Peranakan Tionghoa, Pengarang Liar dan Balai Pustaka Sastra Melayu Rendah & Sastra Peranakan Tionghoa Latar belakang sejarah
Sebuah fakta bhw kesusasteraan Indonesia yg ditulis dlm
bahasa yg berasal dari bahasa Melayu, merupakan manifestasi suatu masyarakat yg tidak dapat dikatakan sbg lanjutan masyarakat pendukung sastra Melayu. Dalam pemerintahan penjajah, di kota-kota besar, khususnya di Jawa, tumbuh tunas-tunas kehidupan tulis menulis. Bahasa yg dipakai bahasa Melayu juga, tapi bahasa Melayu Pasar, Melayu Cina atau Melayu Rendah. Bahasa inilah yg dipakai sbg lingua franca di seluruh wilayah nusantara ini. Perkembangan sastra & masyarakat kota
Perkembangan masyarakat kota, ternyata bahasa Melayu
Rendah (yg dianggap nonstandar oleh Penjajah Belanda pada paruh kedua abad 19), telah dipakai utk menulis karya2 yg dapat digolongkan juga ke dalam kesusasteraan. Akan banyak keberatan thdp karya2 yg ditulis orang2 keturunan Cina dan Belanda. Seperti Lie Kim Hok, H. Krafft, Tan Ten Kie, F. Wiggers, dll, dg alasan bhw mereka bukan pribumi. Kecuali orang2 Cina dan Belanda itu, banyak jg orang2 pribumi yg menulis dlm bahasa Melayu Rendah, seperti: Kartawinata, M.Hoessen (Sunda), Raden Mas Tirto Adhi Suryo, Mas Marco Kartodikromo (Jawa), Pangemanan (Manado), dll. Faktor-faktor kesulitan Perdebatan yg mempersoalkan masalah mutu karya2 sastra pada sastra Melayu Rendah dan Melayu tinggi. Masyarakat pembaca pun terbelah di antara kedua produk sastra tersebut. Penelitian terhadap karya2 sastra Melayu rendah (sebetulnya jg Melayu tinggi) sangat sedikit. Memasukkan kegiatan penulisan dlm bhs Melayu rendah yg berawal pd paruh kedua abad ke 19, akan menyisihkan kriteria kesadaran kebangsaan sbg salah satu ciri sastra Indonesia. Karya2 itu kebanyakan merupakan terjemahan karya klasik dunia. Memasukkan kegiatan penulisan dlm bhs Melayu rendah akan melukiskan perkembangan kesusasteraan Indonesia sbg cermin perkembangan masyarakat Indonesia itu sendiri. Pengarang liar & Balai Pustaka (Commissie voor de Volkslectuur)
Latar belakang politik etik:
Tahun 1848 pemerintah jajahan Belanda mendapat kekuasaan dari Raja mempergunakan uang f 25.000 utk keperluan pendirian sekolah-sekolah untuk anak orang bumiputera. Tujuan untuk mendapatkan pegawai pemerintah kolonial yg murah. Para pegawai ini utk kepentingan eksploatasi kolonial. Konskuensi-konskuensi: Kesempatan belajar bagi kaum pribumi (para priyayi). Muncul kegemaran membaca. Dengan membaca, muncul kesadaran sebagai bangsa terjajah. Embrio nasionalisme. Mulai muncul tulisan-tulisan dalam beragam bentuk. Terbit surat kabar dlm beragam bahasa. Terutama bahasa Melayu. Muncul tidak hanya di Jakarta. Bintang Timoer (1862) di Surabaya, Pelita Ketjil (1882) di Padang, Bianglala (1867) di Jakarta. Sampai sekarang belum ada penelitian yg komprehensif bagaimana peranan dan sumbangan surat kabar itu terhadap kelahiran sastra Indonesia. Sepanjang yg diketahui, baru sesudah 1900-an ada surat kabar yg memuat karya sastra. Di Bandung terbit Medan Priyayi yg memuat cerbung berbentuk roman. Cerita2 itu ditulis dlm bahasa Melayu tapi tidak ditulis pengarang Melayu. Pengarang dan karya2 awal:
H. Moekti menulis Hikayat Siti Mariah, yg mula- mula
menulis kehidupan sehari-hari yg sezaman. RM.Tirto Adhisoeryo (pemimpin redaksi Medan Priyayi): Busono (1910) & Nyai Permana (1912) Mas Marco Kartodikromo: Mata Gelap (1914), Studen Hijau (1919), Syair Rempah-rempah (1919), dan Rasa Merdeka (1924). Semaun: Hikayat Kadirun (1924) Pengarang Liar
Karena sifat-sifat dan isi karangan dianggap menghasut
rakyat untuk berontak, maka karya-karya itu disebut bacaan liar, para penulisnya disebut pengarang liar. Roman2 yg berbahasa Melayu tapi tidak menghasut, lebih sebagai hiburan banyak ditulis dan diterbitkan penulis dari peranakan Cina dg bahasa Melayu Cina/pasar/rendah. Ada juga penulis Indo, G.Francis menulis Nyai Dasima (1896) Latar belakang lahirnya Balai Pustaka
Banyaknya tulisan yg membangkitkan semangat nasionalisme, membuat
penjajah merasa khawatir, kalau kejadian di India terjadi di sini. Yakni munculnya perlawanan karena kebijakan pendidikan oleh Inggris. Kaum terpelajar Indonesia banyak membaca tulisan orang Belanda yg membela hak kemerdekaan bangsa pribumi. Seperti karya Multatuli: Max Havelaar, sangat besar pengaruhnya dalam membangkitkan kesadaran kebangsaan. Pemerintah Belanda ingin membendung bangkitnya kesadaran nasional itu dlm soal bacaan rakyat. Maka didirikan Komisi Bacaan Rakyat (1908), yg pada tahun 1917 menjadi Kantor Bacaan Rakyat atau Balai Pustaka.