Idealis adalah doktrin yang mengajarkan bahwa hakikat dunia fisik hanya dapat dipahami dalam
ketergantungan pada jiwa dan roh. Idealis diambil dari “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam
jiwa. Idealis mempunyai argumen efistimologis tersendiri dan aliran ini memandang dan
menganggap yang nyata hanya idea. Idea tersebut selalu tetap atau tidak mengalami perubahan
dan pergeseran.
Aliran filsafat essensialisme pertama kali muncul sebagai reaksi atas simbolisme mutlak dan
dogmatisme abad pertengahan. Filsafat ini menginginkan agar manusia kembali kepada
kebudayaan lama karena kebudayaan lama telah banyak melakukan kebaikan untuk manusia,
termasuk dalam pendidikan yang harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan
tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Filsafat progrevisme dalam pendidikan adalah suatu aliran yang menekankan, bahwa pendidikan
bukanlah sekedar pemberian sekumpulan pengetahuan kepada subjek didik tetapi hendaklah
berisi aktivitas-aktivitas yang mengarah pada pelatihan kemampuan berpikir mereka. Dengan
demikian mereka dapat berpikir secara sistematis melalui cara-cara ilmiah seperti memberikan
analisis, pertimbangan dan pembuatan kesimpulan menuju pemilihan alternatif yang paling
memungkinkan untuk pemecahan masalah yang dihadapi.
3. Nilai bersifat relative, terutama nilai duniawi, menjelajah aktif, evolusioner dan
konsekuensi perilaku.
5. Aliran Filsafat Pragmatisme
Pragmatisme adalah suatu aliran modern yang mengajarkan bahwa yang benar apa yang
membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara
praktis. Aliran ini bersedia menerima apa saja, asalkan praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi,
mistik semua bisa diterima sebagai kebenaran dan dasar tindakan asal membawa akibat yang
praktis yang bermanfaat. Dengan demikian dasar pragmatis adalah manfaat bagi hidup praktis.
Aliran ini memandang realitas sebagai Sesuatu yang secara tetap mengalami perubahan terus
menerus. Pragmatis adalah satu aliran yang lebih mementingkan orientasi kepada pandangan anti
posentris (berpusat kepada manusia) kemampuan kreativitas dan pertumbuhan manusia kearah
hal-hal yang bersifat praktis, kemampuan kecerdasan dan individual serta perbuatan dalam
masyarakat.
Di Amerika Serikat tokoh aliran pragmatisme adalah William James dan John Dewey. Di Inggris
ada F.c Schiller. James mengatakan bahwa kebenaran tiada yang mutlak, yang berlaku umum,
yang bersifat tetap, yang berdiri sendiri dan terlepas dari segala akal yang mengenal.
Referensi
Deese, J (1978) The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia
University-Teachers College Press
Hartono, Rodi (2009) LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN BAGI PENDIDIKAN.
Universitas Padang. Makalah
Filsafat pendidikan adalah filsafat yang digunakan dalam studi mengenai masalah-masalah
pendidikan (Amka, 2019, hlm. 22). Sederhana bukan? Namun, sayangnya dalam filsafat lagi-lagi
kita tidak dapat menggeneralisir suatu hal sesederhana itu. Filsafat itu apa? Pendidikan itu apa?
Masalah-masalah pendidikan itu yang bagaimana?
Pengertian tersebut dapat kita rumuskan dari telaah kedua kata yang membentuk frasanya
sendiri. Filsafat adalah kajian kritis terhadap pemikiran yang telah diamini kebenarannya.
Sementara itu, pendidikan adalah usaha untuk mewujudkan pembelajaran yang dapat diikuti
secara baik oleh peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya.
Melalui penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa filsafat pendidikan adalah kajian kritis
terhadap pemikiran dan sikap yang telah dan/atau akan dibuat melalui pencarian dan analisis
konsep paling mendasar untuk menciptakan pertimbangan yang lebih baik dan sesuai dalam skop
pendidikan yang berusaha untuk mewujudkan pembelajaran yang dapat diikuti oleh peserta didik
dalam mengembangkan potensi dirinya dari segi keilmuan, kepribadian, dan nilai positif lainnya.
Penjelasan lebih terperinci mengenai definisi kedua kata dalam frase ini dapat dilihat pada artikel
berikut ini:
Sementara itu pengertian pendidikan dapat disimak pada artikel di bawah ini:
Pertanyaan selanjutnya adalah masalah-masalah pendidikan itu yang seperti apa? Melalui
simpulan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sesuatu yang dipertanyakan dalam filsafat
adalah pertimbangan dalam skop pendidikan. Tentunya berbagai pertimbangan dan konsep-
konsep tersebut sudah ditentukan dalam pendidikan. Apa saja? Misalnya: tujuan pendidikan,
model pembelajaran, kurikulum, dsb.
Rumusan di atas diperkuat oleh pendapat Widodo (2015, hlm. 1) yang menyatakan bahwa
filsafat pendidikan adalah suatu pendekatan dalam memahami dan memecahkan persoalan-
persoalan yang mendasar dalam pendidikan, seperti dalam menentukan tujuan pendidikan,
kurikulum, metode pembelajaran, manusia, masyarakat, dan kebudayaan yang tidak bisa
dipisahkan dari dunia pendidikan itu sendiri.
Filsafat pendidikan adalah aktivitas pikiran yang teratur dan menjadikan filsafat sebagai jalan
untuk mengatur, menyelaraskan dan memadukan proses pendidikan (Al-Syaibani dalam
Jalaluddin & Idi, 2015, hlm. 19).
John Dewey
merupakan suatu pembentukan kemampuan dasar yang fundamental yang menyangkut daya
pikir maupun daya perasaan menuju tabiat manusia (Dewey dalam Jalaluddin & Idi, 2015, hlm.
20).
Randal Curren
Kneller
Filsafat pendidikan merupakan penerapan filsafat formal dalam lapangan pendidikan (Kneller,
1971, hlm.5).
Hasan Langgulung
Adalah penerapan metode dan pandangan filsafat dalam bidang pengalaman manusia yang
disebut dengan pendidikan (dalam Zaprulkhan, 2012, hlm.303 ).
Filsafat pendidikan dapat diartikan sebagai kaidah filosofi dalam pendidikan yang
menggambarkan aspek-aspek pelaksanaan filsafat secara umum dan fokus terhadap pelaksanaan
prinsip dan keyakinan dasar dari filsafat untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan secara
praktis (Jalaluddin & Idi, 2015, hlm. 18-21).
Lalu apa saja yang menjadi landasan atau yang membentuk sistematika filsafat ini? Terdapat tiga
landasan yang membentuk filsafat pendidikan, yakni: landasan ontologis, epistemologis dan
aksiologis. Berikut adalah pemaparannya.
Ontologi adalah bagian dari metafisika yang bersifat spekulatif, membahas hakikat “yang ada”
secara universal. Ontologi berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi
segala realitas dalam semua bentuknya. Ontologi mempersoalkan hakikat yang tidak dapat
dijangkau oleh panca indera belaka.
Pernyataan di atas diperkuat oleh pendapat Rukiyati dan Purwastuti (2015, hlm.10), Sebenarnya,
ontologi adalah bagian dari metafisika, sederhananya metafisika dapat didefinisikan sebagai
cabang filsafat atau bagian pengetahuan manusia yang bersangkutan dengan pertanyaan
mengenai hakikat “ada” yang terdalam.
Semenjak hadirnya pemikiran empiris (pengetahuan yang harus terbuktikan dan teralami secara
nyata) banyak yang menyepelekan metafisika. Padahal, pemikiran empiris muncul dari asumsi-
asumsi yang dihasilkan oleh ontologi (metafisika).
Einstein menyadari hal ini melalui ucapan ikoniknya yang berkata “imagination is more
important than knowledge”. Meskipun pemikiran empiris adalah kuda pacu yang diandalkan hari
ini, hal tersebut tidak akan tercipta tanpa spekulasi-spekulasi dari pemikiran ontologis.
Lalu di mana posisi ontologi pada filsafat ini? Landasan ontologis memberikan dasar bagi
pendidikan mengenai pemikiran tentang “Yang Ada”, misalnya pemikiran tentang Tuhan,
manusia, dan alam semesta. Corak pendidikan yang akan dilaksanakan sangat dipengaruhi oleh
pandangan tentang “Yang Ada” yang telah ditentukan melalui ontologi.
Contoh praktisnya adalah terciptanya kurikulum pendidikan agama untuk pendidikan agama.
Tercipta kurikulum pendidikan vokasi untuk menyelenggarakan pendidikan keterampilan.
Mengapa? Karena secara ontologis telah diketahui dari awal bahwa pemikiran filsafat itu tujuan
pendidikannya berdasarkan “Yang Ada” untuk agama, atau “Yang Ada” untuk vokasi.
Epistemologi Pendidikan
Objek telaahnya sendiri adalah untuk mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang, bagaimana
kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakannya dengan lain. Intinya, objek telaahnya
berkenaan dengan situasi, kondisi, ruang dan waktu mengenai sesuatu hal.
Landasan epistemologis memberikan dasar filsafat bagi teori dan praktik pendidikan dalam hal
cara memperoleh pengetahuan. Pendidikan itu sangat erat kaitannya dengan ilmu pengetahuan,
maka pandangan mengenai sumber dan jenis pengetahuan akan sangat berpengaruh terhadap
kurikulum dan model atau metode pembelajaran (pengajaran).
Apa kegunaan ilmu yang dihasilkan dari pendidikan bagi kita? Ilmu pengetahuan memang telah
memberikan manfaat yang besar. Misalnya, bagaimana teori atom dapat digunakan untuk
menciptakan energi yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, dibalik itu
teori ini pula yang membuat kita mampu untuk menciptakan bom atom yang menjadi malapetaka
bagi dunia.
Pertanyaan ke mana arah pengetahuan dan pendidikan itulah yang menjadi objek pertanyaan
utama aksiologi. Untuk apa pengetahuan itu akan digunakan? Bagaimana hubungannya dengan
etika dan moral? Bagimana kaitan prosedur ilmiah dan metode ilmiah dengan kaidah moral?
Aksiologi merupakan cabang filsafat yang membahas teori-teori nilai dan berusaha
menggambarkan apa yang dinamakan dengan kebaikan dan perilaku yang baik (Rukiyati &
Purwastuti, 2015, hlm.29). Di dalamnya terdapat etika dan estetika.
Etika adalah kajian filsafat yang mempersoalkan perilaku manusia terhadap nilai dan moral.
Estetika adalah filsafat yang berkaitan dengan kajian keindahan. Keduanya akan berkaitan,
karena sesuatu yang indah cenderung akan terasa lebih beretika, begitu pun sebaliknya.
Setidaknya, begitulah sebelum filsafat seni kembali mempertanyakannya.
Dalam ranah pendidikan, landasan aksiologis memberikan dasar-dasar filsafat dalam hal nilai
dan moral yang melandasi teori pendidikan dan menjadi acuan dalam praktik pendidikan.
Karena, pendidikan tanpa nilai dan moral yang positif, pendidikan justru dapat memberikan hal
yang negatif. Pendidikan haruslah diimbangi dengan adalah adanya pemberi, penerima, tujuan,
dan cara yang baik, dalam konteks yang positif.
Secara umum filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan dari keseluruhan
sikap dan kepercayaan yang telah dijunjung tinggi, lalu mempertanyakan . Meskipun skopnya
luas, ketika bertemu pendidikan, maka terdapat beberapa rumusan utama. Berikut adalah
beberapa kajian utama filsafat ini menurut Rukiyati & Purwastui (2015, hlm. 21).
Tujuan filsafat pendidikan dapat ditinjau dari tujuan filsafat dan pendidikan itu sendiri. Filsafat
diantaranya memiliki tujuan untuk mengkritisi suatu kepercayaan dan sikap yang telah dijunjung
tinggi, mendapatkan gambaran keseluruhan, analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang
arti kata dan konsep.
Sementara itu teori pendidikan bertujuan menghasilkan pemikiran tentang kebijakan dan prinsip-
prinsip pendidikan yang didasari oleh filsafat, merumuskan metode praktik pendidikan atau
proses pendidikan yang menerapkan serangkaian kegiatan berupa implementasi kurikulum dan
interaksi antara pendidik dengan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.
Tujuan pendidikan sendiri tergantung dari kebutuhan. Bisa jadi tujuan pendidikan adalah tujuan
pendidikan nasional (mencetak generasi penerus bangsa yang baik), instruksional (khusus
terhadap keterampilan tertentu), hingga ke tujuan pendidikan institusional (pendidikan militer,
dokter, akademisi, dsb).
Seseorang yang sedang menuntut ilmu pendidikan dituntut untuk memikirkan masalah-masalah
hakiki mengenai pendidikan. Pemikiran mengenai masalah-masalah pendidikan baik dalam
lingkup luas maupun mengerucut akan lebih terasah melalui filsafat pendidikan. Hal tersebut
membuat pelajar atau praktisi pendidikan lebih kritis dalam memandang persoalan pendidikan.
Disamping itu filsafat ini juga akan membuat pelajar untuk merenungkan masalah hakiki
pendidikan yang secara otomatis akan memperluas cakrawala berpikir dan menjadi lebih arif
dalam memahami persoalan pendidikan. Filsafat pendidikan akan menuntut pelajar untuk
berpikir reflektif menggunakan kebebasan intelektual yang bertanggung jawab (sistematis).
Selain itu, menurut Amka (2019, hlm. 26) filsafat (pendidikan) memiliki manfaat sebagai
berikut:
Ada banyak aliran filsafat yang tumbuh seiring dengan perkembangan zaman. Berikut adalah
aliran-aliran filsafat pendidikan yang telah dikenal luas oleh para ahli pendidikan.
Perenialisme
Merupakan aliran filsafat pendidikan yang melihat ke belakang, percaya bahwa kebijaksanaan
abadi dari spiritualisme, tradisi, dan agama berbagi satu satu kebenaran metafisik yang universal
di mana semua pengetahuan, ajaran dan nilai yang baik telah tumbuh.
Essensialisme
Progressivisme
Bagi kaum progressif, tidak ada realitas yang absolut, kenyataan adalah pengalaman
transaksional yang selalu berubah (progresif). Dunia selalu berubah dan dinamis, sehingga dapat
disimpulkan bahwa hukum-hukum ilmiah hanya bersifat probabilitas dan tidak absolut.
Progressivisme percaya bahwa pengetahuan mengenai dunia ini hanyalah sebatas sebagaimana
dunia ini dialami oleh manusia dan Itulah yang dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan (sains)
untuk kita semua.
Rekonstruksionisme Sosial
Aliran ini menaruh perhatian yang besar pada hubungan antara kurikulum sekolah dan
perkembangan politik, sosial, dan ekonomi suatu masyarakat. Rekonstruksionisme menganggap
bahwa dunia dan moral manusia mengalami degradasi di sana-sini sehingga perlu adanya
rekonstruksi tatanan sosial menuju kehidupan yang demokratis, emansipatoris dan seimbang.
Keadaan yang timpang dan hanya menguntungkan salah satu belahan dunia harus diatasi dengan
merekonstruksi pendidikan untuk memajukan peradaban. Untuk menjamin keberlangsungan
hidup manusia dan untuk menciptakan peradaban yang lebih memuaskan, manusia harus menjadi
insinyur sosial, yaitu orang yang mampu merancang jalannya perubahan dan mengarahkan ilmu
pengetahuan dan teknologi secara dinamis untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Pedagogi Kritis
Salah satu unsur pokok dari aliran ini adalah keharusan untuk memandang sekolah sebagai ruang
publik yang demokratis. Sekolah didedikasikan untuk membentuk pemberdayaan diri dan sosial.
Dalam arti ini, sekolah adalah tempat publik yang memberi kesempatan bagi peserta didik agar
dapat belajar pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk hidup dalam demokrasi yang
sesungguhnya. Sekolah bukan sekedar perluasan tempat kerja atau sebagai lembaga garis depan
dalam persaingan pasar internasional dan kompetisi asing.
Illich, tokoh utama aliran ini, mengatakan bahwa tujuan utama pendidikan adalah
perombakan/pembaharuan berskala besar dan segera di dalam masyarakat, dengan cara
menghilangkan persekolahan wajib. Sistem persekolahan formal yang ada harus dihapuskan
sepenuhnya dan diganti dengan sebuah pola belajar sukarela dan mengarahkan diri sendiri; akses
yang bebas dan universal ke bahan-bahan pendidikan serta kesempatan-kesempatan belajar mesti
disediakan, namun tanpa sistem pengajaran wajib (O’neil dalam Rukiyati & Purwastuti, 2015,
hlm. 79).
Eksistensialisme
Eksistensialisme menjadi salah satu ciri pemikiran filsafat abad 20 yang sangat mendambakan
adanya otonomi dan kebebasan manusia yang sangat besar untuk mengaktualisasikan dirinya.
Dari perspektif eksistensialisme, pendidikan sejatinya adalah upaya pembebasan manusia dari
belenggu-belenggu yang mengungkungnya sehingga terwujudlah eksistensi manusia ke arah
yang lebih humanis dan beradab. Beberapa pemikiran eksistensialisme dapat menjadi landasan
atau semacam bahan renungan bagi para pendidik agar proses pendidikan yang dilakukan
semakin mengarah pada keautentikan dan pembebasan manusia yang sesungguhnya.
Referensi