Anda di halaman 1dari 17

PARADIGMA

PELATIHAN KADER DASAR (PKD)


PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA

MUHAMAD SAFI’I
WAKIL KETUA 1 PC PMII TULUNGAGUNG
PENGERTIAN


Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik dalam bukunya "The
Structural of Scientific Revolution" yaitu suatu asumsi dasar dan asumsi teoretis yang umum merupakan
suatu sumber ilmu, sehingga menjadi hukum, metode, serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga
sangat menentukan sifat, ciri serta karakteristik ilmu pengetahuan itu sendiri.

Menurut Robert Friedrics, paradigma adalah sekumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir seseorang
sebagai titik tolak pandangannya dan membentuk citra subjektif seseorang terhadap realita sehingga
dapat menentukancara menangani realita tersebut.

Adapaun paradigma menurut George Ritzer ialah sebuah pandangan yang mendasar para ilmuan
mengenai hal-hal yang menjadi pokok permasalahan yang seharusnya dipelajari oleh cabang ilmu
pengetahuan tertentu.

Kerangka berpikir, cara pandang, titik pijak untuk menentukan atau menyusun sebuah teori,
menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah.
Paradigma (Thomas Khun)
Paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Khun, seorang ahli fisika teoritik, dalam bukunya
“The Structure Of Scientific Revolution”, yang dipopulerkan oleh Robert Friederichs (The Sociologi Of
Sociology;1970), Lodhal dan Cardon (1972), Effrat (1972), dan Philips (1973).

1. Paradigma Metafisik: Paradigma yang mengacu pada sesuatu yang menjadi pusat kajian ilmuan.

2. Paradigma Sosiologi: Paradigma yang mengacu pada suatu kebiasaan social masyarakat atau
penemuan teori yang diterima secara umum.

3. Paradigma Konstrak: Paradigma sebagai sesuatu yang mendasari bangunan konsep dalam lingkup
tertentu, misalnya paradigma pembangunan, paradigma perkembangan dll.
Paradigma Ilmu
Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni
bagaimana, apa, dan untuk apa. Tiga pertanyaan dasar itu kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi,
yaitu:

1. Dimensi Ontologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya hakikat
dari sesuatu yang dapat diketahui (knowable), atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas (reality).
Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal yang nyata.
2. Dimensi Epistemologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya
hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan objek yang ditemukan.
3. Dimensi Axiologis, yang dipermasalahkan adalah peran nilai-nilai dalam suatu kegiatan penelitian.
4. Dimensi Retorik yang dipermasalahkan adalah bahasa yang digunakan dalam penelitian.
5. Dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus menjawab pertanyaan: bagaimana cara atau metodologi
yang dipakai seseorang dalam menemukan kebenaran suatu ilmu penegtahuan.
Jenis Paradigma
1. Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan.
Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist)
dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws).

2. Postpositivisme Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan- kelemahan positivisme,
yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.

3. Konstruktivisme merupakan satu di antara paham yang menyatakan bahwa positivisme dan postpositivisme
merupakan paham yang keliru dalam mengungkap realitas dunia. Karena itu, kerangka berpikir kedua paham
tersebut harus ditinggalkan dan diganti dengan paham yang bersifat konstruktif. Paradigma ini muncul melalui
proses yang cukup lama setelah sekian generasi ilmuwan berpegang teguh pada paradigma positivisme.

4. Critical Theory Aliran ini sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai suatu paradigma, tetapi lebih tepat disebut
ideologically oriented inquiry, yaitu suatu wacana atau cara pandang terhadap realitas yang mempunyai orientasi
idiologis terhadap paham tertentu. Idiologi ini meliputi: Neo-Marxisme, Materialisme, Feminisme, Freireisme,
Partisipatory inquiry, dan paham-paham yang setara. Critical Theory merupakan suatu aliran pengembangan
keilmuan yang didasarkan pada suatu konsepsi kritis terhadap berbagai pemikiran dan pandangan yang
sebelumya ditemukan sebagai paham keilmuan lainnya.
Jenis Paradigma
William Perdue, menyatakan dalam ilmu sosial dikenalkan adanya tiga jenis utama paradigma:
1. Order Paradigm (Paradigma Keteraturan)
2. Conflict Paradigm (Paradigma Konflik)
3. Plural Paradigm (Paradigma Plural)

Ketiga paradigma di atas merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optic pertumbuhan teori
sosiologi, telah lahir Paradigma Kritis setelah dilakukan kolaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik.
Peran & Fungsi Paradigma
Dalam ilmu sosial fungsi paradigma adalah untuk membangun suatu teori serta konstruk pemikiran dan menjadi titik pijak
pandangan dalam melakukan analisis dengan demikian peran paradigma sangatlah penting karena menentukan ia akan
menjadi ciri dan karakteristik dari suatu teori dengan teori yang lain. Maka kita dapat memahami bahwa paradigma
hendaknya di pilih oleh PMII sebagai karakteristik dari PMII itu sendiri dalam memberikan konsep-konsep teroritik atau
tentang berbagai persoalan yang sangat kompleks di masyarakat.

Dengan adanya paradigma, diharapkan tidak adanya pembeda atau perpecahan model gerakan, seperti perbedaan gerakan
jalanan, dan gerakan perpikiran. Perbedaan pendapat lebih menekankan pada praksis dan asumsi. Sedangkan gerakan
pemikir melalui eksplorasi teoritik, kajian-kajian, pertemuan ilmiah, diskusi, seminar.

Fungsi:
1. Memberikan kerangka, mengarahkan bahkan menguji konsistensi keilmuan
2. Untuk membangun suatu teori dan membangun kontruk pemikiran dan menjadi titik pijak pandangan dalam
melakukan analisis.
3. Selain menurunkan beberapa teori, paradigma merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru,
SEJARAH PARADIGMA PMII
• Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran atau Paradigma Pergerakan yang
dirumuskan saat Sahabat Muhaimin Iskandar menjadi ketua umum tahun 1994-1997.

• PKT (Paradigma Kritis Transformatif) transformasi dari Paradigma Pergerakan yang


dirumuskan saat Sahabat Syaiful Bahri Ansori menjadi Ketua Umum tahun 1997-2000.

• Membangun Sentrum Gerakan di Era Neo Liberal diperkenalkan saat Sahabat Malik
Haramain menjadi Ketua Umum tahun 2003-2005 (tidak disahkan).

• Paradigma Menggiring Arus Berbasis Realitas yang dirumuskan saat Sahabat Hery
Haryanto Azumi menjadi Ketua Umum tahun 2005-2008.

• Paradigma Kritis Transformatif Produktif mencoba dirumuskan oleh Sahabat Abdullah


Syukri menjadi Ketua Umum 2021-2023.
Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran (Paradigma Pergerakan)
Nalar gerak PMII secara teoritik mulai terbangun secara sistematis pada masa kepengurusan Sahabat Muhaimin Iskandar (Ketum) dan
Sahabat M. Noor (Sekjend) tahun 1994-1997. Untuk pertama kalinya istilah paradigma yang popular dalam lang sosiologi digunakan dalam
PMII. Paradigma pergerakan dirasa mampu untuk menjawab kegerahan anggota pergerakan dengan situasi sosio-politik nasional. Era pra
reformasi di PMII menganut paradigma arus balik masyarakat pinggiran.

Paradigma ini muncul dikarenakan restrukturisasi yang dilakukan oleh orde baru telah menghasilkan format politik baru yang ciri-ciri
umumnya tidak jauh berbeda dengan Negara- negara kapitalis pinggiran (peripheral capitalist state) dibeberapa Negara Amerika Latin dan
Asia. Ciri-ciri itu antara lain:
1. Munculnya Negara sebagai agen otonom yang perannya kemudian untuk mengatasi masyarakat yang merupakan asal-usul
eksistensinya.
2. Menonjolkan peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses rekayasa social, ekonomi dan politik.
3. Semakin terpinggirkannya sector-sektor social dalam masyarakat (termaksud kaum intelektual)
4. Diterapkannya model politik enklusioner melalui jaringan-jaringan korporatis untuk menangani berbagai kepentingan politis.
5. Penggunaan secara efektif hegemoni ideologi untuk memperkokoh dan melestarikan sistem politik yang ada.

Hal penting lain dari paradigma ini adalah mengenai proses rekayasa sosial yang dilakukan PMII dimasa Orde Baru. Rekayasa social yang
dilakukan melalui dua pola, pertama, melalui advokasi masyarakat, kedua, melalui free market idea. Advokasi dilakukan untuk korban-
korban perubahan, bentuk gerakannya ada tiga yakni, sosialisasi wacana, penyadaran, pemberdayaan serta pendampingan.

Cita-cita besar advokasi ialah sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat untuk mencapai angan-angan terwujudnya civil society.
Kemudian yang diinginkan dari free market idea adalah terjadinya transaksi gagasan yang sehat dan dilakukan oleh individu- individu yang
bebas, kreatif sebagai hasil dari proses liberasi dan independensi.
Paradigma Kritis Transformatif
Pada periode sahabat Saiful Bahri Ansari (1997-2000) diperkenaikan paradigma kritis tranformatif. Pengetian paradigma kritis
tranformatif merupakan proses pemikiran manusia yang perubahan tersebut kepada yang lebih ideal dari sebelumnya, dengan
demikian memiliki sifat sekuler dan tidak konstan.

Paradigma sebelumnya mendapat ujian berat ketika KH. Abdurrahman Wahid (Alm) terpilih sebagai presiden ke-4 RI pada
November 1999. Para aktivis civil society umumnya mengalami kebingungan saat Gus Dur menjadi tokoh dan simbol perjuangan
civil society Indonesia naik ke tampuk kekuasaan.

Aktivis pro-demokrasi mengalami kebingungan antara mendampingi Gus Dur dari jalur ekstraparlemen atau bersikap sebagaimana
pada presiden-presiden sebelumnya. Mendampingi atau mendukung didasari pada kenyataan bahwa masih banyak unsur-unsur
orba yang memusuhi presiden ke-4 ini.

Pilihan tersebut memunculkan pendapat bahwa aktivis pro-demokrasi telah menanggalkan semangat perlawanannya. Meski
demikian secara rasional sikap PB PMII dimasa kepengurusan Nusron Wahid (2000-2002) secara tegas terbuka mengambil tempat
mendukung demokrasi dan reformasi yang secara konsisten dijalankan oleh presiden Gus Dur.
Lanjutan…
1. Masyarakat Indonesia saat ini sedang terbelenggu oleh nilai-nilai kapitalisme modern. Kesadaran masyarakat dikekang dan diarahkan pada satu
titik budaya masa kapitalisme dan pola pikir positivistic modernism. Pemikiran-pemikiran seperti ini sekarang telah menjadi sebuah berhala
yang mengharuskan semua orang untuk mengikatkan diri padanya. Siapa yang tidak melakukan, dia akan tertinggal dan dipinggirkan,
eksistensinyapun tidak diakui. Akibatnya jelas, kreatifitas dan pola pikir manusia menjadi tidak berkembang. Dalam kondisi seperti ini maka
penerapan paradigma kritis menjadi suatu keniscayaan.
2. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk, baik etnik, tardisi, kultur maupun kepercayaan. Kondisi seperti ini sangat memperlukan
paradigma kritis, karena paradigma ini memberikan tempat yang sama bagi setiap individu maupun kelompok masyarakat untuk
mengembangkan potensi diri kan kreatifitasnya secara maksimal melalui dialog yang terbuka dan jujur. Dengan demikian potensi tradisi akan
bisa dikembangkan secara maksimal untuk kemanusiaan.
3. Sebagaimana kita ketahui selama orde baru berjalan sebuah sistem politik yang represif dan otoriter dengan pola hegemonik. Akibatnya ruang
public masyarakat hilang karena direnggut oleh kekuasaan Negara. Dampak lanjutannya adalah berkembangnya budaya bisu dalam masyarakat,
sehingga proses demokratisasi terganggu karena sikap kritis dibungkam. Untuk mengembangkan budaya demokratis dan memperkuat civil
society dihadapan Negara, maka paradigma kritis merupakan alernatif yang tepat.
4. Selama pemerintahan ordebaru yang menggunakan paradigma keteraturan (orde paradigma) dengan teori-teori modern yang direpresentasikan
melalui ideologi developmentalisme, warga PMII mengalami proses marginalisasi secara hampir sempurna. Hal ini karena PMII dianggap sebagai
wakil dari masyarakat tradisional. Selain itu, paradigma keteraturan memiliki konsekuensi logis bahwa pemerintah harus menjaga harmoni dan
keseimbangan social yang meniscayakan adanya gejolak sosial yang ditekan sekecil apapun. Sementara perubahan harus berjalan secara gradual
dan perlahan. Dalam suasana demikian, massa PMII secara sosiologis akan sulit berkembang karena tidak memiliki ruang yang memadai untuk
mengembangkan diri, mengimplementasikan kreatifitas dan potensi dirinya.
5. Selain belenggu sosial politik yang dilakukan oleh Negara dan sistem kapitalisme global yang terjadi sebagai akibat perkembangan situasi, faktor
yang secara spesifik terjadi dikalangan PMII adalah kuatnya belenggu dogmatisme agama dan tradisi. Dampaknya. Secara tidak sadar telah terjadi
berbagai pemahaman yang distortif mengenai ajaran dan fungsi agama. Terjadi dogmatisme agama yang berdampak pada kesulitan membedakan
mana dogma dan yang mana pemikiran terhadap dogma
Paradigma Membangun Sentrum Gerakan di Era Neo Liberal
Buku Membangun Sentrum Gerakan di Era Neo Liberal yang diterbitkan pada era sahabat A. Malik Haramain (2004), dikatakan
bahwa dua paradigma sebelumnya telah patah (2004: hal. 30). Kedua paradigma sebelumnya melanjutkan kagagapan PMII dalam
bersinggungan dengan kekuasan. Setidak-tidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan patahnya kedua paradigma ini. 

Pertama, keduanya didesain hanya untuk melakukan resistensi terhadap otoritarianisme tanpa membaca kompleksitas aktor di
level nasional yang selalu terkait dengan perubahan di tingkat global dan siklus politik-ekonomi yang terjadi. Sebagai contoh
maraknya LSM pro demokrasi dan gencarnya isu anti militerisme pada dekade 1990-an adalah akibat dari runtuhnya Uni Soviet
sebagai rival USA dalam kompetisi hegemoni dunia.
Kedua, dua paradigma di atas hanya menjadi bunyi-bunyian yang tidak pernah secara real menjadi habitus atau laku di PMII.
Akibatnya bentuk resistensi yang muncul adalah resisten tanpa tujuan, yang penting melawan. Sehingga ketika perlawanan itu
berhasil menjatuhkan Soeharto terlepas ada aktor utama yang bermain, PMII dan organ-organ pro demokrasi lainnya tidak tahu
harus berbuat apa.
Ketiga, pilihan dua paradigma di atas tidak didorong oleh setrategi sehingga paradigma dianggap sebagai suatu yang baku. Mestinya
ketika medan pertempuran telah berganti, maka strategipun harus berbeda. Sayangnya yang terjadi pada PMII, ketika medan
pertempuran melawan otoritarianisme orde baru telah dilewati, PMII masih berpikir normatif dengan mempertahankan nalar
paradigma lama.
   
Paradigma Menggiring Arus, Berbasis Realitas
Pada masa kepengurusan sahabat Heri Harianto Azumi (2006-2008) secara massif, paradigm gerakan PMII masih kental dengan nuansa
perlawanan frontal baik-baik terhadap Negara maupun kekuatan kapitalis internasional. Sehingga ruang taktis-strategis dalam rangka cita-
cita gerakan yang berorientasi jangka panjang justru tidak memperoleh tempat. Aktifis-aktifis PMII masih mudah larut dalam persoalan
temporal-spasial, sehingga perkembangan internasional sangat berpengaruh terhadap arah perkembangan Indonesia sendiri sulit dibaca.
Dalam kalimat lain, dengan energi yang belum seberapa, aktifis PMII sering larut pada impian membendung dominasi Negara dan ekspansi
neoliberal saat ini juga. Efek besarnya, upaya strategis untuk mengakumulasi kekuatan justru masih sedikit dilakukan.

Nalar penyusunan gerakan di Indonesia setelah Tan Malaka lebih bersifat teoritik-akademik (logos), yakni diawali dengan berbagai konsep
ideal tentang masyarakat atau negara yang berasal dari barat. Celakanya, konsep-konsep yang dipakai di kalangan akademis kita hampir
seluruhnya beraroma liberalisme. Sehingga di tingkat intelektual pun tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri dari arus liberalisme,
yang di level politik dan ekonomi maujud dalam neoliberalisme. Dengan kata lain, dalam upaya melawan neoliberalisme, banyak gerakan
terperangkap di langkah pertama yakni tersedot oleh konsep-konsep liberalisme. Demokrasi, HAM, civil society, sipil vs militer, federalisme
dll. difahami sebagai agenda substansial. Padahal dalam lapangan politik dan ekonomi, kesemuanya tadi nyaris menjadi mainan negara-
negara neoliberal. Maka boleh dikata, semenjak dari pikiran gerakan semacam itu memang tidak akan pernah berhasil.

Dengan kata lain persoalan sulitnya membangun paradigma berbasis kenyataan di PMII itu pararel dengan kesulitan membuat agenda
nasional yang berangkat dari kenyataan Indonesia. Konsekuensi yang harus diambil dari penyusunan paradigma semacam itu adalah, untuk
sementara waktu organisasi akan tersisih dari pergaulan gerakan mainstream. Gerakan harus mampu berkayuh di antara gelombang
panjang dan gelombang pendek, agar gelombang panjang tetap terkejar dan gelombang pendek tidak cukup kuat untuk menghancurkan
biduk kita yang rapuh. Bagaimanapun untuk membangun gerakan kita harus mendahulukan realitas ketimbang logos.
Paradigma Kritis Transformatif Produktif
Pada periode Sahabat M. Abdullah Syukri tahun 2021-2023 menyampaikan penyusunan paradigma baru sebagai
bagian dari Paradigma Kritis Transformatif yang disesuaikan dengan keadaan saat ini, yaitu Paradigma Kritis
Transformatif Produktif.
Sahabat Abdullah Syukri menilai paradigmatik PMII mengalami kebuntuan bahkan sempat gagap di beberapa tahun
belakangan dalam menghadapi revolusi industri 4.0, kemajuan daerah perkotaan, kaum kelas atas ekonomi
menengah, dsb.
Paradigma Kritis Transformatif Produktif ini menjadi implementasi salah satu moto PMII yaitu Amal Sholeh. Hal ini
dibutuhkan mengingat diskusi selama berjam-jam diberbagai tingkatan tidak membuahkan hasil atau produk
(karya) baru. Padahal setiap orang memiliki ciri unuk yang berbeda dengan orang yang lainnya.
Konsep Paradigma Kritis Transformatif (PKT)
Immanuel Kant melihat teori kritis dari pengambilan suatu ilmu pengetahuan secara subyektif sehingga akan membentuk
paradigma segala sesuatu secara subyektif pula. Kant menumpukkan analissinya pada epistemologis, tradisi filsafat yang bergulat
pada persoalan “isi” pengetahuan. Kritik dalam pengertian pemikiran Kanttian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan
klaim pengetahuan tanpa prasangka.

Menurut Hegel, Kant berambisi membangun suatu “meta-teori” untuk menguji validitas suatu teori. Menurut Hegel pengertian
kritis merupakan refleksi-diri dalam upaya menempuh pergulatan panjang menuju ruh absolute. Hegel memandang teori kritis
sebagai proses totalitas berfikir. Dengan kata lain, kebenaran muncul atau kritisisme bisa tumbuh apabila terjadi benturan dan
pengingkaran atas sesuatu yang sudah ada.

Menurut Marx, konsep Hegel seperti orang berjalan dengan kepala, ini adalah terbalik. Dialektika Hegelian dipandang terlalu
idealis, yang memandang bahwa yang berdialektika adalah pikiran. Ini kesalahan serius sebab yang berdialektika adalah
kekuatan-kekuatan material dalam masyarakat. Pikiran hanya refleksi dari kekuatan material (modal produksi
masyarakat). Sehingga teori kritis bagi Marx sebagai usaha mengemansipasikan diri dari penindasan dan elienasi yang dihasilkan
oleh penguasa di dalam masyarakat.

Freud mampu memberikan basis psikologi masyarakat dan mampu membongkar konstruk kesadaran dan pemberdayaan
masyarakat. Freud memandang teori kritis dengan refleksi dan analisis psikoanalisanya, artinya bahwa orang bisa melakukan
sesuatu karena didorong oleh keinginan untuk hidupnya sehingga manusia melakukan perubahan dalam dirinya. Kritik
dalam pengertian Freudin adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran.
Lanjutan…
Berdasarkan empat pengertian kritis tersebut, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar konteplasi pasif prinsip-prinsip obyektif
realitas, melainkan bersifat emansipatoris, sedangkan teori yang emansipatoris harus memenuhi tiga syarat:
1. Bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya.
2. Berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat.
3. Tidak memisahkan teori dan praksis. Tidak melepaskan fakta dari nilai semata-mata untuk mendapatkan hasil yang obyektif.

Transformatif dianut epistimologi perubahan non-esensialis. Perubahan yang tidak hanya menumpukan pada revolusi politik atau
perubahan yang bertumpu pada agen tunggal sejarah, entah kaum miskin kota, buruh atau petani, tapi perubahan yang serentak yang
dilakukan secara bersama-sama.

Makna tranformatif harus mampu mentranformasikan gagasan dan gerakan sampai pada wilayah tindakan praksis ke masyarakat.
Model-model transformasi yang bisa dimanifestasikan pada dataran praksis antara lain:
4. Transformasi dari Elitisme ke Populisme
5. Tranformasi dari Negara ke Masyarakat
6. Transformasi dari struktur ke culture
7. Transformasi dari individu ke massa

PKT berupaya menegakkan harkat martabat kemanusiaan dari belenggu, melawan segala bentuk dominasi dan penindasan, membuka tabir
dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemoni. Semua ini adalah pokok-pokok pemikiran yang terkandung dalam Islam, oleh
karenanya pokok-pokok pemikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak penerapan PKT di kalangan kader PMII
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai