PENELITIAN KUANTITATIF
Dipersembahkan oleh:
Weebo
Website: Youtube:
TERM OF SERVICES, READMORE, AND RELATED LINKS
A. Terms of Services
1. Segala hak cipta penulisan skripsi ini adalah milik penulis asli skripsi. Weebo
hanya membagikan skripsi ini dengan tujuan agar dapat bermanfaat bagi orang
lain.
2. Sebagian besar skripsi yang diperoleh Weebo berasal dari internet yang dapat
dicari dengan mesin pencarian, kemudian diupload ulang oleh Weebo.
3. Silahkan subscribe youtube Weebo Corner dengan mengeklik link/gambar
pada halaman cover untuk mendukung program-program dari Weebo.
4. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis
mengidentifikasi adanya beberapa masalah dalam penelitian ini yaitu:
1. Tidak tercapainya tujuan utama menjadikan bahasa sebagai sebuah
keterampilan, khususnya keterampilan menulis.
2. IQ berpengaruh terhadap keterampilan siswa dalam menulis karangan narasi.
3. Rendahnya minat baca yang mengakibatkan keterampilan menulis karangan
narasi siswa rendah.
C. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari terjadinya perluasan masalah yang diteliti maka
penelitian ini dibatasi tentang pengaruh IQ dan kebiasaan membaca terhadap
keterampilan menulis narasi siswa kelas IV di SD se-Kecamatan Buayan
Kabupaten Kebumen Tahun Ajaran 2011/2012.
D. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang di atas,maka masalah dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah Kecerdasan Intelektual atau Intelligence Quotient (IQ) siswa
berpengaruh terhadap keterampilan menulis karangan narasi siswa kelas IV
SD se-Kecamatan Buayan?
2. Apakah kebiasaan membaca siswa berpengaruh terhadap keterampilan
menulis karangan narasi siswa kelas IV SD se-Kecamatan Buayan?
3. Apakah Kecerdasan Intelektual atau Intelligence Quotient (IQ) siswa dan
kebiasaan membaca siswa berpengaruh terhadap keterampilan menulis
karangan narasi siswa kelas IV SD se-Kecamatan Buayan?
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi tentang:
1. Pengaruh Kecerdasan Intelektual atau Intelligence Quotient (IQ) siswa
terhadap keterampilan menulis karangan narasi siswa kelas IV SD se-
Kecamatan Buayan.
2. Pengaruh kebiasaan membaca siswa terhadap keterampilan menulis karangan
narasi siswa kelas IV SD se-Kecamatan Buayan.
3. Pengaruh Kecerdasan Intelektual atau Intelligence Quotient (IQ) siswa dan
kebiasaan membaca siswa terhadap keterampilan menulis karangan narasi
siswa kelas IV SD se-Kecamatan Buayan.
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Agar penelitian ini dapat memperkaya khasanah keilmuan, khususnya
dalam hal pembelajaran Bahasa Indonesia tentang Keterampilan Menulis
Narasi di Sekolah Dasar.
2. Manfaat Praktis
Dalam penelitian ini juga terdapat manfaat praktis, yaitu sebagai berikut :
a. Bagi Siswa.
1) Untuk meningkatkan minat dan prestasi belajar menulis siswa.
2) Selalu menciptakan suasana kompetisi antar siswa untuk berprestasi.
b. Bagi Guru
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan
bagi guru tentang pengaruh Kecerdasan Intelektual atau Intelligence
Quotient (IQ) siswa dan kebiasaan membaca siswa terhadap
keterampilan menulis karangan narasi siswa kelas IV SD se-Kecamatan
Buayan.
c. Bagi Sekolah
Sebagai bahan pertimbangan untuk lebih meningkatkan dan melengkapi
sarana dan prasarana penunjang peningkatan keterampilan menulis siswa.
d. Bagi Peneliti
1) Mengembangkan wawasan mengenai pengaruh Kecerdasan
Intelektual atau Intelligence Quotient (IQ) siswa dan kebiasaan
membaca siswa terhadap keterampilan menulis karangan narasi siswa
kelas IV SD se-Kecamatan Buayan.
2) Mengukur seberapa keterampilan menulis karangan narasi siswa kelas
IV SD se-Kecamatan Buayan berdasaran Kecerdasan Intelektual atau
Intelligence Quotient (IQ) dan kebiasaan membaca siswa.
e. Bagi Peneliti Lain
Menambah pengetahuan tentang pengaruh Kecerdasan Intelektual atau
Intelligence Quotient (IQ) siswa dan kebiasaan membaca siswa
terhadap keterampilan menulis narasi siswa kelas IV SD se-
Kecamatan Buayan.
f. Bagi Pengambil kebijakan
Penelitian ini diharapkan mampu menjadi sumbangan dan
memperoleh kebijakan yang positif berkenaan dengan penelitian
kuantitatif.
BAB II
LANDASAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka
1. Keterampilan Menulis Narasi Siswa Kelas IV SD
a. Karakteristik Siswa Kelas IV Sekolah Dasar
Secara morfologi bahasa, kata siswa merupakan kata benda. Berdasarkan
KBBI Online (2009) definisi siswa adalah anak yang duduk pada tingkat sekolah
dasar dan menengah. Kata siswa memiliki persamaan secara semantik dengan
murid dan pelajar.
Dalam Wikipedia (2009) istilah siswa dikategorikan ke dalam sub istilah
peserta didik. Definisi peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha
mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran pada jalur pendidikan
baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal, pada jenjang pendidikan
dan jenis pendidikan tertentu. Istilah siswa dimaknai sebagai peserta didik pada
jenjang dasar dan menengah.
Berdasarkan pengertian di atas disimpulkan bahwa siswa adalah peserta
didik pada jalur pendidikan formal di tingkat pendidikan dasar dan menengah.
Menurut Nasution dalam Syaiful Bahri Djamarah (2002:89) masa usia
Sekolah Dasar sebagai masa kanak – kanak akhir yang berlangsung dari usia
empat tahun sampai kira – kira sebelas atau dua belas tahun. Para guru mengenal
masa ini sebagai masa sekolah, yaitu masa matang ntuk belajar maupun masa
matang untuk sekolah. Siswa berusaha untuk mencapai sesuatu tetapi
perkembangan aktivitas bermain hanya bertujuan untuk mendapatkan kesenangan
pada waktu melakukan aktivitasnya itu sendiri dan siswa sudah menginginkan
kecakapan – kecakapan baru yang dapat diberikan oleh sekolah.
Karakteristik siswa kelas IV Sekolah Dasar berada pada usia sekitar 9 – 11
tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase operasional konkret. Kemampuan
yang tampak pada fase ini adalah kemampuan dalam proses berfikir untuk meng
operasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan objek yang
bersifat konkret.
Masa usia sekolah menurut Suryosubroto dalam Syaiful Bahri Djamarah
(2002:90) sebagai masa intelektual bersekolah. Pada masa ini secara relatif anak –
anak lebih mudah dididik daripada masa sebelum dan masa sesudahnya. Masa ini
diperinci menjadi dua fase, yaitu masa kelas rendah sekolah dasar (6 – 9 tahun)
dan masa kelas tinggi sekolah dasar (10 – 13 tahun).
Sifat khas anak pada masa kelas tinggi sekolah dasar yaitu:
1. Adanya minat dalam kehidupan praktis sehari – hari yang konkret yang
menimbulkan adanya kecenderungan untuk membandingkan pekerjaan –
pekerjaan praktis.
2. Amat kooperatif, ingin tahu, dan ingin belajar.
3. Menjelang akhir masa, ada minat terhadap hal dan mata pelajaran khusus.
4. Sampai usia 11 siswa membutuhkan guru atau orang dewasa lainnya.
5. Pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya.
c. Keterampilan Menulis
Keterampilan menulis adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang
dalam bidang tulis menulis atau tenaga potensial dalam menulis.
Menulis adalah kegiatan penyampaian pesan (gagasan, perasaan, atau
informasi) secara tertulis kepada pihak lain. Dalam kegiatan berbahasa menulis
melibatkan empat unsur, yaitu penulis sebagai penyampai pesan, pesan atau isi
tulisan, medium tulisan, serta pembaca sebagai penerima pesan. Kegiatan menulis
sebagai perilaku berbahasa memiliki fungsi dan tujuan: personal, interaksional,
informatif, instrumental, heuristik, dan estetis.
Sebagai salah satu aspek dari keterampilan berbahasa, menulis atau
mengarang merupakan kegiatan yang kompleks. Kompleksitas menulis terletak
pada tuntutan kemampuan untuk menata dan mengorganisasikan ide secara runtut
dan logis, serta menyajikannya dalam ragam bahasa tulis dan kaidah penulisan
lainnya. Akan tetapi, di balik kerumitannya, menulis menjanjikan manfaat yang
begitu besar dalam membantu pengembangan daya inisiatif dan kreativitas,
kepercayaan diri dan keberanian, serta kebiasaan dan kemampuan dalam
menemukan, mengumpulkan, mengolah, dan menata informasi. Sayangnya, tidak
banyak orang yang suka menulis. Di antara penyebabnya ialah karena orang
merasa tidak berbakat serta tidak tahu bagaimana dan untuk apa menulis. Alasan
itu sebenarnya tak terlepas dari pengalaman belajar yang dialaminya di sekolah.
Lemahnya guru, kurangnya model, dan kekeliruan dalam belajar menulis
melahirkan mitos-mitos tentang menulis dan memperparah keengganan. Menulis
sebagai salah satu keterampilan berbahasa tak dapat dilepaskan dari aspek-aspek
keterampilan berbahasa lainnya. Pengalaman dan masukan yang diperoleh dari
menyimak, berbicara, dan membaca, akan memberikan kontribusi berharga dalam
menulis. Begitu pula sebaliknya, apa yang diperoleh dari menulis akan
berpengaruh pula terhadap ketiga corak kemampuan berbahasa lainnya. Sebagai
proses, menulis melibatkan serangkaian kegiatan yang terdiri atas tahap
prapenulisan, penulisan, dan pascapenulisan. Fase prapenulisan merupakan
kegiatan yang dilakukan untuk mempersiapkan sebuah tulisan. Di dalamnya
terdiri dari kegiatan memilih topik, tujuan, dan sasaran karangan, mengumpulkan
bahan, serta menyusun kerangka karangan. Berdasarkan kerangka karangan
kemudian dilakukan pengembangan butir demi butir atau ide demi ide ke dalam
sebuah tulisan yang runtut, logis, dan enak dibaca. Itulah fase penulisan.
Selanjutnya, ketika buram (draf) karangan selesai, dilakukan penyuntingan dan
perbaikan. Itulah fase pascapenulisan, yang mungkin dilakukan berkali-kali untuk
memperoleh sebuah karangan yang sesuai dengan harapan penulisnya.
Antara bahasa lisan dan tulis mempunyai kaitan yang erat satu dengan
lainnya. Pateda (2000) mengemukakan pendapatnya bahwa seorang anak
belajar berbicara jauh sebelum anak tersebut dapat menulis kosa kata, pola
kalimat, dan organisasi ide-ide yang memberi ciri pada ujaran merupakan
dasar bagi ekspresi tulis berikutnya. Dengan kata lain, pengetahuan
bahasa lisan yang dikuasai oleh seseorang dapat mempengaruhi bahasa
tulis dari orang yang bersangkutan.
Seseorang dalam membuat karangan atau tulisan dibutuhkan syarat-
syarat keterampilan. Suyitno (1996) dalam hal syarat-syarat keterampilan
mengarang atau menulis ada 3 syarat, yaitu pengarang atau penulis (a)
harus kaya ide, ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup, (b) memiliki intuisi
dan imajinasi yang tajam, dan (c) memiliki kekayaan berbahasa.
Faktor bahasa adalah faktor dominan dalam menulis atau
mengarang. Kekayaan berbahasa yang ditunjang oleh berbagai ide, ilmu
pengetahuan, dan Pengalaman hidup dapat dimanfaatkan dengan setepat-tepat
dan seefektif-efektifnya sehingga dapat mengenat sasaran dari tujuan yang
hendak dicapai dalam menulis atau mengarang.
2. Kebiasaan Membaca
Prakiraan Umur Fase-Fase Perkembangan Kebahasaan Menurut Piaget
Lahir s/d 2 tahun
Periode sensorimotor. Anak memanipulasi objek di lingkungannya dan mulai
membentuk konsep Fase fonologis. Anak bermain dengan bunyi-bunyi bahasa
mulai mengoceh sampai menyebutkan kata-kata sederhana
2 s/d 7 tahun
Periode Praoperasional.
Anak memahami pikiran simbolik, tetapi belum dapat berpikir logis
Fase Sintaktik.
Anak menunjukkan kesadaran gramatis, berbicara menggunakan kalimat
7 s/d 11 tahun
Periode Operasional.
Anak dapat berpikir logis mengenai benda-benda konkrit
Fase Semantik.
Anak dapat membedakan kata sebagai simbol dan konsep dalam kata
Pada awal usia sekolah merupakan periode berkembangnya kreatifitas kebahasaan
yang diisi dengan sajak, nyanyian, dan permainan kata. Setiap anak mencoba
mengembangkan pengguunaan bahasa yang bersifat khas.anak-anak belajar
menemukan humor dalam permainan kata (Owen, 1992: 354)
pada periode usia sekolah perkembangan bahasa yang paling jelas tampak adalah
perkembangan semantik dan pragmatik, di samping mempelajari bentuk-bentuk
baru, anak belajar menggunakannya untuk berkomunikasi dengan lebih
efektif.(Obler, 1985, dalam Owen, 1992: 355)
Kemampuan metalinguistik, yaitu kesadaran yang memungkinkanK pengguna
bahasa berpikir tentang bahasa dan melakukkan refleksi, juga makin berkembang
pada usia sekolah. Hal ini tercermin dalam perkembangan keterampilan membaca
dan menulis.(Owen, 1992: 335)
Pada usia prasekolah anak belum memiliki keterampilan bercerita secara
sistematis. Baru setelah periode usia sekolah proses kognitif meningkat sehingga
memungkinkan anak menjadi komunikator yang lebih efektif. Anak mulai
mengenal adanya berbagai pandangan mengenai suatu topik. Mereka dapat
mendeskripsikan sesuatu, tetapi masih bersifat personal dan tidak
mempertimbangkan makna informasi yang disampaikan bagi pendengar.
Informasi tersebut biasanya tidak selalu benar karena bercampur dengan khayalan
Anak berumur lima dan enam tahun menghasilkan berbagai macam cerita.
umumnya berisi tentang hal-hal yang terjadi di dunia sekitarnya. Cerita-cerita
tersebut mencerminkan budaya dan suasana dan pengembangan yang berbeda-
beda. Cerita-cerita tersebut misalnya penjelasan tentang kejadian. Cerita
pengalaman sendiri, dan cerita fiksi (owens, 1992: 359)
Kemampuan membuat cerita tersebut hendaknya sudah diperkenalkan kepada
anak didik pada usia prasekolah, meskipun dengan penyederhanaan. Lebih dari itu
mereka hendaknya dilatih mengekspresikan pikiran dan perasaan secara sistematis
dan santun. Pada kelas dua sekolah dasar anak mulai dilatih menggunakan kalimat
yang agak panjang dengan konjungsi: dan, lalu, dan kata depan: di, ke, dari. Anak
sudah dapat dilatih bercerita kejadian secara kronologis.
Perkembangan Kemampuan Membuat
Anak berumur enam tahun sudah dapat bercerita sederhana tentang sesuatu
yang mereka lihat. Kemampuan ini selanjutnya berkembang secara teratur sedikit
demi sedikit.
Pada usia tujuh tahun anak mulai dapat membuat cerita yang agak padu.
Mereka mulai dengan mengemukakan masalah, rencana mengatasi masalah, dan
penyelesaian, meskipun belum jelas siapa yang melakukannya.
Pada umur delapan tahun anak-anak menggunakan penanda awal dan akhir
dari sebuah carita. Kemampuan membuat alur cerita yang agak jelas baru mulai
diperoleh anak-anak pada usia lebih dari delapan tahun. Struktur cerita yang
dibuatnya menjadi semakin jelas.
Selama periode sekolah sampai dewasa, setiap individu meningkatkan
jumlah kosa kata dan makna khas istilah secara teratur melalui konteks tertentu.
Dalam proses tersebut seseorang menyusun kembali aspek-aspek kebahasaan
yang telah dikuasainya. Hasil dari proses tersebut tercermin dari kata-kata yang
digunakannya, misalnya dengan penggunaan bahasa figuratif, atau kreativitas
berbahasa yang begitu pesat. Keseluruhan proses perkembangan semantik dari
awal sekolah dasar ini dapat dihubungkan dengan keseluruhan proses kognitif
(owen, 1992: 374).
Ada dua jenis penambahan makna kata secara horisontal. Anak semakin mampu
memahami dan dapat menggunakan suatu kata dengan makna yang tepat. Adapun
penambahan vertikal berupa peningkatan jumlah kata yang dapat dipahami dan
digunakan dengan tepat (Owens, 1992: 375)
Kemampuan anak di kelas-kelas rendah dalam mendefinisikan kata-kata
meningkat dengan dua cara; Pertama secara konseptual dari definisi berdasar
pengalaman individu ke makna yang lebih bersifat sosial atau makna yang
dibentuk bersama. Kedua anak bergerak secara sintaksis dari definisi berupa kata-
kata lepas ke kalimat-kalimat yang menyatakan hubungan yang kompleks
(Owens, 1992: 376)
Bahasa Figuratif memungkinkan pengguna bahasa menggunakan bahasa secara
kreatif, imajinatif, tidak secara literal, untuk menciptakan kesan emosional atau
imajinatif. Termasuk jenis bahasa ini adalah ungkapan, metafora, kiasan, dan
peribahasa. Bahasa figuratif lebih dapat dipahami dalam konteks daripada secara
terpisah. Makna bahasa figuratif disimpulkan pada penggunaan berulang-ulang
dalam konteks yang berbeda-beda. Kejelasan metaforik, yakni hubungan makna
literal dan figuratif akan memudahkan penafsiran. Contoh, tutup mulut akan lebih
mudah dipahami dari pada makan hati, sedangkan anak berumur 7 – 9 tahun
menafsiran peribahasa secara literal.
Tingkatan Penggunaan
Anak-anak biasanya menggunakan bentuk pasif yang dapat dibalik dan yang tidak
dapat dibalik dalam jumlah seimbang, namun sering mengalami kesulitan dalam
membuat kalimat dan menafsirkan kalimat pasif yang dapat dibalik
3. IQ
a. IQ (Intelligence Quotient)
1) Pendekatan dan Hakikat Inteligensi
Konsep inteligensi muncul setelah Spearman dan Wynn Jones
mengemukakan adanya suatu konsepsi lama mengenai suatu kekuatan (power)
yang dapat melengkapi akal pikiran manusia dengan gagasan abstrak universal
untuk dijadikan sumber tunggal pengetahuan sejati. Kekuatan tersebut dalam
bahasa Yunani disebut nous, sedangkan penggunaan kekuatannya disebut noesis.
Kemudian kedua istilah tersebut dalam bahasa Latin dikenal sebagai intelectus
dan intelligentia, dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai Intelligence atau
inteligensi dalam bahasa Indonesia (Saifuddin Azwar, 2008: 1).
Masyarakat luas secara umum mengenal inteligensi sebagai suatu
kecerdasan, kepintaran ataupun kemampuan untuk memecahkan masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Saifuddin mengatakan bahwa walaupun tidak memberikan
definisi yang jelas tentang inteligensi namun pada umumnya tidak berbeda jauh
dari makna inteligensi sebagaimana yang dimaksudkan oleh para ahli.
Alfred Binet (1857-1911), tokoh utama perintis pengukuran inteligensi,
mengatakan bahwa inteligensi bersifat monogenetik, yaitu berkembang dari satu
faktor satuan atau faktor umum (g) (Saifuddin Azwar, 2008: 15). Binet membagi
inteligensi menjadi 3 aspek kemampuan yaitu: (1) direction, kemampuan untuk
memusatkan kepada suatu masalah yang harus dihadapi/dipecahkan. (2)
adaptation, kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap masalah yang
dihadapinya atau fleksibel di dalam menghadapi masalah. (3) critism, kemampuan
untuk mengadakan kritik, baik terhadap masalah yang dihadapi maupun terhadap
dirinya sendiri (Andin Adiyasari dan Bayu, 2009). Jadi untuk melihat apakah
seseorang cukup inteligen atau tidak, dapat diamati dari cara dan kemampuannya
untuk melakukan suatu tindakan dan kemampuannya untuk mengubah arah dan
tindakannya itu apabila perlu. Inilah yang dimaksud dengan komponen arah,
adaptasi dan kritik dalam definisi inteligensi. Bayu (2009) melaporkan bahwa
definisi kecerdasan Alfred Binet termasuk ke dalam definisi kecerdasan struktural
karena definisi kecerdasan tersebut terstruktur/terbagi ke dalam 3 aspek
kemampuan yaitu direction, adaptation dan critism.
Inteligensi menurut Binet adalah suatu kemampuan untuk menetapkan dan
mempertahankan suatu tujuan, untuk mengadakan penyesuaian dalam rangka
mencapai tujuan itu dan untuk bersikap kritis terhadap diri sendiri. Lebih lanjut
Wechsler berpendapat senada bahwa inteligensi merupakan kemampuan bertindak
dengan menetapkan suatu tujuan, untuk berpikir secara rasional dan berhubungan
dengan lingkungan sekitarnya secara memuaskan. Sedangkan Terman
berpendapat singkat bahwa inteligensi merupakan kemampuan untuk berpikir
abstrak (W. S. Winkel, S. J. dalam Dewa Ketut Sukardi, 1997: 16).
Edward Lee Thorndike (dalam Saifuddin Azwar, 2008: 17) menuliskan
dalam bukunya yang berjudul Animal Intelligence menyatakan, “inteligensi terdiri
atas berbagai kemampuan spesifik yang ditampakkan dalam wujud perilaku
inteligen”. Thorndike percaya bahwa tingkat inteligensi tergantung pada
banyaknya neural connection atau ikatan syaraf antara rangkaian stimulus dan
respon dikarenakan adanya penguatan (reinforcement) yang dialami seseorang.
Lebih jauh Charles E. Spearman berpendapat mengenai inteligensi dalam
teorinya tentang kemampuan mental yang populer yaitu two-factor theory (teori
dua faktor). Saifuddin Azwar (2008: 18) memperlihatkan bahwa pada mulanya
teori ini berangkat dari analisis korelasional yang dilakukan Spearman terhadap
skor seperangkat tes yang mempunyai tujuan dan fungsi skor yang berlainan.
Hasil analisisnya memperlihatkan adanya interkorelasi positif di antara berbagai
tes tersebut. Hal itu terjadi karena masing-masing tes tersebut memang mengukur
suatu faktor umum (general ability) yang sama, disebut faktor-g. Namun
demikian korelasi-korelasi itu tidaklah sempurna disebabkan setiap tes selain
mengukur faktor umum yang sama, juga mengukur komponen tertentu yang
spesifik bagi tes masing-masing. Faktor yang spesifik (special ability) dan hanya
dapat diungkap oleh tes tertentu saja ini disebut faktor-s. Sedangkan interkorelasi
yang melebihi korelasi tes dengan g, disebut sebagai petunjuk adanya faktor
kelompok (group factor).
General abilty (faktor G) merupakan faktor inteligensi yang terdapat pada
semua individu, tetapi berbeda satu dengan yang lainnya. Faktor ini selalu
didapati dalam semua performance. Sedangkan Special ability (faktor S)
merupakan faktor khusus pada bidang tertentu. Jumlah faktor S dalam tiap
individu berbeda-beda dan jumlahnya banyak, misalnya ada S1, S2, S3 dan
sebagainya. Artinya jika seseorang memiliki faktor S dalam bidang tertentu, maka
orang tersebut akan menonjol dalam bidang itu juga. Oleh karena itulah orang
memiliki kecenderungan serta keunggulan yang berlainan dalam bidang masing-
masing. Menurut Spearman (dalam Sutisna Senjaya, 2009), “tiap-tiap
performance ada faktor G dan faktor S” atau dapat dirumuskan P = S + G.
Lebih lanjut Burt (dalam Sutisna Senjaya, 2009) menambahkan faktor C
(common ability) di samping faktor G dan faktor S, sebagai faktor penyusun
inteligensi. Faktor C merupakan suatu kelompok kemampuan tertentu seperti
kemampuan kelompok dalam bidang bahasa, sehingga rumus performance
menjadi P = S + G + C. Faktor C ini oleh Burt disebut juga group factor.
Pada perkembangan selanjutnya faktor-faktor primer yang merupakan
group factor dalam inteligensi diungkap tokoh psikologi dunia lainnya, ialah
Thurstone. Thurstone (dalam Sutisna Senjaya, 2009) menyebutkan beberapa
faktor inteligensi yaitu: (1) Spatial relation, kemampuan untuk melihat gambar
tiga dimensi. (2) Perceptual speed, kecepatan dan ketepatan dalam
mempertimbangkan kesamaan dan perbedaan atau dalam merespon detil-detil
visual. (3) Verbal comprehension, kemampuan memahami bacaan, kosakata,
analogi verbal dan sebagainya. (4) Word fluency, kecepatan dalam menghubung-
hubungkan kata dengan berbagai rima dan notasi. (5) Number facility,
kemampuan kecepatan dan ketepatan dalam perhitungan. (6) Associative memory,
kemampuan menggunakan memori untuk menghubungkan berbagai asosiasi. (7)
Induction, kemampuan untuk menarik suatu kesimpulan suatu prinsip atau tugas.
Senada dengan Thurstone, seorang profesor ilmu syaraf (neurolog) dari
Universitas Harvard pada tahun 1984, Howard Gardner (dalam Suparlan, 2007)
menuangkan dalam bukunya yang bertajuk Frame of Mind: The Theory of
Multiple Intelligence sebuah teori tentang kecerdasan majemuk (ganda). Gardner
menyebutkan tujuh tipe kecerdasan manusia, yakni: (1) Linguistik intelligence, (2)
Musical intelligence, (3) Logical-mathematical intelligence, (4) Visual/Spatial
intelligence, (5) Body/Kinesthetic intelligence, (6) Intrapersonal intelligence, (7)
Interpersonal intelligence.
Baik Thurstone maupun Gardner cenderung menyoroti faktor inteligensi
sebagai faktor S, dimana tiap individu unik tidak memiliki inteligensi/kecerdasan
yang sama dari pada individu lainnya. Kecerdasan intelektual tidak lagi diukur
memakai angka-angka hasil interpretasi skor IQ Stanford Binet yang digunakan
pada umumnya. Thurstone dan Gardner melihat kecerdasan seseorang secara
parsial tidak secara holistik. Ada faktor S yaitu special ability yang dimiliki
manusia. Masing-masing individu unggul dalam bidang tertentu, manusia
dikatakan memiliki inteligensi tinggi jika menonjol dalam bidang spesial tersebut.
Dalam kaitannya dengan pemecahan masalah soal cerita matematika,
faktor inteligensi yang berperan secara signifikan adalah faktor Number facility
menurut Thurstone dan logical-mathematical intelligence menurut Gardner.
Idealnya faktor S ini dimiliki siswa, sehingga mampu berpikir analitis, logis dan
matematis dalam menyelesaikan masalah soal cerita matematika.
Jean Piaget seorang profesor psikologi dari Universitas Geneva (1929-
1975), dalam teori inteligensinya lebih menekankan pada aspek perkembangan
kognitif, tidak merupakan teori mengenai struktur inteligensi semata. Piaget dalam
prinsip teorinya menyatakan bahwa daya pikir atau kekuatan mental anak yang
berbeda usia akan berbeda pula secara kualitatif (Ginsburg, Opper, dan Lazerson
dalam Saifuddin Azwar, 2008: 35). Artinya, cara anak-anak berpikir tidak sama
dengan orang dewasa.
Menurut Piaget inteligensi merupakan suatu bentuk keseimbangan
(ekuilibrium) yang dituju oleh semua struktur kognitif. Piaget menyatakan bahwa
setiap anak memiliki cara tersendiri dalam menginterpretasikan dan beradaptasi
dengan lingkungannya (teori perkembangan kognitif). Menurutnya, setiap anak
memiliki struktur kognitif yang disebut schemata yaitu sistem konsep yang ada
dalam pikiran sebagai hasil pemahaman terhadap objek yang ada dalam
lingkungannya. Pemahaman tentang objek tersebut berlangsung melalui proses
asimilasi (menghubungkan objek dengan konsep yang sudah ada dalam pikiran)
dan akomodasi (proses memanfaatkan konsep-konsep dalam pikiran untuk
menafsirkan objek). Kedua proses tersebut jika berlangsung terus menerus akan
membuat pengetahuan lama dan pengetahuan baru menjadi seimbang. Dengan
cara seperti itu secara bertahap anak dapat membangun pengetahuan melalui
interaksi dengan lingkungannya (Wangmuba, 2009). Berdasarkan hal tersebut,
maka inteligensi anak sangat dipengaruhi oleh aspek-aspek dari dalam dirinya dan
lingkungannya. Kedua hal tersebut tidak mungkin dipisahkan karena memang
perkembangan inteligensi terjadi dalam konteks interaksi diri anak dengan
lingkungannya.
Bagi Piaget adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan
adaptasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidaksetimbangan
(disequilibrium). Akibat ketidaksetimbangan itu maka tercapailah akomodasi dan
struktur kognitif yang ada yang akan mengalami atau munculnya struktur yang
baru. Pertumbuhan inteligensi ini merupakan proses terus menerus tentang
keadaan ketidaksetimbangan dan keadaan setimbang (disequilibrium-
equilibrium). Tetapi bila terjadi keseimbangan maka individu akan berada pada
tingkat inteligensi yang lebih tinggi dari pada sebelumnya.
Lebih lanjut Walters dan Gardner pada tahun 1986 mendefinisikan
inteligensi sebagai suatu kemampuan atau serangkaian kemampuan-kemampuan
yang memungkinkan individu memecahkan masalah, atau produk sebagai
konsekuensi eksistensi suatu budaya tertentu. Kemudian Flynn mendefinisikan
inteligensi sebagai kemampuan untuk berfikir secara abstrak dan kesiapan untuk
belajar dari pengalaman (Saifuddin Azwar, 2008: 7).
Baik Walters, Gardner dan Flynn lebih menyoroti definisi inteligensi
menggunakan pendekatan terhadap kemampuan seseorang untuk
menyelesaikan/memecahkan masalah, sehingga dapat disimpulkan bahwa
memang faktor inteligensi sangat berpengaruh terhadap kemampuan siswa untuk
memecahkan masalah.
2) Definisi IQ
Secara umum istilah IQ dan inteligensi seringkali digunakan secara
bergantian dengan maksud dan tujuan yang sama tanpa mengurangi unsur
semantik kata tersebut, sebagaimana diungkapkan Saifuddin Azwar (2008: 51),
Anastasi & Urbina (1997: 219) bahwa IQ seringkali digunakan sebagai singkatan
untuk inteligensi dan memang dapat dipertukarkan.
Namun secara khusus IQ dan inteligensi memiliki perbedaan yang
mendasar, IQ adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes inteligensi atau atau
suatu ukuran untuk menunjukkan taraf kemampuan inteligensi/kecerdasan
seseorang yang ditentukan berdasarkan hasil test intelegensi (Fadliyanur, 2008).
Kemudian Saifuddin Azwar (2008: 52) menyebutkan juga bahwa IQ digunakan
sebagai salah satu cara untuk menyatakan tinggi-rendahnya tingkat inteligensi
seseorang dan merupakan terjemahan hasil tes ke dalam angka yang dapat
menjadi petunjuk mengenai kedudukan tingkat kecerdasan seseorang bila
dibandingkan secara relatif terhadap norma. Dengan kata lain IQ merupakan
simbol dari inteligensi atau kecerdasan. Sehingga istilah intelegensi tidak dapat
disamakan artinya dengan IQ.
Istilah intelligence quotient (IQ) diperkenalkan untuk pertama kalinya
pada tahun 1912 oleh seorang ahli psikologi berkebangsaan Jerman bernama
William Stern (Gould dalam Saifuddin Azwar, 2008: 52). Pada perkembangan
berikutnya pada tahun 1916 seorang psikolog Amerika dari Universitas Stanford
menerbitkan revisi tes Binet melalui revisi Terman atau Stanford maka istilah IQ
mulai digunakan secara resmi (Dewa Ketut Sukardi, 1997: 15).
Berbeda dengan Saifuddin, E-Psikologi melaporkan bahwa test yang
dikembangkan oleh Binet merupakan test intelegensi yang pertama, meskipun
kemudian konsep usia mental mengalami revisi sebanyak dua kali sebelum
dijadikan dasar dalam test IQ. Pada tahun 1914, tiga tahun setelah Binet wafat,
seorang psikolog Jerman, William Stern, mengusulkan bahwa dengan membagi
usia mental anak dengan usia kronological (Chronological Age atau CA), maka
akan lebih memudahkan untuk memahami apa yang dimaksud "Intelligence
Quotient". Rumus ini kemudian direvisi oleh Lewis Terman, dari Stanford
University, yang mengembangkan test untuk orang-orang Amerika. Lewis
mengalikan formula yang dikembangkan Stern dengan angka 100. Perhitungan
statistik inilah yang kemudian menjadi definisi atau rumus untuk menentukan
inteligensi seseorang: IQ=MA/CA*100. Test IQ inilah yang dikemudian hari
dinamai Stanford-Binet Intelligence Test yang masih sangat populer sampai
dengan hari ini (E-Psikologi, 2009).
Saifuddin menyebutkan bahwa secara tradisional, Intelligence Quotient
(IQ) merupakan angka normatif dari hasil tes inteligensi dalam bentuk rasio
(quotient). IQ adalah ekspresi dari tingkat kemampuan individu pada saat tertentu
dalam hubungan dengan norma usia tertentu yang ada (Anastasi & Urbina, 1997:
220). IQ juga merupakan cerminan dari prestasi pendidikan sebelumnya dan alat
prediksi kinerja pendidikan selanjutnya.
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia melalui Lembaga Pengembangan
Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3), (1975) melaporkan
tentang norma umum interpretasi skala deviasi IQ menurut Stanford Binet sebagai
berikut:
Tabel 1. Interpretasi Skala Deviasi IQ Stanford Binet
Deviasi IQ Klasifikasi
D. Hipotesis
Berpedoman pada kajian pustaka dan kerangka berpikir di atas, maka
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Ada pengaruh IQ siswa terhadap keterampilan menulis narasi siswa
kelas IV SD Se-Kecamatan Buayan Tahun Ajaran 2011/2012.
2. Ada pengaruh kebiasaan membaca siswa terhadap keterampilan
menulis narasi siswa kelas IV SD Se-Kecamatan Buayan Tahun Ajaran
2011/2012.
3. Ada pengaruh IQ dan kebiasaan membaca siswa secara bersama-
sama terhadap keterampilan menulis narasi siswa kelas IV SD Se-
Kecamatan Buayan Tahun Ajaran 2011/2012.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Pengajuan
Proposal dan
Revisi
Perijinan
Penyusunan
Instrumen
Uji Coba
Instrumen
Pengambilan
Data
Pengolahan
Data
Penulisan
Laporan
B. Populasi, Sampel dan Sampling
1. Populasi dan Sampel Penelitian
Suharsimi Arikunto (2006: 130) menyatakan bahwa populasi adalah
keseluruhan subjek penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa
kelas IV SDN se-Kecamatan Kabupaten Buayan, Kebumen.
Dalam rangka menjaga kesamaan karakteristik dari responden penelitian
maka peneliti menentukan kriteria karakteristik responden sebagai berikut:
(1) Siswa tersebut terdaftar sebagai siswa SD di Kecamatan Buayan,
(2) Masih aktif duduk di kelas 4.
2. Sampling
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Suharsimi
Arikunto, 2006: 131). Sampel dalam penelitian ini adalah 100 siswa. Hal ini
didasarkan pada pendapat Suharsimi Arikunto (2006: 134) yang menyatakan
bahwa jika jumlah subjeknya besar dapat diambil antara 10 % - 15 %.
3. Penentuan Besar Sampel
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah multi stages
random sampling dengan mempertimbangkan keterwakilan dari daerah-daerah
geografis yang ada. Tulus Winarsunu (2007: 15) melaporkan bahwa teknik
sampling ini disebut juga dengan teknik sampel area. Teknik sampel area disebut
juga dengan teknik wilayah atau daerah. Prosedur yang dilakukan adalah dengan
jalan membagi daerah-daerah besar menjadi beberapa daerah kecil dan mungkin
daerah-daerah kecil itu akan dibagi menjadi daerah-daerah yang lebih kecil lagi.
Besar sampel ditentukan secara intensional hanya mengambil beberapa
daerah atau kelompok kunci dengan alasan keterbatasan waktu, tenaga, dan dana
sehingga tidak dapat mengambil sampel yang besar dan jauh. Studi pendahuluan
telah dilakukan dengan pengambilan data siswa kelas IV SD Negeri di Kecamatan
Buayan dari UPTD Pendidikan Pemuda dan Olahraga Buayan.
Data tentang IQ diperoleh dengan menggunakan alat tes inteligensi CFIT (Culture
Fair Intelligence Test) dengan jasa Lembaga Psikomedia Kebumen..
b. Kebiasaan Membaca
Data tentang kebiasaan membaca juga diperoleh dengan menggunakan
angket berupa pertanyaan tertutup yang dijawab oleh responden dengan
memilih salah satu jawaban dari setiap pertanyaan yang telah disediakan
oleh peneliti.
c. Keterampilan Menulis Narasi
Data tentang keterampilan menulis narasi diperoleh dengan menggunakan
tes subjektif berupa soal mengarang menulis petunjuk yang dijawab oleh
responden dengan membuat karangan narasi.
1. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk (1)
memperoleh data tentang nama-nama sekolah dasar negeri yang ada di Kecamatan
Buayan Kabupaten Kebumen serta kualifikasinya berdasarkan hasil UASBN
tahun pelajaran 2010/2011, (2) memperoleh data tentang nama-nama siswa yang
akan menjadi sampel penelitian, dan (3) mendapatkan data tentang nilai tes
sumatif mata pelajaran Bahasa Indonesia semester 2 tahun pelajaran 2010/2011.
2. Metode Tes
Metode tes digunakan untuk memperoleh data hasil belajar siswa
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Tes ini digunakan sebagai tes akhir
(post-test). Data hasil tes ini digunakan untuk menjawab permasalahan penelitian.
Tipe tes yang akan digunakan adalah tipe tes subjektif dengan bentuk soal uraian.
D. Rancangan Penelitian
Desain penelitian adalah sebuah rencana, sebuah garis besar tentang
“bagaimana peneliti akan memahami” bentuk hubungan antara variabel yang ia
teliti (M. Toha Anggoro, 2007: 3.17).
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ex post
facto. Furchan (383:2002) menguraikan bahwa penelitian ex post facto adalah penelitian
yang dilakukan sesudah perbedaan-perbedaan dalam variable bebas terjadi karena
perkembangan suatu kejadian secara alami.
Penelitian ex post facto merupakan penelitian yang variabel-variabel bebasnya telah
terjadi perlakuan atau treatment tidak dilakukan pada saat penelitian berlangsung.
Peneliti ingin melacak kembali, jika dimungkinkan, apa yang menjadi faktor penyebab
terjadinya sesuatu.
Peneliti dalam penelitian ex post facto tidak dapat melakukan manipulasi atau
pengacakan terhadap variabel-variabel bebasnya. Hal ini menunjukkan bahwa
perubahan dalam variabel-variabelnya sudah terjadi. Peneliti dihadapkan kepada
masalah bagaimana menetapkan sebab dari akibat yang diamati tersebut.
Keterangan:
k = banyaknya variabel bebas
β0 = konstanta regresi
UJI HOMOGENITAS
o Rumusan Masalah
Adakah Pengaruh IQ dan Kebiasaan Membaca terhadap Keterampilan
Menulis Narasi Siswa Kelas IV se-Kecamatan Buayan?
o Desain Analisis Data
Aspek Kebiasaan
IQ ∑
Hubungan Membaca
Tinggi IQT KMT ∑T
Rendah IQR KMR ∑R
∑ ∑IQ ∑KM
DAFTAR PUSTAKA