Anda di halaman 1dari 9

Nama:Mega wilasmi utari

Nim:200910302063

PENDAHULUAN
Sebagai suatu konsep, istilah paradigm pertama kali dikenalkan oleh Thomas Kuhn dalam
karyanya The Structure of Scientific Revolution (1962). Konsep paradigm yang dikenalkan
Kuhn , dipopulerkan oleh Robert Friedrichs melalui bukunya Sociology of Sociology (1970).
Karya Friedrichs diikuti lagi oleh Lodahl dan Cordon (1972), Philips (1973), Effrat (1972) serta
Friedrichs sendiri (1972 a), dan (1972 b). Tujuan buku Kuhn The Structure of Scientific
Revolution ini adalah untuk menentang asumsi dari kalangan ilmuwan mengenai perkembangan
ilmu pengetahuan. Kalangan ilmuwan berpendirian bahwa perkembangan atau kemajuan ilmu
pengetahuan itu terjadi karena komulatif. Pandangan tersebut mendapatkan dukungan antara lain
dengan melalui penerbitan buku teks yang meberikan kesan yang sama mengenai pandangan
ilmu pengeathuan yang komulatif. Kuhn menilai pandangan tersebut harus dihilangkan. Inti tesis
dari Kuhn mengenai ilmu pengetahuan bukanlah terjadi secara komulatif tetapi hal tersebut
terjadi secara revolusi. Kuhn melihat ilmu pengetahuan didominasi oleh paradikma. Yang mana
pandangan tersebut merupakan pandangan yang mendasar tentang suatu pokok persoalan dari
cabang ilmu.Paradigma lama mulai menurun pengaruhnya, digantikan dengan paradigm baru
yang lebih dominan. Masterman menjabarkan paradigm Kuhn menjadi tiga tpe. Meliputi
paradigm metafisik (metapbisical paradigm), para digma yang bersifat sosiologis (Sosciological
paradigm), dan paradigm konstruk (contruct paradigm).

1. Paradigma metafisik memerankan bebrapa fungsi, meliputi:

 Menunjukkan sesuatu yang ada muapaun tidak ada untuk menjadi pusat perhatian dari
suatu komunitas ilmuwan tertentu.
 Menunjuk komunitas ilmuwan tertentu untuk mEmuastkan perhatian dalam menemukan
pusat perhatian mereka.
 Menunjuk ilmuwan dengan harapan untuk menemukan sesuatu yang dapat dijadikan
pusat perhatian dari disiplin ilmu meraka.
Dengan demikian, paradigma metafisik ini merupakan suatu konsensus yangterluas dalam
disiplin ilmu, yang membatasi bidang (scope) dari suatu ilmu. Sehingga dapat membnatu
mengarhkan komunitas ilmuwan dalam melakukan penyelidikan. Menurut Khun, dalam
paradigma metafisik terdapat unsur yang disebutnya sebagai exemplar. Konsep ini menurut
Kuhn untuk pengertiannya lebih luas dari pada matrik ilmiah. Pengertian exemplar ini dijelaskan
oleh Watson dan Cruk (1968) sebagai basil penemuan ilmu pengetahuan yang diterima secara
umum.
2. Paradigma sosiologi

Paradigma sosiologi ini sangat mirip dengan konsep exemplar dari Thomas Kuhn. Nampaknya
menurut Kuhn hasil pengembangan ilmu pengetahuan yang diterima mendapatkan kedudukan
exemplar. Sebagai contoh karya Durkheim, dan Weber yang memperoleh predikat “jembatan
paradigm”

3. Paradigma konstruk (construct paradigm)

Paradigma konstruk ini merupakan suatu konsep yang paling sempit diantara ketiga paradigm
yang dikemukakakn oleh Masterman. Contohnuya dalam pembangunan reactor nuklir
memainkan perananan sebagai paradigm dalam ilmu nuklir.

Menurut George Ritzer, paradigma adalah pandangan yang mendasar dari ilmuwan mengenai
sesuatu yang menjadi pokok persoalan yang dipelajari oleh suatu cabang ilmu pengetahuan
(dicipline). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan apa
yang akan dijawab, bagaimana menjawabnya, serta aturan yang harus diikuti dalam
menginterpretasikan informasi yang dikumpulkan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan
tersebut. Paradigma sendiri merupakan konsensus yang terluas yang terdapat dalam suatu cabang
ilmu pengetahuan yang membedakan anatar komunitas ilmuwan atau sub-komunitas yang satu
dengan yang lainnya.

Bertolak dari pengertian paradigm sebelumnya, yang mana dapat disimpulkan, dalam sutu
cabang ilmu pengetahuan tertentu dimungkinkan terdapat beberapa paradigma. Artinya terdapat
beberapa komunitas ilmuwan yang masing-masing berbeda titik tolak pandangan tentang pokok
persoalan yang semestinya dipelajari, dan diselidiki oleh cabang ilmu pengetahuan yang
bersangkutan. Yang menjadi persoalan sekarang adalah perbedaan antar komunitas atau unsur
sub-komunitasdalam cabang ilmu, khususnya dalam bidang sosiologi. Persoalan tersebut
menurut George Riter disebabkan karena tiga faktor. Dalam situasi persaingan tersebut,
dukungan terhadap suatu paradigm menjadi lebih banyak didasarkan atas pertimbanagan politis
dibandingkan dengan pertimbangan obyektif ilmiah. Mereka yang menganut paradigm dominan
akan mendapatkan alokasi kekuasaan lebih besar dibanding penganut paradigma yang kurang
dominanan. Ritzer menilai sosiologi merupakan kelipatan beberapa paradigm (multiple
paradigm). Pegulatan pemikiran tersebut menandai pertumbuhan, dan perkembagan sosiologi
sejak awal hingga dalam kedudukannya sampai sekarang

Paradigma Fakta Sosial

Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta social
dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai barang sesuatu (Thing) yang berbeda dengan ide.
Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat
dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan
penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas
dua macam :

1. Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan
diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian dari dunia nyata contohnya arsitektur
dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap nyata ( eksternal ). Fakta ini
bersifat inter subjective yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contao
egoisme, altruisme, dan opini.

Pokok persoalan yang harus menjadi pusat perhatian penyelidikan sosiologi menurut
paradigma ini adalah fakta-fakta sosial. Secara garis besar fakta sosial terdiri atas dua tipe,
masing-masing adalah struktur sosial dan pranata sosial. Secara lebih terperinci fakta sosial itu
terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, system sosial, peranan, nilai-nilai,
keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Menurut Peter Blau ada dua tipe dasar dari fakta sosial :

1.
1. Nilai-nilai umum ( common values )
2. Norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam subkultur.

Ada empat varian teori yang tergabung ke dalam paradigma fakta sosial ini. Masing-
masing adalah :

1. Teori Fungsionalisme-Struktural, yaitu teori yang menekankan kepada keteraturan (order) dan
mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya
adalah : fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifestasi, dan keseimbangan.

2. Teori Konflik, yaitu teori yang menentang teori sebelumnya (fungsionalisme-struktural)


dimana masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan
yang terus menerus diantar unsure-unsurnya.
3. Teori Sistem, dan

4. Teori Sosiologi Makro

Dalam melakukan pendekatan terhadap pengamatan fakta sosial ini dapat dilakukan
dengan berbagai metode yang banyak untuk ditempuh, baik interviu maupun kuisioner yang
terbagi lagi menjadi berbagai cabang dan metode-metode yang semakin berkembang. Kedua
metode itulah yang hingga kini masih tetap dipertahankan oleh penganut paradigma fakta sosial
sekalipun masih adanya terdapat kelemahan didalam kedua metode tersebut.

 Contoh Paradigma Fakta Sosial

Contoh mengenai paradigma fakta sosial adalah adanya upaya untuk menjadikan seseorang
diterima dalam pekerjaan. Upaya yang dilakukan ini seperti adanya penyogokan, atau adanya
orang dalam (anggota perusahaan) yang mementingkan rasa primodialisme dalam kelompok
tertentu untuk diterima dalam perusahaan.

Mengapa hai ini menjadi salah satu contoh paradigma fakta sosial, lantaran secara tegas pihak
yang melakukan kegiatan tersebut sadar bahwa apa yang dilakukannya adalah salah, akan tetapi
tetap memaksakan kehendak demi terwujudnya keinginan untuk bekerja.

 Contoh Paradigma Fakta Sosial Dalam Kehidupan Sehari-Hari

Contoh lainnya, yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari mengenai paradigma fakta
sosial. Misalnya ialah korupsi, korupsi dalam bentuk apapaun, bukan hanya korupsi uang akan
tetapi korupsi waktu. Tindakan korupsi berupa prilaku yang menyimpang, secara sedar
sebenarnya sudah diketahu bahwa hal ini adalah salah, akan tetapi demi terwujudkan impian dan
apapun seseorang akan melakukannya.
Paradigma Definisi Sosial

Menurut Denzin & Lincoln (1994:107) Mendefinisikan bahwa Paradigma ini merupakan
sistem keyakinan dasar berdasarkan adanya asumsi ontologis, epistomologis, serta metodologi.
Suatu paradigma tersebut dapat atau bisa dipandang yakni sebagai seperangkat kepercayaan
dasar (atau juga yang berada di balik fisik yakni metafisik) yang sifatnya itu pokok atau juga
prinsip utama.

Paradigma perilaku sosial dikembangkan oleh B F Skiner dengan memakai pendekatan


Behaviorisme dari Ilmu Psikologi.

Berkat Skiner, dalam memberikan pemahaman teori, gagasan dan praktek yang dilakukannya, ia
telah memegang peranan penting dalam pengembangan Sosiologi Behavior.

Memang, Skiner mengkritik kedua paradigma fakta sosial dan definisi sosial, ia mengatakan kedua
paradigma itu bersifat mistik, dan tidak ilmiah.

Karena memberikan pemahaman atau perspektif yang bersifat teka teki, serta tidak dapat
diterangkan secara rasional.

Seperti dalam paradigma fakta sosial, terdiri atas struktur sosial dan pranata sosial yang menjadi
objek studi dalam paradigma ini.

Kedua paradigma bisa saja menjauhkan Sosiologi dari objek studi berupa barang sesuatu yang
konkrit - realistis.

Perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan pandangannya (Behavior of Man and
Contingencies of Reinforcement), itulah yang menurut Skiner sebagai objek studi sosiologi yang
konkrit - realistis.

Dimana perilaku yang tampak, memungkinkan pengulangan atau perulangan yang dilakukan
manusia itu sendiri.

Bagi Skiner, pengertian kultur yang diciptakan paradigma fakta sosial dinilai mengandung ide
yang bersifat tradisional khususnya dalam hal mengenai nilai-nilai sosial.
Dalam pengertian kultur tak perlu disertai unsur mistik, yaitu ide dan nilai sosial. Alasannya
karena orang tidak dapat melihat secara nyata ide dan nilai-nilai dalam mempelajari masyarakat.

Memang sih, yang terlihat jelas adalah bagaimana manusia itu hidup, memelihara
keluarga/anaknya, cara berpakaian, mengatur kehidupan keluarganya bersama, serta contoh
lainnya.

Kebudayaan masyarakat yang tersusun atas tingkah laku, dan dengan pola-pola yang sudah
terpola. Dengan demikian, untuk memahami tingkah laku yang terpola tersebut, tidak diperlukan
konsep seperti ide dan nilai nilai sosial.

Sama halnya, Skiner juga mengecam paradigma definisi sosial. Ia berusaha menghilangkan
konsep voluntarisme Talcott Parsons, khususnya Sosiologi.

Menurut Skiner, voluntarisme Parsons mengandung ide autoomous man, maksudnya manusia


serba memiliki kebebasan dalam bertindak seakan-akan tanpa kendali. Bagi Skiner, pandangan
yang menganggap manusia yang serba bebas itu berarti memberikan pandangan yang bersifat
mistik dan berstatus metafisik, itulah yang disarankan untuk menghapusnya dari dalam Ilmu Sosial.

Sekilas pokok persoalan paradigma perilaku sosial. Paradigma perilaku sosial memusatkan


perhatiannya kepada hubungan antara individu dan lingkungannya.

Seperti yang sudah dijelaskan, paradigma ini memusatkan perhatiannya kepada hubungan antar
individu dan lingkungannya, terdiri dari :

(a) bermacam macam objek sosial,dan


(b) bermacam-macam objek non sosial

Yang mana terdiri atas macam-macam objek sosial (seperti norma hukum, agama, pendidikan,
keluarga, dan lainnya) dan non objek sosial (seperti biologis, geografis, dan lainnya).
Paradigma Perilaku Sosial

Seperti yang dipaparkan pembahasan sebelumnya, bahwa paradigma ini memiliki perbedaan
yang cukup prinsipil dengan paradigma fakta sosial yang cenderung perilaku manusia dikontrol
oleh norma. Secara singkat pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini adalah tingkahlaku
individu yang brelangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan
akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan yang berpengaruh terhadap
perubahan tingkahlaku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkahlaku dengan perubahan
yang terjadi dalam lingkungan aktor.

Penganut paradigma ini mengaku memusatkan perhatian kepada proses interaksi. Bagi
paradigma ini individu kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya
ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang dating dari luar dirinya. Jadi tingkahlaku manusia lebih
bersifat mekanik dibandingkan dengan menurut pandangan paradigma definisi sosial.

Paradigma perilaku sosial memusatkan perhatiannya kepada antar hubungan antara individu dan
lingkungannya.
Lingkungan itu terdiri atas:
a)    Bermacam-macam obyek sosial
b)    Bermacam-macam obyek non sosial
Prinsip yang menguasai hubungan antara individu dengan obyek sosial adalah sama dengan
prinsip yang menguasai hubungan antara individu dengan obyek non sosial.
   
Penganut paradigma ini memusatkan perhatian kepada proses interaksi. Tetapi secara konseptual
berbeda dengan paradigma definisi sosial. Bagi paradigma definisi sosial, actor adalah dinamis
dan mempunyai kekuatan kreatif di dalam interaksi. Actor tidak hanya sekedar penanggap pasif
terhadap stimulus tetapi menginterpretasikan stimulus yang diterimanya menurut caranya
mendefinisikan stimulus yang diterimanya itu. Bagi paradigma perilaku sosial individu kurang
sekali memiliki kebebasan.

Perbedaan pandangan antara paradigma perilaku sosial ini dengan paradigma fakta sosial terletak
pada sumber pengendalian tingkah laku individu. Bagi paradigma fakta sosial, strutur
makroskopik dan pranata-pranata yang mempengaruhi atau yang mengendalikan tingkah laku
inidividu, bagi paradigma perilaku sosial persoalannya lalu bergeser. Sampa seberapa jauh faktro
struk tru hubungan individu dan terhadap kemungkinan perulangan kembali persoalan ini yang
dicoba di jawab oleh teori-teori paradigma prilaku sosial.

Ada dua teori yang termasuk kedalam paradigma perilaku sosial.

1)     Teori Behavioral Sosiologi


Teori ini dibangun dalam rangka menerapkan prinsip psikologi perilaku kedalam sosiologi. Teori
ini memusatkan perhatiannya kepada hubungan antara akibat dari tingkah laku yang terjadi di
dalam lingkungan actor dengan tingkah laku actor.
Konsep dasar behavioral sosiologi yang menjadi pemahamannya adalah “reinforcement” yang
dapat diartikan sebagai ganjaran (reward) tak ada sesuatu yang melekat dalam obyek yang dapat
menimbulkan ganjaran. Perulangan tingkahlaku tak dapat dirumuskan terlepas dari efeknya
terhadap perilaku itu sendiri. Perulangan dirumuskan dalam pengertiannya terhadap actor.
2)     Teori Exchange
Tokoh utamanya adalah George Hofman. Teori ini dibangun dengan maksud sebagai reaksi
terhadap paradigma fakta sosial.

Keseluruhan materi teori exchange itu secara garis besarnya dapat dikembalikan kepada lima
proposisi George Hofman berikut:

1. Jika tingkah laku atau kejadian yang sudah lewat dalam konteks stimulus dan situasi
tertentu memperoleh ganjaran, maka besar kemungkinan tingkah laku atau kejadian yang
mempunyai hubungan stimulus dan situasi yang sama akan terjadi atau dilakukan.
Proposisi ini menyangkut hubungan antara apa yang terjadi pada waktu silam dengan
yang terjadi pada waktu sekarang.
2. Menyangkut frekwensi ganjaran yang diterima atas tanggapan atau tingkah laku tertentu
dan kemungkinan terjadinya peristiwa yang sama pada waktu sekarang.
3. Memberikan arti atau nilai kepada tingkah laku yang diarahkan oleh orang lain terhadap
actor. Makin bernilai bagi seorang sesuatu tingkah laku orang lain yang ditujukan
kepadanya makin besar kemungkinan untuk mengulangi tingkah lakunya itu.
4. Makin sering orang menerima ganjaran atas tindakannya dari orang lain, makin
berkurang nilai dari setiap tindakan yang dilakukan berikutnya
5. Makin dirugikan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, makin besar
kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi. Misalnya marah.

METODE

Paradigma perilaku sosial dapat menggunakan metode yang dipergunakan oleh paradigma yang
lain seperti kuesioner, interview dan observasi. Namun demikian paradigma ini tidak banyak
mempergunakan metode experiment dalam penelitiannya. Keutamaan metode eksperimen adalah
memberikan kemungkinan terhadap peneliti untuk mengontrol dengan ketat obyek dan kondisi
disekitarnya.  Metode ini memungkinkan pula untuk membuat penilaian atau pengukuran dengan
tingkat ketepatan yang tinggi terhadap efek dari perubahan-perubahan tingkah laku actor yang
ditimbulkan dengan sengaja didalam eksperimen itu

Anda mungkin juga menyukai