Pendahuluan
Buku yang menjadi resensi saya dibawah ini dalam memnuhi tugas ujian tengah semester
Paradigma Teori Sosial berjudul “ Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda “ yang
ditulis oleh George Ritzer, seorang pakar sosiolog sekaligus filosof ini memiliki nilai bobot
ilmiyah yang sangat baik untuk dijadikan sebagai buku pokok dan acuan mahasiswa yang
mempelajari konsep sosiologi ataupun berupa pengantar. Dan seharusnya menjadi buku wajib
bagi mata kuliah Sosiologi di berbagai perguruan tinggi. Buku asli yang berjudul “ Sosiology
A Multiple Paradsigm Science “ ini diterjemahkan oleh Drs. Alimandan. Dikarenakan
substansi buku ini yang sangat baik sekali, maka saya mencoba untuk mengambil buku ini
sebagai resensi maupun resume bacaan dalam tugas mata kuliah Paradigma Teori Sosial ini.
Besar harapan saya agar buku ini dapat bermanfaat bagi saya maupun teman-teman saya yang
lain yang membacanya. Dan diharapkan dengan di resumenya buku ini nilai ilmiyah dan
sistematika penulisannya menjadi tak mengurangi isi pesan dan substansi dari buku tersebut.
Bab I
Dalam paparan awalnya ini penulis buku menggambarkan dan menjelaskan tentang asal-usul
lahirnya sebuah ilmu sosiologi. Dimana penulis menerangkan sejarah lahir dan terbentuknya
cabang ilmu ini mulai pemisahan diri dari filsafat positif hingga memiliki nilai empiris
bahkan terbentuknya paradigma sosiologi. Thomas Kuhn sebagai penggagas konsep tentang
istilah pertamakali paradigma menempati posisi sentral ditengah perkembangan sosiologi
hingga menempati kurun dekade yang cukup lama.
Gagasan Kuhn mengenai paradigma inilah yang mendorong generasi setelahnya yaitu Robert
Friederich, Lodahl dan Cordon, Philips, Efrat ikut mempopulerkan istilah paradigma yang
digagas oleh Kuhn. Kuhn melihat bahwa ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi
oleh satu paradigma tertentu. Yakni suatu pandangan yang mendasar tentang apa yang
menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu.
Lantas, istilah Kuhn ini menjadi suatu yang sangat tidak memiliki kejelasan hingga timbul
istilah paradigma dipergunakan tak kurang dari dua puluh satu konsep paradigma yang
kemudian direduksir oleh Masterman menjadi 3 bagian besar yaitu :
1. Paradigma Metafisik
2. Paradigma Sosiologi
3. Paradigma Konstrak
Sehingga oleh Ritzer dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiologi itu terdiri atas
kelipatan beberapa paradigma. Dimana diantaranya terdapat pergulatan pemikiran yang
terjelma dalam eksemplar, teori-teori, metode, serta perangkat yang digunakan masing-
masing komunitas ilmuwan yang termasuk kedalam paradigma tertentu.
BAB II
Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta social
dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai barang sesuatu (Thing) yang berbeda dengan ide.
Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat
dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan
penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas
dua macam :
1. Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan
diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian dari dunia nyata contohnya
arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap nyata ( eksternal ). Fakta
ini bersifat inter subjective yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai
contao egoisme, altruisme, dan opini.
Pokok persoalan yang harus menjadi pusat perhatian penyelidikan sosiologi menurut
paradigma ini adalah fakta-fakta sosial. Secara garis besar fakta sosial terdiri atas dua tipe,
masing-masing adalah struktur sosial dan pranata sosial. Secara lebih terperinci fakta sosial
itu terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, system sosial, peranan, nilai-nilai,
keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Menurut Peter Blau ada dua tipe dasar dari fakta
sosial :
1.
Ada empat varian teori yang tergabung ke dalam paradigma fakta sosial ini. Masing-
masing adalah :
Dalam melakukan pendekatan terhadap pengamatan fakta sosial ini dapat dilakukan
dengan berbagai metode yang banyak untuk ditempuh, baik interviu maupun kuisioner yang
terbagi lagi menjadi berbagai cabang dan metode-metode yang semakin berkembang. Kedua
metode itulah yang hingga kini masih tetap dipertahankan oleh penganut paradigma fakta
sosial sekalipun masih adanya terdapat kelemahan didalam kedua metode tersebut.
BAB III
Ketiga teori diatas mempunyai kesamaan ide dasarnya bahwa menurut pandangannya :
manusia adalah merupakan aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Selain itu dalam ketiga
pembahasan ini pula mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak diluar batas
kontrol dari fakta sosial itu. Sesuatu yang terjadi didalam pemikiran manusia antara setiap
stimulus dan respon yang dipancarkan, menurut ketiga teori ini adalah merupakan hasil
tindakan kreatif manusia. Dan hal inilah yang menjadi sasaran perhatian paradigma definisi
sosial. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa penganut ketiga teori yang termasuk
kedalam paradigma definisi sosial ini membolehkan sosiolog untuk memandang manusia
sebagai pencipta yang relatif bebas didalam dunia sosialnya.
Disini pula terletak perbedaan yang sebenarnya antara paradigma definisi sosial ini
dengan paradigma fakta sosial. Paradigma fakta sosial memandang bahwa perilaku manusia
dikontrol oleh berbagai norma, nilai-nilai serta sekian alat pengendalian sosial lainnya.
Sedangkan perbedaannya dengan paradigma perilaku sosial adalah bahwa yang terakhir ini
melihat tingkahlaku mansuia sebagai senantiasa dikendalikan oleh kemungkinan penggunaan
kekuatan (re-enforcement).
BAB IV
Seperti yang dipaparkan pembahasan sebelumnya, bahwa paradigma ini memiliki perbedaan
yang cukup prinsipil dengan paradigma fakta sosial yang cenderung perilaku manusia
dikontrol oleh norma. Secara singkat pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini
adalah tingkahlaku individu yang brelangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan
yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan yang
berpengaruh terhadap perubahan tingkahlaku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara
tingkahlaku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan aktor.
Penganut paradigma ini mengaku memusatkan perhatian kepada proses interaksi. Bagi
paradigma ini individu kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya
ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang dating dari luar dirinya. Jadi tingkahlaku manusia
lebih bersifat mekanik dibandingkan dengan menurut pandangan paradigma definisi sosial.
2. Exchange Theory, teori ini dibangun dengan maksud sebagai rekasi terhadap
paradigma fakta sosial, terutama menyerang ide Durkheim secara langsung dari tiga
jurusan :
Paradigma perilaku sosial ini dalam penerapan metodenya dapat pula menggunakan
dengan dua metode sebelumnya yaitu kuisioner, interview, dan observasi. Namun demikian,
paradigma ini lebih banyak menggunakan metode eksperimen dalam penelitiannya.
BAB V
Melalui penjelasan-penjelasan singkat diketiga bab diatas, maka tugas bab ini adalah mencari
perbedaan-perbedaan yang terjadi diketiga paradigma diatas. Satu hal yang penting untuk
diangkat adalah sisi point dari bab yang cukup panjang ini adalah dengan membaginya
menjadi beberapa pointer-pointer penting, diantaranya adalah sebagai berikut :
2. Konsepsi umum yang memisahkan antara teori fungsionalisme struktural dan teori
konflik adalah menyesatkan. Kedua teori itu lebih banyak unsur persamaannya
ketimbang perbedaannya, karena keduanya tercakup dalam satu paradigma.
Perbedaan fundamental dalam sosiologi terdapat diantara ketiga paradigma yang telah
dibicarakan.
3. Implikasi lain ialah adanya hubungan antara teori dan metode yang selalu dikira
dipraktekkan secara terpisah satu sama lain. Umumnya terdapat keselarasan antara
teori dan metode.
BAB VI
Lalu hubungan antara keempat ini dapat diuraikan menjadi satu bentuk tabel seperti
dibawah ini :
Kesimpulan
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan berparadigma banyak, mengapa dikatakan demikian ? hal
ini dikarenakan, antara paradigma yang satu dengan paradigma yang lain terdapat perbedaan
bahkan pertentangan pandangan tentang disiplin sosiologi sebagai suatu kebulatan dan
tentang batas-batas bidang paradigma itu masing-masing. Dalam bidang ilmu ini terdapat
bebrapa paradigma yang memaparkan dan menjelaskan cabang-cabang paradigmanya dan
spsesifikasi bidangnya masing-masing. Setidaknya terdapat 3 paradigma yang mendasari
ilmu sosiologi ini diantaranya :
1. Paradigma Fakta Sosial, yang dibagi lagi menjadi dua objek kajian :
b. pranata sosial
c. Fenomenologi (Phenomenology).
b. Exchange Theory
Ketiga paradigma teori tersebut telah dipaparkan penjelasannya diatas beserta dengan
cabang-cabang teori yang mendukung kostrruk paradigmanya. Selain itu juga banyak
spesifikasi yang diberikan oleh para ahli dalam memberikaj suatu asumsi-asumsi terhadap
paradigma tersebut dengan penjelasannya masing-masing.
Tanggapan
Substansi buku ini telah dapat dikatakan sempurna dikarenakan Ritzer mengangkat tema-per
temanya sesuai dengan penjelasan yang tepat diberikan oleh para ahli dibidangnya masing-
masing. Dalam buku ini Ritzer pun tak jarang memberikan bantahan-bantahannya, atau
bahkan terkadang memberikan komparatif terhadap satu paradigma dengan paradigma
lainnya. Namun mungkin yang ada adalah kelemahan dari penyadurnya, dimana buku yang
diterjemahkannya ini masih terdapat seringkali keruwetan dalam penggunaan tanda baca.
Dan juga seperti apa yang dituliskan oleh penyadurnya yaitu kelemahan dari buku yang
disadurnya adalah berpangkal dari keterbatasan dan kemampuan dalam mencernakan ‘grand
theories’ dari Ritzer ini.
Tapi secara totalitas di buku yang tipis ini penjelasan tentang mengapa sosiologi menjadi
terdiri dari berbagai paradigma telah tercakup dengan lengkap dibuku ini dengan baik.
Sumber Resume :
BAB I
PENDAHULUAN
Sejak kecil individu-individu sudah harus mengerti bahwa dalam berperilaku tidak
boleh berbuat sekehendaknya, melainkan harus selalu melakukan adaptasi dengan masyarakat
di sekelilingnya. Dengan demikian, dalam kehidupan ini ada kemauan umum yang harus
diikuti di atas keinginan-keinginan individual. Namun kadangkala terjadi perilaku yang
menyimpang yang dilakukan secara sadar atau tidak sadar yang sering disebut sebagai
penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial dapat terjadi dimanapun dan dilakukan oleh
siapapun. Sejauh mana penyimpangan itu terjadi, besar atau kecil, dalam skala luas atau
sempit tentu akan berakibat terganggunya keseimbangan kehidupan dalam masyarakat.
Suatu perilaku dianggap menyimpang apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai dan
norma-norma sosial yang berlaku dalam masyarakat. dengan kata lain penyimpangan adalah
segala macam pola perilaku yang tidak berhasil menyesuaikan diri terhadap kehendak
masyarakat. Seseorang yang melakukan tindak penyimpangan oleh masyarakat akan dicap
sebagai penyimpang. Di pihak lain, seorang pelaku penyimpangan senantiasa berusaha
mencari kawan yang sama untuk bergaul bersama, dengan tujuan melegalkan tindak
penyimpangan yang dilakukan. Maka lama-kelamaan berkumpullah berbagai individu pelaku
penyimpangan dalam bentuk penyimpangan kelompok yang akhirnya bermuara kepada
penentangan terhadap norma masyarakat. Dampak yang ditimbulkan dari penentangan norma
inilah yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik dalam masyarakat. Maka diperlukan
usaha sadar melalui langkah-langkah tertentu untuk mengantisipasi penyimpangan yang
mungkin terjadi atau akan terjadi. Dalam konteks inilahparadigma sosiologi diperlukan
sebagai acuan dalam sikap dan tindakan sehingga dapat ditemukan pola-pola penanggulangan
yang efektif dan efisien.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah agar mahasiswa/pembaca tahu tentang:
2. Pembagianparadigma sosiologi.
PEMBAHASAN
Paradigma berasal dari bahasa Inggris paradigm yang berarti: model pola, contoh.
Dalam kamus ilmiah populer, paradigma dapat diartikan sebagai contoh, tasrif, teladan,
pedoman, dipakaiuntuk menunjukkan gugusan sistem pemikiran bentuk kasus dan
polapemecahannya. Sedangkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia paradigma diartikan
sebagai kerangka berpikir, model teori ilmu pengetahuan.
2. Model, pola, ideal dalam ilmu pengetahuan. Dari model-model ini fenomena dipandang dan
dijelaskan.
3. Totalitas premis-premis teoritis dan metodologis yang menentukan dan atau mendefinisikan
sutau study ilmiah kongkrit dan ini melekat di dalam praktek ilmiah pada tahap tertentu.
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh fisikawan Amerika Thomas Samuel
Kuhn (1922-1996) dalam bukunya The Structure of Scientific Revolution (1962) dan
kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs dalam bukunya Sociology of Sociology
(1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi
oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of
knowing yang spesifik. Menurut Khun yang dikutip George Ritzer, Paradigma adalah
gambaranfundamental dari pokok bahasan dalam ilmu pengetahuan.Dia menentukan apa
yang harus dipelajari,pertanyaan apa yang
harus diajukan, bagaimana pertanyaan-pertanyaan tersebut harus diajukan, dan aturan apa
yang harus diikuti dalam menafsirkan jawaban-jawaban yang diperoleh. Paradigma adalah
unit terluas dari konsensus dalam ilmu pengetahuan dan membedakan satu komunitas ilmiah
dari yang lain. Ia memasukkan, mendefinisikan, dan menghubungkan sejumlah contoh, teori
dan metode serta instrument yang ada didalamnya.2
Di dalam masyarakat banyak sekali permasalahan yang dihadapi, baik berupa masalah
yang ringan sampai yang paling berat. Dalam menghadapi masalah yang ada dalam
masyarakat tersebut, masyarakat biasanya menggunakan cara atau pola pikir tertentu ketika
memandang suatu fakta atau keadaan yang terjadi dalam masayarakat. Pola pikir masyarakat
dalam memandang suatu fakta sosial itulah yang di sebut dengan paradigma sosiologi. Di
dalam paradigma sosiologi, ada beberapa unsur ilmu sehingga paradigma sosiologi
dipandang sebagai suatu disiplin ilmu yang bisa dijadikan sebagai acuan atau landasan dalam
penelitian mengenai problem-problem sosial.
B. PembagianParadigma Sosiologi
Thomas Samuel Kuhn mengemukakan bahwa paradigma ilmu itu amat beragam.
Keragaman paradigma ini pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat
yang berbeda-beda sejak zaman Yunani. Sebab sudah dapat dipastikan bahwa pengetahuan
yang didasarkan pada filsafat Rasionalisme akan berbeda dengan yang didasarkan
Empirisme, dan berbeda pula dengan Positivisme, Marxisme dan seterusnya, karena masing-
masing aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta
memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Menurut Ritzer (1980), perbedaan aliran
filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan akan berakibat pada perbedaan
paradigma yang dianut. Palingtidak terdapat tiga alasan untuk mendukung asumsi ini;
Pertama, pandanganfilsafat yang menjadi dasar ilmuwan untuk menentukan tentang hakikat
apa yang harus dipelajari sudah berbeda; Kedua, pandangan filsafat yang berbeda akan
menghasilkan obyek yang berbeda; Ketiga, karena obyek berbeda, maka metode yang
digunakan juga berbeda.3
Perbedaan paradigma itu khususnya terjadi dalam keilmuan sosiologi. Perbedaan itu
terjadi pada dimensi obyek kajian atau what is the subject matter of sociology. Dengan
adanya perbedaan pandangan ini, Geoger Ritzer menilai bahwa sosiologi merupakan ilmu
yang mempunyai beberapa paradigma (multiple paradigm). Setiap paradigma memiliki obyek
kajian, teori, metode analisa yang berbeda. Meskipun masih banyak terjadi perdebatan
penggolongan paradigma dalam ilmu sosiologi, namun menurut George Ritzer,4 secara garis
besar ada tiga paradigma yang mendominasi dalam keilmuan sosiologi, yakni:
1. Paradigma fakta sosial
Paradigma ini merupakan sumbangsih dari pemikiran Durkheim yang didasarkan atas
karyanya The Rules of Sociological Method (1895) dan Suicide (1897). Paradigma fakta
sosial dirintis Durkheim sebagai antitesis atas tesis Comte dan Herbert Spencer. Comte dan
Herbert Spencer berpendapat bahwa dunia ide adalah pokok bahasan dalam sosiologi.
Dengan tegas pendapat ini ditolak oleh Durkheim. Menurut Durkheim, dunia ide bukanlah
obyek riset dalam sosiologi. Sebab dunia ide itu hanyalah sebagai suatu konsepsi pikiran dan
bukan sesuatu yang dapat dipandang. Bagi Durkheim, pendapat Comte dan Herbert Spencer
ini menjerumuskan sosiologi pada bidang filsafat dan tidak berdiri sendiri. Padahal sosiologi
adalah ilmu yang berdiri sendiri dan lepas dari bidang filsafat. Berangkat dari kritik ini,
akhirnya Durkheim membangunkonsepfakta sosial sebagai dinding pemisah antara obyek
kajian sosiologi dengan filsafat. Durkheim mengklaim bahwa fakta sosial adalah barang yang
nyata dan bukanlah ide. Fakta sosial tidak dapat dipahami melalui kegiatan spekulatif yang
dilakukan dalam pemikiran manusia. Sebaliknya fakta sosial dipahami melalui kegiatan
penyusunan data nyata yang dilakukan di luar pemikiran manusia.
Menurut Durkheim, pokok bahasan sosiologi haruslah mengenai studi fakta sosial.
Pembahasan mengenai paradigma fakta sosial terdiri dari struktur sosial, dan institusi sosial
seperti norma-norma, nilai, adat-istiadat, dan segala aturan yang bersifat memaksa diluar
kehendak manusia. Berarti struktur dan institusi sosial beserta pengaruhnya terhadap pikiran
dan tindakan individu menjadi subject matter sosiologi. Dengan kata lain, para teoritisi yang
menganut paradigma fakta sosial memusatkan pada relasi antara struktur sosial dengan
individu, dan relasi institusi sosial dengan individu. Dengan kata lain, pendorong tindakan
individu pada analisis fakta sosial antara struktur dan institusi sosial bersifat terpisah.
Pada studi fakta sosial, Durkheim tidak hanya melihat sesuatu dalam konteks yang
nyata (material) saja,melainkan juga berkaitan dengan sesuatu diluar materi. Untuk
mempermudah memahaminya, Durkheim membagi ranah fakta sosial menjadi dua bentuk,
yaitu:
a. Fakta sosial material, yang terdiri dari sesuatu yang dapat dipahami, dilihat dan diamati. Inti
dari fakta sosial material ini adalah sesuatu yang ada dunia nyata dan bukanlah imajinatif.
Misalnya, bentuk bangunan, hukum dan peraturan.
b. Fakta sosial non-material, sebenarnya dapat dikatakan suatu ekspresi atau fenomena yang
terkandung dalam diri manusia sendiri atas fakta sosial materialnya, dan ini hanya muncul
dalam kesadaran manusia. Misalnya, moralitas, kesadaran, egoisme, altruisme dan opini.
Dengan demikian, kajian fakta sosial terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat
tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya.
Sedangkan teori yang tergabung dalam paradigma ini yaitu, teori fungsionalisme struktural,
teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro. Namun yang dominan dari teori ini yang
biasa digunakan oleh para penganut fakta sosial, yaitu teori fungsionalisme struktural, dan
teori konflik.
Paradigma ini dilandasi analisa Max Weber tentang tindakan sosial (social action).
Perbedaan analisa Weber dengan Durkheim terlihat jelas. Jika Durkheim memisahkan
struktur dan institusi sosial, sebaliknya Weber melihat ini menjadi satu kesatuan yang
membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau makna. Tindakan sosial merupakan
tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan
kepada tindakan orang lain. Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati
atau obyek fisik semata tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan suatu tindakan
sosial.5
hubungan sosial sampai kepada penjelasan kausal. Untuk itu, paradigma ini disebut juga
sebagai sosiologi interpretatif. Paradigma definisi sosial didukung oleh beberapa teori, seperti
teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, dan teori etnometodologi.
3. Paradigma Perilaku Sosial
Paradigma ini memusatkan perhatian pada hubungan antar individu dan hubungan
individu dengan lingkungannya. Paradigma ini menyatakanbahwa obyek studi sosiologi yang
konkrit dan realistis adalah perilakumanusia atauindividu yang tampak dan kemungkinan
perulangannya.
Menurut paradigma ini, tingkah laku seorang individu mempunyai hubungan dengan
lingkungan yang mempengaruhinya dalam bertingkah laku. Tingkah laku manusia atau
individu di sini lebih ditentukan oleh sesuatu diluar dirinya seperti norma-norma, nilai-nilai
atau struktur sosialnya. Jadi dalam hal ini individu kurang sekali memiliki kebebasan.
Paradigma ini mengacu pada karya psikolog Amerika Burrhus Frederic Skinner, salah
satunya Beyond Freedom And Dignity. Menurut George Ritzer, Skinner mencoba
menerjemahkan prinsip-prinsip psikologi aliran behaviorisme ke dalam sosiologi. Karyanya
meliputi spektrum yang sangat luas. Teori, gagasan dan praktik yang dilakukannya telah
memegang peranan penting dalam pengembangan sosiologi behavior.
Pada paradigma perilaku sosial, Skinner mencoba mengkritik apa yang menjadi obyek
dari paradigma fakta sosial dan definisi sosial. Obyek dari kedua paradigma itu seperti
struktur dan institusi sosial adalah sesuatu yang bersifat mistik atau obyek hanya terjadi
dalam pemikiran manusia. Dengan tegas Skinner menolak obyek kedua paradigma ini. Bagi
Skinner, obyek mistik itu justru menjauhkan sosiologi dari obyek studi yang sebenarnya yaitu
sesuatu yang bersifat konkrit dan realistis. Skinner mengklaim bahwa obyek perilaku manusia
adalah obyek studi sosiologi yang konkrit dan realistis. Teori yang tergabung dalam
paradigma ini adalah teori behavioral sociology dan teori pertukaran (exchange).
Paradigma integratif ini dikembangkan lebih lanjut oleh Peter L. Berger, Thomas
Luckman dan Anthony Giddens. Ketiga sosiolog ini berusaha menjembatani ketegangan
antara subyektivisme dan obyektivisme, antara makro dan mikro, dan antara voluntarisme
dan determinisme. Ketiganya berusaha mencari pertautan antara mentalitas dan struktur.
Kiranya inilah pandangan paradigma integratif yang dapat juga dikatakan sebagai paradigma
“jalan tengah”. Paradigma ini berusaha menawarkan perpaduan berbagai paradigma sesuai
dengan tingkat kebutuhan analisis dari ilmuwan sosial tersebut.
Kelemahan teori ini yakni bersifat tertutup terhadap proses terjadinya perubahan
sosial karena terlalu menekankan order dan kemapanan struktur sosial yang sudah formal,
serta mempertahankan status quo dan tidak membuka kepada orang atau hal lain berperan.
Keterlibatan non status quo dipandang sebagai ancaman bagi masyarakat dan pemegang
status quo.
b. Teori konflik
Teori konflikmerupakan teori yang lahir sebagai kritik atas teori fungsionalisme
struktural. Teori ini dikembangkan oleh Marx. Pendukung teori ini antara lain George
Simmel, Lewis A. Coser, dan Ralf Dahrendorf.
Menurut teori ini, masyarakat berada dalam ketidakseimbangan yang selalu ditandai
dengan adanya pertentangan atau konflik. Jika teori fungsionalisme struktural memandang
keteraturan terjadi karena masyarakat terikat secara informal atas institusi sosialnya, maka
teori konflik memandang itu terjadi karena adanya pemaksaan oleh pihak yang berkuasa.
Konsep utama teori konflik yaitu dominasi, paksaan dan kekuasaan. Adapun
kelemahan dari teori ini menolak keseimbangan dalam masyarakat dan terlalu menekankan
perubahan dalam konteks konflik. Metode yang digunakan dalam paradigma fakta sosial
yaitu interview-kuesioner. Menurut George Ritzer, untuk metode interview-kuesioner
memang bersifat ironi. Sebab, metode ini tidak mampu menyajikan informasi yang bersifat
fakta sosial, atau informasi yang didapat lebih bersifat subyektif dari informan. Walaupun
begitu, bagi para penganut fakta sosial metode interview-kuesioner merupakan sesuatu
metode yang cocok dalam penelitian empiris mereka guna mendapatkan fakta-fakta sosial
yang menjadi subject matter sosiologi.
a. Teori aksi
Teori aksi atau teori bertindak pada awalnya dibangun berdasarkan pemikiran Weber
dan Pareto. Menurut Weber, individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas
pengalaman, persepsi, pemahaman dan atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Di sini
Weber melihat tindakan sosial berkaitan dengan interaksi sosial. Sesuatu tidak akan dikatakan
tindakan sosial jika individu tersebut tidak mempunyai tujuan dalam melakukan tindakan
tersebut.
Setelah Weber, teori aksi berkembang ketika sosiolog Amerika Charles Horton Cooley
membuktikan bahwa sesuatu yang mempunyai arti penting dalam kehidupan bermasyarakat
adalah kesadaran subyektif. Cooley juga membuktikan bahwa perasaan-perasaan individual,
sentimen dan ide-ide merupakan faktor pendorong manusia untuk berinisiatif atau mengakhiri
tindakannya terhadap orang lain.
Sedangkan Talcott Parsons menyatakan, bahwa penggunaan istilah “action” (aksi atau
tindakan) dimaksudkan untuk membedakan teori ini dengan teori perilaku, yang
menggunakan istilah “behavior” (perilaku atau tindakan yang dilakukan berulang-ulang).
“Aksi” menunjukkan adanya suatu aktivitas, kreativitas dan proses penghayatan diri individu.
Sedangkan “perilaku” menunjukkan adanya penyesuaian mekanistik perilaku, sebagai respon
terhadap stimulus (rangsangan) dari luar.Menurut Parsons, teori perilaku mengabaikan sifat
kemanusiaan manusia dansubyektivitas tindakan manusia.Sebaliknya, teori aksi sangat
memperhatikan sifat kemanusiaan manusia dan subyektivitas tindakan manusia.
Teori aksi terus berkembang seiring banyaknya para sosiolog mengembangkan teori
ini, khususnya para sosiolog Amerika. Karya terkemukan yang menjadi rujukan dari teori
aksi antara lain, Florian Znaniecki melalui karyanya The Method of Sociology (1934) dan
Social Actions (1936), Robert Morrison MacIver melalui karyanya Sociology: Its Structure
and Changes (1931), dan Talcott Parsons melalui karyanya The Structure of Social Action
(1937).
Awalnya teori ini dikembangkan di Universitas Michigan oleh John Dewey dan
Charles Horton Cooley. Kemudian John Dewey pindah mengajar ke Universitas Chicago.
Kepindahan John Dewey diikuti denganmengembangkan teori interaksionis simbolik.
Ternyata teori interaksionis simbolik mendapat apresiasi yang sangat baik. Sehingga
Universitas Chicago dianggap sebagai tempat yang pertama kali berkembangnya teori
interaksionis simbolik. Maka teori ini juga dikenal sebagai aliran Chicago.Dari John Dewey,
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh beberapa tokoh sosiolog Amerika seperti William
Isaac Thomas,George Herbert Mead,Herbert Blumer, Robert E. Park, William James, Ernest
Burgess,James Mark Baldwin, Manfred Kuhn dan Kimball Young.
Prinsip dasar dari teori ini adalah; (a) manusia pada dasarnya memiliki kemampuan
berpikir, (b) kemampuan berpikir ini kemudian dibentuk melalui interaksi sosial, (c) individu
dalam setiap interaksi dengan orang lain mempelajari makna dan simbol yang
memungkinkanmereka menggunakan kemampuan berpikirnya, (d) setiap individu dapat
memodifikasi makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi
berdasarkan tafsir mereka atas situasi yang ada, (e) setiap individu dapat menentukan
tindakan apa yang dilakukan setelah individu tersebut menafsirkan situasi, (f) dari interaksi
ini kemudian individu tersebut menciptakan kelompok dan masyarakat. 8 Adapun kelemahan
dari teori ini adalah mengabaikan pembahasan pada struktur sosial makro, seperti nilai-nilai,
norma sosial, hukum, serta institusi sosial dan terlalu fokus pada pembahasan interaksi sosial
mikro (hubungan antar pribadi).
c. Teori fenomenologi
d. Teori etnometodologi
Menurut teori ini, seorang sosiolog tidak perlu memberikan arti atau makna kepada
apa yang dibuat oleh orang lain atau kelompok, tetapi tugas sosiolog adalah menemukan
bagaimana individu atau masyarakat mengonstruksi kehidupan sosialnya dan mencoba
menemukan bagaimana mereka memberi arti atau makna kepada dunia sosialnya sendiri.
Pada teori ini Grafinkel berusaha menekankan pada kekuatan pengamatan atau pendengaran
dan eksperimen melalui simulasi.
Teori pertukarandikembangkan oleh George Homan. Teori ini berangkat dari asumsi
dasar bahwa semua kontak di antara manusia bertolak dari skema memberi dan mendapatkan
kembali dalam jumlah
yang sama. Secara garis besar Homan menyusun lima proposisi dari teoriini yaitu: Pertama,
semakin sering individu melakukan suatu tindakan tertentu yang dinilainya membawa
keuntungan atau manfaat, maka semakin sering individu tersebut akan melakukan tindakan
yang sama; Kedua, jika di masa lalu ada stimulus yang di mana tindakan individu tersebut
memperoleh ganjaran (positif), maka semakin besar kemungkinan orang itu melakukan
tindakan serupa; Ketiga, semakin tinggi apresiasi yang diberikan atas suatu tindakan individu,
maka akan semakin sering individu melakukan tindakan tersebut; Keempat, semakin sering
seseorang menerima satu ganjaran dalam waktu yang berdekatan, maka semakin kurang
bernilai ganjaran tersebut; Kelima, bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang
diharapkan atau menerima hukuman, maka akan timbul perasaan emosi atau kecewa dalam
diri individu tersebut. Sebaliknya bila seseorang menerima ganjaran yang lebih besardari apa
yang dia harapkan, maka dia akan merasa senang dan lebih besar kemungkinan dia akan terus
melakukan perilaku tersebut.12
Teori konstruksi sosial bermuladari analisis Peter Ludwig Berger dan Thomas
Luckman. Melalui The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of
Knowledge (Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan) yang
ditulisnya pada tahun 1966. Peter L. Berger dan Thomas Luckman melihat bahwa manusia
dan masyarakat merupakan produk yang dialektis (tesis Mark). Maka keduanya bukanlah
sesuatu realitas tunggalyang stagnan dan absolut. Untuk itu, realitas memiliki dimensi
subyektif dan obyektif (tesis Schutz). 13Dualisme realitas ini menunjukkan bahwa manusia
merupakan instrumen dalam menciptakan ‘realitas yang obyektif’ melalui proses
eksternalisasi,sebagaimana dia mempengaruhinya melalui proses internalisasi yang
mencerminkan ‘realitas yang subjektif’ (tesis Weber). Analisis Peter L. Berger dan Thomas
Luckman dilandasi dari berbagai penyatuanparadigma yang ada pada sosiologi. Peter L.
Berger dan Thomas Luckmanbersandar pada berbagai pemikiran para tokoh seperti
Durkheim, Marx, Weber, dan Schutz.
b. Teori strukturasi
KESIMPULAN
Dari hasil pembahasan makalah di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Paradigma sosiologi ialah cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang
akan mempengaruhinya dalam berpikir, bersikap, dan bertindak. Paradigma juga dapat berarti
seperangkat asumsi, konsep, nilai, dan praktik yang di terapkan dalam memandang realitas
dalam sebuah komunitas yang sama. Paradigma sosiologi adalah kerangka berpikir dalam
masyarakat yang menjelaskan bagaimana cara pandang terhadap fakta kehidupan sosial dan
perlakuan terhadap ilmu atau teori yang ada. Paradigma ini juga menjelaskan bagaimana
meneliti dan memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk
menjawab masalah.
a. Paradigma fakta sosial, yang memandang masyarakat sebagai kenyataan atau fakta yang
berdiri sendiri, terlepas dari persoalan apakah individu-individu menyukainya atau tidak
menyukainya. Masyarakat dalam strukturnya (bentuk pengorganisasian, peraturan, hirarki
kekuasaan, peranan-peranan, nilai-nilai, dan apa yang disebut sebagai pranata-pranata sosial)
merupakan fakta yang terpisah dari individu, namun mempengaruhi individu tersebut.
b. Paradigma definisi sosial, yang memandang bahwa pokok persoalan sosiologi adalah
bagaimana memahami tindakan sosial antar hubungan sosial, dimana tindakan yang penuh
arti itu ditafsirkan untuk sampai pada penjelasan kausal. Struktur dan institusi sosial,
merupakan satu kesatuan yang membentuk tindakan manusia yang penuh arti atau makna.
Tindakan sosial merupakan tindakan individu yang mempunyai makna atau arti subyektif
bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya, tindakan individu yang
diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkan dengan tindakan
orang lain bukan suatu tindakan sosial.
c. Paradigma perilaku sosial, yang memandang bahwa obyek studi yang konkret-realistik itu
adalah perilaku manusia yang nampak serta kemungkinan perulangannya. Menurut
paradigma ini, tingkah laku seorang individu mempunyai hubungan dengan lingkungan yang
mempengaruhinya dalam bertingkah laku. Tingkah laku manusia atau individu di sini lebih
ditentukan oleh sesuatu di luar dirinya seperti norma-norma, nilai-nilai atau struktur
sosialnya. Jadi dalam hal ini individu kurang sekali memiliki kebebasan.
d. Paradigma integratif (multi paradigma), yang dapat juga dikatakan sebagai paradigma
“jalan tengah”. Paradigma ini berusaha menawarkan perpaduan berbagai paradigma yang
ada. Paradigma integratif berusaha menjelaskan semua tingkat realitas sosial yang ada sesuai
dengan tingkat kebutuhan analisis dari para ilmuwan sosial.
a. Paradigma fakta sosial didukung oleh teori fungsionalisme struktural dan teori konflik.
b. Paradigma definisi sosial didukung oleh teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori
fenomenologi dan teori etnometodologi.
c. Paradigma perilaku sosial didukung oleh teori behavioral socilology dan teori pertukaran
(exchange).
d. Paradigma integratif (multi paradigma) didukung oleh teori konstruksi sosial dan teori
strukturasi.
1
Dalam:http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2197554-pengertian-
paradigma-progressivisme/, diakses, 4 Juni 2012.
2
Dalam:http://juprimalino.blogspot.com/2012/02/pengertian-paradigma-definisi-
paradigma.html, diakses, 4 Juni 2012.
3
Dalam: http://juprimalino.blogspot.com/2012/02/paradigma-penelitian-ilmu-ilmu-
sosial.html, diakses, 4 Juni 2012.
4
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2010), h. 697
5
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 38.
6
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2009), hal. 40-41.
7
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009), h. 46.
8
George Ritzer, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h.
392-393.
9
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2009), h. 59.
10
Lihat Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, (Jakarta: Rajawali Pers, 1994).
11
Anthony Giddens, dan Jonathan H. Turner (ed), Social Theory Today; Panduan
Sistematis Tradisi dan Tren Terdepan Teori Sosial, diterjemahkan oleh Yudi Santoso,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h.127.
12
George C. Homans, Behaviorisme dan Sesudahnya, dalam Anthony Giddens, dan
Jonathan H. Turner (ed), h. 103.
13
Lihat Peter Ludwig Berger dan Thomas Luckman, Tafsir Sosial atas Kenyataan
Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, (Jakarta: LP3ES, 1990).
14
Lihat Anthony Giddens, Teori Strukturasi; Dasar-dasar Pembentukan Struktur
Sosial Masyarakat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010).