang mekar
pada peradaban-peradaban lain, malah ia menambahkan dan memperkayanya
sehingga ia menciptakan peradaban ghemilang dan cemerlang dalam segala
bidang ilmu dan pengetahuan. Kelima, Generasi baru haruslah dididik
menggunakan pemikiran ilmiah dan menggunakan pencapaiannya itu dalam
perencanaan dan penyelidikan-penyelidikan Islam adalah agama yang terbuka
dalam hal ini, tidak tertutup dan tidak memusuhi ilmi dari manapun sumbernya.

BAB III
PENUTUP

23
Ketika lahir, manusia tidak begitu saja mampu memahami fenomena
sekeliling secara sadar dan benar. Semua itu butuh waktu dan arahan. Seingga
pada saatnya nanti dia tidak hanya mampu memahami, tetapi juga mampu
memanifestasikan kejadian demi kejadian menjadi sebuah realitas. Pada saat
itulah sebagian realitas kemandiriannya sebagai makhluk berakal, telah ia sadari.
Proses penyadaran inilah yang belakangan disebut pendidikan.
Pendidikan sebagai upaya menyiapkan generasi penerus agar dapat
bersosialisasi dan beradaptasi dengan budaya yang mereka anut, sebenarnya
merupakan salah satu tradisi umat manusia yang hampir setua usia manusia itu
sendiri. Artinya, secara ilmiah ada upaya regenerasi. Sehingga eksistensi
peradaban manusia dapat terjaga dan berkembang.
Naguib al-Attas sebagai salah satu tokoh pendidikan Islam pada era
global menawarkan sebuah istilah yang dianggapnya dapat menggambarkan
pengertian pendidikan Islam dalam keseluruhan esensinya yang fundamental.
Dan nampaknya Naguib al-Attas lebih cenderung menggunakan istilah ta’dib
untuk konsep pendidikan, bukan tarbiyah. Alasanya bahwa kata tarbiyah secara
semantik tidak khusus ditujukan untuk mendidik manusia, akan tetapi dapat
dipakai pada species lain,. Seperti mineral, tanaman dan hewan. Selain itu
tarbiyah berkonotasi material yang mengandung arti: mengasuh, menanggung,
memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan
bertambah dalam pertumbuhan, membersarkan, memproduksi hasil-hasil yang
sudah matang dan menjinakkan. Sementara ta’dib sasarannya jelas yakni khusus
hanya untuk manusia.
Berangkat dari definisi tersebut tentang pendidikan Islam. Maka, alam
terminologi Naguib al-Attas, untuk menghasilkan manusia yang baik agaknya
perlu diawali dengan pembinaan diri pribadi individu itu sendiri, karena dengan
pembinaan diri pribadi individu menjadi baik, maka secara otomatis akan
menghasilkan masyarakat yang baik. Naguib al-Attas menghendaki agar
pendidikan mampu menghasilkan manusia paripurna, insan kamil yang

24
bercirikan universal dala wawasan dan otoritatif dalam ilmu pengetahuan,
dengan kata lain manusia yang mencerminkan pribadi Nabi Muhammad SAW.
Kemudian pada era modern muncul juga seorang tokoh pendidikan Islam
yang sangat terkenal, yaitu Hasan Langgulung. Dalam pandangan Hasan
Langgulung bahwa pendidikan Islam pada akhirnya harus mampu mengeluarkan
dan membentuk manusia Muslim, kenal dengan agama dan Tuhannya, berakhlak
al-Qur’an, tetapi juga mengeluarkan manusia yang mengenal kehidupan,
sanggup menikmati kehidupan yang mulia, dalam masyarkaat yang bebas dan
mulia, sanggup memberi dan membina masyarakat itu, mendorong dan
mengembangkan kehidupan disitu melalui pekerjaan tertentu yang dikuasainya.

DAFTAR PUSTAKA

25
Al-Attas, Syed Muhammad Naguib., Konsep Pendidikan Islam: Suatu Rangka
Pikir Pembinaan Filsafat Pendidikan Islam, (terj.) Haidar Baqir,
Bandung: Mizan:,1992

Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1994

Departemen Agama RI., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya: Mahkota,


1989

Harto, Kasinyo., Rekontruksi Pendidikan Islam, dalam Jurnal Pendidikan Islam


Conciencia, No. 2 Volume II, Desember 2002, hlm. 89

Ismail SM., Paradigma Pendidikan Islam Prof. DR. Syed Muhammad Naguib
al-Attas, dalam Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Tokoh Klasik dan
Kontemporer, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999

Langgulung, Hasan., Pendidikan Islam dalam Abad ke-21, Jakarta: Pustaka al-
Husna Baru, 2003

Langgulung, Hasan., Strategi Pendidikan Islam Meningkatkan Kualitas Sumber


Daya Manusia, dalam Jurnal Pendidikan Islam Conciencia, No. 2
Volume II, Desember 2002

Langgulung, Hasan., Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna,


1992

Langgulung, Hasan., Pendidikan Islam Indonesia; Mencari Kepastian Historis,


dalam Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Pengantar: Dawam
Rahardjo, Jakarta: P3M, 1989

Langgulung, Hasan., Strategi Pendidikan Islam Meningkatkan Kualitas Sumber


Daya Manusia, dalam Jurnal Pendidikan Islam Conciencia, No. 2
Volume II, Desember 2002

Lihat www.jaring.my/istac/staff/staff.htm, Directory, 12 Februari 2002

Muzani, Saiful., Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed


Muhammad Naguib al-Attas, dalam Al-Hikmah, No. 3, Juli-Oktober
1991

Nizar, Samsul., Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis dan


Praktis, Jakarta: Ciputat Pers, 2002

Rahman, Fazlur., Tahun Perkembangan Yang Mantap Bagi Islam, dalam Al-
Hikmah, No. 7, November-Desember 1997

26
Redaksi., Naguib al-Attas Versus Nurcholish Madjid, dalam Panji Masyarakat,
No. 531, 21 Februari 1987

Wahab, Rohmalima., Pendidikan Islam dan Pengembangan Sumber Daya


Manusia, dalam Jurnal Pendidikan Islam Conciencia, No. 2 Volume II,
Desember 2002

27

Anda mungkin juga menyukai