Anda di halaman 1dari 3

Resume: Paradigma PMII

Pemateri: Sahabat Abdullah Syukri

Pengertian Paradigma
Secara etimologi paradigma berasal dari bahasa Inggris ‘paradig’,  yang berarti bentuk sesuatu, model,
dan pola (type of something, model, pattern). Dalam bahasa Yunani, paradigma berasal dari kata
‘para’ (di samping, di sebelah), dan kata dekynai (memperlihatkan; yang berarti; model; contoh;
arketipe; ideal). Sedangkan secara terminologi paradigma berarti a total view of a problem; a total
outlook; not just a problem in isolation. Paradigma adalah cara pandang atau cara berfikir tentang
sesuatu. Jadi, paradigma dapat dimaknai dengan cara memandang sesuatu.
Dalam ilmu pengetahuan, paradigma berarti model, pola, ideal. Dari model-model itu sehingga
fenomena yang dipandang bisa diperjelas. Karena paradigma dalam totalitas premis-premis teoretis
dan metodologisnya memberikan, menentukan, dan mendefinisikan suatu studi ilmiah konkret,
juga sebagai dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem
riset.
Menurut Nasim Butt, paradigma adalah teori-teori yang berhasil secara empiris, yang mulanya diterima
dan dikembangkan dalam sebuah tradisi penelitian sampai kemudian ditumbangkan oleh paradigma
yang lebih progresif secara empiris. Sedangkan menurut Husain Heriyanto, paradigma adalah
seperangkat asumsi teoretis umum dan hukum-hukum, serta teknik-teknik aplikasi yang dianut secara
bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah. Liek Wilaryo, mendefinisikan paradigma sebagai
model yang dipakai ilmuwan dalam kegiatan keilmuannya untuk menentukan jenis-jenis persoalan
yang perlu digarap, dengan metode apa, dan melalui prosedur yang bagaimana penggarapan itu harus
dilakukan.
Lebih lanjut, konsep paradigma populer karena pemikiran Thomas Kuhn dalam bukunya; The Struktur
of Scientific Revolution, ketika dirinya menjelaskan tentang revolusi ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn,
ilmu pengetahuan itu berkembang dari masa awal pembentukan, kemudian memperoleh pengakuan
dan berkembang menjadi paradigma. Pada tahap inilah kemudian teori ilmu pengetahuan diakui
sebagai kebenaran sekaligus dijadikan sebagai acuan bagi masyarakat dalam merumuskan
pertanyaan dan cara menjawab. Pada saat ini pula sebuah teori ditempatkan sebagai paradigma, yaitu
suatu pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan ( subject matter) dari suatu
cabang ilmu. Normal science adalah periode berikutnya, yang dalam hal ini terjadi akumulasi ilmu
pengetahuan. Para ilmuwan bekerja berdasarkan paradigma yang berpengaruh di dalamnya, dan
asumsi yang mendasari pun dijadikan sebagai dasar dalam memahami kenyataan.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, yaitu sejalan dengan perkembangan masyarakat apa yang
awalnya diyakini sebagai kebenaran kemudian mengalami kekacauan (anomali), karena asumsi
paradigma lama sudah tidak mampu lagi menjawab persoalan yang muncul. Akibatnya, timbul suatu
krisis karena validitas paradigma lama benar-benar sudah tidak bisa lagi untuk dipertahankan. Pada
saat inilah kemudian terjadi, apa yang menurut Kuhn, dengan masa terjadinya suatu ‘revolusi ilmu
pengetahuan’. Pada saat revolusi ilmu pengetahuan terjadi, maka asumsi dan dasar pemikiran
paradigma yang berlaku tidak lagi dianggap relevan untuk merumuskan pertanyaan dan mengajukan
jawaban atas fenomena yang ada. Setelah terjadi revolusi, selanjutnya ditemukanlah teori baru, dan
dari sinilah kemudian dimulai munculnya paradigma baru.
Berdasar atas pemikiran, konsep dan rumusan definisi paradigma yang disusun oleh para ahli tersebut
di atas, maka dapat dirumusakan secara sederhana, atau paling tidak menangkap poin penting bahwa
istilah paradigma dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara
pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan, dan membuat rumusan mengenai suatu
masalah, serta medan gerakan yang harus dilakukan oleh PMII. Atau dengan kata lain, istilah
paradigma bagi PMII merujuk pada bagaimana PMII ‘melihat realitas’. Lebih sederhana lagi, paradigma
tak ubahnya seperti kaca mata untuk melihat, memaknai serta menafsirkan realitas; terutama dalam
kasus PMII adalah realitas sosial-masyarakat. Oleh karenanya, jika paradigma diaplikasikan
secara massif, maka kemudian akan menuai respon berupa arahan dalam bergerak.
Kritis yang Transformatif
Kritis saja tidak cukup tanpa diimbangi dengan transformatif. Kritis hanya sebatas proses analisis yang
masih abstrak dan perlu dikristalkan menjadi wujud konkret. Paradigma kritis adalah alat analisa, ia
baru menjawab serial pertanyaan ‘kekinian’ modernitas. Ini baru sampai pada logika dan
mekanisme working system yang menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif dan eksploitatif,
namun belum mampu memberikan perspektif jawaban terhadap formasi sosial. Oleh sebab itu,
transformatif dihadirkan dalam rangka melengkapi kemandegan pasca analisa atau kontemplasi.

Transformatif adalah adjective dari kata transformasi, yang secara leksikal dalam bahasa Inggris


ialah transform yang berarti merubah bentuk atau rupa, transformation merupakan perubahan bentuk
atau penjelmaan. Dari pengertian tersebut, sehingga transformatif adalah proses pengubahan dari satu
bentuk, yaitu berupa ide, gagasan dan sistem gerakan menjadi bentuk baru yang mampu menjamah
realitas masyarakat pada wilayah tindakan praksis. Contoh transformasi antara lain adalah
transformasi dari elitisme ke populisme, dari negara ke masyarakat, dari struktur ke kultur, dari
individualisme ke massa, atau dari hedonisme ke altruisme.

Dari alur uraian tersebut di atas, transformatif dimunculkan dalam konsep paradigma kritis tidak lain
adalah dalam rangka untuk membumikan atau memanifestasikan paradigma kritis, sehingga
paradigma kritis tidak menjadi sebuah utopia yang melayang-layang, melangit dan jauh dari sasaran,
namun membumi dan aplikatif terhadap realitas sosial dan transformatif.
Pembacaan PKT Terhadap Realitas Sosial
Pada esensinya, PKT hanyalah produk pemikiran para intelektual baik Barat maupun Timur. Yang
pasti, ia dipandang sekuler oleh khalayak, dan bahkan juga dipandang sebelah mata, khususnya oleh
golongan kanan. Meski demikian, PMII justru sangat merespon PKT dengan mengaplikasikannya
dalam menjawab problem realitas sosial, khususnya yang dihadapi PMII, dan tentunya juga PMII
melakukan filtrasi atas PKT. Bagi PMII, PKT bukanlah cara pandang dogmatis yang dianggap final,
melainkan hanyalah alat analisa yang kebetulan dipilih oleh PMII. Sehingga, dengan melihat realitas
yang ada di masyarakat, dan sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat PMII baik secara sosiologis,
politis dan antropologis, maka PMII memilih pradigma kritis transformatif sebagai pijakan gerakan
organisasi.
Pilihan paradigma kritis transformatif sesungguhnya berawal dari dialektika model gerakan yang harus
dipilih oleh PMII, dalam menghadapi realitas kebangsaan dan kemanusiaan, antara yang ber”politicho-
thing” yang hobinya bermanja-manja dengan kekuasaan, dengan yang berkeinginan untuk
mengembalikan PMII pada khittah gerakan mahasiswa, gerakan pemikiran dan gerakan moral
(moral force) yang independen.
Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan PMII memilih PKT sebagai dasar untuk bertindak dan
mengaplikasikan pemikiran, serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa. Pertama,
masyarakat Indonesia sedang terbelenggu oleh kekuatan represif imperialis kapitalisme modern di satu
sisi. Di sisi lain, masyarakat dikondisikan untuk berfikir ala positivistik-modernisme yang elitis-
individualis dan serba instan. Untuk itu, PKT menjadi ‘jurus jitu’ untuk melawan ‘berhala’ modernitas
yang menjadi sesembahan.

Kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural baik etnik, tradisi, budaya, agama
maupun kepercayaan. Sehingga, PKT dianggap cocok untuk merepresentasikan dan memposisikan
ke-pluralan tersebut. Karena bagi PMII, PKT dipandang inklusif-humanis, sehingga dengan PKT
diharapkan individu-individu atau kelompok-kelompok mempunyai kesempatan yang sama dalam
bereksplorasi tanpa saling merugikan dan mengganggu. PKT dipilih oleh PMII juga untuk melawan
secara frontal terhadap sistem politik apapun dan kapanpun yang bersifat represif, otoriter dan
menghegemoni masyarakat (baca: mustadl’afin). Dalam kasus ini, PMII memposisikan PKT ( critical
paradigm) vis a vis dengan paradigma keteraturan (order paradigm).
Selain masalah sosial-politik, PKT juga dihadirkan dalam rangka menjawab realitas keberagamaan dan
sikap terhadap tradisi yang sangat tekstualis-dogmatis, sehingga pemahaman dan tindakannya sangat
reduksif (kering dan ganjil). Dalam hal ini, PMII meniru semangatnya tokoh Kiri Islam, seperti Hasan
Hanafi, Mohammad Arkoun, Nasir Hamid Abu Zaid, Abid Al-Jabiri, Asghar Ali Engineer dan tokoh-tokoh
Kiri Islam lainnya, serta masih masih banyak alasan lain yang mengharuskan kenapa PMII harus ber-
PKT.
Pada intinya, PKT ‘ada’ adalah dalam rangka menghapus dehumanisasi dan menggantinya dengan
upaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari bermacam belenggu kepicikan
modernisme. Dan jika kita amati, PKT PMII sangatlah mewarisi semangat yang terkandung dalam
Islam, terutama Islam Ahlussunnah  wal  Jama’ah  (Aswaja). Dalam hal ini, penerapan paradigma kritis
bukan menyentuh pada hal-hal yang sifatnya sakral, melainkan pada persoalan yang profan. Lewat
paradigma kritis, sehingga PMII berupaya menegakkan sikap kritis dalam kehidupan dengan
menjadikan ajaran Islam (Aswaja) sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis.

Anda mungkin juga menyukai