Anda di halaman 1dari 5

PARADIGMA DAN LANDASAN FILOSOFIS PENELITIAN

Dalam bahasa indonesia paradigma diartikan sebagai kerangka berpikir atau model dalam teori
ilmu pengetahuan.1 Paradigma penelitian merupakan pandangan terhadap objek penelitian yang
berimplikasi terhadap metodologi penelitian atau dapat juga disebut langkah pertama yang
menjadi dasar pilihan untuk selanjutnya membentuk desain penelitian yang akan dilakukan. 2
Bogdan dan Biklen (1982) dalam Moleong (2007) menyebut paradigma sebagai kumpulan
longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan
cara berpikir dan penelitian. Penelitian itu suatu analisis sistematis dan objektif, dan observasi
yang terkontrol yang membimbing kearah pengembangan generalisasi, prinsip, teori, prediksi,
dan tujuan berdasarkan kejadian- kejadian. 3Mulyana (2008) menyebut paradigma sebagai suatu
ideologi dan praktik suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atas
realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan
menggunakan metode serupa.
Nusa Putra dan Hendraman (2013), Paradigma dibagi menjadi empat secara umum karena
keempat itu membentuk pendekatan penelitian tertentu, adapun bentuk paradigma lainnya
diyakini menginduk pada empat paradigma itu. Berikut empat paradigma yang dimaksud: 1.
Postpositivisme 2. Kontruktifisme 3. Advokasi dan Parsipatori 4. Pragmatisme
Paradigma postpositivisme ditemani paradigma rasionalisme, empirisme, dan positivisme
mendasari lahirnya penelitian kuantitatif, demikian paradigma kontruktifisme ditemani
paradigma fenomenologi, interpretif, dan interaksi simbolik mendasari lahirnya penelitian
kualitatif. Adapun teori kritis yang mendasari terbentuknya penelitian tindakan action reasearch
dan paradigma pragmatis yang melahirkan metode R & D (Reasearch and Development) 4
Guba dan Lincoln membagi ke dalam paradigma positivisme, post-positivisme, kritikal, dan
konstruktivisme (serta partisipatori).5
Salah satu paradigma yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif adalah paradigma kritis.
Paradigma kritis sendiri merupakan paradigma yang tidak berkaitan dengan prinsip-prinsip
umum, tidak membentuk sistem ide. Paradigma ini berusaha memberikan kesadaran untuk
membebaskan manusia dari irasionalisme. Dengan demikian fungsi paradigma ini adalah
emansipatoris. Ciri paradigma ini adalah : (Ahyar & Lubis 2006)
1. Kritis terhadap masyarakat. Paradigma Kritis mempertanyakan sebab-sebab yang
mengakibatkan penyelewengan-penyelewengan dalam masyarakat. Struktur masyarakat
yang rapuh ini harus diubah.
2. Paradigma kritis berpikir secara historis, artinya berpijak pada proses masyarakat yang
historis. Dengan kata lain paradigma kritis berakar pada suatu situasi pemikiran dan
situasi sosial tertentu, misalnya materialekonomis.
1
Hardani,dkk, Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, (Yogyakarta: CV. Pustaka Ilmu Group, 2020),hlm. 308.
2
Masyithoh, dkk, Paradigma Penelitan, https://www.academia.edu/23790363/Paradigma_Penelitian (di akses
pada tanggal 15 September 2021, pukul 23. 26.
3
Nursapia Harahap, Penelitian Kualitatif, (Medan : Wal Ashri Publishing, 2020), hlm.23.
4
Putra dan Hendraman, Metode Riset Campursari, (Jakarta: PT Indeks, 2013), hlm. 5.
5
Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitative Research, Terjemahan Dariyatno dkk, (Yogyakarta
:Pustaka Pelajar, 2009), hlm. 135.
3. Paradigma kritis tidak menutup diri dari kemungkinan jatuhnya paradigma dalam suatu
bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat. Inilah yang terjadi pada
pemikiran filsafat modern. Menurut Madzhab Frankfurt, pemikiran tersebut telah berubah
menjadi ideologi kaum kapitalis. Paradigma harus memiliki kekuatan, nilai dan kebebasan
untuk mengkritik dirinya sendiri dan menghindari kemungkinan untuk menjadi ideologi.
4. Paradigma kritis tidak memisahkan paradigma dari praktek, pengetahuan dari tindakan,
serta rasio paradigmatis dari rasio praktis. Perlu digarisbawahi bahwa rasio praktis tidak
boleh dicampur dengan rasio instrumental yang hanya memperhitungkan alat atau sarana
semata. Madzhab Frankfurt menunjukkan bahwa paradigma atau ilmu yang bebas nilai
adalah palsu. Paradigma kritis harus selalu melayani transformasi praktis masyarakat.
Paradigma kritis akan menghasilkan teori-teori kritis. Teori kritis mengarahkan pada dua taraf
yang berkaitan secara dialektis. Pada taraf teori pengetahuan, teori kritis berusaha mengatasi
saintisme atau positivisme. Pada taraf teori sosial, kritik dibidikkan ke arah berbagai bentuk
penindasan idiologis yang melestarikan konfigurasi sosial masyarakat yang refresif (Hardiman
1990). Kedua taraf ini saling mengandaikan seperti yang dinyatakan Habermas (1971) dalam
Hardiman (1990) “..suatu kritik radikal atas pengetahuan itu mungkin hanya sebagai teori sosial.”
Teori kritis membawa misi emansipatoris untuk mengarahkan masyarakat menuju masyarakat
yang rasional melalui refleksi diri.
Adorno (1976) dalam Hardiman (1990) teori kritis diharapkan mampu sebagai pendobrak
Herrschaft (dominasi total) kepada pendekatan emansipatoris. Bahasa dalam paradigma kritis
dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema
tertentu, maupun strategi-strategi di dalamnya (Ardianto & Q-Anees 2007).
Selanjutnya paradigma ini digunakan juga untuk mengkritisi rintanganrintangan, tekanan-tekanan
dan kontradiksi yang menghambat proses pengambilan kebijakan. Masyarakat, individu dan
organisasi merupakan kehidupan dalam suatu dunia yang dikarakterisasi oleh suatu keadaan yang
saling mempengaruhi antara kesadaran individu dan prinsip obyektivasi dalam dunia eksternal.
Maksud dari paradigma ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi teknokrat modern.
Dalam kaitan ini teori kritis dijadikan sebagai pisau analisis dalam memecahkan kebuntuan relasi
sosial dalam perspektif gender yang telah ditelikung oleh ideologi dominasi total budaya
patriarki.
Penelitian kualitatif digunakan jika masalah belum jelas, untuk mengetahui makna yang
tersembunyi, untuk memahami interaksi sosial, untuk mengembangkan teori, untuk memastikan
kebenaran data, dan meneliti sejarah perkembangan6
Penelitian selalu disempurnakan untuk mengatasi sikap hidup dan cara berpikir yang tidak sesuai
dengan perkembangan kebutuhan zaman. Dan memang sesungguhnya bahwa sikap hidup dan
cara berpikir yang tidak sesuai dengan perkembangan kebutuhan zaman. Dan memang
sesungguhnya bahwa sikap hidup dan cara berpikir yang spekulatif-aksiomatis tidak dapat
dipertahankan lagi. Dan bagi mereka yang baru mempelajari dasar-dasar dan metodologi
penelitian, ada baiknya untuk mengenal taraf berfikir dalam mencari kebenaran, agar dapat
membedakan mana yang dapat dikatakan berfikir spekulatif-aksiomatis dan mana yang ilmiah.
Maka dalam hal ini penting untuk memahami landasan filososfis penelitian.
6
Hardani, Op.Cit, hlm. 308-309..
Ada beberapa taraf dalam usaha manusia untuk mendapatkan kebenaran dan untuk dapat
menempatkan pentingnya kedudukan “penelitian” di antara berbagai taraf tersebut. Kiranya perlu
diterangkan bagaimana proses berpikir dalam taraf-taraf tersebut dilakukan:
1. Taraf Kebetulan: dalam taraf ini sebenarnya diperoleh secara kebetulan. Banyak peristiwa
penting dan penemuan yang berharga di dunia ini yang diilhami oleh sifat kebetulan, tidak
sengaja dilakukan penelitian secara ilmiah. Karena itu cara penemuan semacam ini tidak
dapat dogolongkan pada proses berpikir secara ilmiah.
2. Taraf Trial dan Error: proses berpikir dalam taraf ini menggunakan sikap untung-
untungan, tetapi ada kelebihannya dibandingkan dengan bekerja dalam taraf kebetulan,
karena orang tidak hanya menerima nasib dengan pasif, tetapi sudah ada usaha yang aktif,
biarpun sifatnya masih membabi buta dan serampangan, tidak ada kesadaran yang pasti
untuk melakukan 5 pemecahan masalah.Trial dan error sebagai dasar dan metode
penelitian sangat berbelit-belit, tidak teratur dan tidak pernah pasti, karena itu tidak dapat
disebut sebagai metode ilmiah dalam penelitian.
3. Taraf Otoritas dan Tradisi: dalam hal ini pendapat-pendapat badan atau orang-orang
tertentu yang berwibawa merupakan kebenaran yang mutlak.Pendapat-pendapat itu
dijadikan doktrin yang diikuti dengan tertib tanpa sesuatu kritik, dan orang-orang tidak
lagi berusaha menguji kebenaran tersebut, “the master always says the truth”. Hal ini
sering kita jumpai dalam rapatrapat. Masalah otoritas dalam kerja ilmiah sangat
berbahaya karena itu harus kita hadapi dengan hati-hati kadang-kadang otoritas dapat
mengandung kebenaran.
4. Taraf Spekulasi: di dalam sifat-sifatnya proses berpikir pada taraf spekulasi banyak
persamaannya dengan trial dan error, bedanya hanya sifatnya lebih sistematis. Dalam
melakukan tindakan ia berspekulasi atas suatu kemungkinan yang dipilihnya dari
beberapa kemungkinan lain. Disini tampak bahwa usahanya tak dapat disebut membabi
buta. Iamemilih satu dari beberapa kemungkinan, walaupun ia sendiri masih belum yakin
apakah pilihannya itu telah merupakan cara yang setepat-tepatnya. Di dalam memilih dan
menetapkan suatu jalan ia hanya dibimbing oleh pertimbangan-pertimbangan yang tidak
masak, atas dasar kira-kira yang kurang diperhitungkan. Dalam pekerjaan keilmuan, kita
harus berusaha menjauhkan diri dari cara berpikir spekulasi.
5. Taraf Berpikir Kritis: proses berpikir dalam taraf ini dilandasi oleh pemikiran dedukatif,
artinya mula-mula menempatkan pangkal kebenaran umum atau premise-premise dalam
susunan yang teratur dari situasi dan ditarik suatu kesimpulan. Contoh: semua manusia
harus mati. Ahmad adalah manusia. Kesimpulan: sebab itu ahmad harus mati. Cara
berfikir deduktif ini banyak kelemahannya. Memang kesimpulan-kesimpulan yang ditarik
dari 7 premise-premise itu pasti benar, sekiranya premise-premise itu merumuskan
kebenaran.
6. Taraf Berpikir Ilmiah: dalam taraf ini proses berpikir dapat dikatakan ilmiah apabila:
a. Kebenaran tersebut telah diuji dan dibuktikan dengan taraftaraf berpikir bukan
ilmiah.
b. Dalam mencari kebenaran dengan penelitian tersebut harus ada obyek studi yang
jelas dengan sistem-sistem dan metodemetode tertentu.
Jhon Dawey membagi garis-garis besar berfikir secara ilmiah dalam lima taraf:
a. The felt need : Dalam taraf permulaan orang merasakan sesuatu kesulitan untuk
menyesuaikan alat dengan tujuannya, untuk menemukan ciri-ciri sesuatu obyek, atau
untuk menerangkan sesuatu kejadian yang tidak terduga.
b. The problem : Menyadari persoalan atau masalahnya seorang pemikir ilmiah dalam
langkah selanjutnya berusaha menegaskan persoalan itu dalam bentuk perumusan
masalah.
c. The hypothesis : Langkah yang ketiga adalah mengajukan kemungkinan pemecahannya
atau mencoba menerangkannya. Ini boleh didasarkan atas terkaan-terkaan, kesimpulan-
kesimpulan yang sangat sementara, teori-teori, kesan-kesan umum atau atas dasar apapun
yang masih belum dipandang sebagai kesimpulan yang terakhir.
d. Collection of data as evidence : selanjutnya bahan-bahan, informasi-informasi atau bukti-
bukti dikumpulkan dan melalui pengolahan-pengolahan yang logik mulai diuji sesuatu
gagasan beserta-beserta implikasinya.
e. Concluding belief : Bertitik tolak dari bukti-bukti yang sudah diolah sesuatu gagasan yang
semula mungkin diterima, mungkin juga ditolak. Dengan jalan analisa yang terkontrol
terhadap hipotesa-hipotesa diajukan disusunlah suatu keyakinan sebagai kesimpulan.
Kelley (dalam Hadi, 1987) melengkapi lima taraf berfikir Dawey dengan satu lagi ialah: General
value of the conclusion : Akhirnya, jika suatu pemecahan telah dipandang tepat, maka
disimpulkan implikasiimplikasi untuk masa depan. Ini disebut “refleksi” yang bertujuan untuk
menilai pemecahan-pemecahan baru dari segi kebutuhankebutuhan mendatang pertanyaan yang
ingin dijawab disini adalah “kemudian apa yang harus dilakukan?”. Ini kerap kali dikemukakan
pada taraf yang terakhir dalam suatu pemecahan masalah.7

7
Hardani, Op.Cit, hlm.3-9.
DAFTAR PUSTAKA
Denzin, Norman K. & Yvonna S. Lincoln, 2009, Handbook of Qualitative Research,
Terjemahan Dariyatno dkk, Yogyakarta.
Hardani,dkk, 2020, Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, Yogyakarta.
Masyithoh, dkk, Paradigma Penelitan,
https://www.academia.edu/23790363/Paradigma_Penelitian (di akses pada tanggal 15 September
2021, pukul 23. 26
Nursapia Harahap, 2020, Penelitian Kualitatif, Medan.
Putra dan Hendraman, 2013, Metode Riset Campursari, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai